• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

7. DAMPAK KAPASITAS FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN SEKTORAL

Hasil estimasi model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah menjadi dasar simulasi historis tahun 2006-2011 dan simulasi peramalan tahun 2013-2015. Simulasi historis dilakukan untuk mengevaluasi dampak kapasitas fiskal terhadap perekonomian dan kemiskinan sektoral daerah di Indonesia. Sedangkan simulasi peramalan dilakukan untuk merekomendasikan alternatif kebijakan yang dapat mempercepat pengentasan kemiskinan di Indonesia. Simulasi difokuskan pada variabel yang berdampak meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian serta menurunkan ketimpangan pendapatan, tingkat kemiskinan, dan proporsi penduduk miskin pertanian. Suatu skenario dianggap paling baik jika memberi dampak paling besar, tidak menimbulkan

trade-off antar variabel dampak, dan tidak menimbulkan defisit fiskal. Ulasan variabel-variabel endogen yang menggambarkan dampak pada kinerja fiskal adalah kesenjangan fiskal dan kemandirian fiskal, dampak pada kinerja perekonomian adalah PDRB sektoral dan jumlah tenaga kerja, dan dampak pada kemiskinan adalah Indeks Gini, headcount index sektoral, total headcount index, jumlah penduduk miskin sektoral, jumlah penduduk miskin, dan proporsi penduduk miskin pertanian.

Hasil Validasi

Simulasi diawali dengan validasi untuk mengetahui apakah model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah dapat mewakili fenomena fiskal, perekonomian sektoral, dan kemiskinan sektoral daerah. Validasi model dilakukan dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3. Tingkat validitas model ditentukan berdasarkan Theil’s Inequality Coefficient (U) dan proporsi U (proportion of inequality) yaitu proporsi bias UM, proporsi variansi US, dan proporsi kovariansi UC. Jika U mendekati nol maka model dianggap baik, sedangkan jika mendekati satu maka model dianggap kurang mampu menjelaskan data yang sebenarnya (Sitepu dan Sinaga, 2006). Hasil validasi pada Tabel 36 menunjukkan mayoritas koefisien U mendekati nol, seluruh nilai UM mendekati nol yang berarti tidak ada bias sistematik, nilai-nilai US relatif kecil yang berarti fluktuasi nilai-nilai prediksi sesuai dengan fluktuasi nilai-nilai aktualnya, dan nilai-nilai UC

Dampak kapasitas fiskal pada perekonomian dan kemiskinan dapat terjadi melalui mekanisme berikut: kapasitas fiskal yang lebih besar akan meningkatkan kemampuan keuangan daerah untuk membiayai belanja sektoral sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi output daerah sehingga PDRB sektoral meningkat. PDRB sektoral yang lebih besar akan mendorong upah riil sehingga pendapatan penduduk meningkat dan pada akhirnya akan meningkatkan pengeluaran per kapita. Pengeluaran per kapita yang lebih besar dapat meningkatkan konsumsi penduduk agar memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup layak (basic needs) cukup besar dan mendekati satu yang berarti error tidak sistematik. Berdasarkan keempat ukuran statistik ini dapat disimpulkan bahwa model valid sehingga dapat dilakukan simulasi historis dan peramalan. Program dan hasil validasi secara lengkap disajikan pada Lampiran 6 dan 7.

Tabel 36 Hasil Validasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah dalam Theil Forecast Error Statistics

Endogen Satuan Aktual Predicted U UM US UC

Blok Fiskal

1. Pajak daerah Juta 1 421 350 1 511 125 0.09 0.05 0.26 0.69 2. PAD Juta 2 107 481 2 197 256 0.06 0.05 0.28 0.67 3. Bagi hasil pajak Juta 1 068 570 1 040 519 0.17 0.00 0.17 0.83 4. Kapasitas fiskal Juta 4 449 630 4 511 354 0.04 0.01 0.03 0.96 5. DAU Juta 5 875 357 5 914 990 0.05 0.00 0.01 0.98 6. Pendapatan daerah Juta 12 247 142 12 348 0.03 0.01 0.11 0.88 7. Belanja pertanian Juta 293 924 289 938 0.12 0.00 0.04 0.96 8. Belanja perindustrian Juta 37 180 36 339 0.23 0.00 0.09 0.91 9. Belanja perdagangan Juta 44 870 44 797 0.23 0.00 0.11 0.89 10. Belanja perdagangan perkapita Ribu 7.5 7.2 0.25 0.00 0.23 0.77 11. Belanja infrastruktur Juta 1 748 045 1 669 634 0.13 0.02 0.07 0.91 12. Belanja lainnya Juta 9 534 554 9 504 389 0.04 0.00 0.09 0.91 13. Belanja daerah Juta 11 845 264 11 731 0.04 0.01 0.05 0.94 14. Kesenjangan fiskal Juta 7 395 634 7 220 434 0.06 0.03 0.02 0.95 15. Kemandirian fiskal % 16.1 16.3 0.08 0.01 0.01 0.98

Blok Perekonomian Sektoral

16. Panjang jalan aspal km 9 804 9 753 0.16 0.00 0.06 0.94 17. PDRB t.pangan, kebun, ternak Juta 19 366 098 19 015 0.13 0.00 0.19 0.81 18. PDRB pertanian Juta 23 916 759 23 566 0.11 0.00 0.21 0.79 19. PDRB pertanian per kapita Juta 3 093 3 501 0.20 0.08 0.04 0.88 20. PDRB makanan jadi Juta 10 599 563 10 220 0.34 0.00 0.14 0.86 21. PDRB industri pertanian Juta 19 202 161 18 823 0.20 0.00 0.03 0.97 22. PDRB industri Juta 38 409 672 38 030 0.10 0.00 0.01 0.99 23. PDRB industri per kapita Juta 4 151 4 252 0.07 0.01 0.00 0.99 24. PDRB perdagangan Juta 25 956 611 24 337 0.22 0.01 0.26 0.74 25. PDRB perdagangan per kapita Juta 2 691 3 166 0.34 0.04 0.18 0.78 26. PDRB non-pertanian Juta 113 950 000 111 950 0.07 0.01 0.25 0.74 27. PDRB Juta 137 870 000 135 520 0.07 0.01 0.28 0.71 28. PDRB per kapita Ribu 17 784 18 769 0.08 0.06 0.14 0.80

29. Share PDRB pertanian % 22.0 22.1 0.10 0.00 0.13 0.87

30. Share PDRB industri % 19.1 20.7 0.13 0.06 0.06 0.88

31. Share PDRB perdagangan % 17.1 16.5 0.34 0.00 0.39 0.60

32. Tenaga kerja pertanian Ribu 1 637 1 602 0.16 0.00 0.19 0.81 33. Tenaga kerja industri Ribu 525 506 0.17 0.00 0.06 0.93 34. Tenaga kerja perdagangan Ribu 835 781 0.23 0.01 0.32 0.67 35. Tenaga kerja total Ribu 4 075 3 966 0.10 0.01 0.39 0.60 36. Upah pertanian Ribu 601 623 0.08 0.05 0.18 0.78 37. Upah industri Ribu 873 880 0.10 0.00 0.08 0.92 38. Upah perdagangan Ribu 826 842 0.11 0.01 0.01 0.98 39. Pengeluaran penduduk pertanian Ribu 281 286 0.07 0.01 0.21 0.77 40. Pengeluaran penduduk industri Ribu 381 384 0.13 0.00 0.28 0.72 41. Pengeluaran penduduk Ribu 449 456 0.10 0.01 0.21 0.79

Blok Kemiskinan Sektoral

42. Indeks Gini 0.338 0.342 0.05 0.01 0.23 0.75

43. Headcount index pertanian % 19.16 18.58 0.20 0.01 0.00 0.99

44. Headcount index industri % 12.84 12.89 0.28 0.00 0.19 0.81

45. Headcount index perdagangan % 8.71 8.57 0.30 0.00 0.27 0.73

46. Poverty gap index pertanian 3.00 2.88 0.26 0.01 0.00 0.99

47. Poverty severity index pertanian 0.80 0.76 0.28 0.01 0.00 0.99

sehingga kesejahteraan rumahtangga miskin meningkat yang berarti penduduk miskin dapat keluar dari kondisi kemiskinan. Jika hal tersebut terjadi secara menyeluruh maka akumulasi seluruh penduduk miskin yang keluar dari kondisi kemiskinan akan menurunkan kemiskinan daerah. Sementara itu, pembangunan pertanian akan meningkatkan PDRB pertanian sehingga share PDRB pertanian lebih besar akan menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan yang berarti distribusi pendapatan semakin merata. Hal ini akan menambah peran pengeluaran per kapita dalam menurunkan tingkat kemiskinan.

Oleh karena itu, simulasi historis dilakukan dengan mengubah variabel- variabel yang berpotensi meningkatkan kapasitas fiskal terutama pajak daerah dan bagi hasil pajak. Dengan mengacu pada hasil estimasi model yang telah diuraikan sebelumnya diketahui bahwa untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah diperlukan potensi ekonomi penduduk dalam ukuran PDRB per kapita yang lebih besar. Sementara dari hasil estimasi juga diketahui bahwa untuk meningkatkan PDRB diperlukan belanja daerah dan investasi swasta yang lebih besar dimana investasi swasta dalam bentuk penanaman modal berperan dalam pembangunan infrastruktur jalan aspal. Selain melalui penerimaan pajak daerah, kapasitas fiskal dapat juga ditingkatkan melalui bagi hasil pajak. Berdasarkan hasil estimasi model diketahui bahwa untuk meningkatkan bagi hasil pajak diperlukan pembangunan sektor-sektor non-pertanian sebagai sumber utama bagi hasil PPh. Untuk itu, pemerintah daerah perlu mengalokasikan anggarannya untuk belanja-belanja non- pertanian seperti belanja perindustrian dan belanja perdagangan serta melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan penanaman modal daerah dari investor dalam dan luar negeri. Dengan demikian, untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah dan bagi hasil pajak diperlukan belanja-belanja sektoral dan investasi swasta yang lebih besar. Di sisi lain, penerimaan bagi hasil pajak juga dapat ditingkatkan dengan menambah porsi daerah dari sumber-sumber bagi hasil pajak melalui merevisi UU No. 33 tahun 2004.

Skenario Simulasi

Berdasarkan uraian di atas maka simulasi historis untuk periode 2006-2011 dilakukan dengan meningkatkan belanja pertanian, belanja perindustrian, belanja perdagangan, bagi hasil pajak, dan penanaman modal melalui beberapa skenario kebijakan baik tunggal maupun gabungan. Sedangkan simulasi peramalan periode 2013-2015 dilakukan melalui simulasi beberapa skenario kombinasi kebijakan. Simulasi kebijakan tunggal dan kombinasi baik historis maupun peramalan dilakukan menurut provinsi pertanian dan non-pertanian.

Skenario simulasi historis untuk kebijakan tunggal terdiri dari: 1. SS1: peningkatan belanja pertanian

Hasil estimasi menunjukkan peran belanja pertanian dalam meningkatkan PDRB tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan cukup besar. Namun, perubahan belanja pertanian yang lebih elastis terhadap perubahan DAU dibandingkan perubahan kapasitas fiskal menunjukkan bahwa kapasitas fiskal yang lebih besar akan meningkatkan belanja pertanian lebih kecil dibandingkan peningkatan DAU dalam jumlah yang sama. Untuk itu, maka belanja pertanian harus ditingkatkan. Dengan demikian, cukup beralasan jika peningkatan PDRB pertanian akan meningkatan pengeluaran penduduk

pertanian jika belanja pertanian ditingkatkan. Di sisi lain, meningkatnya PDRB pertanian akibat meningkatnya belanja pertanian akan mendorong PDRB dan potensi ekonomi penduduk sehingga mendorong penerimaan pajak daerah dan kapasitas fiskal. Skenario peningkatan belanja pertanian 50% di provinsi pertanian maupun non-pertanian berdasarkan pertimbangan trend rata-rata kenaikan belanja pertanian periode 2006-2011 yang sangat rendah yaitu hanya 11% dan 9%, sementara periode 2006-2007 mencapai 50% dan 53%. Selain itu, komposisi belanja pertanian sangat rendah yaitu hanya 3% dan 2% sehingga masih memungkinkan untuk ditingkatkan. 2. SS2: peningkatan belanja perindustrian

Hasil estimasi menunjukkan belanja perindustrian berperan meningkatkan PDRB industri khususnya industri makanan jadi. Namun, perubahan belanja perindustrian lebih elastis terhadap perubahan DAU dari pada kapasitas fiskal. Dengan alasan serupa pada skenario peningkatan belanja pertanian maka belanja perindustrian ditingkatkan 50% di provinsi pertanian dan 25% di provinsi non-pertanian. Pertimbangannya adalah trend rata-rata kenaikan belanja perindustrian di provinsi pertanian periode 2006-2011 sebesar 23%, sementara di provinsi non-pertanian periode 2010-2011 lebih stabil yaitu 43%. Alasan lainnya adalah rendahnya komposisi belanja perindustrian baik di provinsi pertanian maupun non-pertanian dengan rata-rata 0.3% sehingga masih relevan jika ditingkatkan.

3. SS3: peningkatan belanja perdagangan

Hasil estimasi menunjukkan belanja perdagangan berperan meningkatkan PDRB perdagangan. Oleh karena itu belanja perdagangan perlu ditingkatkan untuk mendorong PDRB perdagangan. Skenario peningkatan belanja perdagangan 50% di provinsi pertanian maupun non-pertanian dilakukan dengan pertimbangan kenaikannya pada periode 2006-2011 di provinsi non- pertanian 54%, sementara di provinsi pertanian lebih stabil yaitu pada tahun 2010-2011 sebesar 32%. Selain itu, komposisi belanja perdagangan juga sangat rendah dengan rata-rata 0.3% di provinsi pertanian dan 0.4% di provinsi non-pertanian sehingga masih memungkinkan untuk ditambah. 4. SS4: peningkatan bagi hasil pajak

Peningkatan bagi hasil pajak masing-masing 50% di provinsi pertanian dan non-pertanian dilakukan untuk meningkatkan kapasitas fiskal dari sumber- sumber pendapatan dari daerah yang bersangkutan untuk dibagihasilkan terutama PPh. Pertimbangannya adalah pertumbuhan penerimaan bagi hasil pajak periode 2006-2011 sangat rendah rata-rata 1% di provinsi pertanian dan 2% di provinsi non-pertanian. Di sisi lain, penerimaan negara dari PPh Non Migas sangat besar bahkan meningkat 48% pada tahun 2012. Oleh karena itu, cukup beralasan jika bagi hasil pajak ditingkatkan dengan menambah porsi daerah dari PPh. Dengan demikian, skenario kenaikan bagi hasil pajak 50% menggambarkan kenaikan porsi daerah dari sumber PPh sesuai UU No. 33/2004 Pasal 13 dari 20% menjadi 30%.

5. SS5: peningkatan total penanaman modal

Hasil estimasi menunjukkan peran penanaman modal dalam meningkatkan pajak daerah. Peningkatan penanaman modal 90% dan 50% di provinsi pertanian dan non-pertanian dengan alasan pertumbuhan 2007-2011 lebih stabil yaitu 85% di provinsi pertanian dan 45% di provinsi non-pertanian.

Simulasi historis dan peramalan untuk kombinasi kebijakan mengacu pada arah dan perubahan beberapa variabel endogen utama yang menggambarkan dampak skenario kebijakan tunggal. Simulasi tersebut dilakukan untuk masing- masing provinsi pertanian dan non-pertanian. Simulasi skenario kombinasi kebijakan dilakukan secara bertahap yang diawali dengan kombinasi kebijakan peningkatan belanja-belanja pertanian, perindustrian, dan perdangan yang diikuti dengan peningkatan bagi hasil pajak dan total penanaman modal dengan mempertimbangkan dampak negatif yang ditimbulkan. Simulasi diakhiri jika diperoleh hasil optimal dengan pertimbangan skenario tersebut dapat diterapkan (applicable).

Skenario simulasi historis dan peramalan untuk kebijakan kombinasi di masing-masing provinsi pertanian dan non-pertanian terdiri dari:

1. Simulasi historis 2006-2011

a. SM1: peningkatan belanja pertanian, perindustrian, dan perdagangan b. SM2: kombinasi SM1 dan peningkatan bagi hasil pajak

c. SM3: kombinasi SM2 dan peningkatan penanaman modal d. SM4: kombinasi SM3 dan pengurangan belanja lainnya 2. Simulasi peramalan 2013-2015

a. SM1: peningkatan belanja pertanian, perindustrian, dan perdagangan b. SM2: kombinasi SM1 dan peningkatan bagi hasil pajak

c. SM3: kombinasi SM2 dan peningkatan penanaman modal

Simulasi Historis 2006-2011 Simulasi Peningkatan Belanja Pertanian

Simulasi peningkatan belanja pertanian 50% dilakukan dengan beberapa pertimbangan berdasarkan hasil analisis profil fiskal daerah penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu: (1) belanja pertanian di provinsi pertanian dan non- pertanian tahun 2006-2011 rata-rata naik 11.2% dan 9.1% per tahun, sedangkan tahun 2006-2007 cukup besar masing-masing 49.7% dan 52.6%. Kenaikan yang cukup besar ini menjadi alasan bahwa pemerintah daerah sesungguhnya mampu meningkatkan belanja pertaniannya; (2) komposisi belanja pertanian sangat kecil masing-masing 3.2% di provinsi pertanian dan 2.1% di provinsi non-pertanian, sehingga masih relevan untuk ditingkatkan; dan (3) ada fenomena flypaper effect

pada DAU untuk belanja pertanian sementara peran kapasitas fiskal lebih rendah, sehingga untuk mengatasi rendahnya peran kapasitas fiskal dalam membiayai pembangunan pertanian maka pemerintah daerah dapat mengintervensinya dengan meningkatkan belanja pertanian.

Hasil simulasi historis di provinsi pertanian pada Tabel 37 menunjukkan ekspansi belanja pertanian 50% meningkatkan PDRB pertanian 28.7% sehingga total PDRB meningkat 6.9%. Tetapi, kenaikan PDRB menurunkan DAU 0.8% sehingga belanja perindustrian dan belanja perdagangan turun 0.7% dan 0.5 karena hasil estimasi menunjukkan keduanya lebih bergantung pada DAU dari pada kapasitas fiskal. Akibatnya, PDRB industri dan PDRB perdagangan turun masing-masing 0.4% dan 0.3%. Namun, total PDRB yang meningkat 6.9% menyebabkan PDRB per kapita naik yang menunjukkan ada peningkatan potensi ekonomi penduduk sehingga berdampak meningkatkan PAD 0.9%.

Tabel 37 Dampak Peningkatan Belanja Pertanian1 dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011

terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian,

Varibel Endogen Satuan

Nilai Dasar Perubahan (%) Pertanian Non Pertanian Pertanian Non Pertanian Blok Fiskal 1. PAD Juta Rp 1 024 054 3 477 112 0.9 0.1

2. Bagi hasil pajak Juta Rp 688 243 1 424 821 -0.1 0.0 3. Kapasitas fiskal Juta Rp 2 103 080 7 138 562 0.4 0.1 4. Dana alokasi umum Juta Rp 4 981 834 6 932 979 -0.8 -0.6 5. Total pendapatan Juta Rp 8 716 324 16 310 871 -0.4 -0.2 6. Belanja pertanian Juta Rp 240 966 343 362 50.0 50.0 7. Belanja perindustrian Juta Rp 26 790 46 755 -0.7 -0.4 8. Belanja perdagangan Juta Rp 30 777 60 091 -0.5 -0.3 9. Belanja infrastruktur Juta Rp 1 177 511 2 206 496 0.0 0.0 10. Belanja lainnya Juta Rp 6 736 788 12 523 590 -0.4 -0.2 11. Total belanja Juta Rp 8 394 643 15 372 310 1.5 0.8 12. Kesenjangan fiskal Juta Rp 6 291 562 8 233 749 1.9 1.4

13. Kemandirian fiskal2 % 11.7 21.3 -0.1 -0.1

Blok Perekonomian Sektoral

14. PDRB pertanian Juta Rp 15 286 919 32 598 079 28.7 12.8 15. PDRB industri Juta Rp 9 726 946 68 907 971 -0.4 -0.1 16. PDRB perdagangan Juta Rp 12 034 913 37 758 339 -0.3 -0.1 17. PDRB total Juta Rp 62 210 040 215 490 000 6.9 1.9 18. Share PDRB pertanian2 % 26.6 17.2 5.7 1.6 19. Share PDRB industri2 % 14.4 27.6 -1.3 -0.2 20. Share PDRB perdagangan2 % 17.3 15.6 -1.1 -0.1

21. Jumlah tenaga kerja Ribu org 2 202 5 890 4.1 1.7 22. Pengeluaran pddk pertanian Ribu Rp 283 290 2.3 1.1 23. Pengeluaran pddk industri Ribu Rp 346 424 0.0 0.0 24. Pengeluaran pddk perdagangan Ribu Rp 432 481 0.0 0.0

Blok Kemiskinan Sektoral

25. Indeks Gini3 0.340 0.344 -0.007 -0.002

26. Headcount index pertanian2 % 16.27 21.10 -1.51 -0.68

27. Headcount index industri2 % 13.54 12.19 -0.29 -0.08

28. Headcount index perrdagangan2 % 8.54 8.60 -0.30 -0.08

29. Poverty gap index pertanian3 2.42 3.37 -0.26 -0.12

30. Poverty severity index pertanian3 0.62 0.91 -0.07 -0.03

31. Headcount index total2 % 12.72 14.53 -0.84 -0.35

32. Proporsi pddk miskin pertanian2 % 59.0 46.0 -1.7 -0.4 33. Pddk miskin pertanian4 Ribu org 387 894 -35.9 -28.7

34. Pddk miskin industri4 Ribu org 31 144 -0.7 -1.0

35. Pddk miskin perdagangan4 Ribu org 46 161 -1.6 -1.6 36. Penduduk miskin total4 Ribu org 656 1 943 -43.2 -47.1

Catatan: 1

Skenario SS1: belanja pertanian naik 50%

Di sisi lain, turunnya PDRB industri dan PDRB perdagangan menyebabkan penerimaan bagi hasil pajak turun 0.1%. Namun, kapasitas fiskal tetap naik 0.4% karena meningkatnya PAD. Kenaikan PDRB berdampak pada penyerapan total tenaga kerja yang meningkat 4.1%. Sampai sejauh ini, meningkatnya kapasitas fiskal karena alokasi anggaran belanja pertanian yang ditambah 50% berdampak positif pada kinerja perekonomian daerah terutama di sektor pertanian. PDRB pertanian yang lebih besar menyebabkan perbaikan upah riil pertanian sehingga pengeluaran per kapita pertanian meningkat 2.3%. PDRB pertanian yang lebih besar juga meningkatkan share PDRB pertanian 5.7 persen poin sehingga Indeks Gini turun 0.007 poin. Pengeluaran per kapita pertanian yang lebih besar dan Indeks Gini yang lebih rendah berdampak menurunkan headcount index, poverty gap index, dan poverty severity index pertanian masing-masing 1.51 persen poin, 0.3 persen poin, dan 0.1 persen poin. Jumlah penduduk miskin juga berkurang 43 ribu orang terutama penduduk miskin pertanian yang berkurang 36 ribu orang. Besarnya penurunan jumlah penduduk miskin pertanian menyebabkan proporsi penduduk miskin pertanian turun 1.7 persen poin. Dengan demikian, peningkatan belanja pertanian 50% di provinsi pertanian berdampak meningkatkan kapasitas fiskal 0.4% sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi 6.9%, menurunkan Indeks Gini 0.007 poin, dan menurunkan total headcount index 0.84 persen poin. Selain itu, proporsi penduduk miskin pertanian turun 1.7 persen poin. Sedangkan, data statistik menunjukkan proporsi penduduk miskin pertanian di provinsi penelitian yang tergolong provinsi pertanian tahun 2006-2011 berfluktuasi dengan rata-rata meningkat dari 62.2% menjadi 64.5%.

Tidak berbeda dengan provinsi pertanian, hasil simulasi peningkatan belanja pertanian di provinsi non-pertanian 50% menunjukkan arah perubahan yang sama tetapi besarannya lebih kecil. Ini berarti peningkatan belanja pertanian dengan proporsi yang sama memberi dampak lebih besar di provinsi pertanian. Namun, hal ini dapat juga menjadi indikasi bahwa meskipun struktur ekonomi provinsi non-pertanian tidak didominasi sektor pertanian tetapi pembangunan pertanian merupakan hal penting yang perlu dilakukan pemerintah daerah mengingat jumlah penduduk miskin pertanian di provinsi non-pertanian secara rata-rata lebih banyak dibandingkan provinsi pertanian. Nilai dasar pada Tabel 37 menunjukkan jumlah penduduk miskin pertanian di provinsi non-pertanian rata-rata 894 ribu orang per tahun, sementara di provinsi pertanian 387 ribu orang per tahun.

Berdasarkan temuan-temuan di atas dapat disimpulkan peningkatan belanja pertanian sebesar 50% berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi sektor pertanian, industri, dan perdagangan, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, menurunkan ketimpangan pendapatan, dan menurunkan kemiskinan ketiga sektor tersebut terutama sektor pertanian. Dengan demikian, implikasinya adalah untuk mewujudkan pertumbuhan pro-poor yaitu pertumbuhan ekonomi yang disertai tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang lebih rendah, pemerintah daerah harus memprioritaskan pengentasan kemiskinan penduduk pertanian dengan menggiatkan pembangunan pertanian melalui alokasi belanja pertanian yang lebih besar. Jika dikaitkan dengan temuan hasil estimasi model terkait faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi anggaran belanja daerah, maka kapasitas fiskal merupakan faktor penting untuk meningkatkan belanja pertanian. Program dan hasil simulasi historis peningkatan belanja pertanian di provinsi pertanian dan non-pertanian disajikan secara lengkap pada Lampiran 8 – 11.

Simulasi Peningkatan Belanja Perindustrian

Simulasi peningkatan belanja perindustrian 25% di provinsi pertanian dan 50% di provinsi non-pertanian dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan yang mengacu pada analisis profil fiskal daerah penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu: (1) kenaikan belanja perindustrian di provinsi pertanian tahun 2006-2011 rata-rata 23% per tahun, sedangkan di provinsi non-pertanian sangat besar mencapai rata-rata 413% per tahun akibat tingginya kenaikan di tahun 2007 yang mencapai 2000% sementara tahun 2011 hanya 43%. Dengan alasan tersebut maka cukup relevan jika belanja perindustrian ditingkatkan 25% di provinsi pertanian dan 50% di provinsi non-pertanian; (2) komposisi belanja perindustrian periode 2006-2011 sangat kecil dengan rata-rata 0.3% per tahun baik di provinsi pertanian maupun non-pertanian, sehingga masih relevan untuk ditingkatkan; dan (3) hasil estimasi menunjukkan ada fenomena flypaper effect DAU untuk belanja perindustrian sehingga untuk mengatasi peran kapasitas fiskal yang rendah dalam membiayai pembangunan industri maka pemerintah daerah dapat mengintervensi dengan meningkatkan belanja tersebut.

Berdasarkan hasil simulasi pada Tabel 38, peningkatan belanja perindustrian 25% di provinsi pertanian meningkatkan PDRB industri 22.6% sehingga total PDRB naik atau ekonomi tumbuh 3.5%. Tetapi, konsekuensi meningkatnya PDRB adalah berkurangnya DAU 0.4%. Namun, kenaikan PDRB juga berdampak meningkatkan penyerapan total tenaga kerja tetapi hanya 0.6% karena penyerapan tenaga kerja baru hanya terjadi di sektor industri dengan jumlah tenaga kerja yang relatif kecil. Selain itu, meningkatnya PDRB juga meningkatkan PDRB per kapita yang berarti ada perbaikan potensi ekonomi penduduk. Berdasarkan hasil estimasi model diketahui pajak daerah dipengaruhi PDRB per kapita sehingga kenaikan PDRB per kapita menyebabkan PAD tumbuh 0.4%. Demikian juga, kenaikan PDRB industri meningkatkan PDRB non-pertanian sehingga bagi hasil pajak yang dipengaruhi oleh PDRB non-pertanian meningkat 1.8%. Selanjutnya, kenaikan PAD dan bagi hasil pajak meningkatkan kapasitas fiskal 0.8%. Meningkatnya PDRB industri meningkatkan pengeluaran per kapita industri 1.8%. Di sisi lain, kenaikan PDRB industri meningkatkan share pada total PDRB 1.8 persen poin. Mengacu pada hasil estimasi dimana share PDRB industri yang lebih besar akan menurunkan Indeks Gini maka kenaikan share PDRB industri menurunkan Indeks Gini 0.001 poin yang berarti ada perbaikan distribusi pendapatan. Selanjutnya pengeluaran per kapita industri yang lebih besar bersama-sama Indeks Gini yang lebih rendah berdampak menurunkan headcount index industri 0.44 persen poin. Indeks Gini yang lebih rendah juga menurunkan headcount index pertanian dan

headcount index perdagangan masing-masing 0.07 persen poin dan 0.05 persen poin walaupun pengeluaran per kapita di kedua sektor tersebut tidak berubah. Akan tetapi, turunnya headcount index pertanian tidak mengurangi proporsi penduduk miskin pertanian.

Tidak berbeda dengan provinsi pertanian, peningkatan belanja perindustrian di provinsi non-pertanian menunjukkan arah perubahan sama tetapi besarannya lebih kecil kecuali kenaikan jumlah tenaga kerja yang lebih besar. Perubahan di provinsi non-pertanian yang lebih rendah mengindikasikan perlunya peningkatan belanja perindustrian lebih besar karena jumlah penduduk miskin industri lebih banyak yaitu rata-rata 144 ribu sedangkan di provinsi pertanian hanya 31 ribu.

Tabel 38 Dampak Peningkatan Belanja Perindustrian1

Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011

terhadap Kinerja Fiskal,

Varibel Endogen Satuan

Nilai Dasar Perubahan (%) Pertanian Non Pertanian Pertanian Non Pertanian Blok Fiskal 1. PAD Juta Rp 1 024 054 3 477 112 0.4 0.1

2. Bagi hasil pajak Juta Rp 688 243 1 424 821 1.8 1.8 3. Kapasitas fiskal Juta Rp 2 103 080 7 138 562 0.8 0.4 4. Dana alokasi umum Juta Rp 4 981 834 6 932 979 -0.4 -0.5 5. Total pendapatan Juta Rp 8 716 324 16 310 871 -0.1 0.0 6. Belanja pertanian Juta Rp 240 966 343 362 0.0 0.0 7. Belanja perindustrian Juta Rp 26 790 46 755 25.0 50.0 8. Belanja perdagangan Juta Rp 30 777 60 091 -0.1 -0.1 9. Belanja infrastruktur Juta Rp 1 177 511 2 206 496 0.2 0.2 10. Belanja lainnya Juta Rp 6 736 788 12 523 590 -0.1 -0.1 11. Total belanja Juta Rp 8 394 643 15 372 310 0.1 0.1 12. Kesenjangan fiskal Juta Rp 6 291 562 8 233 749 -0.2 -0.2

13. Kemandirian fiskal2 % 11.7 21.3 0.0 0.0

Blok Perekonomian Sektoral

14. PDRB pertanian Juta Rp 15 286 919 32 598 079 0.0 0.0 15. PDRB industri Juta Rp 9 726 946 68 907 971 22.6 6.7 16. PDRB perdagangan Juta Rp 12 034 913 37 758 339 0.0 0.0 17. PDRB total Juta Rp 62 210 040 215 490 000 3.5 2.1 18. Share PDRB pertanian2 % 26.6 17.2 -0.6 -0.4 19. Share PDRB industri2 % 14.4 27.6 1.8 1.5 20. Share PDRB perdagangan2 % 17.3 15.6 -0.4 -0.3

21. Jumlah tenaga kerja Ribu org 2 202 5 890 0.6 6.7 22. Pengeluaran pddk pertanian Ribu Rp 283 290 0.0 0.0 23. Pengeluaran pddk industri Ribu Rp 346 424 1.8 1.8 24. Pengeluaran pddk perdagangan Ribu Rp 432 481 0.0 0.0

Blok Kemiskinan Sektoral

25. Indeks Gini3 0.340 0.344 -0.001 -0.001

26. Headcount index pertanian2 % 16.27 21.10 -0.07 -0.05

27. Headcount index industri2 % 13.54 12.19 -0.44 -0.49

28. Headcount index perrdagangan2 % 8.54 8.60 -0.05 -0.04

29. Poverty gap index pertanian3 2.42 3.37 -0.01 -0.01

30. Poverty severity index

pertanian3 0.62 0.91 0.00 0.00

31. Headcount index total2 % 12.72 14.53 -0.17 -0.18

32. Proporsi pddk miskin pertanian2 % 59.0 46.0 0.6 0.5 33. Pddk miskin pertanian4 Ribu org 387 894 -1.6 -2.1

34. Pddk miskin industri4 Ribu org 31 144 -1.0 -5.8

35. Pddk miskin perdagangan4 Ribu org 46 161 -0.3 -0.7 36. Penduduk miskin total4 Ribu org 656 1 943 -8.9 -24.1

Catatan: 1

Skenario SS2: belanja perindustrian provinsi pertanian naik 25%, provinsi non-pertanian naik 50% 2Perubahan dalam persen poin; 3Perubahan dalam poin; 4Perubahan dalam satuan jumlah

Berdasarkan temuan-temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan belanja perindustrian berdampak positif pada perekonomian dan kemiskinan

Dokumen terkait