• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Birokrasi Tauke

Dalam dokumen POTENSI DAN FENOMENA KETERGANTUNGAN (Halaman 56-62)

BAB 4 FENOMENA KETERGANTUNGAN

B. Dampak Birokrasi Tauke

Ketergantungan politik yang terjadi di Desa Tanjung Kedabu telah memberikan dampak kepada merosotnya partisi-pasi masyarakat untuk dapat meneruskan dan memper-juangkan kepentingan sendiri. Kemerorotan ini terjadi karena tersumbatnya saluran proses pengambilan keputusan di desa oleh berbagai kepentingan ekonomi terutama pada tauke, Secara kelembagaan memang di desa terdapat berbagai lem-baga formal, baik yang mengatur berlem-bagai keputusan pem-bangunan desa maupun yang mengatur berbagai urusan yang bersifat sektoral terutama menyangkut kepentingan politik di wilayah perbatasan Riau. Secara fungsional, lembaga formal tersebut kurang mampu mendeteksi reaksi politik dan ekonomi

No Kegiatan

Pembangunan

Biaya

Swadaya Lainnya Total 1 Balai kesenian 15.000.000 15.000.000 2 Jl. Rumbia 2,5 x 100 m 1.500.000 1.500.000

3 Surau 18.000.000 18.000.000

masyarakat desa secara keseluruhan. Akibatnva, masyarakat desa tidak berdaya dalam menghadapi dan memecahkan sen-diri permasalahannya

Dalam wawancara dengan tokoh masyarakat diperoleh informasi bahwa di desa ini sulit mencari anak usia sekolah yang lulus/tamat sekolah dasar. Umumnya, anak sekolah hingga Kelas Empat SD sudah meninggalkan kelas. Mereka lebib tertarik untuk bekerja di kelong-kelong atau di pelantar-pelantar unit usaha tauke. Setelah bekerja umumnya mereka berusaha memanfaatkan hasil upah bagi kebutuhan konsumtif dan selanjutnya ada juga yang langsung menikah. Dalam kon-disi demikian, biasanya para Tauke hanya mau membawa ikut bekerja di unit usahanya selain upah relatif murah (Pp 7.500/ hari) juga yang masih kuat tenaganya (usia muda/produktif). Jadi apabila sudah tidak produktif lagi, para tenaga kerja umumnva sulit untuk diperkerjakan lagi.

Proses ini telah berlangsung sedemikian rupa, sehingga relatif tidak ada proses pembelanjaan terhadap pengusahaan. Akibatnya, masyarakat desa tidak sadar apa hal dan kewaji-bannya sebagai warga desa. Kenyataan ini merupakan suatu proses pembodohan yang sistimatik bagi masyarakat desa sehingga demokrasi di tingkat desa menjadi tidak berjalan. Akibatnya eksplotasi sumber daya alam dan manusia terus menerus berlangsung. Birokrasi tauke tidak saja keraf secara ekonomis, tapi cenderung dapat dominan secara politik. Indi-kasi ini tampak dan beberapa keputusan desa dihasilkan, umumnya lebih bersifat fisik. Padahal masalah sosial-politik cukup penting, misalnya pendidikan politik etnik Cina akan kewarganegaraan Indonesia, penyuluhan hukum untuk mas-yarakat desa tentang pertanahan dan peningkatan ketrampilan pemuda dalam hal industri rumah tanggal, dan lain sebagai-nya.

Tabel 4.6. Pembauran Etnik China

Sumber: Data Primer, 1999

Dari data tabel di atas tampak bahwa tingkat pembauran etnik Cina (tauke) adalah rendah. Hal ini terjadi lebih karena terkonsentrasinya kegiatan ekonomi desa di tangan birokrasi Tauke. Selain itu, tempat pemukiman Cina agak terpisah dari masyarakat umumnya. Demikian pula bahasa, budaya sehari hanya terkesannya ekslusif. Proses isolasi sosial budaya inilah menjadikan pendorong rendahnya pembauran etnik Cina di Desa Tanjung Kedabu.

Akan tetapi pembauran etnik Cina di desa ini dalam bebe-rapa hal relatif tinggi, sementara kelompok elit desa tertentu sementara yang mempunyai kepentingan yang sama dalam hal ekonomi. Keputusan itu pada umumnya ditentukan elit desa, karena itu kepentingan Tauke lebih terbuka untuk di-perjuangkan.

Dampak lain ketergantungan masyarakat terhadap birok-rasi tauke Desa Tanjung Kedabu adalah kemiskinan. Hal ini terjadi terutama disebabkan oleh terjadinya perubahan struktur normatif masyarakat di dalam tradisi pencaharian hidup sehari-hari, sehingga masyarakat masuk ke dalam siklus lingkaran kemiskinan.

Sepanjang yang dapat diamati, tidak produktifnya masya-rakat etnik Melayu sesungguhnya bukan karena kurangnya kemampuan pengelolaan, tapi lebih disebabkan oleh ketergan-tungan yang sengaja diciptakan oleh para tauke. Dengan ketergantungan ini, masyarakat menjadi tidak berpendidikan, berhutang terus menerus, produktivitas terbatas karena sering

No Kategori Jumlah Responden

1 2 3 Tinggi Sedang Rendah 12 55 43 Jumlah 60

kali diukur dengan kepentingan tauke. Bahkan terdapat kecen-drungan dampak ketergantungan ini tidak saja dialami oleh satu generasi, tetapi tampaknya dialami oleh anak dan cucu atau generasi berikutnya. Hal ini dapat dilihat dan bergesernya status pemilikan lahan perkebunan/ perladangan yang semula lebih banyak dikuasai oleh masyarakat Melayu, namun kini lebih banyak dimiliki oleh para Touke (lihat Tabel 4.6).

Padahal kebun/lahan bagi masyarakat Desa Tanjung Kedabu adalah investasi jangka panjang yang dapat mem-berikan dorongan yang kuat dalam mengatasi kesulitan ekonomi keluarga sehari-hari. Dewasa ini alternatif itu di-lakukan dengan “meminjam uang” kepada tauke atau sanak keluarga. Meningkatnya kebutuhan menjadikan hutang semakin banyak dan kemampuan untuk membayarnya sangat terbatas. Akhirnya daya beli pun semakin rendah, sehingga proses ini bermuara kepada kemiskinan.

Tabel 4.6. Profil Ketahanan Pangan Penduduk

Sumber: Data Penelitian, 1999

No Uraian Jumlah (Rp) 1 2 3 4 5 a. Pendapatan/keluarga /bulan b. Pengeluaran untuk konsumsi pangan a. Pendapatan/keluarga /bulan b. Pengeluaran untuk konsumsi pangan a. Pendapatan/keluarga /bulan b. Pengeluaran untuk konsumsi pangan a. Pendapatan/keluarga /bulan b. Pengeluaran untuk konsumsi pangan a. Pendapatan/keluarga /bulan b. Pengeluaran untuk konsumsi pangan

180.000 240.000 150.000 180.000 120.000 180.000 270.000 200.000 180.000 150.000

Tabel 4.7. Kemampuan Masyarakat untuk Menabung

Sumber: Data Penelitian, 1999

Selain itu, ketergantungan masyarakat kepada birokrasi Tauke juga memberikan dampak sosial agama (moral) bagi masyarakat desa terutama para kaum muda. Sepanjang yang dapat diamati karena kondisi umumnya pekerjaan para pe-muda (usia produktif di kelong-kelong atau di petantar), maka sosialisasi nilai agama yang diamati kurang berjalan lancar. Hal ini didukung oleh tempat kerja tersebut tidak ada fasilitas shalat sehingga suasana yang agamis tidak tampak sama sekali. Padahal masyarakat desa ini sesungguhnya sangat relegius, dimana dapat dilihat pada kesenian yang berkembang disukai oleh masyarakat umumnya bersifat relegi/keagamaan.

Sementara itu, di sekolah dasar yang ada di desa juga kurang disiapkan guna pendidikan agama. Padahal sosialisasi yang berlangsung di desa ini amat berbeda dengan nilai-nilai dasar masyarakat yang mestinya berkembang. Sekali lagi ketergan-tungan yang terjadi berimplikasi pula pada sosialisasi agama yang kurang. Namun Klenteng (tempat kebudayaan etnik Cina) berdiri sangat bagus/ indah dan terletak di tengah desa. Sebaliknya, surau atau mesjid terletak agak berjauhan dari pemukiman yang ramai penduduk. Fakta ini tentunya tidak tepat terutama bagi sosialisasi kepribadian anak/pemuda karena ketergantungan dengan birokrasi Tauke harus diputuskan.***

No Kategori Jumlah 1 2 3 Tinggi Sedang Rendah 7 16 37 Jumlah 60

Dalam dokumen POTENSI DAN FENOMENA KETERGANTUNGAN (Halaman 56-62)

Dokumen terkait