• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK BANJIR TERHADAP STRATEGI NAFKAH DAN PENDAPATAN RUMAHTANGGA PETANI DESA SINAR PASMAH

STRATEGI NAFKAH

DAMPAK BANJIR TERHADAP STRATEGI NAFKAH DAN PENDAPATAN RUMAHTANGGA PETANI DESA SINAR PASMAH

Bidang pertanian sampai saat ini masih menjadi salah satu mata pencaharian utama di pedesaan. Petani di pedesaan umumnya sangat tergantung dengan alam sehingga usaha pertanian merupakan usaha yang rentan bagi kehidupan petani. Kerentanan ini diakibatkan karena keadaan alam yang tidak dapat di prediksi seperti adanya bencana alam. Salah satunya dari ancaman bencana alam adalah banjir.

Banjir di Desa Sinar Pasmah mengalami perubahan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Awal mula perubahan ini berasal dari pembangunan tanggul yang dilakukan pada tahun 2006. Banjir yang terus terjadi masih tergolong fluktuatif namun intensitas terjadinya banjir mengalami penurunan sehingga kejadian banjir setelah dibangunnya tanggul lebih baik dibandingkan sebelum tanggul dibangun (tepatnya pada tahun 2006).

Kenyataannya banjir yang terjadi di Desa Sinar Pasmah tidak berdampak pada strategi nafkah rumahtangga petani. Hal ini terbukti bahwa pekerjaan petani, terutama di sektor pertanian (On Farm) tidak mengalami perubahan yang

disebabkan oleh banjir yang terjadi di Desa Sinar Pasmah, khususnya banjir yang menggenangi lahan sawah mereka.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Petani (2006) Petani (2015) Buruh Tani (2006) Buruh Tani (2015) Non Pertanian (2006) Non Pertanian (2015)

Strategi Nafkah Petani Pada Musim Hujan Tahun 2006 dan 2015

≤ 0.25 0.25-0.50 0.50-0.75 0.75-1.00 > 1.00

Gambar 3. Grafik strategi nafkah petani sebelum dan sesudah 2006

Uraian diagram tersebut memberi gambaran bahwa sebelum tahun 2006, pekerjaan utama responden sebagai petani padi sawah dilakukan oleh seluruh petani (30 responden atau 100 persen) dengan kategori lahan milik dengan luas lahan kurang dari atau sama dengan 0.25 hektar sebesar 6 orang (20 persen), luas lahan 0.25-0.50 hektar sebesar 8 orang (26.67 persen), luas lahan 0.50-0.75 hektar sebesar 5 orang (16.66 persen), luas lahan 0.75-1.00 hektar sebesar 8 orang (26.67 persen), dan luas lahan lebih dari 1.00 hektar sebesar 3 orang (10.00 persen). Di sisi lain, pekerjaan petani sebagai buruh tani dilakukan oleh 29 responden atau 96.67 persen dengan kategori petani dengan luas lahan kurang dari atau sama dengan 0.25 hektar sebesar 5 orang (17.24 persen), luas lahan 0.25-0.50 hektar sebesar 8 orang (27.59 persen), luas lahan 0.50-0.75 hektar sebesar 5 orang (17.24 persen), luas lahan 0.75- 1.00 hektar sebesar 8 orang (27.59 persen), dan luas lahan lebih dari 1.00 hektar sebesar 3 orang (10.34 persen). Selain itu, pekerjaan di sektor non pertanian dilakukan oleh petani yang berada pada sektor luas lahan kurang dari atau sama dengan 0.25 hektar yaitu 1 orang responden (3.33 persen). Kondisi pada musim hujan tersebut serupa dengan kondisi pada saat musim kemarau tiba.

Tahun 2015 seluruh petani masih melakukan pekerjaan utama mereka sebagai petani padi sawah (30 responden atau 100 persen) dengan kategori lahan milik dengan luas lahan kurang dari atau sama dengan 0.25 hektar sebesar 6 orang (20 persen), luas lahan 0.25-0.50 hektar sebesar 8 orang (26.67 persen), luas lahan 0.50- 0.75 hektar sebesar 5 orang (16.66 persen), luas lahan 0.75-1.00 hektar sebesar 8 orang (26.67 persen), dan luas lahan lebih dari 1.00 hektar sebesar 3 orang (10.00 persen). Namun terjadi perubahan pada sektor pekerjaan sebagai buruh tani dan sektor non pertanian. Pekerjaan petani sebagai buruh tani dilakukan oleh 28 responden atau 93.33 persen dengan kategori petani dengan luas lahan kurang dari atau sama dengan 0.25 hektar sebesar 5 orang (17.86 persen), luas lahan 0.25-0.50 hektar sebesar 7 orang (25 persen), luas lahan 0.50-0.75 hektar sebesar 5 orang (17.86 persen), luas lahan 0.75-1.00 hektar sebesar 8 orang (28.57 persen), dan luas lahan lebih dari 1.00 hektar sebesar 3 orang (10.71 persen). Selain itu, pekerjaan di

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Petani (2006) Petani (2015) Buruh Tani (2006) Buruh Tani (2015) Non Pertanian (2006) Non Pertanian (2015)

Strategi Nafkah Petani Pada Musim Kemarau Tahun 2006 dan 2015 ≤ 0.25 0.25-0.50 0.50-0.75 0.75-1.00 > 1.00

sektor non pertanian dilakukan oleh petani yang berada pada sektor luas lahan kurang dari atau sama dengan 0.25 hektar yaitu 1 orang responden (3.3 persen) dan petani dengan luas lahan 0.50-0.75 hektar sebanyak 1 responden (3.3 persen). Kondisi pada musim hujan tersebut juga serupa dengan kondisi pada saat musim kemarau tiba.

Perubahan pekerjaan ini tidak disebabkan oleh banjir yang terjadi, tetapi menurut pernyataan petani tersebut hal ini dilakukan karena adanya kesempatan kerja disertai dengan kemampuan yang beliau miliki.

”Bukan karena banjir juga, Mbak. Jadi waktu itu saya dipilih untuk

bekerja disana. Karena keadaannya seperti itu dan saya merasa mampu ya mengapa tidak. Kalau buruh tani ya sekali-sekali saja

tapi tidak sesering dulu” (SPR, 47 tahun).

Selain petani, strategi nafkah yang dijalankan istri petani juga tidak mengalami perubahan. Hal ini dapat dijelaskan pada diagram berikut. Pada diagram jelas terlihat bahwa banjir tidak memiliki dampak terhadap jenis pekerjaan yang dilakukan istri petani dalam upaya menambah pendapatan rumahtangga mereka. Keadaan tersebut pada kedua kondisi yaitu kondisi pada musim hujan dan pada musim kemarau.

Gambar 4. Grafik strategi nafkah istri petani sebelum dan sesudah 2006 0

5 10

≤ 0.25 0.25-0.50 0.50-0.75 0.75-1.00 > 1.00

Strategi Nafkah Istri Petani Pada Musim Hujan Tahun 2006 dan 2015

Buruh Tani (2006) Buruh Tani (2015)

Non Pertanian (2006) Non Pertanian (2015)

0 5 10

≤ 0.25 0.25-0.50 0.50-0.75 0.75-1.00 > 1.00

Strategi Nafkah Istri Petani Pada Musim Kemarau 2006 dan 2015

Buruh Tani (2006) Buruh Tani (2015)

Sebelumnya telah diuraikan bahwa banjir tidak memberi dampak perubahan pada strategi nafkah petani, namun lain halnya dengan produksi dan pendapatan petani. Total produksi petani yang telah dihitung kemudian dikalikan dengan harga jual produk lalu kemudian dikurangi dengan biaya produksi menghasilkan pendapatan petani dari sektor petani padi sawah. Pendapatan petani secara keseluruhan diperoleh dari jumlah pendapatan yang berasal dari seluruh strategi nafkah yang dilakukan oleh petani (yaitu buruh tani maupun sektor non pertanian). Selain pendapatan petani, rata-rata pendapatan kaum istri juga dihitung berdasarkan jumlah hari kerja dikalikan dengan upah ketikan bekerja. Pendapatan istri petani pada musim hujan dan musim kemarau tidak mengalami perubahan. Hal ini seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa frekuensi bekerja tidak berbeda ketika musim hujan dan musim kemarau dan juga tugas mereka sebagai ibu rumahtangga yang mempengaruhi kerja mereka.Penggolongan pendapatan tersebut dapat dilihat pada diagram berikut ini. Pada diagram tersebut terlihat jelas bahwa banjir mempengaruhi produksi petani serta pendapatan rumahtangga petani

Uraian mengenai penggolongan pendapatan rumahtangga petani memberi gambaran dengan jelas bahwa terjadi peningkatan rata-rata pendapatan dan jumlah rumahtangga petani yang mengalami peningkatan pendapatan. Banjir yang terjadi pada musim hujan sebelum 2006 menunjukkan pandapatan rumahtanggapetani yang tergolong rendah berada pada golongan kurang dari Rp 4 560 000, sedangkan banjir yang terjadi pada musim hujan setelah tahun 2006 pendapatan rumahtangga petani yang tergolong rendah berada pada golongan mencapai kurang dari Rp 19380 000. Demikian pula dengan pendapatan tertinggi yang mencapai lebih dari Rp 12 160 000 pada waktu tanggul belum dibangun (sebelum 2006) dan lebih dari Rp 44 780 000 pada waktu tanggul telah dibangun (tahun 2015).Ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan rata-rata pendapatan yang cukup signifikan setelah tahun 2006 yakni sekitar empat kali lipat dibandingkan sebelum 2006.

Jumlah rumahtanggapetani yang mengalami peningkatan pendapatan pun tergambar dengan jelas pada diagram tersebut. Misalkan pada petani yang memiliki luas lahan kurang dari atau sama dengan 0.25 hektar . Pada kondisi banjir saat musim hujan sebelum 2006, rumahtanggapetani yang berada pada golongan pendapatan rendah ( kurang dari Rp 4 560 000) berjumlah 6 responden rumahtangga (100 persen). Jumlah tersebut mengalami penurunan tahun 2015 pada musim yang sama. Rumahtangga petani yang memiliki pendapatan yang tergolong rendah (kurang dari Rp 19380 000) berjumlah 4 responden (66.7 persen) sedangkan 2 responden lainnya (33.33 persen) berada pada golongan sedang (pendapatan berjumlah kurang dari Rp 44 780 000 dan lebih dari Rp 19380 000). Jumlah pendapatan rumahtangga petani pada musim hujan sebelum 2006 yang terbilang paling rendah adalah Rp 2 640 000 sedangkan pada tahun 2015 pendapatan rumahtanggapetani yang terbilang paling rendah adalah Rp 9 900 000 sehingga semakin memperjelas bahwa terjadi peningkatan pendapatan rumahtangga pada musim hujan setelah tahun 2006.

Gambar 5. . Pendapatan rumahtangga petani pada musim hujan sebelum 2006 dan tahun 2015

0 5 10

≤ 0.25 0.25-0.50 0.50-0.75 0.75-1.00 > 1.00

Pendapatan Rumahtangga Petani Pada Musim Hujan Sebelum 2006 (Rp x 1000)

X < 4 560 12 160 > X > 4 560 X > 12 160 0 2 4 6 ≤ 0.25 0.25-0.50 0.50-0.75 0.75-1.00 > 1.00

Pendapatan Rumahtangga Petani Pada Musim Hujan Tahun 2015 (Rp x 1000)

X < 19 380 44 780 > X > 19 380 X > 44 780

Musim kemarau sebelum 2006 menunjukkan pandapatan rumahtanggapetani yang tergolong rendah berada pada golongan kurang dari Rp 5 500 000, sedangkan banjir yang terjadi pada musim kemarau setelah tahun 2006 pendapatanrumahtangga petani yang tergolong rendah berada pada golongan mencapai kurang dari Rp 13 300 000. Demikian pula dengan pendapatan tertinggi yang mencapai lebih dari Rp 15 800 000 pada waktu tanggul belum dibangun (sebelum 2006) dan lebih dari Rp 31 300 000 pada waktu tanggul telah dibangun (setelah 2006). Ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan rata-rata pendapatan rumahtangga yang cukup signifikan setelah tahun 2006 yakni sekitar dua kali lipat dibandingkan sebelum 2006.

Jumlah rumahtangga petani yang mengalami peningkatan pendapatan juga jelas tergambar pada diagram tersebut. Misalkan pada petani yang memiliki luas lahan kurang dari atau sama dengan 0.25 hektar . Pada saat musim kemarau sebelum

2006, rumahtanggapetani yang berada pada golongan pendapatan rendah (kurang dari Rp 5 540 000) berjumlah 4 responden (66.67 persen) dan petani yang

berada pada golongan sedang (pendapatan rumahtanggaberjumlah kurang dari Rp 5 540 000 dan lebih dari Rp 13 700 000). Jumlah tersebut mengalami penurunan setelah tahun 2006 pada musim yang sama. Rumahtangga petani yang memiliki pendapatan yang tergolong rendah (kurang dari Rp 5 540 000) berjumlah 0 orang (0 persen) sedangkan petani pada golongan sedang (pendapatan berjumlah kurang dari Rp 5 540 000 dan lebih dari Rp 13 370 000) meningkat menjadi 6 responden (100 persen). Jumlah pendapatan rumahtangga petani pada musim kemarau sebelum 2006 yang terbilang paling rendah adalah Rp 2 190 000 sedangkan setelah tahun 2006 pendapatan rumahtangga petani yang terbilang paling rendah adalahRp 8 830 000 sehingga semakin memperjelas bahwa terjadi peningkatan pendapatan pada musim kemarau setelah tahun 2006.

Dibandingkan pada musim hujan, pendapatan petani pada musim kemarau juga mengalami peningkatan. Hal tersebut dapat terlihat dari rata-rata pendapatan yang diperoleh. Sebagai contoh, pada musim hujan pada petani yang memiliki luas lahan kurang dari atau sama dengan 0.25 hektar berada pada golongan pendapatan rendah (kurang dari Rp 4 560 000) berjumlah 6 responden (100 persen). Lain halnya ketika musim kemarau. Rumahtangga petani dengan golongan rendah (kurang dari Rp 5 540 000) berjumlah 4 responden (66.67 persen) dan rumahtanggapetani yang berada pada golongan sedang (pendapatan berjumlah kurang dari Rp 5 540 000 dan lebih dari Rp 13 700 000).

Gambar 6. Pendapatan rumahtangga petani pada musim kemarau sebelum 2006 dan tahun 2015 0 2 4 6 ≤ 0.25 0.25-0.50 0.50-0.75 0.75-1.00 > 1.00

Pendapatan Rumahtangga Petani Pada Musim Kemarau Sebelum 2006 (Rp x 1000)

X < 5 540 15 920 > X > 5 540 X > 15 920

0 5 10

≤ 0.25 0.25-0.50 0.50-0.75 0.75-1.00 > 1.00

Pendapatan Rumahtangga Petani Pada Musim Kemarau Tahun 2015 (Rp x 1000)

X < 13 700 32 160 > X > 13 700 X > 32 160

Dokumen terkait