• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Permohonan Pemohon Kabur (obscuure libel).

Bahwa permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan oleh Pasal 74 dan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Pasal 4 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 sehingga permohonan kabur dan tidak layak (obscuure libel) dengan alasan sebagai berikut:

a. Bahwa menurut ketentuan Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi secara tegas dinyatakan Permohonan hanya dapat diajukan terhadap Penetapan Hasil Pemilihan Umum yang memengaruhi terpilihnya calon.

b. Bahwa Pasal 75 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 telah mengatur Pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon. Dalam penjelasan Pasal ini dinyatakan bahwa Pemohon harus menunjukkan dengan jelas Tempat Pemungutan dan Penghitungan Suara (TPS) dan kesalahan dalam penjumlahan penghitungan suara;

c. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 106 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan, “Keberatan terhadap penetapan hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah hanya berkenaan dengan Hasil Penghitungan suara yang mempengaruhi

terpilihnya pasangan calon”;

Bahwa ternyata di dalam permohonannya, Pemohon tidak memuat uraian yang jelas mengenai:

- Kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon disertai dengan rincian di TPS mana telah terjadi kesalahan dalam penghitungan atau penjumlahan sehingga terjadi perbedaan angka yang merugikan Pemohon;

- Bahwa dalil yang diajukan oleh Pemohon sebagai dasar permohonan sebagaimana pada point II. 3 yaitu adanya inkonsistensi Termohon dalam menegakkan peraturan pemilu, khususnya dalam menentukan surat suara sah dan tidak sah disamping pelanggaran-pelanggaran hukum lainnya yang bersifat kolaboratif, sistematis, struktural dan massif yang dilakukan termohon dan pasangan calon nomor urut 1 (satu).

- Inkonsistensi Termohon yang dimaksud Pemohon tersebut karena menyatakan suara sah terhadap surat suara yang tercoblos tembus;

- Sementara pelanggaran-pelanggaran hukum lain, ternyata setelah diidentifikasi dalam uraian permohonan adalah pelanggaran-pelanggaran yang menjadi kewenangan Panwaslu Kada, yang semestinya Pemohon mengajukan persoalan tersebut ke Panwaslu Kada Kabupaten Bima sesuai dengan tahapan pemilu yang telah ditentukan, karena Termohon telah melakukan secara terbuka setiap tahapan pemilu dengan mengumumkan kepada public untuk mendapatkan tanggapan, disamping pemberitahuan kepada stake holders pemilu.

- Mekanisme penyelesaian pelanggaran yang diatur dalam perundang-undangan harus ditaati, pelanggaran administrasi dan pidana menjadi kewenangan Panwaslu Kada sementara sengketa hasil Pemilu menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Apa yang dimaksud dengan pelanggaran administrasi, pidana dan hasil pemilu sudah secara pasti diberikan definisinya dalam Undang-Undang. Sehingga menurut Termohon keadilan harus dipenuhi atas dasar kepastian hukum.

Termohon dalam melaksanakan tugas dan fungsi harus berdasarkan kepastian hukum yang ada. Misalnya tentang pelaksanaan Bulan Bhakti Gotong Royong. Termohon tidak diberi kewenangan untuk dapat

menghentikan kegiatan tersebut, yang seandainya kegiatan tersebut dinilai sebagai sesuatu yang menyimpang, maka peran panwaslu Kada yang dapat memberi penilaian. Dan untuk dapat memberi penilaian yang adil atas kegiatan seperti itu maka seharusnya norma dalam perundang-undangan yang berkaitan dengan itu harus dipertimbangkan pula, mengingat kewenangan KPU Kabupaten sangat terbatas terhadap sesuatu diluar tehnis pemilu. Oleh karena itu sangat tidak bijaksana kalau hal itu dimintakan pertanggungjawaban pada KPU maupun proses pemilu yang dilaksanakan oleh KPU, semestinya norma yang memasung peran KPU harus tertibkan terlebih dahulu..

- Bahwa dengan demikian permohonan dari Pemohon tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 74 dan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah;

- Bahwa dengan demikian sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima;

2. Substansi Permohonan tidak termasuk objek Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah karena keberatan yang diajukan tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 106 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, ketentuan Pasal 74 dan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, dan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) PMK Nomor 15 Tahun 2008, sehingga tidak sepatutnya diajukan sebagai dasar permohonan karena bukan objek dari Perselisihan Hasil Pemilukada.

Untuk itu sudah sepatutnya permohonan tersebut tidak dapat diterima;

3. Pemohon telah memberi dasar permohonan dengan sikap yang ambivalen/tidak pasti/tidak jelas memberi dasar, yaitu berkenaan dengan coblos tembus. Disatu sisi menyatakan surat suara coblos tembus tidak sah karena bertentangan dengan pasal 95 UU 32/2005 jo.pasal 82 PP 6/2005 jo pasal 27 Peraturan KPU 72/2009 dengan asumsi pasangan nomor urut 1 mendapat suara coblos tembus sebanyak 78.883 sehingga jumlah suara sah ini harus dikurangkan dari jumlah suara sah pasangan nomor urut 1 sehingga pada akhirnya suara sah Pemohon akan lebih

banyak dan minta agar pemohon ditetapkan sebagai Calon Terpilih.

Sementara disisi lain Pemohon menyatakan konteks permohonan bukanlah pada sah atau tidaknya surat suara yang dicoblos tembus tetapi pada penyalahgunaan surat KPU Nomor 313/KPU/V/2010 tanggal 25 Mei 2010 untuk kepentingan Pasangan nomor urut 1, dengan angka-angka yang disebut Pemohon adalah angka-angka rekayasa berdasarkan asumsi belaka, dan dengan mengabaikan kemungkinan bahwa coblos tembus itu bisa terjadi pada semua pasangan calon, misalnya di TPS khusus coblos tembus lebih banyak pada pemohon dan Pemohon mengecualikan itu.

4. Disamping itu, Petitum Permohonan Pemohon sangat kontradiktif, disatu pihak pemohon minta agar ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih sebagaimana dalam petitum Nomor 4, dipihak lain petitum nomor 6 meminta pemungutan suara ulang. Disamping itu juga salah obyek ( error in objectiva), hal itu dapat dilihat pada posita point IV.3. dan petitum nomor 5 meminta pembatalan SK KPU Kabupaten Bima Nomor 41 tahun 2010 tentang Penetapan calon Terpilih, padahal semestinya adalah penetapan hasil pemilu karena keduanya merupakan tahapan yang berbeda sekalipun dilaksanakan pada hari dan tanggal yang sama.