• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALIL-DALIL HUKUM YANG TIDAK DISEPAKATI 1 Istihsan

Dalam dokumen DALIL HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI DAN TI (Halaman 34-38)

a. Pengertian Istihsan

Dari segi bahasa istihsan berarti menganggap sesuatu yang baik, yangterambil dari kata al-husnu (baik).Secara terminologi, Imam Abu Hasan al-Karkhi

mengatakan bahwa istihsan ialah “penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpangan itu.”DR. Wahbah al-Zuhaily mendefinisikan istihsan, yaitu “memakai qiyas khafi dan meninggalkan qiyas jali karena ada petunjuk untuk itu”. Disebut juga istihsan qiyas.Pengertian Qiyas jali didasarkan atas ‘illat yang ditegaskan dalam Quran dan sunnah, seperti menqiyaskan memukul kedua orang tua kepada larangan mengatakan “uf atau ah”. Qiyas khafi didasarkan atas ‘illat yang ditarik dari hukum ashal, seperti mengqiyaskan pembunuhan dengan benda tumpul kepada pembunuhan dengan benda tajam disebabkan persamaan ‘illat yaitu adanya kesengajaan. Qiyas jali lebih kuat daripada qiyas khafi, tapi jika mujtahid memandang bahwa qiyas khafi lebih besar mashlahatnya, maka qiyas jali boleh ditinggalkan.

b. . Macam-macam Istihsan

a. Istihsan bi al-nash, hukum pengecualian berdasarkan nash quran dan sunnah, seperti makan-minum dalam keadaan lupa di siang hari ramadhan, hukum asalnya batal puasa, tapi hadis nabi menegaskan hal itu tidak membatalkan puasa.

ممللمسموم ههييلمعم لل ا ىللمصم يللبهنلملا نيعم هلنيعم لل ا يمضهرم ةمرمييرمهل يبهام نيعم

هلقمسموم لل ا هلملعمطيام اممنلمأهفم هلملويصم ملمتهيمليفم بمرمشييموم لمكمامت يسهنم اذماه لماقم

}

ملسم و ىراخبلا هاور

}

Dari abu huraira RA, Nabi SAW. Bersabda: “barangsiapa lupa, padahal ia sedang puasa, kemudian ia makan dan minum, hendaklah menyelesaikan puasanya. Hanya saja Allah yang memberinya makan dan minum”.(HR.Bukhari dan Muslim)

b. Istihsan berlandaskan ijma’, kebolehan jual beli barang pesanan (salam dan istishna’) yang bertentangan dengan hukum asal jual beli yang mengharuskan adanya barang pada saat akad.

c. Istihsan berlandaskan ‘urf (adat), seperti kebolehan mewakafkan benda bergerak seperti buku dan perkakas alat memasak, berdasarkan adat

setempat. Padahal wakaf biasanya hanya pada harta yang bersifat kekal dan tidak bergerak seperti tanah.

d. Istihsan berlandaskan mashlalah mursalah, seperti mengharuskan ganti rugi atas penyewa rumah jika perabotnya rusak ditangannya, kecuali disebabkan bencana alam. Tujuannya agar penyewa berhati-hati dan lebih bertanggung jawab. Padahal menurut ketentuan umum penyewa tidak dikenakan ganti rugi jika ada yang rusak, kecuali disebabkan kelalaiannya.

c. Perbedaan Pendapat Ulama Mengenai Istihsan

1. Mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum, dengan beberapa alasan antara lain: Firman Allah QS.Az-Zumar ayat 18



















18. yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya[1311]. mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.(QS.Az-Zumar : 18)

Ayat tersebut menurut mereka,memuji orang-orang yang mengikuti perkataan (pendapat ) yang baik. Sedangkan yang mengikuti istihsan berarti mengikuti sesuatu yang dianggap baik, dan oleh karena itu sah di jadikan landasan hukum.

2. Imam Syafi’i tidak menerima istihsan sebagai landasan hukum. Menurut beliau, barangsiapa yang menetapkan hukum berlandaskan istihsan sama dengan membuat-buat syariat baru dengan hawa nafsu. Alasannya antara lain:

QS. Al-Maidah ayat 49



































49. dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka

berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.(QS. Al- maidah : 49)

Menurut ayat ini, memerintahkan manusia untuk mengikuti petunjuk Allah Swt dan RasulNya, dan larangan mengikuti kesimpulan hawa nafsu. Hukum yang dibentuk melalui istihsan adalah kesimpulan hawa nafsu, jadi tidak sah dijadikan landasan hukum.

2. Mashlahah Mursalah

a. Pengertian Mashlahah Mursalah

Kata mashlahah menurut bahasa berarti “manfaat”. Kata mursalah berarti “lepas”. Secara istilah, menurut Abdul Wahab Khalaf, mashlahah mursalah berarti “sesuatu yang dianggap mashlahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak ada pula dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya”, sehingga disebut mashlahat mursalah ( maslahah yang lepas dari dalil secara khusus)

b. Macam-Macam Mashlahah

1. Al-mashlalah al-mu’tabarah, yaitu mashlahah yang secara tegas diakui syariat dan telah ditetapkan ketentuan-ketentuan hukum untuk merealisasikannya. Misal: Diwajibkan hukum qishash untuk menjaga kelestarian jiwa, ancaman hukuman zina bertujuan untuk memelihara kehormatan dan keturunan, dan sebagainya.

2. Al-mashlahah al-mulghah, yaitu sesuatu yang dianggap mashlahah oleh akal pikiran, tetapi dianggap palsu karena kenyataannya bertentang dengan ketentuan syariat. Misal: ada asumsi menyamakan pembagian warisan anak laki- laki dan anak perempuan adalah mashlahah, padahal itu bertentang dengan QS. Al-Nisa`: 11 yang menegaskan bahwa pembagian anak laki-laki dua kali pembagian anak perempuan. Adanya pertentangan itu menunjukkan bahwa apa yang di anggap mashlahat itu, bukan maslahat di sisi Allah.

3. Al-Mashlahah al-mursalah, dan maslahat macam inilah yang di maksud dalam pembahasan ini, yang pengertiannya adalah seperti dalam definisi yang di sebutkan di atas. Maslaht macam ini terdapat dalam masalah-masalah muamalah yang tidak ada ketegasan hukumnya dan tidak pula ada bandingannya dalam Al- Quran dan sunnah untuk dapat di lakukan analogi. Misal: Peraturan lalu lintas dengan rambu-rambunya.peraturan seperti ini tidak ada dalil khusus yang mengaturnya, baik dalam al-quran maupun dalam sunnah Rasulullah. Namun, peraturan seperti itu sejalan dengan tujuan syari’at, yaitu dalam hal ini adalah untuk memelihara jiwa dan harta.

c. Perbedaan Pendapat Ulama Mengenai Maslahah Mursalah

Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa maslahah mursalah tidak sah menjadi landasan hukum dalam bidang ibadah, karena bidang ibadah harus diamalkan sebagaimana adanya diwariskan oleh Rasulullah, dan oleh karena itu bidang ibadah tidak berkembang.

Mereka berbeda pendapat dalam bidang muamalat. Kalangan Zahiriyah, sebagian dari kalangan syafi’iyah dan hanafiyah tidak mengakui maslahah mursalah sebagai landasan pembentukan hukum , dengan alasan seperti yang dikemukakan Abdul karim zaidan, antara lain:

1) Allah dan Rasul-Nya telah merumuskan ketentua-ketentuan hukum yang menjamin segala bentuk kemaslahatan umat manusia.menetapkan hukum berlandaskan maslahah mursalah , berarti menggap syariat islam tidak lengkap karena menganggap masih ada maslahah yang belum tertampung oleh hokum-hukum nya. Hal seperti itu bertentangan dengan ayat 36 surat Al- Qiyamah:









36. Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?

2) Membenarkan maslahah mursalah sebagai landasan hukum berarti membuka pintu bagi berbagai pihak seperti hakim di pengadilan atau pihak penguasa untuk menetapkan hukum menurut seleranya dengan alasan untuk meraih kemaslahatan. Praktik seperti itu akan merusak citra Agama.

d. Syarat-Syarat Maslahah Mursalah

Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan beberapa persyaratan dalam memfungsikan maslahah mursalah ,yaitu:

a. Sesuatu yang dianggap maslahat itu haruslah beberapa maslahat hakiki yaitu yang benar-benar akan mendatangkan kemanfaatan atau menolak

kemudharatan, bukan berupa dugaan belaka dengan hanya mempertimbangkan adanya kemanfaatan tanpa melihat kepada akibat negative yang ditimbulkannya.

b. Sesuatu yang dianggap maslahat itu hendaklah berupa kepentingan- kepentingan umum,bukan kepentingan pribadi.

c. Sesuatu yang dianggap maslahat itu tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada ketegasan dalam al-quran atau sunnah Rasulullah,atau bertentangan dengan ijma’.

3. ‘Urf ( Adat istiadat)

Dalam dokumen DALIL HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI DAN TI (Halaman 34-38)

Dokumen terkait