• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam Pandangan Ulama’ Kontemporer (Quraisy Shihab)

BAB II Kajian Pustaka Kajian Pustaka

2. Dalam Pandangan Ulama’ Kontemporer (Quraisy Shihab)

Al-qur‟an berbicara tentang perempuan dan laki-laki dalam berbagai ayatnya. Pembicaraan tersebut menyangkut berbagai sisi kehidupan. Di dalam tafsirnya, Shihab memaparkan penafsiran kedua belah pihak tentang frase min nafs wâhidah wa khalaqa minhâ, serta menunjukkan inti dari polemik tersebut. Kemudian ia berusaha mendialogkan pendapat kedua belah pihak dengan titik tekan pada keserasian al-Qur‟an (munâsabah). Shihab menulis:

Perlu dicatat sekali lagi bahwa pasangan Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam, maka itu bukan berarti bahwa kedudukan wanita-wanita selain Hawa demikian juga, atau lebih rendah dibanding dengan lelaki. Ini karena semua pria dan wanita anak cucu Adam lahir dari gabungan antara pria dan wanita, sebagaimana bunyi surah al-Hujurât di atas, dan sebagaimana penegasan-Nya,

...







………….

46

“Sebahagian kamu dari sebahagian yang lain” (Q.S. Ali „Imran:195).

Lelaki lahir dari pasangan pria dan wanita, begitu juga wanita. Karena itu, tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan antara keduanya.Kekuatan lelaki dibutuhkan oleh wanita dan kelemahlembutan wanita didambakan oleh pria.

Melihat tulisannya, dapat dipahami bahwa Shihab tidak mengakui adanya perbedaan dari segi kemanusiaan, namun perbedaan antara laki-laki dan perempuan tersebut bersifat given.Dari perbedaan inilah timbul komunikasi positif (hubungan saling menyempurnakan) antara keduanya dalam bingkai kemitraan.

Dalam firman Allah swt, dalam surat At-Tholaq ayat 7





















































“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”

Dalam ayat tersebut, menjelaskan prinsip umum sekaligus menengahi kedua belah pihak dengan menyatakan bahwa: Hendaklah yang lapang yakni mampu dan memiliki banyak rezeki memberi nafkah untuk istri dan anak-anaknya dari yakni sebatas kadar kemampuannya dan dengan demikian hendaknya ia memberi sehingga anak dan istrinya itu memiliki pula

47

kelapangan dan keluasan berbelanja dan siapa yang disempitkan rezekinya yakni terbatas penghasilannya, maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Jangan sampai dia memaksakan diri untuk nafkah itu dengan mencari rezeki dari sumber yang tak direstui Allah. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sesuai apa yang Allah berikan kepadanya. Karena itu, janganlah wahai istri menuntut terlalu banyak dan pertimbangkanlah keadaan suami atau bekas suamimu. Disisi lain hendaklah semua pihak selalu optimis dan mengaharap kiranya Allah memberikan kelapangan karena Allah biasanya akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.55

Tidak ada jumlah tertentu untuk kadar nafkah bagi keluarga. Ini kembali kepada kondisi masing-masing dan adat kebiasaan yang berlaku pada satu masyarakat atau apa yang di istilahkan oleh al-Qur‟an dan Sunnah dengan „urf yang tentu saja dapat berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain serta waktu dengan waktu yang lain.

Suami tidak dapat menutupi biaya hidup keluarga, mestinya mendapatkan bantuan dari Ba‟it al-Mal atau kini dikenal Departemen sosial. Tetapi kalau seandainya ia tidak mendapatkannya, maka istri yang tidak rela hidup bersama suami yang tidak mampu memenuhi kebutuhan secara wajar dapat menuntut cerai. Apakah permintaan itu harus diterima oleh pengadilan sebagai alasan perceraian, hal ini menjadi bahanm diskusi dan silang pendapat antara ulama‟.

55

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah(Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an), Jakarta,2004, Lentera hati, hlm. 303.

48

Kewajiban suami untuk memberi nafkah kepada istrinya juga merupakan hal yang masuk akal dan adil, karena sang istri mengkhususkan dirinya untuk suami serta kehidupan rumah tangganya. Barang siapa yang mengkhususkan (mengabdikan) dirinya untuk orang lain maka nafkah diwajibkan untuknya.

Hak lain yang harus didapatkan adalah hak mendapatkan tempat tinggal yang baik, sebagaimana dalam surat at-thalaq ayat 6





















“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka”.

Hak lain yang harus diberikan oleh suami adalah bergaul dengan cara yang baik(ma‟ruf).

Firman-Nya: “Dan bergaullah dengan mereka secara ma‟ruf”, ada ulama yang memahaminya dalam arti perintah untuk berbuat baik kepada istri yang dicintai maupun tidak. Kata ma‟ruf mereka pahami mencakup tidak mengganggu, tidak memaksa, dan juga lebih dari itu, yakni berbuat ihsan dan berbaik-baik kepadanya. Asy-Sya‟rawi memiliki pandangan lain, dia menjadikan perintah diatas tertuju kepada para suami yang tidak mencintai istrinya lagi. Ulama‟ mesir yang sudah meninggal itu membedakan antara mawadaah yang seharusnya menghiasi hubungan suami istri dengan ma‟ruf yang diperintahkan disini. Al-mawaddah menurutnya adalah berbuat baik

49

kepadanya, merasa senang bersamanya serta bergembira dengan kehadirannya, sedang ma‟ruf tidak harus demikian. Mawaddah pastinya disertai dengan cinta, sedang ma‟ruf tidak mengaharuskan adanya cinta.

Termasuk hak yang diberikan kepada suami adalah hak ketaatan kepada suami

Sabdanya, …”Kalau sekiranya aku memrintahkan seseorang untuk menyembah selain Allah, niscaya aku akan memrintahkan istri untuk menyembah selain Allah, niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Demi Allah yang jiwa Muhammad berada dalam genggaman-Nya, seorang perempuan tidak dikatakan telah menunaikan hak tuhannya sebelum ia menunaikan hak suaminya”.56

Islam menganggap ketaatan istri kepada suaminya sebagai jihad di jalan Allah. Diriwayatkan, bahwa seorang perempuan datang mengahadap Nabi SAW. Seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku utuskan kaum perempuan kepadamu. Jihad ini diperuntukkan kepada kaum laki-laki. Apabila mereka menang, maka mereka akan mendapatkan pahala. Apabila mereka terbunuh, maka mereka mati syahid. Sementara kami kaum perempuan berbakti kepada mereka, lalu apa yang kami dapatkan?

Beliau bersabda, Sampaikanlah kepada perempuan manapun yang kautemui, bahwa ketaatan kepada suami dan mengakui haknya adalah setara dengan jihad. Hanya sedikit sekali diantara kalian yang melakukannya. Imam Ali ra berkata, “Jihad perempuan itu adalah merawat keluarga dengan baik”.

Oleh karena itu, fungsi laki-laki sebagai qawwamun adalah untuk ditaati sebagai pemimpin dalam keluarga. Sebab itu, wanita yang shalih, ialah

56

50

ia yang taat kepada Allah dan juga kepada suaminya, setelah ia mereka bermusyawarah bersama dan atau bila perintahnya tidak bertentangan dengan perintah Allah serta tidak mencabut hak-hak pribadi istrinya. Disamping itu, ia juga memelihara diri, hak-hak suami dan rumah tangga ketika suaminya tidak ada ditempat, oleh karena Allah telah memelihara mereka. Pemeliharaan Allah, terhadap para istri antara lain dalam bentuk memelihara cinta suaminya, ketika suami tidak ditempat, cinta yang lahir dari kepercayaan suami terhadap istrinya.

3. Hak dan kewajiban suami dan istri dalam Undang-Undang Perkawinan

Dokumen terkait