• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh

Naek Siregar, S.H., M.H. Siti Azizah, S.H., M.H.

I. PENDAHULUAN

Indonesia sebagai Negara Mega Biodiversity sebuah julukan yang diberikan karena keanekaragaman hayati yang cukup besar yang dimiliki Indonesia, di mana potensi tersebut digambarkan dengan terdapatnya 10% tumbuhan berbunga (plant flowering), 12% manusia (mammals), 16%

(reptilian) dan (amphibian), 17% burung dan 25% ikan dari jumlah spesies

yang terdapat di dunia, mulai merasakan akan kebutuhan terhadap regulasi di bidang ini.

Regulasi keanekaragaman hayati tersebut sangat penting dalam upaya melindungi dari kepunahan, termasuk juga perdagangan satwa liar, dan sejalan dengan kebutuhan regulasi tersebut pada tahun 1973 dikeluarkan Convention on International Trade Endangered Species of

Wild Flora And Fauna (selanjutnya disingkat CITES) atau yang lebih

dikenal dengan konvensi Internasional tentang Perdangan Tumbuhan dan Satwa Liar. Konvensi ini dikeluarkan karena kekhawatiran berbagai negara akan keadaan satwa liar dan jenis tumbuh-tumbuhan langka yang kian hari keadaannya kian merosot baik populasi maupun ekosistemnya. CITES pertama kali disahkan dan ditandatangani oleh para pihak pada tanggal 3 Maret 1973 di Washington DC, Amerika Serikat. CITES sendiri telah mengalami beberapa kali amandemen, pada tanggal 22 Juni 1979 dilakukan Amandemen yang kedua di Kota Bonn, Jerman. Sedangkan amandemen yang ketiga dilakukan di kota Gaborone, Botswana pada tanggal 30 April 1983.

CITES diratifikasi oleh Indonesia pada tanggal 28 Desember 1977 melalui Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978 dan akan menimbulkan hak dan kewajiban yang secara langsung timbul dengan adanya pengesahan konvensi tersebut, baik dalam hal pemberian izin bagi perdagangan maupun pelarangan eksploitasi dan eksplorasi tumbuhan dan satwa liar. Mengenai penentuan pemberian izin tersebut harus didahului dengan penelitian keberadaan tumbuhan maupun hewan tersebut dalam populasinya di alam liar.

Indonesia sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang cukup besar telah memiliki beberapa daftar tumbuhan dan satwa liar yang masuk dalam daftar CITES, hal ini terjadi karena dinilai keberasaan beberapa tumbuhan dan satwa liar di Indonesia dalam status kritis dalam arti populasinya di alam bebas terancam punah.

II. PEMBAHASAN

A. Pengaturan Hukum Perdagangan Satwa Liar Dalam CITES dan

Implementasinya Dalam Hukum Nasional

1. Pengaturan Hukum Perdagangan Satwa Liar Dalam CITES

Sejak tanggal 28 Desember 1977 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional Mengenai Perdagangan Internasional Jenis-jenis Flora Fauna yang Terancam Punah (CITES) dengan Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978, Keppres ini mulai berlaku pada tanggal 28 Maret 1978. Sebagai salah satu negara yang meratifikasi CITES Indonesia mempunyai tugas pokok untuk melindungi spesies flora dan fauna liar dari eksploitasi manusia sebagai barang atau produk perdagangan internasional. Secara khusus CITES mengatur adanya 4 tipe dokumen dalam perdagangan tumbuhan dan satwa liar yaitu: (i) Export Permits,

(ii) Import Permits, (iii) Re-export Certificates, dan (iv) Other Certificates.

Keempat dokumen ini merupakan dokumen resmi yang hanya bisa dikeluarkan oleh Management Authority (otoritas pengelolaan) berdasarkan rekomendasi Scientific Authority (otoritas keilmuan).

a. Management Authority dan Scientific Authority

Management Authority dan Scientific Authority merupakan dua lembaga resmi yang CITES tetapkan untuk mengatur dan mengelola perdagangan jenis satwa dan tumbuhan liar dari suatu negara.

Management Authority merupakan otoritas pengelola yang harus di miliki oleh negara untuk mengelola perdagangan satwa liar baik untuk di gunakan bagi keperluan dalam negeri maupun untuk perdagangan internasional. Management Authority dalam pengelolaan perdagngan bekerjasama dengan otoritas keilmuan (Scientific Authority). Rekomendasi yang di berikan oleh otoritas keilmuan akan menjadi acuan otoritas pengelolaan dalam memberikan izin bagi perdagangan satwa dan tumbuhan liar. Pada artikel I CITES huruf (f) dijelaskan bahwa : “Scientific Authority means a national scientific authority designated in accordance with article IX”. Sedangkan Management Authority juga dijelaskan dalam Artikel I CITES huruf (g), yaitu : “Management Authority means a nationnal management authority designated in accordance with article IX”.

CITES mengatur secara khusus keberadaan dua lembaga ini, keduanya diatur dalam Artikel IX CITES tentang “Management and Scientific Authorities” pada Artikel tersebut dijelaskan bahwa keberadaan kedua lembaga ini memiliki kompetensi dan berperan untuk mengelola serta untuk memberikan izin atau sertifikat. Keberadaan otoritas pengelolaan dan otoritas keilmuan merupakan ketentuan yang mutlak dimiliki oleh masing-masing negara yang turut serta meratifikasi CITES.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Faustina Hardjanti, Kepala Subdit Konvensi CITES Direktorat Konvensi Keanekaragaman Hayati- Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (KKH-PHKA) dijelaskan bahwa

Management Authority (Otoritas Pengelola), bertanggung jawab dalam aspek administratif dari pelaksanaan CITES (legislasi, pelaksana legislasi, penegakan hukum, izin, laporan dua tahunan, komunikasi dengan institusi CITES lain), sedangkan Scientific Authority (otoritas keilmuan), bertanggung jawab untuk memberikan saran kepada Management Authority mengenai non-deteriment findings dan aspek-aspek ilmiah

lainnya mengenai implementasi dan pemantauan perdagangan internasional, termasuk memberi usulan kuota.

b. Export Permit

Sesuai dengan apa yang telah di kemukakan di atas, bahwa CITES mengatur adanya empat dokumen resmi sebagai ketentuan yang harus di penuhi, maka perlu adanya penjelasan mengenai masing-masing dokumen. Export permit atau izin ekspor merupakan izin yang mengatur mekanisme pemberian izin bagi masing-masing jenis satwa dan tumbuhan liar yang akan di perdagangkan ke luar negeri. Mengenai pemberlakuan izin ini Artikel VI CITES angka (2) menyebutkan : “An export permit shall contain the information specified in the model set forth in Appendix IV, and may only be used for export with in a period of six month from the date on which it was granted”. Pada pasal ini di jelaskan mengenai keberlakuan izin ekspor (export permit) hanya enam bulan sejak izin di berikan.

Selain mengenai keberlakuannya, Artikel VI CITES ini juga mengatur mengenai setiap izin atau sertifikat yang diberikan harus ada pengesahan dari otoritas pengelola dan nomor pengawasan yang dikeluarkan oleh otoritas pengelola. CITES mengatur secara khusus mengenai pemberian izin ekspor perdagangan satwa liar dari masing- masing jenis yang terlampir dalam apendiks CITES. Menurut Artikel III angka (2) disebutkan bahwa :

The export of any specimen of a species included in Apendix I shall require the prior grant and presentation of an export permit. An export permit shall only be granted when the following conditions have been met:

a) a Scientific Authority of the state of export has advised that such export will not be detrimental to the survival of that species.

b) a Management Authority of the State of export is statisfied that the specimen was not obtained in contravention of the laws of that State for the protection of fauna and flora.

c) a Management Authority of the State of export is satisfied that any living specimen will be so prepared and shipped as to minimize the risk of injury, damage to health or cruel treatment.

d) a Management Authority of the State of export is satisfied that an import permit has been granted for the specimen”.

Pada Artikel III tersebut di atur mengenai mekanisme pemberian izin ekspor bagi jenis satwa liar yang termasuk dalam Apendiks I. Sesuai dengan ketentuan tersebut otoritas harus terlebih dahulu memberikan rekomendasi bahwa ekspor tersebut tidak mengganggu keseimbangan populasinya di alam liar, kemudian otoritas pengelola harus memastikan bahwa ekspor tersebut tidak melanggar ketentuan perundang- undangan tentang perlindungan satwa dan tumbuhan liar. Setelah dipastikan mengenai ketentuan dari negara asal, maka otoritas pengelola juga harus memastikan negara yang akan menjadi tujuan meminimalisir gangguan berupa kesehatan dari jenis satwa liar tersebut. Kemudian yang terakhir bahwa otoritas pengelola dari negara ekspor harus memastikan bahwa izin impor telah di berikan. Ketentuan izin ekspor tersebut merupakan ketentuan yang harus dipenuhi dalam perdagangan jenis satwa liar yang termasuk apendiks I CITES, sedangkan mengenai ketentuan ekspor untuk jenis satwa yang termasuk dalam apendiks II CITES, Artikel IV angka (2) CITES dijelaskan bahwa :

The export of any specimen of a species included in Appendix II shall require the prior grant and presentation of an export permit. An export permit shall only be granted when the following conditions have been met:

a) a Scientific Authority of the State of export has advised that such export will not be detrimental to the survival of that species;

b) a Management Authority of the State of export is satisfied that the specimen was not obtained in contravention of the laws of that State for the protection of fauna and flora;

c) a Management Authority of the State of export is satisfied that any living specimen will be so prepared and shipped as to minimize the risk of injury, damage to health or cruel treatment”.

Ketentuan pemberian izin ekspor pada Artikel IV ini juga tidak memiliki perbedaan yang mendasar, keseluruhan mekanisme sesuai dengan apa yang diatur pada Artikel III, yang menjadi perbedaan hanya tidak ada ketentuan bagi otoritas pengelola untuk memastikan izin impor dari negara tujuan.

Mengenai ketentuan ekspor satwa liar yang termasuk dalam apendiks III, hal ini di atur dalam Artikel V angka (2) CITES yaitu :

“The export of any specimen of a species included in Appendix III from any State which has included that species in Appendix III shall require the prior grant and presentation of an export permit. An export permit shall only be granted when the following conditions have been meet :

a) a Management Authority of the State of export is satisfied that the specimen was not obtained in contravention of the laws of that State for the protection of fauna and flora

b) a Management Authority of the State of export is satisfied that any living specimen will be so prepared and shipped as to minimize the risk of injury, damage to health or cruel treatment”.

Mengenai izin ekspor untuk satwa liar yang termasuk dalam Apendiks III diatur bahwa otoritas pengelola memastikan bahwa ekspor tidak melanggar ketentuan hukum tentang perlindungan satwa dan tumbuhan liar, serta memastikan negara tujuan untuk mengurangi resiko kemungkinan perlakuan yang mengganggu terhadap satwa liar tersebut. Berdasarkan beberapa ketentuan yang tertera pada Artikel III, IV, dan V CITES mengenai ekspor tersebut ada perbedaan ketentuan izin ekspor antara perdagangan satwa liar yang termasuk dalam apendiks I, apendiks II, dan apendiks III CITES. Perbedaan ini merupakan ketentuan yang menjadi tolok ukur kondisi dari jenis satwa liar yang menjadi komoditas perdagangan.

c. Import Permit

Selain ketentuan mengenai ekspor, CITES juga mengatur dokumen perizinan impor untuk perdagangan jenis satwa liar. Pengaturan tersebut berdasarkan pada suatu sistem perizinan dan pemberian sertifikat yang hanya dapat diterbitkan apabila syarat tertentu telah dipenuhi. Seperti halnya ketentuan ekspor, ketentuan impor ini juga dipisahkan untuk masing-masing jenis satwa dalam tiap- tiap apendiks. Pada Artikel III angka (3) CITES diatur mengenai izin impor untuk satwa liar yang termasuk dalam apendiks I CITES yaitu :

“The import of any specimen of a species included in Appendix I shall require the prior grant and presentation of an import permit and either an export permit or a re-export certificate. An import permit shall only be granted when the following conditions have been met:

a) a Scientific Authority of the State of import has advised that the import will be for purposes which are not detrimental to the survival of the species involved

b) a Scientific Authority of the State of import is satisfied that the proposed recipient of a living specimen is suitably equipped to house and care for it

c) a Management Authority of the State of import is satisfied that the specimen is not to be used for primarily commercial purposes”.

Pada Artikel III mengenai impor satwa liar yang termasuk dalam apendiks I CITES tersebut dijelaskan bahwa izin impor hanya dapat diberikan dengan syarat-syarat yang telah disebutkan, yaitu bahwa otoritas keilmuan negara pengimpor menjelaskan bahwa impor tidak bertujuan untuk merusak/mengganggu keberadaan satwa liar tersebut, dan menjamin bahwa negara pengimpor akan merawat dan melindungi keberadaan jenis satwa liar tersebut.

Mengenai ketentuan izin impor yang termasuk dalam apendiks II, diatur pada Artikel IV angka (4) CITES yaitu : “The import of any specimen of a species included in Appendix II shall require the prior presentation of either an export permit or a re-export certificate”. Izin

impor untuk satwa liar yang termasuk apendiks II CITES ini mensyaratkan bahwa impor harus disertakan dengan izin ekspor dari negara asal ataupun sertifikat re-ekspor.

Ketentuan impor bagi satwa liar yang termasuk dalam apendiks III CITES di jelaskan dalam Artikel V angka (3) CITES, pada Artikel tersebut disebutkan bahwa : “The import of any specimen of a species included in Appendix III shall require, except in circumstances to which paragraph 4 of this Article applies, the prior presentation of a certificate of origin and, where the import is frm a State which has included the species in Appendix III, an export permit”. Pada Artikel V angka (3) ini di jelaskan bahwa impor spesimen dari berbagai spesies yang termasuk dalam apendiks III CITES harus memberikan keterangan mengenai laporan terakhir Surat Keterangan Asal (SKA), dari negara mana asal spesies yang termasuk dalam apendiks III tersebut, serta izin ekspor.

d. Re-export Certificates

Seperti ketentuan mengenai ekspor dan impor, ketentuan mengenai re-ekspor ini juga mensyaratkan ketentuan yang berbeda untuk masing-masing jenis satwa liar dalam tiap-tiap apendiks. Pada Artikel III Angka (4) disebutkan bahwa :

“The re-export of any specimen of a species included in Appendix I shall require the prior grant and presentation of a re-export certificate. A re-export certificate shall only be granted when the following conditions have been met:

a) a Management Authority of the State of re-export is satisfied that the specimen was imported into that State in accordance with the provisions of the present Convention

b) a Management Authority of the State of re-export is satisfied that any living specimen will be so prepared and shipped as to minimize the risk of injury, damage to health or cruel treatment

c) a Management Authority of the State of re-export is satisfied that an import permit has been granted for any living specimen”.

Ketiga syarat pada artikel tersebut merupakan ketentuan yang harus dipenuhi pada dokumen re-ekspor, sedangkan untuk satwa liar yang termasuk dalam apendiks II CITES diatur dalam Artikel IV Angka (5) yang menyebutkan bahwa :

“The re-export of any specimen of a species included in Appendix II shall require the prior grant and presentation of a re-export certificate. A re-export certificate shall only be granted when the following conditions have been met:

a) a Management Authority of the State of re-export is satisfied that the specimen was imported into that State in accordance with the provisions of the present Convention

b) a Management Authority of the State of re-export is satisfied that any living specimen will be so prepared and shipped as to minimize the risk of injury, damage to health or cruel treatment”.

Untuk ketentuan sertifikat re-ekspor bagi satwa liar yang di masukkan dalam apendiks III CITES di atur dalam Artikel V Angka (4) CITES, yaitu : “In the case of re-export, a certificate granted by the Management Authority of the State of re-export that the specimen was processed in that State or is being re-exported shall be accepted by the State of import as evidence that the provisions of the present Convention have been complied with in respect of the specimen concerned”.

Terkait dengan adanya izin dan sertifikat yang disyaratkan pada Artikel III, IV, dan V, maka hal-hal yang harus dicantumkan di dalam masing-masing ketentuan tersebut di atur dalam CITES secara khusus pada Artikel VI. Pada Artikel IV tentang Izin dan Sertifikat tersebut juga secara khusus mengatur mengenai adanya mekanisme khusus yang harus dipenuhi oleh badan hukum untuk melakukan kegiatan tersebut. Hal ini harus dapat dibuktikan dengan adanya izin sebagai pengedar tumbuhan dan satwa liar ke dalam negeri yang dikeluarkan oleh otoritas pengelola (Dirjen PHKA). Sedangkan bagi pemegang izin pengedar ke luar negeri maka pedagang wajib menunjukkan legalitas peredaran satwa tujuan luar negeri, tiap pedagang juga wajib meliput peredaran tumbuhan dan satwa liar dan memiliki Surat Angkut Tumbuhan dan

Satwa Liar Luar Negeri (SATS-LN). Terhadap spesimen yang tercantum dalam Apendiks CITES peredarannya ke luar negeri (ekspor) wajib memiliki CITES Export Permit. Apabila terjadi pengiriman dari luar negeri (import) maka wajib dilengkapi dengan dokumen CITES Import Permit

dan pengiriman lagi keluar negeri (re-ekspor) harus kembali disertakan dokumen CITES Re-export Certificates. Dokumen tersebut memuat informasi mengenai jenis dan jumlah satwa liar yang diangkut, nama dan alamat pengirim dan penerima, serta asal dan tujuan pengiriman.

e. Perdagangan Internasional Dengan Negara yang Tidak Termasuk

Dalam Konvensi

Kendati negara-negara telah banyak yang mendaftar sebagai anggota CITES, namun masih ada negara yang sampai saat ini belum menjadi negara pihak dalam CITES. Sebagai salah satu perjanjian internasional yang cukup baik, CITES mengatur mengenai kemungkinan dilakukannya perdagangan internasional dengan negara yang tidak termasuk dalam perjanjian internasional ini. Hal ini diatur secara khusus dalam Artikel X CITES, yaitu : “Where export or re-export is to, or import is from, a State not a Party to the present Convention, comparable documentation issued by the competent authorities in that State which substantially conforms with the requirements of the present Convention for permits and certificates may be accepted in lieu there of by any Party”. Pada Artikel X ini dijelaskan bahwa perdagangan internasional baik impor, ekspor maupun re-ekspor masih mungkin untuk dilakukan dengan adanya catatan atau dokumen resmi dari pihak-pihak yang telah berkompeten untuk mengeluarkan izin seperti yang dijelaskan di dalam CITES baik itu otoritas keilmuan maupun otoritas manajemen dari negara yang bersangkutan mengenai status dan keadaan spesies yang diperdagangkan.

2. Pengaturan Hukum Nasional Dalam Perdagangan Satwa Liar

Pada dasarnya upaya-upaya perlindungan satwa liar telah dilakukan oleh pemerintah jajahan sejak jaman kolonialisme, hal ini terbukti dengan adanya sejumlah ordonansi seperti Ordonansi Perburuan No. 133 Tahun 1931, Ordonansi Perlindungan Binatang-

binatang Liar No. 134 Tahun 1931, Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura No. 133 Tahun 1939, dan Ordonansi Perlindungan Alam No. 167 Tahun 1941. Melengkapi Ordonansi terdahulu yang telah ada, Pemerintah Indonesia sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk mencegah punahnya berbagai tumbuhan dan satwa pada tahun 1978 turut serta meratifikasi CITES sebagai salah satu perjanjian internasional untuk mencegah terjadinya kepunahan tumbuhan maupun satwa liar.

Diratifikasinya CITES yang merupakan perjanjian internasional secara langsung berimplikasi kepada pembentukan peraturan perundang-undangan nasional untuk mendukung implementasi CITES dalam hukum nasional. Hal ini disebabkan karena CITES merupakan perjanjian internasional yang sifatnya Law Making Treaty, sehingga tanpa adanya peraturan perundang-undangan nasional maka CITES tidak mungkin dapat berjalan maksimal. Diratifikasinya CITES pada tahun 1978 turut mendorong lahirnya beberapa peraturan perundang- undangan, yaitu UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan beberapa Peraturan Pemerintah serta peraturan pelaksana teknis melalui Keputusan Menteri.

Menurut hasil wawancara dengan Fakultas Hardjanti Kepala Subdit Konvensi CITES Direktorat Konvensi Keanekaragaman Hayati- Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (KKH-PHKA), dengan di ratifikasinya CITES maka Indonesia harus menetapkan international legal framework (Kerangka hukum internasional). Menurut Faustina Hardjanti 3 (tiga) keuntungan adanya CITES adalah :

a) Adanya regulasi internasional mengenai perdagangan hidupan liar yang efektif dan konsisten bagi konservasi dan pemanfaatan yang lestari, serta adanya kontrol di dua pintu (ekspor dan impor). b) Terjaminnya kerjasama internasional tentang perdagangan dan

konservasi, pengembangan legislasi dan penegakannya, pengelolaan dan sumber daya dan peningkatan pengetahuan konservasi.

c) Terjaminnya partisipasi sebagai pelaku di tingkat global dalam mengelola dan melestarikan kehidupan liar di tingkat internasional.

Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 1, jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dimanfaatkan untuk keperluan: Pengkajian, penelitian, dan pengembangan; Penangkaran; Perburuan; Perdagangan; Peragaan; Pertukaran; Budidaya tanaman obat-obatan, dan Pemeliharaan untuk kesenangan.

Sebagaimana disebutkan pada PP No. 8 Tahun 1999 bahwa salah satu bentuk pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar adalah perdagangan, dan berdasarkan data dari LSM ProFauna Jakarta, perdagangan satwa liar illegal di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Data organisasi penyelamatan dan perlindungan Satwa Liar ini menyebutkan perdagangan satwa liar ilegal di Indonesia