• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI DAN FENOMENA KETERGANTUNGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POTENSI DAN FENOMENA KETERGANTUNGAN"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

POTENSI DAN FENOMENA

(3)

Sanksi Pelanggaran Pasal 72

Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah)

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (satu), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

(4)

Studi pada Desa Terdepan di Wilayah

Perbatasan Riau-Malaysia-Singapura

PENERBITALAF RIAU

PEKANBARU 2012

DR. Khairul Anwar

Zulkarnaini, M.Si

Editor:

POTENSI DAN FENOMENA

(5)

POTENSI DAN FENOMENA

KETERGANTUNGAN

PENULIS DR. Khairul Anwar EDITOR Zulkarnaini, M.Si SAMPUL Syamsul Anwar PERWAJAHAN Arnain ’99 CETAKAN I Januari 2012 PENERBIT: Alaf Riau Publishing Jl. Pattimura No. 9 Gobah-Pekanbaru Telp. (0761) 7724831 Fax. (0761) 857397

E-mail:arnain_99@yahoo.com ISBN 978-602-9012-65-1

(6)

Prakata Penulis

Kehadiran buku ini berangkat dari studi yang bertitik tolak dari anggapan bahwa ketergantungan daerah pinggiran kepada wilayah lebih maju, tidak selalu harus menumbuhkan keter-belakangan atau kemiskinan. Kalau di daerah pinggiran, seperti terlihat di Desa Tanjung Kedabu, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau yang berbatasan langsung dengan Malaysia dan Singa-pura, terdapat kebijaksanaan yang mendorong pembangunan lintas batas, daerah pinggiran juga bisa maju dan sejahtera.

Hadirnya birokrasi tauke di lokasi studi, bagi masyarakat lo k a l m e m a n g m e n y e b a b k a n te r ja d in y a k e te rg a n tu n g a n p o litik . A r tin y a p e m b a n g u n a n d e s a in i m e r u p a k a n b a y a n g a n d a r i k e -m a ju a n d a n k e m u n d u r a n p o litik “ k e p e n tin g a n ” ta u k e . G e ja la in i d ita n d a i a n ta r a la in d a r i le m a h n y a p e g a w a i p e m e r in ta h a ta u in s ta n s i s e k to r a l y a n g a d a d i d e s a . K e p u tu s a n p e m b a n g u n a n le b ih b e r o r ie n ta s i p a s a r d a n s a lin g b e r p ih a k p a d a m a s y a r a k a t b a n y a k . P e m b a n g u n a n y a n g b e r s ifa t n o n - fis ik s e r in g k a li te r a b a ik a n . D a la m k o n d is i d e m ik ia n , m a s y a r a k a t lo k a l te r u s -m e n e r u s te r p e r a n g k a p d a la m lin g k a r a n k e m is k in a n . K o n d is i in i d a p a t b e r k e m b a n g m e n ja d i a n c a m a n b a g i M a la y s ia d a n S in g a p u ra .

(7)

Salah satu hal yang perlu menjadi kebijakan bagi peme-rintah di wilayah perbatasan adalah melakukan inventarisasi terhadap potensi-potensi yang ada. Usaha ini harus diikuti de-ngan program-program pembinaan masyarakat yang hendak-nya dilakukan berkelanjutan dan terpadu. Lokasi ini dapat dijadikan “pilot proyek” (percontohan) di kawasan perbatasan di wilayah Provinsi Riau. Pembangunan pos lintas batas di wilayah perbatasan mendesak untuk diwujudkan mengingat dinamika sosial, ekonomi, dan politik masyarakat.

Studi pada buku ini dilaksanakan dalam dua tahap.

Pertama, melakukan riset kepustakaan dan dokumentasi terhadap dokumen dan laporan hasil penelitian yang terkait

dengan pemerintahan dan pembangunan desa. Kedua,

ob-servasi ke daerah-daerah penelitian dan analisis data. Adapun tujuan untuk memperoleh gabungan sekaligus data-data primer. Hal ini dilakukan dengan metode wawancara men-dalam.

Ke depan, untuk dapat mengintegrasikan ekonomi mas-yarakat desa ke dalam wilayah pengaruh ekonomi masmas-yarakat secara keseluruhan, diperlukan pembinaan sosial budaya dan kerjasama antara pemerintah, tauke dan masyarakat petani/ nelayan.

Demikianlah semoga buku ini bisa menjadi rujukan bagi pihak terkait dalam rangka memajukan wilayah terdepan yang berbatasan dengan negara luar.

Pekanbaru, Januari 2012

(8)

Daftar Isi

PRAKATA PENULIS ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 3

BAB 2 KARAKTERISTIK DESA ... 9

A. Letak Geografis ... 9

B. Demografis ... 11

C. Mata Pencarian ... 12

D. Tingkat Pendidikan ... 14

E. Agama ... 15

BAB 3 POTENSI DESA... 19

A. Aspek Sosial Budaya ... 19

B. Aspek Ekonomi ... 22

C. Aspek Politik... 25

D. Keterkaitan Masyarakat ... 27

E. Rekomendasi Pengembangan Model ... 30

BAB 4 FENOMENA KETERGANTUNGAN ... 35

A. Birokrasi Tauke ... 35

(9)

BAB 5 PENUTUP ... 55

A. Kesimpulan... 55

B. Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA... 59

(10)

Bab 1

(11)
(12)

Bab 1

PENDAHULUAN

Ketergantungan suatu wilayah terhadap wilayah lain tidak harus mematikan pembangunan pada wilayah yang tergan-tung (pinggiran). Gejala pembangunan dan ketergantergan-tungan memang bisa berjalan secara seiring. Hal ini dapat terjadi karena berubahnya bentuk-bentuk ketergantungan (Cardoso, 1979). Gejala perubahan ketergantungan didukung pula adanya tek-nologi dan komunikasi, yang mendorong pengembangan sumber daya alam dan sumber daya manusia.

Selain itu, ketergantungan pembangunan memberi impli-kasi, yaitu ditandai dengan munculnya ketidakmerataan eko-nomi dan kesenjangan sosial (Evans, 1976). Kondisi ini terjadi karena investasi yang masuk ke dalam pinggiran selalu bersifat padat modal, termasuk pula tidak sesuai dengan potensi eko-nomi masyarakat setempat. Akibatnya masyarakat pinggiran tidak terintegrasi secara fungsional dalam perkembangan eko-nomi dan pembangunan.

Penelitian PPK-UGM (1965) pada desa-desa perbatasan Kalimantan Timur menginformasikan bahwa faktor isolasi

(13)

daerah (wilayah pedesaan) menentukan terjadinya perubahan bentuk-bentuk perubahan dan ketergantungan. Namun apa bentuk ketergantungan yang langsung tidak terinformasikan. Demikian pula ketergantungan di Kepulauan Riau. Studi di daerah ini menginformasikan bahwa ketergantungan eko-nomi pembangunan Kepulauan Riau memberikan kemung-kinan ekonomi dan politik berupa peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan daerah (Khairul, 1995).

Desa Tanjung Kedabu terletak di Kecamatan Rangsang Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Kecamatan Rangsang adalah pemekaran dari Kecamatan Tebing Tinggi berdasarkan PP No. 33 Tahun 1996 yang diresmikan tanggal 4 Juni 1996. Kecamatan ini terdiri dari 19 desa. Adapun batas Desa Tanjung Kedabu, sebelah utara berbatasan langsung dengan Selat Malaka atau Batu Pahat Malaysia, sebelah selatan berbataasan dengan Desa Panyangun, sebelah timur berbatasan dengan Desa Medang, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Bugis.

Jumlah penduduk Desa Tanjung Kedabu sampai akhir 1997/1998 adalah 3.326 Jiwa, terdiri dari 174 KK dan kepadatan penduduk Desa Tanjung Kedabu adalah tidak tamat SD (33,03%), SLTP (2,8%), SLTA (0,6%), dan Akademik (0,07%). Penduduk usia kerja desa ini berjumlah 1.371 orang, dengan jumlah angkatan kerja 2.724 orang. Penduduk desa ini yang sudah bekerja umumnya bekerja di sektor perikanan sebagai buruh nelayan tangkap. Kegiatan ekonomi penduduk terdiri atas petani kebun, nelayan, pedagang, industri (sagu dan keru-puk), jasa, buruh kasar, PS/ABRI dan lain-lain. Umumnya ke-giatan ekonomi desa ditentukan pengendalian oleh etnis Cina. Desa-desa di Tanjung Kedabu umumnya terletak di ping-giran pantai yang berhadapan langsung dengan Malaysia. Kedekatan wilayah sekaligus sejak masa sebelum konfrontasi hingga saat ini telah mendorong ketergantungan (ekonomi) desa ke Malaysia sehingga orientasi kehidupan ekonomi masya-rakat desa tampaknya lebih kuat ke negara tetangga tersebut.

(14)

Ketergantungan ekonomi masyarakat Desa Tanjung Kedabu masih terdapatnya sebagian masyarakat desa masih menjual hasil tangkapan ikan, hasil perkebunan, kayu ke Batu Bahat Malaysia melalui toke Cina. Frekuensi penjualan di-lakukan dua kali dalam seminggu dengan alat transportasi air kapal pongpong yang memakan waktu perjalan lebih kurang 2-4 jam atau 7 mil.

Sementara itu ketergantungan sosial dan budaya mas-yarakat Desa Tanjung Kedabu terlihat dari gejala bahasa, seni, etnik, atau suku dan orientasi budaya yang hingga kini berlaku di desa ini seperti adat perkawinan dan sebagian besar pen-duduk yang menetap mempunyai keluarga di Malaysia. Hal ini tentunya dapat memberikan dampak bagi pembangunan politik masyarakat. Lebih lanjut gejala ketergantungan politik tampak dari ketergantungan dominasi politik “touke“ dalam pengambilan keputusan desa.

Pentingnya penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban permasalahan ”kemiskinan“ di desa-desa perbatasan Riau-Malaysia-Singapura. Masalah komunikasi di wilayah perbatasan Riau memiliki dimensi ekonomi politik domestik, regional dan internasional. Dalam jangka panjang adalah sumber yang potensial bagi munculnya konflik masyarakat.

Desa Tanjung Kedabu adalah perbatasan antara Riau dan Malaysia yang secara administrasi desa ini termasuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun ditemui gejala bahwa banyak masyarakat desa yang masih tetap men-jual hasil perkebunan, perikanan, dan kayu ke Batu Bahat Malaysia dan transaksi penjualan tersebut didominasi oleh pengendalian birokrasi “tauke" Cina.

Dari gejala dan fakta di atas masalah umumnya pada buku ini dapat dibagi ke dalam sub-sub masalah melalui per-tanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1) Apakah potensi desa di Tanjung Kedabu; 2) Bagaimanakah pemanfaatan peluang ekonomi oleh masyarakat di Desa Tanjung Kedabu; 3)

(15)

Me-ngapa masyarakat Desa Tanjung Kedabu cenderung menjual hasil perkebunan dan perikanan ke negara tetangga (Malaysia dan Singapura); dan 4) Apa model pembinaan yang mungkin dapat dilakukan oleh pemerintah daerah.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, di-gunakan model kerangka teori konsep-konsep yang relevan, yang dapat menjadi kerangka berpikir dan mengarahkan ana-lisis dalam studi ini. Terutama teorisasi dependency (keter-gantungan). Kondisi Desa Tanjung Kedabu sebagai daerah per-batasan Riau dan Malaysia bisa digambarkan dengan bantuan modeldependency yang dikembangkan oleh Das Santos (1970), Cardoso (1982), dan Peter Evens.

Menurut Das Santos (1970) yang dimaksud dengan de-pendency adalah suatu situasi kondisional dimana ekonomi sekelompok negara tertentu ditentukan oleh perkembangan dan perluasan negara lain. Dengan demikian, perkembangan ekonomi daerah pinggiran hanya merupakan bayangan dari perkembangan ekonomi yang terjadi di Metropolis (Pusat). Bila daerah yang menjadi induknya berkembang, maka daerah pinggiran (yang tergantung) bisa juga berkembang. Sebaliknya, bila negara induknya mengalami krisis, daerah pinggiran juga kejangkitan krisis.

Mengapa ketergantungan terjadi? Menurut Dos Santos ketergantungan terjadi disebabkan kesulitan yang terjadi terus menerus dalam melaksanakan industrialisasi di negara ping-giran. Kesulitan dalam mendapatkan modal, invertasi, tek-nologi dan perdagangan intrernasional. Sementara menurut Cardosa (1982) dalam rangka mengatasi kesulitan-kesulitan inilah pada dasarnya ketergantungan sosial dan politik terjadi. Upaya daerah pinggiran, menurut Evans (1977), dalam me-ngatasi ketergantungan sangat didorong oleh tumbuhnya na-sionalisme untuk mengatasi industrialisasi.***

(16)

Bab 2

(17)
(18)

Bab 2

KARAKTERISTIK DESA

A. Letak Geografis

Secara administratif, Desa Tanjung Kedabu terletak di Kecamatan Rangsang Kabupaten Bengkalis. Kecamatan Rang-sang adalah kecamatan hasil pemekaran Kecamatan Tebing Tinggi berdasarkan PP No. 33 Tahun 1996 yang diresmikan oleh Gubernur Riau tanggal 4 Juni 1996 terdiri dari 19 desa. Desa ini dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang dipanggil oleh masyarakat setempat dengan sebutan “Penghulu“. Jarak desa ini dengan ibu kota kabupaten (Bengkalis) sekitar 102 Km, se-dangkan jarak desa ke ibukota provinsi (Pekanbaru) 168 Km. Desa Tanjung Kedabu sebelah utara berbatasan langsung dengan Selat Malaka atau Batu Pahat Malaysia. Sebelah selatan berbatsan dengan desa Penyangu, sebelah barat dengan desa Bungur dan sebelah timur dengan Desa Tanjung Medang. Bentuk desa ini memanjang ke darat dengan luas wilayah 176 Km2. Dengan ketinggian dari permukaan laut 5 meter dan curah hujan rata-rata pertahun 2000 mm serta keadaan suhu rata-rata 26-33 derajat celcius. Adapun kondisi lahan di desa

(19)

Tanjung Kedabu terdiri dari lahan gambut 10 Ha dan lahan pasang surut seluas 166 Ha. Dengan tingkat kesuburan tanah sedang seluas 1.433 Ha. Lahan di desa ini lebih banyak di-manfaatkan sebagai lahan perkebunan rakyat 1.433 Ha. Selebihnya hanya sekitar 51 Ha terdiri dari hutan asli (hutan konversi dan hutan rakyat).

Desa Tanjung Kedabu juga terletak di pesisir pantai dan daerah aliran sungai dengan kemiringan 0-2 persen. Kondisi fisiografi desa ini berupa daratan ALLUVIA, dengan kondisi tanah tergolong pada tanah ALUVIALORGANASOL. Hujan biasanya turun pada bulan Oktober sampai bulan Mei. Musim panas atau kemarau pada umumnya jatuh pada bulan Juli hingga bulan September. Di Desa Tanjung Kedabu terdapat dua sungai, yaitu Sungai Penyagu dan Sungai Gayung. Kondisi sungai-sungai tersebut tidak dapat untuk memenuhi kebutuhan air bersih penduduk sehari-hari. Fungsi utama sungai sampai saat ini masih dimanfaatkan terutama sebagai sarana tran-sportasi antara desa/daerah/pulau dalam mendukung arus perdagangan dari dan keluar desa sehari-hari.

Dusun-dusun di Tanjung Kedabu umumnya terletak di pinggiran pantai yang berhadapan langsung dengan Malaysia. Orientasi kehidupan ekonomi masyarakat desa tampaknya lebih ke laut ketimbang ke darat sebagai petani kebun. Karena itu umumnya aktivitas masyarakat amat tergantung pada keadaan alam dan cuaca yang terjadi. Kondisi ini erat kaitanya pada pemasaran hasil-hasil baik perkebunan, pertanian ataupun perikanan. Hal inilah yang mendorong antara lain mengapa masyarakat lebih banyak tinggal di pelantar atau dekat laut.

Untuk menjangkau Tanjung Kedabu dapat dilakukan melalui dua rute perjalanan angkutan umum, yang kedua rute tersebut dapat digunakan apabila dimulai dari Selat Panjang. Pertama, rute dari Selat Panjang- Desa Bungur selama kurang lebih 2,5 jam dengan menggunakan sarana transportasi kapal

(20)

pongpong. Ongkos per orang Rp. 3.000,-. Kemudian dari bungur naik ojek ( honda tambang ) selama 1,5 jam menuju Tanjung Kedabu. Biyaya sewa ojek per orang Rp. 15. 000,-, jika musim hujan Rp. 25.000,-. Kedua dengan menggunakan speed boat lewat Tanjung Kongkong hingga Tanjung Kedabu selama 2,5 jam.

B. Demografi

Jumlah penduduk desa Tanjung Kedabu akhir tahun 1996/1997 adalah 3.326 jiwa. Yang terdiri dari 174 kepala keluarga terperincinya jenis kelamin laki-laki 1.495 jiwa, dengan kepadatan penduduk 25 per Km. keseluruhan penduduk tersebar pada empat dusun yaitu Dusun Tanjung Kedabu, Kampung Tengah, Kampung Baru, dan Dusun Dayung. Di desa Tanjung Kedabu terdapat 3.326 jiwa warga Negara Indonesia dan 1.210 Warga keturunan Cina dan 4 jiwa Warga Negara Asing.

Dilihat dari kepadatan penduduk terlihat bahwa kepadatan tertinggi berada di Dusun Tanjung Kedabu. Hal ini terjadi karena banyaknya pusat industri seperti sagu, kerupuk ikan maupun kelong pengolahan ikan di desa Tanjung Kedabu yang pemiliknya warga keturunan. Oleh karena itu warga keturunan Cina lebih memilih menetap di dusun Tanjung Kedabu.

Sturtur penduduk yang mencakup komposisi penduduk menurut umur, jenis kelamin, mata pencaharian, tingkat pendidikan, dan komposisi penduduk menurut pemeluk agama di desa Tanjung Kedabu.

Komposisi menurut umur dan jenis kelamin di wilayah desa Tanjung Kedabu dalam penelitian ini dikelompokan atas dua kelompok yaitu usia di bawah 15 tahun dan usia di atas 15 tahun. Pengelompokan ini didasarkan pada asumsi produktivitas kerja. Kelompok penduduk usia di bawah 15 tahun

(21)

merupak penduduk non produktif, sedangkan penduduk usia di atas 15 tahun merupakan penduduk produktif.

Data tahun 1996/1997 kelompok penduduk usia produktif di desa Tanjung Kedabu berjumlah 2.607 jiwa, dengan perincian jenis kelamin laki-laki sebanyak 943 jiwa dan wanita sebanyak 896 jiwa. Sedangkan usia penduduk non produktif berjumlah 1.212 jiwa. Rincianya adalah sebagai berikut; laki-laki berjumlah 885 jiwa dan wanita 690 jiwa. Golongan umur usia produktif yang terbanyak yaitu golongan umur 19-25 tahun. Sedangkan unutk usia nonproduktif yang terbanyak di desa Tanjung Kedabu terletak pada golongan umur 7-12 tahun yaitu sebanyak 924 jiwa.

Sedangkan perubahan jumlah penduduk terjadi antara lain karena adanya kelahiran. Di desa Tanjung Kedabu tiap tahun wanita ( 20 jiwa ) lebih banyak lahir dibanding laki-laki ( 17 jiwa ). Penduduk keluar atau pergi menunjukan bahwa laki-laki lebih banyak ( 11 jiwa ) di bandingkan wanita ( 6 jiwa ).

Sementara itu untuk penggolongan usia rata-rata penduduk desa Tanjung Kedabu yaitu kurang dari 12 bulan sebanyak 85 orang, 13 bulan-3 tahun sebanyak 199 orang, 13 bulan-5 tahun sebanyak 185 orang. Rasio penggolongan umur ini sekaligus juga dapat memperlihatkan bagaimana tingkat kesehatan masyarakat secara umum di desa Tanjung Kedabu tergolong baik. Hal ini dibuktikan oleh angka penduduk meninggal dunia rata-rata 2 orang per tahun.

Menurut rasio penduduk antara jumlah penduduk laki-laki dengan jumlah penduduk wanita tampak lebih banyak laki-laki yakni 1.831 jiwa, sedangkan jumlah penduduk wanita berjumlah 1.475 jiwa. Sementara itu angkatan kerja yang ada di desa ini berjumlah 2.742 orang.

C. Mata Pencaharian

(22)

terdiri atas; petani kebun, nelayan, pedagang, industri, jasa, buruh kasar, pegawai negeri / ABRI serta mata pencaharian lainya. Kegiatan utama penduduk desa Tanjung Kedabu terutama di sektor pertanian dalam artian luas, yaitu sub sektor perkebunan 347 orang, sub sektor peternakan 228 orang, dan sub sektor perikanan / nelayan 282 orang. Selain itu struktur mata pencaharian penduduk desa Tanjung Kedabu juga terletak pada sub sektor industri kecil / kerajinan yang berstatus lebih banyak sebagai buruh industri yang berjumlah 34 orang. Sebaliknya pencaharian penduduk bergerak pada bidang lain seperti; jasa angkutan ( ojek ), pegawai negeri / ABRI dan kegiatan lainya, secara keseluruhan berjumlah 21 orang.

Pada sub sektor perkebunan, dilihat dari status pemilikan lahan penduduk Cina desa Tanjung Kedabu lebih banyak ber status sebagai pemilik tanah yaitu berjumlah 243 orang. Sedangkan buruh perkebunan hanya berjumlah 104 orang. Umumnya masyarakat desa ini memiliki lahan seluas 0,5-1 Ha yaitu berjumlah 169 orang. Sedang yang memiliki lahan lebih dari 10 Ha sebanyak 32 orang. Penggunaan lahan perkebunan lebih banyak unuk jenis tanaman kelapa ( perkebunan rakyat ) seluas 320 Ha. Karet seluas 291 Ha. Kondisi perkebunan tergolong baik. Pada posisi pekerja pembersih kebun kelapa inilah terutama penduduk ( melayu ) bekerja sebagai buruh tani pada kebun kelapa warga keturunan Cina. Karena itu jumlah status kepemilikan kebun di desa Tanjung Kedabu pada status buruh perkebunan cukup tinggi. Pada sub sektor peternakan, umumnya masyarakat desa Tanjung Kedabu berternak ayam ( 270 ekor ), itik / bebek ( 97 ekor ), dan babi ( 67 ekor ). Dilihat dari status kepemilikan pada jenis ternak ayam, lebih banyak penduduk desa memilikinya sendiri yaitu 117 orang, sedangkan untuk jenis ternak kambing, masyarakat desa ( Melayu ) yang memiliki status pemilik hanya 27 orang, demikian pula untuk ternak itik berjumlah 30 orang. Demikian pula halnya usaha

(23)

perikanan, masyarakat desa Tanjung Kedabu bekerja sebagai buruh penangkap ikan berjumlah 240 orang. Artinya mas-yarakat pun umumnya bukan pemilik dari ikan yang diolahnya. Sedangkan pemilik umumnya para “tauke “ yang tinggal di pelantar. Prasarana kenelayanan yang tersedia di desa Tanjung Kedabu terdiri dari empat kapal penangkap ikan, perahu motor 62 buah, sedangkan teknologi pengolahan yang sering pakai untuk mengolah ikan adalah jenis teknologi matahari sebanyak 42 orang dan es sebanyak 28 orang pengusaha ikan.

Dilihat dari kualitas angkatan kerja desa Tanjung Kedabu lebih banyak tamat SD, yaitu berjumlah 1.230 orang dari keseluruhan angkatan kerja desa. Selebihnya tidak tamat SD sebanyak 922 orang, tamat SLTP 77 orang, SLTA sebanyak 18 orang dan Akademik sebanyak 2 orang. Berdasarkan gambaran kualitas angkatan kerja tersebut, kualifikasi kerja yang dapat dikerjakan angkatan kerja desa lebih banyak pada tingkat bawah. Karena itu motivasi pendidikan perlu dilaksanakan, mengingat peluang ekonomi terutama di hutan batas.

D. Tingkat Pendidikan

Di Desa Tanjung Kedabu prasaran pendidikan SD sebanyak 2 buah gedung dan SLTP terbuka sebanyak 1 gedung. Dibukanya SMP terbuka di desa ini dimaksudkan guna me-nampung lulusan SD yang tidak mampu melanjutkan ke daerah lain seperti Selat Panjang, karena alasan ekonomi.

Pendidikan penduduk desa Tanjung Kedabu umumnya tidak tamat SD yaitu sekitar 1.500 orang. Sedangkan yang tamat SD 1.265 orang, selanjutnya yang tamat SLTP berjumlah 360 orang dan tamat SLTA berjumlah 50 orang.

Sementara perbandingan guru dan murid di desa Tanjung Kedabu untuk murid SD 1:5 sedangkan untuk SLTP 1:30. Ratio perbandingan murid dan guru tersebut memperlihatkan

(24)

bagai-mana pentingnya penambahan guru-guru terutama guru Agama Islam. Dari berbagai informasi, guru Agama Islam sangat diharapkan di desa Tanjung Kedabu. Karena memang sampai saat ini belum ada Guru Agama.

Rincinya tingkat pendidikan penduduk di desa Tanjung Kedabu adalah sebagai berikut: tamat SD/sederajat laki-laki berjumlah 760 orang dan wanita 505 orang, tamatan SLTP laki-laki berjumlah 204 orang dan wanita berjumlah 156 orang, tamatan SLTA berjumlah 150 orang terdiri dari laki-laki 97 orang wanita 53 orang.

Secara umum problem pendidikan penduduk di desa Tanjung Kedabu antara lain ditandai oleh banyaknya remaja putus sekolah SD yaitu berjumlah 245 orang, remaja putus sekolah SLTP sebanyak 133 orang, remaja putus sekolah SLTA berjumlah 83 orang. Tingginya tingkat angka remaja putus sekolah di desa ini nampaknya cenderung dipengaruhi oleh faktor ekonomi keluarga. Gejala ini terlihat dari kecenderungan anak putus sekolah bekerja di kelong ( penangkapan ikan ).

Sementara itu di desa Tanjung Kedabu terdapat sejumlah 408 orang ibu rumah tangga. Dari jumlah tersebut terdapat 311 ibu yang tidak tamat SD, sedangkan yang tamat SD berjumlah 65 orang, ibu rumah tangga yang tamat DLTP 29 orang, tamatan SLTA sebanyak 3 orang. Berdasarkan pendidikan ibu rumah tangga desa Tanjung Kedabu tersebut, terlihat perlunya upaya peningkatan pendidikan ketrampilan ibu rumah tangga guna meningkatkan pendapatan keluarga di Tanjung Kedabu.

E. Agama

Agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk di desa Tanjung Kedabu yaitu agama Islam sebesar 92,07 %, sedang-kan pemeluk agama lainya merupasedang-kan minoritas seperti Kristen sebesar 0,89 %. Rincianya adalah penganut agam Islam

(25)

sejumlah 2.434 orang, Kristen sejumlah 14 orang dan Budha berjumlah 811 orang.***

(26)

Bab 3

(27)
(28)

Bab 3

POTENSI DESA

A. Aspek Sosial Budaya

Secara historis, Desa Tanjung Kedabu didirikan sekitar tahun 1914. Kota Kedabu bermula dari nama tumbuhan “Bina-tang Kedabu “ yang tumbuh di tepi pantai desa. Tumbuhan ini ditemukan oleh seorang dari “Negeri Seberang“ (Malaysia) yang namanya dikenal sebagai Pak Jamahat. Semula Pak Jamahat ingin membuka hutan di Desa Telesung sekitar 13 Km jaraknya dari Tanjung Kedabu ke arah barat. Namun lama kelamaan, karena Tanjung Kedabu wilayahnya memanjang ke tepi pantai, sehingga banyaklah orang sebelum ke Negeri Seberang atau ke daerah lain di Rangsang terlebih dahulu beristirahat di Tanjung Kedabu. Akhirnya lama kelamaan ada pula yang menetap, dan berkembanglah sebuah pemukiman, baik di darat maupun di tepi pantai atau pelantar, yaitu etnik Cina yang bekerja sebagai nelayan.

Dalam perkembanganya Tanjung Kedabu barulah di-lengkapi bangunan-bangunan mulai dari gudang garam, pos Polisi, dan sebagainya. Pada tahun 1942 pecahlah perang

(29)

Jepang melawan Sekutu dan desa ini pun tidak luput dari sera-ngan Jepang, sehingga bangunan yang ada tidak luput dari serangan Jepang yang berbasis di Singapura.

Di Tanjung Kedabu sekurang-kurangnya terdapat lima etnik yang dianggap asli adalah Suku Melayu, Jawa, Bugis, Akit, dan Cina (WNI dan WNA ). Seperti halnya untuk daerah Riau, Suku Melayu di Tanjung Kedabu dan Rangsang pada umumnya merupakan warisan dari salah satu Kerajaan Melayu Riau sebelum Republik Indonesia Merdeka. Kerajaan-kerajaan tersebut seperti Kerajaan Riau-Lingga, Indragiri, Siak Sri Indrapura, Pelalawan, Kuantan, dan lain-lain. Terutama untuk Suku Melayu di Tanjung Kedabu, suku ini lebih banyak berasal dari Kerajaan Siak Sri Indrapura.

Datangnya suku-suku lain (perantau) selain Suku Melayu ke desa ini, telah dimulai sejak dahulu kala. Sebagai contoh perantau Jawa di Tanjung Kedabu diperkirakan sudah sejak tahun 1791. Kedatangan suku perantau di wilayah ini di-perhitungkan lebih oleh karena tarikan potensi alam dan letak yang strategis Pulau Rangsang secara ekonomi. Potensi ikan dan udang yang besar menolong nelayan-nelayan yang me-netap di Singapura dan Malaysia sebagai negara terdekat untuk menetap di daerah ini. Potensi tersebut didukung oleh jalur perdagangan yang strategis, baik di tingkat regional maupun internasional. Apalagi didukung oleh kondisi sosial politik dan pertahanan keamanan relatif terjamin. Pada akhirnya timbul-lah unit-unit usaha perdagangan baru di daerah ini guna me-menuhi kebutuhan seluruh masyarakat, terutama disesuaikan dengan potensi ekonomi yang ada. Sebagai misal, tumbuhnya perkebunan kelapa, sagu, dan karet, karena kondisi tanah di Tanjung Kedabu sangat memungkinkan.

Oleh karena etnik yang dominan di desa ini dari Suku Melayu, maka adat istiadat yang dipakai tentunya tetap me-ngacu pada adat/tradisi Melayu, terutama Melayu Siak Sri Indrapura. Adat istiadat dan tradisi masyarakat Melayu sampai

(30)

saat ini masih terlihat misalnya melalui adat perkawinan desa, kesenian desa, dan makanan khas serta pakaian adat masyarakat. Adat perkawinan masyarakat Tanjung Kedabu lebih ber-orentasi kepada adat perkawinan yang dipakai oleh Kesultanan Siak, yaitu adat perkawinan yang menonjolkan nilai religius di samping nilai tradisi yang berkembang di tengah masyarakat ketika itu. Misalnya, pengantin menyembah kedua orang tua, tepung tawar, berinai dan sebagainya. Perbedaan memang ada pada prakteknya. Misalnya pengantin di desa ini baru boleh mandi beberapa hari setelah perkawinan. Sedangkan dalam hal kesenian desa pun tradisi seni Melayu tampak dominan. Hal ini tercermin dari jenis kesenian desa yang berkembang seperrti contohnya; tari zapin, musik gambus, kompang dan lain-lain.

Demikian pula halnya pada makanan khas Melayu sangat terasa baik dalam jenisnya ataupun penggunaannya. Makanan khas memang akhirnya disesuaikan dengan potensi desa yang ada saat ini seperti kelapa, sagu, ubi, dan lain-lain. Makanan khas tersebut adalah kue bangkit (khasnya di Tanjung Kedabu kue bangkitnya besar-besar dan dimakan terutama pada acara keluarga perkawinan), kue bingko dari tepung ubi, mie sagu lemak di campur kelapa, sagu rendang, sagu-saguan, dan lain-lain.

Kesamaan akan budaya dan suku antar masyarakat Tanjung Kedabu khusunya dengan masyarakat yang ada di Malaysia (Batu Pahat, Johor). Sekaligus telah memperlihatkan pula bahwa terdapat hubungan kekerabatan yang erat di antara kedua wilayah ini. Hal ini terbukti bahwa banyak anggota masyarakat yang masih memiliki hubungan keluarga di Malaysia. Fakta ini tidak hanya terjadi pada Puak Melayu, tetapi termasuk pula masyarakat Tiong Hoa (Cina) di desa ini. Hubungan kekerabatan ini amat menonjol terutama di saat sebelum konfrontasi melalui perdagangan “smokel“ antar ke dua wilayah ini dan sampai saat ini hubungan tersebut masih

(31)

terjalin terutama melalui surat menyurat atau sekali melalui “smokel“.

Kesamaan sejarah, tradisi, dan sistem kebudayaan inilah yang mengkaitkan hubungan kultural yang tetap berlangsung antara Tanjung Kedabu dan Malaysia. Dan gejala ini dapat saja terjadi pada daerah Riau umumnya, terutama dalam hal untuk daerah Riau Kepulauan.

B. Aspek Ekonomi

Desa Tanjung Kedabu adalah sebagai salah satu kawasan/ desa potensial dalam sektor kegiatan ekonomi di Kecamatan Rangsang. Hal ini dapat terlihat dari berbagai kegiatan ekonomi yang berlangsung di daerah ini. Untuk itu, guna mendukung struktur perekonomian Tanjung Kedabu perlu mengidentifikasi berbagai potensi ekonomi yang ada.

1. Sektor Pertanian

a. Sub-Sektor Perkebunan

Sub sektor pertanian yang berkembang dalam kegiatan ekonomi desa Tanjung Kedabu adalah sub sektor perkebunan kelapa, karet, dan sagu. Luas lahan perkebunan seluas 611 Ha. Rincianya kebun kelapa seluas 320 Ha, kebun karet 291 Ha, dan kebun sagu seluas 10 Ha. Adapun produktifitas perkebunan kelapa dapat mencapai 60 ton/Ha, karet menghasilkan 10 ton/ Ha.

Dilihat dari status pemilikan lahan perkebunan di desa Tanjung Kedabu adalah lebih banyak dimiliki oleh orang per orang sejumlah 347 orang dan buruh kebun berjumlah 104 orang. Dalam pengolahan kelapa, potensi ini masih belum termanfaatkan. Pengolahan masih tertuju pada pembuatan kopra dan minyak makan. Sedangkan teknologi pengolahan air kelapa, daun kelapa, tempurung dan sabut sampai saat ini belum termanfaatkan bagi mendukung struktur pemekaran desa.

(32)

b. Sub-Sektor Perikanan

Usaha pemanfaatan potensi laut secara langsung telah dimanfaatkan oleh penduduk Cina setempat dengan memulai penangkapan ikan di sekitar perairan terdekat, baik dengan cara tradisional maupun dengan cara penangkapan yang lebih modern. Adapun potensi perikanan terletak pada pantai/laut. Jenis hasil tangkapan unggulan adalah udang belah dengan jumlah tangkapan 120 ton/tahun. Selain itu ikan kecil 120 ton/ tahun seperti ikan kurau, ikan lemai.

Teknologi pengolahan yang digunakan adalah pengeri-ngan matahari dan menggunakan batu es. Hasil ikan dan udang yang telah diolah tersebut dapat menjadi ikan asin, udang belah, udang kering, udang pepai, kerupuk udang, belacan dan lain-lain.

Umumnya masyarakat Tanjung Kedabu di sub sektor perikanan bekerja sebagai buruh perikanan/ penangkap ikan saat ini berjumlah sekitar 240 orang. Sedangkan pemilik usaha perikanan (kelong) hampir 100 persen dimiliki etnik Cina. Prasarana yang tersedia di Tanjung Kedabu terdiri dari empat kapal penangkap ikan dan 62 perahu motor.

c.Sub-Sektor Peternakan

Jenis ternak yang diusahakan oleh sebagian besar penduduk adalah kambing, ayam, dan itik. Semua jenis usaha tersebut pada umumnya sebagai usaha sampingan dan selain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka men-jual ke pasar guna mendukung pendapatan ekonomi keluarga. Tahun 1996/1997 terdapat 942 ekor ternak yang rincianya; kambing sebanyak 230 ekor, ayam berjumlah 548 ekor, babi 67 ekor, dan itik 97 ekor. Secara keseluruhan jumlah pemilik-nya berjumlah 206 orang.

(33)

masih bersifat tradisional. Dan sistem penjualan hasil ternak baik telur ataupun daging dilakukan secara langsung ke kon-sumen.

2. Sektor Industri

Jenis kegiatan industri yang telah ada di Tanjung Kedabu hingga tahun 1997 adalah industri skala sedang dan indistri kecil. Terdapat 2 industri sagu dengan menyerap tenaga kerja rata-rata 15 orang. Industri kecil terdiri dari industri anyaman, kerupuk udang, terasi, secara keseluruhan menyerap sebanyak 1.069 tenaga kerja masyarakat desa.

3. Sektor Perdagangan

Desa Tanjung Kedabu memiliki potensi lokasi yang stra-tegis, karena terletak berhadapan langsung dengan Malaysia (Batu Pahat), Tanjung Balai Karimun, dan Batam. Posisi ter-sebut dapat mendorong arus barang dan jasa di daerah ini apabila didukung oleh sarana transportasi dan komunikasi. Di desa ini tahun 1997 telah terdapat berbagai lembaga-lembaga pemerintahan yang memudahkan perdagangan seperti Syahbandar, Bea Cukai, Asosiasi Perikanan, Angkatan Laut, Polisi serta Babinsa. Lembaga-lembaga ini tentunya dapat mendorong lajunya arus perdagangan di daerah ini. Mengingat di Tanjung Kedabu terdapat potensi alam/ekonomi; kelapa, gula merah, sagu, ikan, kayu, dan sebagainya.

4. Sektor Pariwisata

Potensi kepariwisataan yang dapat dikembangkan di Tan-jung Kedabu adalah wisata alam, yaitu wisata Pantai dan Darat. Akan tetapi kedua objek wisata tersebut belum

(34)

di-kembangkan dan masih memerlukan berbagai sarana pen-dukung terutama jaringan jalan ke lokasi wisata.

Bertolak dari uraian di atas, tampak bahwa Tanjung Kedabu pada prinsip memiliki berbagai potensi ekonomi yang layak dikembangkan bagi mendukung ekonomi masyarakat tempatan. Meskipun sampai akhir Juli 1997 perekonomian desa ini masih tertumpu pada sub sektor perkebunan dan perikanan.

C. Aspek Politik

Secara administratif desa Tanjung Kedabu adalah wilayah Negara Republik Indonesia. Sebagai suatu unit politik Tanjung Kedabu terikat dengan berbagai ketentuan perundangan yang berlaku di Indonesia. Sementara itu apabila dilihat sebagai unit ekonomi, desa secara tidak langsung telah terintegrasi dengan wilayah pengaruh ekonomi Malaysia. Mengingat perkemba-ngan ekonomi di kawasan ini terutama setelah dibukanya kerjasama ekonomi antara Indonesia-Malaysia-Singapura (IMS-GT).

Kedekatan wilayah geografis Tanjung Kedabu dengan wilayah Malaysia secara politis dapat dilihat sebagai suatu potensi karena apabila dikelola akan dapat mendatangkan berbagai keuntungan ekonomi maupun politik di kawasan ini. Keuntungan ekonomi diperoleh apabila mengingat perkem-bangan dan pertumbuhan ekonomi Malaysia setahun terakhir ini. Mempertimbangkan potensi alam di Tanjung Kedabu yang relatif dapat memenuhi kebutuhan Batu Pahat Malaysia ter-utama untuk tanaman perkebunan dan perikanan yang di-dorong pula oleh potensi Pulau Rangsang umumnya. Nilai politik yang diperoleh Indonesia dari perkembangan ekonomi di kawasan ini antara lain akan dapat meningkatkan keper-cayaan internasional untuk dapat lebih menanamkan investasi ke Indonesia khususnya ke Pulau Rangsang dan Tanjung Kedabu. Hal ini dapat terjadi karena para investor melihat

(35)

faktor “security“ yang terjadi di Indonesia relatif aman bagi mereka menanamkan modal. Investasi ini akan bermanfaat bagi Indonesia untuk melaksanakan pembangunan yang membutuhkan modal dasar dan teknologi. Akhirnya diharap-kan adiharap-kan meningkatdiharap-kan ekonomi masyarakat.

Upaya untuk menciptakan rasa aman ini telah ada di Tanjung Kedabu. Hal ini terlihat dari kehadiran lembaga-lembaga pemerintahan dan kerja sama antar lembaga-lembaga Peme-rintahan Indonesia dengan Malaysia. Di desa ini sudah ada Asosiasi masyarakat Nelayan, Syahbandar, Kamla (keamanan laut), Polisi, Bea Cukai, Babinsa, Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Aparat Pe-merintahan Desa. Kehadiran lembaga-lembaga pePe-merintahan ini akan memperkuat “bergaining“ anggota masyarrakat dalam memperjuangkan berbagai kepentingannya terutama di laut. Kedekatan wilayah geografis dapat pula akan menjadi sumbu konflik apabila tidak dikelola secara bersama. Sumbu konflik dapat bersumber dari dua hal. Dari dalam masyarakat masalah integrasi politik baik secara vertikal ataupun hori-zontal. Secara vertikal masalah bagaimana menjadikan setiap anggota masyarakat tunduk pada kepentingan negara, secara horizontal masalahnya hubungan antar sesama anggota masyarakat.

Di Tanjung Kedabu selain terdapat etnik asli, terdapat pula etnik perantau terutama warga keturunan Cina. Etnik ini selain hidup sehari-hari (tempat tinggal) cenderung mengelompok. Mereka juga terdiri dari para pemilik modal dan fasilitas ekonomi. Dalam kehidupan sehari-hari, secara ekonomi mas-yarakat Melayu dan perantau lainnya amat tergantung dengan para “touke“. Kondisi demikian telah menciptakan kesenjangan sosial ekonomi. Proses ini apabila berlangsung terus dikha-watirkan akan dapat memicu gejolak sosial politik. Hal ini dapat terjadi karena perbaikan pendidikan dan informasi terutama dari luar. Karena itu diperlukan upaya pembinaan intensif,

(36)

menyangkut pembangunan politik bangsa terutama untuk masyarakat Cina.

Sementara itu, sumber konflik dari luar karena kedekatan geografis dapat berawal dari berbagai perbedaan “kepentingan“ antar negara dan cara menangani perbedaan tersebut. Misal-nya dalam hal penangkapan ikan di laut. Meskipun sudah satu pengaman laut masing-masing negara selalu siaga, mungkin saja pelanggaran kawasan ekonomi masing-masing negara oleh negara lain terjadi. Sanksi yang diberikan tentunya sesuai dengan hukum positif yang berlaku di negara yang bersang-kutan. Dalam menyelesaikan perbedaan kepentingan dan menyeleksi masalah perlu diadakan perundingan agar tidak terjadi gejolak seesuai politik di masing-masing negara.

D. Keterkaitan Masyarakat 1. Aspek Sosial Budaya

Di Desa Tanjung Kedabu sekurang-kurangnya terdapat lima etnik suku, dimana etnik yang dianggap asli daerah adalah Suku Melayu. Keempat suku seperti Melayu, Bugis, Jawa dan etnik Cina ( keturunan WNI atau WNA ). Seperti halnya daerah lainya di Riau, Suku Melayu di Tanjung Kedabu merupakan warisan dari salah satu Kerajaan Melayu Riau, sebelum ke-merdekaan Republik Indonesia. Kerajaan-kerajaan tersebut secara historis memiliki hubungan kultural dengan kerajaan di Malaka dan Johor di Malaysia, dan Singapura. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah Kerajaan Riau-Lingga, Indragiri, Siak Sri Indrapura, Pelalawan, kuantan dan lain-lain.

Sampai saat ini hubungan kultural antar suku di dua daerah tersebut, yaitu Tanjung Kedabu dan Malaysia terutama Batu Pahat (Johor) masih terlihat. Hubungan tersebut ditandai oleh kesamaan gaya bahasa (dialek), jenis kesenian yang berkembang dan beberapa peninggalan-peninggalan budaya. Hubungan kultural ini telah terjalin terus menerus di kawasan

(37)

iniyang berintegrasi ddengan suku-suku perantau lain yang datang ke Tanjung Kedabu khususnya dan Pulau Rangsang pada umumnya.

Bagi masyarakat Tanjung Kedabu keterkaitan budaya dengan masyarakat Melayu di Malaysia telah dimulai sejak abad XV dan menonjol terutama adanya polka perdagangan tradisional “smokel“. Tapi kira-kira pada awal tahun 80-an pola perdagangan ini secara perlahan menurun meskipun masih ada hingga saat ini. Hanya intensitas arus barang yang lewat lintas batas kedua wilayah ini semakin berkurang. Hal ini dapat terjadi oleh karena ketatnya dan risiko penjagaan laut yang harus dihadapi oleh para pelintas dari Tanjung Kedabu. Risiko tersebut, baik berupa uang (materi) atau ditangkapnya penye-berang beserta alat tangkapanya.

Pola perdagangan “smokel“, yaitu cara masyarakat desa menjual barang lintas batas tanpa dokumen atau kontrak ke Malaysia atau negara lainya yang berdekatan. Biasanya jenis barang atau komoditi yang dijual terutama jenis barang yang merupakan hasil perkebunan rakyat desa seperti kelapa bulat, gula merah, karet basah, sagu, kan segar, dan ikan asin.

Melalui “smokel“ ini masyarakat desa dalam kenyataan pada waktu itu, bebas bepergian di kawasan ini baik ke Singa-pura ataupun ke Malaysia. Dalam masa kebebasan bepergian inilah banyak penduduk desa selain berdagang juga ada yang tinggal menetap di Malaysia. Akhirnya ada pula yang ber-ke-luarga dan berkarya di negara tetangga. Namun masa “smokel“ ini terhenti ketika terjadi konfrontasi antara Malaysia dan Indonesia. Menurut beberapa keterangan, Tanjung Kedabu adalah salah satu desa yang merupakan basis perjuangan tentara Indonesia.

Pada masa konfrontasi tersebut, berbagai pintu masuk ke Malaysia ditutup apalagi untuk warga Indonesia. Sebagai konsekuensi logis dari peristiwa ini banyak warga Indonesia

(38)

termasuk dari Tanjung Kedabu yang telah menetap dan ber-keluarga terpaksa harus bertahan di Malaysia dan akhirnya mereka secara administratif telah pula mendapat keabsahan sebagai penduduk Malaysia. Dengan demikian, antara warga Malaysia dan penduduk Tanjung Kedabu terdapat keterkaitan (hubungan keluarga atau famili). Adanya keterkaitan hubu-ngan daerah dan kultural inilah yang menyebabkan dalam banyak hal antara kedua kawasan memiliki kesamaan.

Setelah masa konfrontasi berakhir, kaitan hubungan kultural ini apabila dilihat dari intensitas kunjungan antara penduduk memang berkurang. Meskipun setelah beberapa tahun sedikit menaik kembali. Perkembangan kunjungan ini antara lain disebabkan oleh adanya ketentuan-ketentuan hutan batas yang ditetapkan kedua negara. Misalnya kebijaksanaan kepabeanan telah secara tidak langsung menekan selektivitas kunjungan terutama bagi masyarakat desa. Hal ini dapat terjadi karena memang mereka tidak tahu menahu mengenai keten-tuan tersebut. Padahal di tengah laut mereka harus berha-dapan dengan urusan-urusan demikian.

2. Aspek Politik

Elit politik masyarakat Desa Tanjung Kedabu, seperti masyarakat Riau umumnya cenderung menunjukkan kesetiaan yang tinggi pada komunitasnya. Hal ini tentu dinilai sangat positif berhubung letak geografis daerah ini sebagai daerah perbatasan yang berhadapan langsung dengan negara tetangga, Singapura dan Malaysia. Sehingga masyarakat Tanjung Kedabu memiliki rumpun bahasa yang sama dengan Malaysia. Sehingga mendukung pula interaksi yang berlangsung.

Elit politik Tanjung Kedabu sebenarnya sangat tanggap dengan kepentingan masyarakat daerahnya. Pernah terjadi pelanggaran kapal nelayan desa di tengah laut kawasan Indo-nesia oleh nelayan Malaysia. Hingga kapal motor (pompong)

(39)

nelayan Indonesia tenggelam dan tiga orang awak selat. Dengan kondisi demikian, elit politik desa sangat prihatin dengan peristiwa itu dan berusah mencari jalan keluarnya. Namun demikian harus pula diakui secara umum para elit desa dan birokrat desa dalam banyak hal perlu peningkatan kualitas diri dan fasilitas kerja agar dapat berkomunikasi dengan pihak luar.

E. Rekomendasi Pengembangan Model 1. Model Pembinaan Sosial Budaya

Umumnya warga keturunan Cina, yaitu berjumlah 1.210 orang atau sekitar 42 persen dari jumlah penduduk Tanjung Kedabu 3.326 orang, tinggal terpisah dari penduduk asli Melayu dan perantau lainya. Warga keturunan Cina cenderung me-milih tinggal di pelantar tepi laut dan etnik Melayu dan peran-tau lainnya memilih menetap di darat (kebun). Keterpisahan ini akan menyulitkan komunikasi dan sosialisasi sehari-hari. Karena memang selain mereka berjauhan juga karena kesibu-kan kerja melaut hingga satu minggu baru pulang ke rumah. Padahal kesamaan sosial budaya ini potensi yang harus di-kembangkan guna memanfaatkan perkembangan ekonomi di kawasan ini. Untuk itu dibutuhkan pembinaan sosial budaya melalui pendekatan dinamis melalui:

a. Pengaturan penyebaran penduduk agar tidak terpusat pada kawasan tertentu.

b. Menciptakan kerja sama sosial antar warga keturunan Cina “touke“ dengan etnik Melayu dan perantau lainya dalam suatu wadah pendidikan dan keterampilan.

Sementara itu dalam bidang pendidikan perlu memotivasi siswa untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi dan mening-katkan kualitas pendidikan, yaitu dengan cara:

a. Mendatangkan Guru Agama Islam ke Sekolah Dasar b. Memasukkan koran desa.

(40)

2. Model Pembinaan Ekonomi

Ekonomi masyarakat Tanjung Keddabu masih terikat dengan ekonomi Malaysia. Keterkaitan itu terlihat pada seba-hagian bakau mentah hasil perkebunan dan perikanan yang dijual ke pasar Malaysia terutama Batu Pahat. Bahan mentah hasil perkebunan tersebut meliputi; kelapa bulat, gula merah, daun kelapa, lidi, kunyit, lengkuas, dan daun pisang. Hasil perikanan meliputi ikan basah, udang belah, udang pepay, dan hasil hutan berupa balok lampung.

Secara keseluruhan hasil-hasil produksi petani tersebut juga ada yang dijual melalui jalur ekspor ke Tanjung Balai Kari-mun. Tapi prosedurnya memerlukan waktu dan biaya. Padahal yang dijual ke Malaysia lebih banyak dilakukan dalam jumlah kecil, sehingga masyarakat terpaksa harus langsung menjual sendiri ke Malaysia. Petani membawa dalam waktu dua kali seminggu, besarnya barang yang dibawa rata-rata berkisar 200-500 Kg. Waktu keberangkatan biayanya pukul 17.00 WIB atau pukul 2.00 dini hari. Kota tujuan terutama Batu Pahat.

Untuk meningkatkan ekonomi masyarakat desa diperlu-kan model pendekatan kerjasama segitiga antara tauke, masyarakat petani, dan instansi terkait, yang dikoordinir oleh Pemerintahan Desa atau Kecamatan. Kegiatan ini meliputi: a. pembangunan sektor unggulan yang sesuai dengan potensi

dan keterampilan masyarakat desa. b. Bantuan kredit usaha bagi petani.

c. Kemudahan pengurusan dokumen ekspor bagi pengusaha untuk mengekspor komoditi ke luar kawasan.

3. Model Pembinaan Politik

Desa Tanjung Kedabu berhadapan langsung dengan negara tetangga Malaysia. Desa yang dihuni oleh 3.326 orang penduduk ini, sebagian besarnya adalah warga keturunan Cina

(41)

(WNI atau WNA). Selain jumlahnya relatif besar, pihak ini sangat mendominasi kekuatan ekonomi masyarakat. Selain itu pula, pihak ini tinggal terpisah dari masyarakat pribumi. Mereka cenderung memilih tinggal di pelantar-pelantar tepi pantai. Akibatnya tidak terjadi komunikasi politik timbak balik. Hal ini akan memberikan implikasi politik pada proses sosialisasi politik masyarakat desa yang sesuai dengan semangat dan ber-gaya politik nasional. Sebagai contoh misalnya penggunaan bahasa sehari-hari.

Untuk itu memang dibutuhkan suatu model yang tepat untuk mengoreksinya. Secara umum, model Bhineka Tunggal Ika, yaitu strategi pembentukan kesetiaan nasional yang tidak menghilangkan kebudayaan kelompok minoritas. Cara ini dilakukan:

a. Menyampaikan pengetahuan tentang nilai sistem politik yang berlaku (sivebrol-sivebrol nasional).

b. Pembentukan sistem pengamanan laut dengan melibatkan unsur nelayan (masyarakat).

c. Membangun masyarakat politik yangberpartisipasi.

d. Mengikutsertakan tokoh masyarakat baik dari warga ketu-runan maupun pribumi delam sosialisasi politik desa.***

(42)

Bab 4

FENOMENA

(43)
(44)

A. Birokrasi Tauke

Pembangunan Desa Tanjung Kedabu sepanjang yang dapat diamati tampaknya dilakukan dengan mengambil jalan Kapitalis. Artinya, negara selalu aktif mengusahakan agar masyarakat bekerja lebih giat dan menghasilkanoutput yang lebih dan sekedar cukup hidup. Dengan kata lain, birokrasi desa berfungsi menolong masyarakat menciptakan surplus bagi usaha inventaris (modal). Namun, upaya mendorong kapita-lisme ini kenyataannya membuat banyak masyarakat kelas desa yang dominan secara ekonomi “tauke” China. Sehingga proses produksi yang seharusnya dijalankan birokrasi desa dengan dukungan masyarakat beralih kepada pengandalan “tauke”. Fenomena ini jelas tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat. Akibatnya, etnik yang dominan secara ekonomi dan teknologi inilah yang cenderung memanfaatkan kondisi-kondisi yang konduktif bagi berkembangnya proses produksi. Dengan demikian, aparat hukum dan keamanan yang semula berfungsi sebagai pengembangan kepentingan dengan sendiri-nya mengintegrasikan diri dalam kelas yang dominan.

Bab 4

FENOMENA

(45)

Desa Tanjung Kedabu berpenduduk 3.326 Jiwa, 422 persen atau 1.210 jiwa adalah warga keturunan Cina (WNI dan WNA). Selain etnit Cina ini relatif besar, etnik ini juga menguasai dan mengendalikan kekuasaan ekonomi desa. Secara struktural, penguasaan dan pengendalian sumber daya sekitar desa oleh etnik Cina sudah dapat dilaksanakan terorganisir sedemikian rupa baik dilihat tempat (lokasi di pelantar-pelantar atau kelong) maupun sistim pengendaliannya melalui penentuan tarif. Aktor pengendali sistim ekonomi desa sehari-hari inilah para “tauke”. Kekuatan pengaruh tauke dalam proses produksi sangat ditentukan oleh sumber daya ekonomi yang dimiliki dan kaitan hubungan (akses) kekuasaan demokratis dan jaringan infor-masi dagang internasional (Malaysia atau Singapura). Tauke menguasai pemanfaatan lahan perkebunan dan potensi-potensi pembangunan desa utama. Penguasaan tauke terhadap potensi utama desa, tercermin dan jawaban responden peni-laian ini tentang status penipeni-laian lahan perkebunan.

Tabel 4.1. Status Penilaian Perkebunan oleh Tauke Cina

Sumber: Data Primer, 1999

Dilihat dan status pemilikan lahan perkebunan (kelapa dan sawit dan sagu) etnik dan sangat mendominasi terutama para Tauke (78%). Kondisi status pemilikan lahan perkebunan terjadi setidaknya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, kesulitan modal sehari-hari masyarakat umumnya hidup dan hasil perkebunan karet, sagu, kelapa dan juga dari hasil tang-kapan ikan. Produktivitas hasil mata pencaharian tersebut seringkali dihadapkan pada kondisi fluktuasi dan tidak me-nentu. Selain itu, letak desa dengan pusat-pusat pertumbuhan

No Status Jumlah Responden

1 2

Pemilik tanah perkebunan Buruh perkebunan

47 13

(46)

terdekat seperti Selat Panjang, dan desa-desa tetangga sangat berjauhan. Dan seringkali dihadapkan pada kondisi iklim dan cuaca. Akibatnya isolasi desa ini mempunyai harga jual barang kebutuhan sehari-hari (sandang-pangan). Pada awalnya pen-carian kebun dan ikan malah cenderung berkurang karena kendala persaingan teknologi. Disisi lain, keperluan pendidikan anak dan keperluan sandang pangan cenderung meningkat. Setelah upaya pribadi dilakukan biasanya masyarakat meng-adakan lahan perkebunan yang ada. Akhirnya, tanah perke-bunan yang terjual dan yang mampu membeli dan lebih cepat memiliki akses informasi adalah para Tauke Cina.

Kedua, desakan kepentingan yang kuat para tauke. Kesulitan ekonomi yang dihadapi masyarakat desa sendirinya memberi peluang bagi tauke Cina untuk menginventaris sesuai kepentingannya. Pada awalnya, desakan kepentingan tersebut terkesan sebagai usaha untuk mendorong bangkitnya ekonomi keluarga masyarakat. Melalui berbagai kemudahan tanpa prasyarat, suatu kesulitan ekonomi yang dihadapi masyarakat desa sudah dapat dipenuhi. Bahkan kadangkala masyarakat ditawari untuk lebih banyak menikmatinya. Namun, dalam perkembangannya niat baik “tauke” berubah sebagai “lingkaran setan” kemiskinan bagi masyarakat. Seringkali menghadapi atau memutus rantai lingkaran dilakukan masyarakat akhir-nya dengan cara menjual lahan perkebunan.

Dari kedua gambaran pengesahan status pemilikan lahan perkebunan dan masyarakat kepada para tauke tampaknya akan terus berulang-ulang. Implikasinya, masyarakat desa tidak saja tergantung secara ekonomi-finansial, tetapi juga secara politik, karena kondisi sosial ini telah mencerminkan terjadinya perubahan struktur normatif. Masalah besar ini, tidak saja dihadapi oleh generasi saat ini, tetapi lebih dirasakan oleh generasi masyarakat desa di masa yang akan datang. Sebab bagi masyarakat desa, tanah/lahan adalah suatu proses sejarah yang panjang, tidak saja memberi semangat

(47)

keber-samaan (nasionalisme) tetapi juga simbol keberhasilan yang dicapai. Karena itu, proses pergeseran status pemilikan lahan yang terlalu tinggi akan memberikan implikasi kesenjangan politik. Hal ini adalah salah satu sumber konflik di masa yang akan datang. Secara empiris, dapat dilihat dari data tabel di bawah ini tentang bagaimana kesenjangan pemilikan lahan apabila dilihat dan luas pemilikan lahan

Tabel 4.2. Luas Pemilihan Lahan Perkebunan/Perladangan Masyarakat

Sumber: Data Primer, 1999

Dari tabel luas pemilikan lahan di atas dapat diinfor-masikan bahwa luas lahan yang dimiliki oleh tauke Cina umumnya berkisar dari luas 3-10 Ha ke atas. Sedangkan etnik Melayu, Jawa, Minang, Bugis, dan sebagainya hanya memiliki lahan sekitar 0,5-2 Ha. Kebanyakan jumlahnya malah kurang dari 0,5 Ha. Hasil wawancara dapat disimpulkan kecilnya luas lahan yang dimiliki oleh etnik Melayu, karena sudah banyak sebahagian yang dijual guna mencapai hutang dan kepada para tauke Cina. Hal ini terjadi lebih disebabkan oleh karena etnik ini memiliki investasi (modal) dun juga karena sebe-lumnya sudah ada yang berhutang/meminjam uang pada

No Luas Lahan Jumlah Responden

1 2 3 4 5 6 7 8 Kurang dari 0,5 Ha 0,5 – 1,0 Ha 1,1, - 1,5 Ha 1,6 – 2,0 Ha 3 – 5 Ha 6 – 8 Ha 9 – 10 Ha Lebih dari 10 Ha 21 3 2 4 17 7 6 2 Jumlah 60

(48)

Tauke, sehingga waktu membayarnya dalam jumlah uang lebih besar dapat dilakukan dengan jalan menjual lahan. Dalam ke-nyataannya penjualan lahan ada yang dilakukan secara ber-tahap, tergantung pada luas lahan yang dimiliki.

Sementara itu, lahan yang sudah dibeli atau dimiliki tauke dalam kenyataannya tampak tidak dengan sendirinya dihuni oleh seorang tauke, tetapi tetap saja pengolahannya dilakukan oleh etnik Melayu. Tapi pengendalian dan pengaturan pe-manfaatan lahan sepenuhnya oleh tauke. Hasil kebun kelapa, karet, dan sagu sepenuhnya dimasukkan oleh tauke, hanya pengolahan saja oleh si pemilik semula. Sepanjang yang dapat diawasi hal ini dilakukan oleh tauke karena beberapa alasan.

Pertama, penguasaan sejak awal oleh etnik Melayu, sehingga diharapkan akan ada efisiasi dalam pengolahan hasil produk-tivitas. Proses ini berlangsung sepanjang etnik Melayu mampu berbuat jujur dengan para tauke dan dapat mudah diatur.

Kedua, alasan tenaga kerja yang murah dan ikatan ekonomi yang sudah terjalin sejak lama.Ketiga, pemilikan etnik Melayu yang sedang mengelola tanah memilih tauke juga bertuding politis dimana diharapkan strategi pengolahan ini dapat mem-bungkus keranjang di dalam masyarakat. Sehingga diharapkan dapat dengan sedikitnya meredam terjadinya konflik perta-nahan. Meskipun tampaknya dewasa ini strategi pemilikan dan pengelolaan lahan seperti ini sudah tidak populer lagi artinya sudah dikesali banyak orang.

Selain itu, potensi desa di samping hasil perkebunan seperti karet, kelapa, sagu, dan kayu, terdapat pula potensi perikanan, karena desa ini berada di pantai laut Sumatera perbatasan langsung dengan Malaysia dan Singapura. Peranan birokrasi tauke di bidang perikanan tampak jelas, karena pengorganisasian perikanan desa umumnya didominasi sistim penguasaantauke. Sedangkan pengaturan pemerintah selalu dihadapkan pada kesulitan transportasi, tenaga lapangan dan tidak berfungsinya lembaga-lembaga Perikanan (Koperasi). Hal

(49)

ini terjadi tampaknya lebih disebabkan oleh berbelit-belitnya birokrasi pemerintah dalam hal pengaturan perikanan, se-hingga seringkali tidak relevan dengan prokdukivitas dan efesiensi kerja nelayan sehari-hari. Dalam kondisi demikian, birokrasi tauke dengan segala kesiapannya memanfaatkan kondisi untuk dapat bertahan. Dari 62 perahu motar/ pom-pong, 58 buruh adalah milik tauke. Sedangkan status pe-milikan usaha perikanan dapat dilihat dan jumlah responden di bawah ini.

Tabel 4.3. Pemilikan Usaha Perikanan

Sumber: Data Primer, 1999

Dari wawancara diperoleh informasi bahwa umumnya masyarakat desa, terutama pemuda/pemudi, dalam hal pe-manfaatan lebih berkedudukan sebagai buruh penangkap ikan. Mereka bekerja di kelong-kelong atau pelautan usaha pe-nangkapan ikan milik tauke China. Gaji diterima dapat perhari Rp 7.500. Pekerjaan setiap hari mulai dan pukul 6.00 Wib hingga sekitar pukul 17.30 Wib. Bahkan jika bekerja di kelong ikan (tengah laut) dapat selama 1 minggu/1 bulan bawa kem-bali ke desa. Karena itu masalah pendidikan dan agama (iba-dah) adalah hal yang sangat mendasar mengingat pekerjaan buruh tangkap ikan yang bekerja relatif murah.

Sementara itu, apabila dilihat dari aspek pengolahan tek-nologi tangkapan ikan di Desa Tanjung Kedabu umumnya menggunakan matahari sebagai energi utama pengeringan dan pengawetan dipakai es batu. Karena itu hasil tangkapan ikan desa ini tidak dapat terlalu lama dijual. Komoditas ikan segar akan segera dijual jika tidak akan membusuk atau hanya dibuat ikan asin. Persoalannya pengolahan ikan asin agak kurang

No Katagori Pemilik Jumlah Responden

1 2 Tauke Cina Pribumi 58 2 Jumlah 60

(50)

menguntungkan nelayan, karena harga dasar penjualan jauh berbeda dengan ikan segar. Udang segar yang diekspor (dijual) ke Singapura atau Malaysia berkisar Rp. 25.000-45.000/Kg. Penjualan/pemasaran hasil perikanan hasil laut desa ini dijual ke pengecer atau tauke. Penjualan hasil tangkapan sepenuhnya di atas melalui birokrasi Tauke. Hal ini terjadi selain lokasi pen-jualan Koperasi Unit Desa atau Tempat Pelelangan Ikan (TPI) berjauhan, yaitu Selat Panjang atau Tanjung Balai Karimun.

Jika melakukan penjualan langsung ke Malaysia dan Singapura masyarakat nelayan sepertinya tidak mampu, sebab transaksi penjualan ke negara tetangga itu selain melalui birok-rasi negaranya yang berbelit-belit, juga terbentur dengan modal awal. Transaksi di tengah laut pun nelayan tidak mampu. Pen-jualan ikan ke Malaysia dan Singapura memerlu-kan uang minimal Rp. 2.000.000. Uang ini guna pengurusan dokumen-dokumen. Jika tidak dipenuhi hasil penangkapan ikan akan ditahan, karena bersifat barang ilegal. Padahal nelayan hanya mampu membawa ikan ke Malaysia atau Singapura maksimal rata-rata 250-400 Kg, sesuai hasil tangkapan dengan teknologi tradisional.

Dalam kondisi demikian, tauke China yang seringkali dapat kesempatan intervensi negara ke wilayah ini. Sementara itu masyarakat nelayan semakin tergantung secara ekonomi dan finansial-teknologi. Implikasi masyarakat nelayan ter-perangkap dalam bingkai ketergantungan politik, baik tingkat desa maupun intermedial. Secara sederhana kondisi keter-gantungan masyarakat Desa Tanjung Kedabu terhadap birok-rasi tauke dapat dilihat melalui skematis di bawah ini.

(51)

Gambar di atas menunjukan bahwa birokrasi tauke mampu mengendalikan birokrasi negara secara keseluruhan di Desa Tanjung Kedabu. Semula birokrasi ini berfungsi sebagai produksi berubah menjadi akumulasi kapital dan cendrung mempengaruhi reproduksi tatanan masyarakat dan politik. Ta-tanan masyarakat: 1) Reproduksi hubungan sosial dalam pro-ses produksi, 2) Penyiapan tenaga kerja, dan 3) Pemeliharaan supra ekstra. Persoalannya proses produksi dan reproduksi ini berjalan di atas roda kemiskinan masyarakat yang terus me-nerus dieksploitasi oleh birokrasi Tauke. Sepanjang yang diamati seandainya proses ini dapat mendorong kelompok-kelompok dinamis dalam masyarakat untuk menuntut kebe-basan politik. Kondisi ini hanya dapat diatasi oleh suatu birok-rasi yang otonom, bukan birokbirok-rasi tauke, sebab birokbirok-rasi tauke tidak memiliki legitiminasi di tengah masyarakat desa. Birokrasi ini hanya dapat pengakuan kepentingan oleh sebahagian elit aparat hukum, keamanan, dan birokrasi desa.

Kondisi ketergantungan ekonomi masyarakat kepada perkembangan ekonomi tauke Cina sepanjang yang dapat di-amati memberikan implikasi politik kepada proses pengam-bilan keputusan politik di Desa Tanjung Kedabu. Hal ini terjadi karena didorong oleh posisi geografis desa yang berbatasan

dapat dilihat melalui skematis di bawah ini:

Gambar di atas menunjukan

APARAT HUKUM & KEAMANAN BIROKRASI TAUKE MASYARAKAT PETANI/NELAYAN KEMISKINAN BIROKRASI DESA REPRODUKSI TATANAN MASYARAKAT DAN POLITIK

(52)

langsung dengan negara tetangga Malaysia dan Singapura. Selain itu Desa Tanjung Kedabu memiliki potensi perkebunan seperti karet, kelapa dan sagu, serta potensi perikanan laut. Sehingga dengan posisi yang berdekatan dengan negara te-tangga, sebagai unit politik desa ini berbeda dengan Malaysia atau Singapura. Oleh karena itu, isi desa ini terdapat berbagai instansi/lembaga resmi pemerintah seperti Pemerintah Desa, Bea Cukai, Syahbandar, Polisi, Bintara Pembina Desa (Babinsa), imigrasi, sermula lembaga-lembaga ini ditempatkan guna menyiapkan kondisi-kondisi yang diperlukan dalam proses produksi yang tidak bisa disiapkan oleh masyarakat desa. Namun dalam perkembangannya pemanfaatan kondisi yang dipersiapkan itu lebih banyak dimanfaatkan oleh pihak tauke China dalam menjalankan usahanya, terutama apabila me-lakukan transaksi perdagangan ke Malaysia dan Singapura.

Sepanjang yang diamati, seringkali pihak tauke Cina dapat dengan leluasa menjual hasil perikanan dan perkebunan ke Malaysia. Sementara masyarakat desa selalu berhadapan de-ngan kegagalan untuk menjual hasil tangkapannya. Kega-galan itu terutama terletak pada keterbatasan modal transaksi di laut, teknologi kapal atau alat tangkapan tradisional yang dipakai. Dengan kata lain, masyarakat desa hampir tidak me-miliki akses akses kekuasaan ketika menghadapi instansi/ lembaga yang secara fungsional berkaitan di Desa Tanjung Kedabu.

Dalam kondisi yang demikian, keputusan-keputusan hukum dan politik yang diambil guna mengatur berbagai ke-pentingan di dalam kenyataannya biasanya cendrung lebih menguntungkan pihak-pihak yang memiliki mobilitas pertikal yang tinggi baik dilihat dan asfek finansial, informasi dan pengaruh sosial. Pihak ini di Desa Tanjung Kedabu dalam konteks ini adalah birokrasi tauke China. Apalagi jaringan perdagangan tauke di desa ini tidak saja bersifat domestik, akan tetapi termasuk intervensial. Pusat pengendaliannya saja di

(53)

Desa Tanjung Kedabu. Pengorganisasiannya meliputi Selat Panjang, beberapa desa di sepanjang Pulau Rangsang, Beng-kalis, Tanjung Balai Karimun, Guntung, Tanjung Samak, Johor, Singapura dan lain-lainnya. Adapun komunitas permasa-lahannya meliputi ikan segar, udang basah, kelapa, sagu, karet, kayu dan lain-lain.

Ketergantungan ekonomi masyarakat terhadap pengem-bangan ekonomi tauke China di Desa Tanjung Kedabu, juga memberikan indikasi politik kepada masalah pengawasan pe-merintahan di tingkat desa. Dominasi ekonomi etnik Cina di berbagai unit usaha telah secara tidak langsung memperlemah sisi pengawasan jalannya pemerintahan sehari-hari di desa. Kondisi terjadi antara lain karena Tauke Cina telah mengen-dalikan sesungguhnya hampir semua prakondisi yang di-perlukan untuk proses produksi. Di sisi lain, desa secara terus-menerus mengalami berbagai kesulitan dalam membangun terutama kesulitan dalam hal finansial, teknologi, dan investasi. Padahal pemerintah sangat berpentingan untuk mendorong upaya kapitalisasi di desa.

Dalam kondisi demikian, secara politik sumber kekuasaan tidak saja berasal dan status sosial, tetapi dapat bersumber dan kekuatan ekonomi. Proses ini tampaknya telah memperangkap sedemikian rupa hampir semua birokrasi di desa. Akibatnya, dengan sendirinya akan memperlemah kontrak pemerintahan, karena dalam pekerjaan politik yang berlangsung seperti ini membuka peluang lebih besar kemungkinan kepentingan tauke Cina lebih teragregasikan dibanding kepentingan masyarakat atau negara secara keseluruhan. Inilah bukti gagalnya inter-vensi negara di wilayah negara di wilayah perbatasan.

Sepanjang yang dapat diamati, tidak sulit mencari orang etnis Cina yang masih berbahasa Cina sehari-hari, bahkan masih ada yang belum pandai yang berbahasa Indonesia, Meskipun ia sudah lama tinggal di Desa Tanjung Kedabu. Selain itu tampaknya mobilitas dan pemerintah asal pihak imigrasi.

(54)

Hal ini tentu berpengaruh besar kepada proses sosialisasi politik yang berlangsung atau mengganggu pembangunan budaya politik bangsa secara keseluruhan. Sebab memang secara ekonomi dikuasai oleh Tauke, namun secara politik Desa Tan-jung Kedabu tetap sebagai wilayah Republik Indonesia.

Apabila dilihat dan keikutsertaan masyarakat termasuk etnik Cina dalam Pemilu tahun 1997 cukup tinggi. Jumlah penduduk yang telah memiliki hak pilih berjumlah 1.665 orang, dan yang menggunakan hak pilihnya 1.641 orang. Namun apabila diteliti lebih jauh patisipasi politik ini lebih merupakan mobilisasi politik. Dalam hal ini tampaknya pemerintah relatif berhasil melakukan intervensi ke dalam komentasi politik China. Meskipun tidak didukung oleh kenyataan sosialisasi politik sehari-harinya. Artinya, ada fenomena ekstra-nasional yang membuat negara mau tidak mau harus melakukan upaya reproduksi kapital kalau memang ingin mempertahankan kelestarian kekuasaannya. Fenomena inilah sekaligus menun-jukkan adanya ketergantungan politik di Desa Tanjung Kedabu dalam konteks birokrasi tauke.

Menghadapi ketergantungan politik masyarakat terhadap birokrasi Tauke, masyarakat desa beraksi dengan cara berpar-tisipasi dalam proses pengambilan keputusan desa terutama dalam hal pembangunan desa. Dari 12 anggota Lembaga Ke-masyarakatan Desa (LKMD) adalah seluruhnya masyarakat non etnik Cina. Untuk mengetahui partisipasi masyarakat da-lam pengambilan keputusan dapat dilihat dan tabel di bawah ini. Tabel 4.4. Kehadiran Anggota LKMD di Setiap Rapat

Sumber: Data Primer, 1999

No Katagori Jawaban Jumlah Responden

1 Sering 48

2 Sekali-kali 6

3 Tidak pernah 6

(55)

Dari data tabel di atas tampak bahwa partisipasi masya-rakat dan anggota LKMD ini umumnya terdiri dari tokoh informal masyarakat yang banyak mengetahui seluk beluk masalah pembangunan desa. Namun LKMD hanyalah orga-nisasi masyarakat terutama dalam hal perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa. Dalam kenyataannya kepu-tusan yang diambil di tingkat desa pada akhirnya ditentukan oleh pemerintah tingkat atasannya. Seringkali apa yang diharapkan oleh masyarakat tidak sesuai dengan realisasinya. Dari wawancara diperoleh informasi bahwa umumnya masyarakat desa menghendaki hadirnya guru agama di Sekolah Dasar (SD). Karena hingga informasi diperoleh guna yang mengajar agama Islam tidak ada lagi. Padahal pembinaan masyarakat dan sisi agama (awal) adalah sangat penting terutama bagi anak muda/remaja desa. Agama adalah basis pembinaan sosial di masa yang akan datang di desa perbatasan Riau-Malaysia Singapura. Hal ini mengingat cepatnya peru-bahan sosial di masyarakat dimana mereka cenderung ber-orentasi materil (mencari uang). Padahal mereka berada dalam tahap mencari identitas, sehingga harus diperkuat oleh faktor-faktor penentu lain, selain pendidikan formal terutama pen-didikan agama.

Kondisi ini sesungguhnya karena aktualisasi kuatnya dominasi tauke dalam hal ekonomi. Padahal kebutuhan masyarakat terus meningkat dan seringkali terkait kepada aspek finansial. Karena itu, untuk memenuhi kebutuhan ter-sebut seringkali keluarga di desa ini seluruhnya bekerja dengan Tauke. Akibatnya terjadi perubahan struktur sosialisasi ke-luarga. Memang dilihat dari aspek ekonomi akan dapat men-dorong pastisipasi masyarakat dalam pembangunan fisik desa. Namun dalam hal sosial dan politik akan tertinggal jauh di bawah lingkaran pembangunan fisik. Gejala ini tampaknya tercermin dan tingkat swadaya masyarakat dalam pem-bangunan.

(56)

Tabel 4.5. Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Pembangunan

Sumber: Profil Desa, 1999

Elit politik di Desa Tanjung Kedabu sebenarnya sangat tanggap dengan kepentingan masyarakat desanya. Pernah terjadi pelanggaran terhadap kapal nelayan di tengah laut Sumatera kawasan Indonesia oleh nelayan Malaysia. Akibat-nya, kapal motor (Pompong) nelayan Indonesia teng-gelam dan tiga orang awaknya selamat. Dalam kondisi demi-kian, para tokoh informal maupun formal desa berupaya mencari jalan keluarnya, yaitu melapor pada pihak Angkatan Laut, KPLP, dan Polisi. Peristiwa ini juga di selesaikan di tingkat birokrasi.

B. Dampak Birokrasi Tauke

Ketergantungan politik yang terjadi di Desa Tanjung Kedabu telah memberikan dampak kepada merosotnya partisi-pasi masyarakat untuk dapat meneruskan dan memper-juangkan kepentingan sendiri. Kemerorotan ini terjadi karena tersumbatnya saluran proses pengambilan keputusan di desa oleh berbagai kepentingan ekonomi terutama pada tauke, Secara kelembagaan memang di desa terdapat berbagai lem-baga formal, baik yang mengatur berlem-bagai keputusan pem-bangunan desa maupun yang mengatur berbagai urusan yang bersifat sektoral terutama menyangkut kepentingan politik di wilayah perbatasan Riau. Secara fungsional, lembaga formal tersebut kurang mampu mendeteksi reaksi politik dan ekonomi

No Kegiatan Pembangunan

Biaya

Swadaya Lainnya Total

1 Balai kesenian 15.000.000 15.000.000 2 Jl. Rumbia 2,5 x 100 m 1.500.000 1.500.000

3 Surau 18.000.000 18.000.000

(57)

masyarakat desa secara keseluruhan. Akibatnva, masyarakat desa tidak berdaya dalam menghadapi dan memecahkan sen-diri permasalahannya

Dalam wawancara dengan tokoh masyarakat diperoleh informasi bahwa di desa ini sulit mencari anak usia sekolah yang lulus/tamat sekolah dasar. Umumnya, anak sekolah hingga Kelas Empat SD sudah meninggalkan kelas. Mereka lebib tertarik untuk bekerja di kelong-kelong atau di pelantar-pelantar unit usaha tauke. Setelah bekerja umumnya mereka berusaha memanfaatkan hasil upah bagi kebutuhan konsumtif dan selanjutnya ada juga yang langsung menikah. Dalam kon-disi demikian, biasanya para Tauke hanya mau membawa ikut bekerja di unit usahanya selain upah relatif murah (Pp 7.500/ hari) juga yang masih kuat tenaganya (usia muda/produktif). Jadi apabila sudah tidak produktif lagi, para tenaga kerja umumnva sulit untuk diperkerjakan lagi.

Proses ini telah berlangsung sedemikian rupa, sehingga relatif tidak ada proses pembelanjaan terhadap pengusahaan. Akibatnya, masyarakat desa tidak sadar apa hal dan kewaji-bannya sebagai warga desa. Kenyataan ini merupakan suatu proses pembodohan yang sistimatik bagi masyarakat desa sehingga demokrasi di tingkat desa menjadi tidak berjalan. Akibatnya eksplotasi sumber daya alam dan manusia terus menerus berlangsung. Birokrasi tauke tidak saja keraf secara ekonomis, tapi cenderung dapat dominan secara politik. Indi-kasi ini tampak dan beberapa keputusan desa dihasilkan, umumnya lebih bersifat fisik. Padahal masalah sosial-politik cukup penting, misalnya pendidikan politik etnik Cina akan kewarganegaraan Indonesia, penyuluhan hukum untuk mas-yarakat desa tentang pertanahan dan peningkatan ketrampilan pemuda dalam hal industri rumah tanggal, dan lain sebagai-nya.

(58)

Tabel 4.6. Pembauran Etnik China

Sumber: Data Primer, 1999

Dari data tabel di atas tampak bahwa tingkat pembauran etnik Cina (tauke) adalah rendah. Hal ini terjadi lebih karena terkonsentrasinya kegiatan ekonomi desa di tangan birokrasi Tauke. Selain itu, tempat pemukiman Cina agak terpisah dari masyarakat umumnya. Demikian pula bahasa, budaya sehari hanya terkesannya ekslusif. Proses isolasi sosial budaya inilah menjadikan pendorong rendahnya pembauran etnik Cina di Desa Tanjung Kedabu.

Akan tetapi pembauran etnik Cina di desa ini dalam bebe-rapa hal relatif tinggi, sementara kelompok elit desa tertentu sementara yang mempunyai kepentingan yang sama dalam hal ekonomi. Keputusan itu pada umumnya ditentukan elit desa, karena itu kepentingan Tauke lebih terbuka untuk di-perjuangkan.

Dampak lain ketergantungan masyarakat terhadap birok-rasi tauke Desa Tanjung Kedabu adalah kemiskinan. Hal ini terjadi terutama disebabkan oleh terjadinya perubahan struktur normatif masyarakat di dalam tradisi pencaharian hidup sehari-hari, sehingga masyarakat masuk ke dalam siklus lingkaran kemiskinan.

Sepanjang yang dapat diamati, tidak produktifnya masya-rakat etnik Melayu sesungguhnya bukan karena kurangnya kemampuan pengelolaan, tapi lebih disebabkan oleh ketergan-tungan yang sengaja diciptakan oleh para tauke. Dengan ketergantungan ini, masyarakat menjadi tidak berpendidikan, berhutang terus menerus, produktivitas terbatas karena sering

No Kategori Jumlah Responden

1 2 3 Tinggi Sedang Rendah 12 55 43 Jumlah 60

Gambar

Tabel 4.2. Luas Pemilihan Lahan Perkebunan/Perladangan Masyarakat
Tabel 4.3.  Pemilikan Usaha Perikanan
Gambar  di  atas  menunjukan  bahwa  birokrasi  tauke mampu mengendalikan birokrasi negara secara keseluruhan di Desa Tanjung Kedabu
Tabel 4.4. Kehadiran Anggota LKMD di Setiap Rapat
+5

Referensi

Dokumen terkait

Adapun judul skripsi ini adalah “ Analisis Pengaruh Pertumbuhan Penduduk dan Inflasi Terhadap Tingkat Pengangguran di Kota Bandar Lampung Dalam Perspektif Ekonomi Islam

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan 17 wujud pemakaian kesantunan imperatif dan 16 faktor-faktor penanda kesantunan imperatif dan semuanya berjumlah 33 jenis kesantunan

Sehubungan dengan rendahnya nilai hasil belajar dan keterampilan argumentasi di lingkungan siswa kelas X SMK Farmasi Sekesal Surabaya terutama pada materi Reaksi

Hasil penelitian yang diperoleh menunjukan bahwa aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun prasman lebih kuat dalam menghambat pertumbuhan bakteri Gram negatif

Dengan didukung bahan hukum yang relevan, akan diperoleh secara umum jawaban dari permasalahan yang diteliti yaitu mengenai penerapan sanksi pidana dibawah ketentuan

Pengambilan data dalam penelitian ini dengan cara snowball sampling, yaitu informan kunci akan menunjuk orang-orang yang.. mengetahui masalah yang akan diteliti

In this study, solid fermentation of mixed substrate comprising Kepok banana peel and corn hominy using Rhizopus oryzae (Biotech Laboratory Culture Collection) was

Perdagangan luar negeri adalah perdagangan yang terjadi di luar negeri, kegiatan perdagangan luar negeri ini tergantung pada keadaan pasar hasil produksi maupun