• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Kajian Pustaka Kajian Pustaka

METODE PENELITIAN

C. Pola Pemenuhan Hak dan Kewajiban Suami Istri

1. Pola pengambilan Keputusan dalam rumah tangga

Secara garis besar, pola pengambilan keputusan dalam persoalan rumah tangga sehari-hari dalam keluarga anggota Jama‟ah Tabligh bisa dipetakkan kedalam dua pola, yakni, yang pertama, pengambilan keputusan dari hasil musyawarah kedua belah pihak, yang kedua pengambilan keputusan yang di dominasi dari salah satu pihak.

a. Keputusan berdasarkan musyawarah Seperti yang dikatakan oleh FLZ,

“kalau masalah-masalah rumah tangga dan kalau memutuskan sesuatu pasti kita musyawarah, hasil akhirnya dari keputusan bareng-bareng, kan yang menjalani kehidupan, kita”.

Sama halnya yang disampaikan oleh suaminya, untuk masalah pengambilan keputusan didalam rumah tangga, mereka selesaikan berdua, karena segala persoalan rumah tangga menjadi tanggung jawab suami istri.

Begitu pula yang disampaikan oleh YSA,

“Alhamdulillah kita fleksibel mbak ya, hasil musyawarah, misalkan saya mengajukan pendapat saya, suami saya mengajukan pendapatnya, nanti kita fikirkan matang-matang pendapatnya siapa yang paling banyak maslahatnya, ya itu yang kita pakai”.

Kemudian senada yang disampaikan oleh NR,

“Kalau saya sama pak ilyas ya nggak ada yang lebih dominan dek, kalau ada masalah rumah tangga ya di bahas bareng-bareng”

78

b. Keputusan yang didominasi salah satu pihak Seperti yang dikatakan oleh AM,

“hehe, seringnya aku sih kak yang ngambil keputusan, soalnya suamiku kadang terserah aku, asalkan itu baik, yasudah nggak pa-pa. Ketika di klarifikasi kepada pihak suami, dalam hal pengambilan keputusan, mereka memang mengambil jalan musyawarah, namun, untuk masalah masalah kecil sesuai dengan kepentingan pribadi, si suami lebih membebaskan istri untuk bisa memilih mana yang baik dan mana yang kurang baik, karena untuk pendidikan suami juga terhadap kedewasaan istri.

2. Pola Pemenuhan Nafkah dalam keluarga

Pola pemenuhan nafkah sekaligus pengelolaannya perlu diketahui untuk melihat persepsi dalam suatu keluarga. Dimana setiap keluarga pasti mempunyai cara yang berbeda-beda dalam mengelolahnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Dalam prakteknya di anggota keluarga jama‟ah tabligh, ada dua pola yang membedakan dalam menentukan pola pemenuhan nafkah, yakni:

a. Tanggung jawab penuh suami

Persepsi bahwa suami yang harus memenuhi nafkah dalam keluarga terjadi pada keluarga FLZ. Berikut pengakuannya,

"Ya sebenernya ya suami mbak fifah yang punya tanggung jawab penuh untuk masalah nafkah, tapi karena mas aji belum dapat yang pas sampe sekarang, ya nggak papa aku yang nyari nafkah, meskipun suami bilang, kalo aku ngajar ngaji itu bukan karena buat nyari nafkah, tapi biar hafalanku nggak hilang. Sementara ini sih mas aji masih pengen berusaha nyari yang cocok, yang penting dakwahnya bisa tetep berjalan lancar, kalo buat pengelolaannya ya aku semua mbak, yang dapet aku ya yang ngatur aku juga”.

79

Dengan pertanyaan senada yang di ajukan kepada suami, ia mengatakan bahwa kewajiban menafkahi tetap di bebankan kepada suami, namun, pengertian nafkah disini bukan melulu soal materi, namun, lebih luas lagi, nafkah juga bisa berupa pendidikan terhadap istri, membimbing dengan baik, menunjukkan ke arah yang benar. Sehingga dalam hal nafkah materi ia tetap berusaha, namun tidak dapat di remehkan untuk nafkah berupa pendidikan untuk istri, dan bagaimana membina rumah tangga dengan istri dengan baik dan semakin dekat dengan Allah swt.

b. Tanggung jawab bersama suami istri

Pendapat lain dari pasangan AM, ia menganggap bahwa pemenuhan nafkah keluarga tidak harus dibebankan kepada suami sepenuhnya. Berikut pernyataannya,

“kalo masalah nafkah ya nggak harus dibebankan pada suami semua tah, kalo aku bisa ikut nyari kan malah bagus, dapetnya lebih banyak, hehe…kalo buat pengelolaannya itu ya tiap bulan aku dikasih 200.000, tapi yang beli semua kebutuhan kayak pampers, sabun,puls, segala keperluan anak ya suamiku. Kalo yang 200 ribu dan gaji ngajarku ya murni buat aku sendiri lah”

c. Tidak ada keharusan suami sebagai pencari nafkah Berbeda halnya dengan pandangan pasangan lain, yakni pasangan Yusri Sofia al-gadri, menurutnya untuk persoalan nafkah suami tidak mempunyai keharusan untuk memenuhinya. Berikut penuturannya,

“Untuk masalah nafkah itu kan sebenarnya tidak harus suami yang memenuhinya ya mbak, karena semua rezeki itu kan Allah yang ngatur, jadi ya sebenarnya Allah yang mencukupi kehidupan kita mbak, bukan suami yang harus memenuhinya. Yang penting saya dan

80

suami tawakkal sama Allah, insya Allah kita akan di cukupi oleh Allah mb, jadi ya sudahlah mbak, kita menjalani keseharian bener-bener enjoy, mengalir aja, nggak ada ceritanya kita nyimpen uang, mikirin buat makan besok, yang penting sekarang ada untuk makan, ya Alhamdulillah, urusan besok ya besok, urusan Allah itu semua, yang penting kita yakin aja, kalo buat penegelolaannya, Alhamdulillah, kita tipenya nggak pernah nyimpen harta ato istilahnya nabung mbak ya, jadi misalkan saya gajian gitu ya, itu nanti saya kumpulkan dengan hasil penjualan suami saya, terus saya bagi menjadi 3 bagian mbak, yang pertama itu untuk orang tua saya, yang kedua untuk dakwah, dan yang ketiga untuk kebutuhan sehari-hari kita, jadi sebenernya kita nggak punya tabungan dalam jumlah besar gitu ya, yang penting kita sudah cukup untuk makan kebutuhan sehari-hari, ya sudah, urusan yang lain akan datang rezekinya sendiri.”

Begitu halnya dengan penuturan sang suami, karena suami memiliki aset dua rumah yang sedang dikontrakkan, maka hasil penyewaan setiaap tahunnya bisa dijadikan biaya untuk khuruj pada tiap tahunnya. Sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari, pencari nafkah utama adalah berasal dari gaji istri. Dan hal itu memang kehendak istri untuk mengikhlaskan dirinya sebagai pencari nafkah, sedangkan suami diberi tugas untuk mengurus anak dan fokus terhadap program dakwahnya.

Pendapat senada dituturkan oleh NR,

“kalo urusan nafkah itu sebenernya kan sudah ada yang ngatur dek ya, ng seharusnya saya menuntut suami untuk bisa mencukupi nafkah keluarga, saya banyak berdoa saja sama Allah biar kita di kasih kecukupan, kalo dituruti sifat manusia itu ya nggak bakalan puas kalo soal begituan, tapi yang penting selama ini saya selalu merasa bersyukur aja, dan itu terbukti, saya dan keluarga selalu dicukupkan. Sebenernya yang namanya mencari rezeki itu nggak harus dengan bekerja dek ya, karena bekerja itu kalo dikitab kami itu nomer 13, nomer 1 nya itu tawakkal, jadi kan ya yang penting kita tawakkal alallah, insya allah rezeki pasti ada aja. Buat pengelolaannya itu ya kalo mas ilyas dapat hasil, ya dikasihkan saya berapa gitu ya, terus kalo saya yang punya rezeki saya pegang sendiri, intinya kebutuhan rumah tangga saya yang handel”.

81

Begitu pula dengan pasangan NR,

“kita gantian dek kalo urusan kerjaan rumah tangga,saya sama mas ilyas siapa yang bisa ngerjain, ya itu yang ngerjain, tapi kalo urusan masak selalu saya, kalo urusan yang lain ya mas ilyas gentian sama saya”.

Pendapat suami meng“iya”kan pendapat si istri.

Dokumen terkait