• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

6. HASIL ESTIMASI MODEL

Bab ini berisi hasil estimasi model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah dan pembahasannya. Hasil estimasi tersebut adalah hasil terbaik yang memenuhi kriteria ekonomi dan kriteria statistik yaitu tanda dari koefisien- koerfisien parameter sesuai teori ekonomi (theoretically meaningful), koefisien determinasi R2

Tabel 24 Keragaan Umum Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral cukup besar (goodness of fit), serta hasil uji-uji F dan uji-uji t signifikan secara statistik (statistically significant). Namun, karena model tersebut adalah model dinamis dengan variabel lag endogen pada beberapa persamaan struktural maka untuk menghindari perbedaan unit observasi antara current data dan lag data yang mungkin terjadi pada pemrograman data panel menggunakan

software SAS/ETS 9.1.3, data tahun 2005 hanya digunakan sebagai lag data tahun 2006 sedangkan data tahun 2006-2011 digunakan sebagai current data dan lag data. Program dan hasil estimasi selengkapnya disajikan pada lampiran 4 dan 5. Daerah Tahun 2006-2011

No Variabel Endogen Keterangan Variabel R2 F-value Prob > F-value

1 PJK Pajak daerah 0.98 1 321 < 0.0001

2 BHSPJK Bagi hasil pajak 0.82 201 < 0.0001

3 DAU Dana alokasi umum 0.98 1 393 < 0.0001

4 GPGNKBNTNK Belanja pertanian 0.87 215 < 0.0001 5 GIND Belanja perindustrian 0.82 209 < 0.0001

6 GDG Belanja perdagangan 0.70 103 < 0.0001

7 GIFR Belanja infrastruktur 0.89 346 < 0.0001

8 GLN Belanja lainnya 0.99 5 503 < 0.0001

9 ASP Panjang jalan aspal 0.75 137 < 0.0001

10 PDRBPGNKBNTNK PDRB pangan, kebun, ternak 0.92 530 < 0.0001 11 PDRBMKN PDRB makanan jadi 0.64 121 < 0.0001

12 PDRBDG PDRB perdagangan 0.88 342 < 0.0001

13 TKTANI Tenaga kerja pertanian 0.90 403 < 0.0001 14 TKIND Tenaga kerja industri 0.90 409 < 0.0001 15 TKDG Tenaga kerja perdagangan 0.87 305 < 0.0001

16 UPHTANI Upah pertanian 0.82 308 < 0.0001

17 UPHIND Upah industri 0.75 200 < 0.0001

18 UPHDG Upah perdagangan 0.64 118 < 0.0001

19 EXPTANI Konsumsi perkapita pertanian 0.62 109 < 0.0001 20 EXPIND Konsumsi perkapita industri 0.48 63 < 0.0001 21 EXPDG Konsumsi perkapita perdagangan 0.35 37 < 0.0001

22 GINI Indeks Gini 0.47 29 < 0.0001

23 POVTANIP0 Headcount index pertanian 0.69 101 < 0.0001 24 POVINDP0 Headcount index industri 0.31 20 < 0.0001 25 POVDGP0 Headcount index perdagangan 0.34 23 < 0.0001 26 POVTANIP1 Poverty gap index pertanian 0.62 71 < 0.0001 27 POVTANIP2 Poverty severity index pertanian 0.58 60 < 0.0001 28 POVP0 Total headcount index 0.77 146 < 0.0001

Tabel 24 menunjukkan mayoritas R2 cukup besar (> 0.60) yang artinya telah memenuhi syarat kecocokan model (goodness of fit). Nilai R2 yang kecil terdapat pada beberapa persamaan blok kemiskinan kecuali kemiskinan sektor pertanian. R2

Blok Fiskal

yang rendah pada estimasi indikator-indikator kemiskinan juga ditemukan pada studi-studi empiris terdahulu, antara lain Nanga (2006) di Indonesia, Fan, et al. (2006) di Mesir, dan Daniels (2011) di Uganda. Namun demikian, seluruh hasil uji F menunjukkan signifikan secara statistik. Artinya, seluruh variabel penjelas di seluruh persamaan struktural secara bersama-sama mempengaruhi masing-masing variabel endogennya secara signifikan.

Pajak Daerah

Tabel 25 Hasil Estimasi Pajak Daerah

Variabel Estimasi parameter t-val Pr > |t| Elastisitas Keterangan S-R L-R Intercept -94933.9 a -2.36 0.0198

PDRBKAP 3.06025 b 2.20 0.0296 0.04 0.26 PDRB per kapita

PM 0.042283 a 6.01 <.0001 0.11 0.77 Penanaman Modal MTR 99.61593 a 4.80 <.0001 0.16 1.08 Kendaraan bermotor PJKL 0.851747 a 17.20 <.0001 PJK R t-1 0.98 2

Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 20%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen

Tabel 25 menunjukkan bahwa penerimaan pajak daerah sebagai sumber utama kapasitas fiskal dipengaruhi PDRB per kapita yang mencerminkan potensi ekonomi atau tingkat kemakmuran penduduk. Koefisien parameter sebesar 3.06 dapat diinterpretasikan bahwa kenaikan PDRB per kapita sebesar seribu rupiah akan meningkatkan penerimaan pajak daerah sebesar 3.06 juta rupiah. Namun, koefisien elastisitas yang kecil yaitu 0.04 menunjukkan rendahnya responsibilitas pajak daerah terhadap perubahan PDRB per kapita. Artinya, PDRB per kapita yang lebih besar tidak terlalu berdampak meningkatkan penerimaan pajak daerah, begitu juga PDRB per kapita yang rendah tidak terlalu berdampak menurunkan penerimaan pajak daerah. Di sisi lain, hal ini dapat mengindikasikan bahwa masih cukup peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah dari objek-objek pajak individual dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi pajak.

Faktor lainnya adalah penanaman modal bahkan hubungannya lebih elastis dibandingkan PDRB per kapita. Artinya, berkembangnya dunia usaha memberi potensi bagi pemerintah daerah untuk mendorong penerimaan pajak daerah. Selain itu, jumlah kendaraan bermotor juga mempengaruhi penerimaan pajak daerah bahkan hubungannya paling elasatis dibandingkan dua faktor sebelumnya. Hal ini dapat terjadi karena data agregat penerimaan pajak daerah didominasi oleh pajak-pajak provinsi yang mayoritas bersumber dari pajak-pajak terkait kendaraan bermotor, yaitu pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor. Tingginya komposisi pajak provinsi ditunjukkan oleh penerimaan pajak daerah tahun 2011 dimana rata-rata 77% dari total penerimaan pajak daerah (agregat pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota) merupakan pajak provinsi berkisar antara 46% di Kepulauan Riau dan 87% di Kalimantan Selatan. Namun demikian, bertambahnya jumlah kendaraan bermotor

berdampak buruk pada lingkungan dan menambah beban negara menyediakan subsidi BBM. Berdasarkan temuan dari hasil estimasi pajak daerah disimpulkan bahwa untuk meningkatkan kapasitas fiskal dari sumber pajak daerah diperlukan potensi ekonomi penduduk dan investasi swasta yang lebih besar.

Bagi Hasil Pajak

Tabel 26 Hasil Estimasi Bagi Hasil Pajak

Variabel Estimasi parameter t-val Pr > |t| Elastisitas Keterangan S-R L-R Intercept 77276.63 d 1.22 0.2250

PDRBNONTANI 0.004145 a 7.07 <.0001 0.44 0.65 PDRB non tani

WLYH 3.330978 a 3.81 0.0002 0.18 0.26 Luas wilayah

BHSPJKL 0.314815 a 3.63 0.0004 BHSPJK

R

t-1

0.82

2

Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 20%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen Sumber kapasitas fiskal lainnya adalah bagi hasil pajak. Sesuai aturan dalam UU No. 33 tahun 2004, bagi hasil pajak adalah sumber penerimaan daerah yang merupakan bagi hasil atas penerimaan pajak negara dari wilayah pemerintahan daerah meliputi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN) dan PPh Pasal 21. Hasil estimasi pada Tabel 26 menunjukkan bagi hasil pajak secara signifikan dipengaruhi PDRB non-pertanian yang mencerminkan sumber penerimaan PPh orang pribadi dimana sebagian besar bekerja di sektor-sektor non-pertanian. PPh orang pribadi adalah bagian dari PPh non-migas yang merupakan sumber penerimaan pajak dalam negeri terbesar di Indonesia. Data realisasi penerimaan pajak negara tahun 2011 menunjukkan 68% PPh non-migas bersumber dari sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, dan sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan. Sedangkan sektor pertanian hanya berkontribusi 4%. Sementara itu, 21% penerimaan PPh Non-migas merupakan tiga jenis PPh yang dibagi hasilkan. Dengan demikian, pembangunan sektor-sektor non-pertanian di daerah berpotnsi meningkatkan penerimaan bagi hasil pajak khususnya yang bersumber dari PPh. Di sisi lain, peningkatan bagi hasil pajak dari PPh dapat juga dilakukan oleh pemerintah pusat dengan menambah porsi daerah dari bagian PPh tersebut. Sesuai aturan dalam UU No. 33 tahun 2004 Pasal 13 daerah hanya menerima 20% dari total PPh di seluruh wilayah provinsi yang bersangkutan dengan proporsi 8% untuk provinsi dan 12% untuk kabupaten/kota.

Faktor lain yang mempengaruhi penerimaan bagi hasil pajak adalah luas wilayah yang mencerminkan sumber penerimaan PBB dan BPHTB. Namun, hubungan bagi hasil pajak dengan PDRB non-pertanian lebih elastis dibandingkan hubungannya dengan luas wilayah yang berarti penerimaan bagi hasil pajak lebih bergantung pada pajak-pajak penghasilan dari pada pajak-pajak properti. Hal ini dapat terjadi karena rendahnya kontribusi PBB pada penerimaan pajak dalam negeri. Pada tahun 2011 komposisi PBB pada total penerimaan pajak dalam negeri hanya 4%. Selain itu, sejak tahun 2011 BPHTB telah dialihkan seluruhnya ke daerah menjadi sumber penerimaan pajak daerah sehingga tidak lagi menjadi sumber penerimaan pajak dalam negeri.

Berdasarkan temuan dari hasil estimasi bagi hasil pajak disimpulkan bahwa untuk meningkatkan kapasitas fiskal dari bagi hasil pajak khususnya dari sumber bagi hasil PPh diperlukan pembangunan sektor-sektor non-pertanian antar alain sektor industri dan perdagangan. Namun, upaya lain dapat dilakukan pemerintah pusat dengan menambah porsi bagi hasil pajak untuk daerah dengan merrevisi UU No. 33 tahun 2004.

Dana Alokasi Umum

Selain kapasitas fiskal, pendapatan fiskal daerah juga bersumber dari dana perimbangan khususnya Dana Alokasi Umum (DAU). Fakta menunjukkan bahwa lebih dari setengah total pendapatan daerah berasal dari DAU. Tingginya peran DAU merupakan konsekuensi kebijakan desentralisasi fiskal yang mengutamakan sisi pengeluaran dengan mengalihkan tugas-tugas pengeluaran daerah secara penuh dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Namun, ketergantungan pada DAU dapat memperburuk kinerja fiskal daerah. Menurut teori federalisme fiskal, transfer yang besar menimbulkan disinsentif atau halangan bagi pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaannya (Oates, 1972). Jika dikaitkan DAU sebagai komponen dana perimbangan yang paling penting maka ketergantungan keuangan daerah pada DAU akan menghalangi kemampuan daerah meningkatkan penerimaannya dari sumber-sumber keuangan lokal.

Tabel 27 Hasil Estimasi Dana Alokasi Umum

Variabel Estimasi parameter t-val Pr > |t| Elastisitas Keterangan S-R L-R Intercept 179927.2 c 1.44 0.1532 PDRBL -0.0072 a -6.10 <.0001 -0.16 -0.28 PDRB POP t-1 107.6154 a 4.26 <.0001 0.17 0.29 Jumlah penduduk

WLYH 6.338917 a 4.45 <.0001 0.06 0.11 Luas wilayah

PNS 18.81129 a 6.27 <.0001 0.50 0.87 Jumlah PNS DAUL 0.431706 a 6.51 <.0001 DAU R t-1 0.98 2

Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 20%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen Hasil estimasi pada Tabel 27 menunjukkan DAU dipengaruhi faktor-faktor kebutuhan daerah sesuai formula alokasi DAU yaitu PDRB tahun sebelumnya (lag PDRB), jumlah penduduk, dan luas wilayah. Hubungan DAU dan lag PDRB yang negatif menunjukkan bahwa daerah akan menerima DAU lebih rendah jika PDRB tahun sebelumnya lebih besar. Hal ini berarti kenaikan PDRB merupakan faktor penting untuk mengurangi ketergantungan daerah pada DAU. Sementara, faktor-faktor yang meningkatkan DAU adalah jumlah penduduk dan luas wilayah.

Sesuai formula alokasinya, DAU juga ditentukan oleh alokasi dasar sebagai cerminan kebutuhan pembiayaan administrasi pemerintahan daerah yang diproksi dari jumlah PNS daerah. Hubungan yang positif mengindikasikan pembiayaan struktur pemerintahan daerah yang lebih luas akan dijamin oleh pemerintah pusat melalui DAU. Namun, perluasan struktur pemerintahan daerah tidak menjamin peningkatan layanan masyarakat. Selain itu, koefisien elastisitasnya paling besar yaitu 0.5 yang berarti kenaikan kenaikan jumlah PNS 10% akan menambah DAU 5%. Artinya, setengah dari tambahan DAU digunakan untuk membayar gaji PNS. Temuan ini sesuai hasil penelitian World Bank (2007) dimana lebih dari setengah

kenaikan DAU yang seharusnya untuk meningkatkan pelayanan masyarakat justru digunakan untuk membiayai belanja pegawai pemerintah daerah. Peran DAU yang besar pada alokasi dasar mengindikasikan DAU lebih diutamakan untuk membiayai kebutuhan administrasi pemerintah daerah atau belanja rutin daripada kebutuhan pembiayaan pembangunan daerah.

Berdasarkan temuan dari hasil estimasi DAU disimpulkan bahwa untuk mengurangi ketergantungan keuangan pemerintah daerah pada DAU diperlukan PDRB yang lebih besar dan perampingan struktur pemerintahan di daerah.

Belanja Sektoral

Tabel 28 Hasil Estimasi Belanja Sektoral Daerah

Variabel Estimasi parameter t-val Pr > |t| Elastisitas Keterangan S-R L-R Belanja Pertanian (GPGNKBNTNK) Intercept 36039.57 a 3.27 0.0014

KAPFIS 0.007570 a 3.65 0.0004 0.11 0.25 Kapasitas fiskal

DAU 0.008443 a 2.90 0.0043 0.17 0.37 DAU

DAK 0.046851 d 1.23 0.2191 0.10 0.21 Dana alokasi khusus

GPGNKBNTNKL 0.542576 a 7.55 <.0001 GPGNKBNTNK

R

t-1

0.87

2

Belanja Perindustrian (GIND) Intercept -4952.5 b -1.86 0.0651

KAPFIS 0.000730 b 1.83 0.0698 0.09 0.35 Kapasitas fiskal DAU 0.002365 a 5.13 <.0001 0.37 1.49 DAU GINDL 0.749475 a 13.26 <.0001 GIND R t-1 0.82 2 Belanja Perdagangan (GDG) Intercept -1818.01 -0.49 0.6220

KAPFIS 0.002214 a 3.64 0.0004 0.22 0.44 Kapasitas fiskal DAU 0.002753 a 4.73 <.0001 0.36 0.73 DAU GDGL 0.504975 a 7.19 <.0001 GDG R t-1 0.70 2

Belanja Infrastruktur (GIFR) Intercept 256753.3 a 3.97 0.0001

KAPFIS 0.082805 a 5.66 <.0001 0.21 0.56 Kapasitas fiskal DAU 0.017387 b 2.08 0.0390 0.06 0.16 DAU GIFRL 0.625046 a 10.82 <.0001 GIFR R t-1 0.89 2 Belanja Lainnya (GLN) Intercept -162696 -1.59 0.1148

KAPFIS 0.162246 a 4.89 <.0001 0.08 0.44 Kapasitas fiskal DAU 0.302331 a 6.96 <.0001 0.19 1.07 DAU GLNL 0.826398 a 20.56 <.0001 GLN R t-1 0.99 2

Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 20%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen Klasifikasi belanja daerah pada penelitian ini terdiri dari belanja pertanian, belanja perindustrian, belanja perdagangan, belanja infrastruktur, dan belanja lainnya. Klasifikasi ini digunakan untuk menggambarkan keterkaitan pengeluaran pemerintah daerah sektoral dan kinerja perekonomian sektoral. Besar kecilnya

pengeluaran pemerintah tergantung pada penerimaanya. Oleh karena itu, kelima jenis belanja daerah ini diduga dipengaruhi oleh dua sumber utama penerimaan daerah yaitu kapasitas fiskal dan DAU. Di sisi lain, penggunaan DAU sebagai variabel penjelas dapat memberi informasi ada tidaknya fenomena flypaper effect

pada DAU terhadap alokasinya untuk kelima jenis belanja daerah tersebut. Selain itu, dapat diketahui juga informasi ada tidaknya upaya pemerintah daerah untuk mencapai pertumbuhan pro-poor melalui kebijakan pengeluaran daerah. Hasil estimasi pada Tabel 28 menunjukkan kelima jenis belanja daerah dipengaruhi oleh kapasitas fiskal dan DAU. Namun, perubahan belanja-belanja daerah lebih elastis terhadap perubahan DAU dari pada kapasitas fiskal kecuali belanja infrastruktur. Artinya, ada indikasi fenomena flypaper effect pada DAU karena pemerintah daerah merespon DAU secara berlebihan untuk membiayai sebagian besar belanja daerahnya sementara perubahan kapasitas fiskal kurang direspon. Koefisien DAU yang lebih besar dari koefisien kapasitas fiskal pada estimasi belanja perindustrian dan belanja perdagangan mengindikasikan pemerintah daerah tidak menggunakan DAU untuk strategi pertumbuhan pro-poor yaitu pembangunan pertanian dan pembangunan infrastruktur sebagaimana rekomedasi studi-studi terdahulu seperti Balisacan, et al. (2003) dan OECD (2006 dan 2009).

Sementara itu, hasil estimasi belanja pertanian dan belanja infrastruktur menunjukkan koefisien parameter kapasitas fiskal cukup besar. Hal ini mengindikasikan kapasitas fiskal lebih diandalkan dalam strategi pertumbuhan pro-poor di daerah dari pada DAU. Dengan perkataan lain, kapasitas fiskal lebih efektif untuk mencapai pertumbuhan pro-poor dari pada DAU. Namun, fakta menunjukkan rendahnya komposisi kapasitas fiskal pada total pendapatan daerah bahkan cenderung berkurang.

Berdasarkan temuan dari hasil estimasi belanja-belanja sektoral disimpulkan bahwa ada indikasi fenomena flypaper effect pada DAU terhadap alokasi belanja- belanja sektoral yang tidak berdampak besar bagi pertumbuhan pro-poor. Selain itu, untuk mencapai pertumbuhan pro-poor melalui pembangunan pertanian dan infrastruktur daerah dibutuhkan kapasitas fiskal yang besar dengan meningkatkan penerimaan pajak daerah dan bagi hasil pajak.

Blok Perekonomian Sektoral Panjang Jalan Aspal

Infrastruktur jalan merupakan faktor penting dalam perekonomian daeerah karena berfungsi sebagai sarana untuk memperluas akses ke pasar input dan pasar output. Oleh karena ituk, pembangunan infrastruktur jalan aspal juga merupakan fokus pembangunan nasional yang tertuang dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Hal ini berawal dari fakta rendahnya kualitas infrastruktur di Indonesia pada umumnya sehingga menjadi kendala utama dalam melakukan berbagai kegiatan usaha. Oleh karena itu, perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi panjang jalan aspal. Hasil estimasi pada Tabel 29 menunjukkan panjang jalan aspal dipengaruhi oleh belanja infrastruktur, penanaman modal, dan jumlah kendaraan bermotor. Koefisien parameter belanja infrastruktur sebesar 0.00063 menunjukkan kenaikan belanja infrastruktur satu miliar rupiah hanya mampu menambah jalan aspal 0.63 km. Hal ini dapat terjadi karena belanja infrastruktur digunakan juga untuk pembangunan

infrastruktur lain seperti irigasi dan sarana air bersih. Akan tetapi, hasil penelitian KPPOD di 41 kabupaten/kota tahun 2007-2010 menemukan anggaran belanja infrastruktur hanya 11-13%. Bahkan meningkatnya belanja infrastruktur tidak meningkatkan kualitas infrastruktur khususnya jalan yang diduga disebabkan oleh korupsi pelaksanaan proyek infrastruktur fisik sehingga mengorbankan mutu infrasttruktur.

Tabel 29 Hasil Estimasi Panjang Jalan Aspal

Variabel Estimasi

parameter t-val Pr > |t| Elastisitas Keterangan Intercept 2489.701 a 4.16 <.0001

GIFR 0.000634 b 1.82 0.0706 0.11 Belanja infrastruktur

PM 0.000148 b 2.52 0.0130 0.06 Penanaman modal

MTR 2.470515 a 15.15 <.0001 0.58 Kendaraan bermotor

R2 0.75

Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 20%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen

Selain itu, penanaman modal juga berpengaruh positif meskipun kurang elastis. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur jalan memerlukan peran swasta mengingat kemampuan pembiayaan pembangunan infrastruktur dari belanja pemerintah daerah relatif rendah. Sebagaimana ditunjukkan pada hasil estimasi belanja sektoral, rendahnya belanja infrastruktur karena belanja tersebut lebih bergantung pada kapasitas fiskal sementara komposisi kapasitas fiskal di daerah rendah.

Berdasarkan temuan dari hasil estimasi panjang jalan aspal disimpulkan untuk membangun infrastruktur jalan aspal diperlukan belanja infrastruktur dan investasi swasta yang lebih besar. Jika dikaitkan dengan temuan sebelumnya dimana belanja infrastruktur sangat bergantung pada kapasitas fiskal, maka kunci keberhasilan pembangunan infrastruktur jalan aspal adalah kapasitas fiskal.

PDRB Sektoral

Kinerja perekonomian daerah dapat dicerminkan dari PDRB sektoral. Hasil estimasi pada Tabel 30 menunjukkan PDRB sektoral dipengaruhi belanja sektoral, tenaga kerja sektoral, dan panjang jalan aspal. Perubahan PDRB tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan PDRB perdagangan lebih elastis terhadap perubahan tenaga kerja sektoral dari pada perubahan belanja sektoral. Hal ini menunjukkan kedua sektor tersebut lebih bersifat padat karya (labor intensive). Sebaliknya, perubahan PDRB industri makanan lebih elastis terhadap perubahan belanja perindustrian dari pada tenaga kerja industri. Hal ini menunjukkan sektor tersebut lebih bersifat padat modal (capital intensive). Faktor lain yang mempengaruhi PDRB sektoral adalah panjang jalan aspal yang mencerminkan perannya sebagai sarana memperluas akses ke pasar output terutama pertanian dan perdagangan melalui jalur yang dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi. Koefisien parameter panjang jalan aspal pada PDRB tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan sebesar 930 dan PDRB perdagangan sebesar 1656 memberi arti penambahan jalan aspal sepanjang 1 km akan meningkatkan PDRB tanaman pangan, perkebunan, peternakan sebesar 930 juta rupiah dan PDRB perdagangan 1.66 miliar rupiah.

Tabel 30 Hasial Estimasi PDRB Sektoral

Variabel Estimasi

parameter t-val Pr > |t| Elastisitas Keterangan PDRB tanaman pangan, perkebunan, peternakan (PDRBPGNKBNTNK) Intercept -6374729 a -5.34 <.0001

GPGNKBNTNK 24.73811 a 4.40 <.0001 0.38 Belanja pertanian TKTANI 5711.454 a 6.67 <.0001 0.48 Tenaga kerja pertanian ASP 930.0316 a 3.82 0.0002 0.47 Panjang jalan aspal

R2 0.92

PDRB industri makanan jadi (PDRBMKN) Intercept -2494254 b -1.74 0.0840

GIND 195.8402 a 5.48 <.0001 0.69 Belanja perindustrian TKIND 11064.96 a 6.74 <.0001 0.55 Tenaga kerja industri

R2 0.64

PDRB perdagangan (PDRBDG) Intercept -1.47E+07 a -4.83 <.0001

GDGKAP 556479.4 a 2.63 0.0097 0.16 Belanja perdagangan TKDG 24205.45 a 11.89 <.0001 0.78 Tenaga kerja perdag ASP 1655.791 a 5.13 <.0001 0.63 Panjang jalan aspal

R2 0.88

Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 20%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen

Berdasarkan temuan dari hasil estimasi PDRB sektoral dapat disimpulkan untuk mendorong perekonomian daerah maka diperlukan pengeluaran pemerintah sektoral yang lebih besar terutama di sektor industri serta jumlah tenaga kerja yang lebih besar terutama di sektor pertanian dan perdagangan. Selain itu, infrastruktur jalan aspal juga dibutuhkan terutama untuk sektor pertanian dan perdagangan. Jika dikaitkan dengan hasil estimasi belanja-belanja sektoral, maka kapasitas fiskal merupakan faktor penting untuk mendorong perekonomian daerah mengingat perannya yang besar dalam pada belanja-belanja sektoral khususnya belanja pertanian dan infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan pro-poor.

Tenaga Kerja Sektoral

Kinerja perekonomian sektoral daerah dapat juga ditinjau dari jumlah tenaga kerja sektoral. Hasil estimasi menunjukkan jumlah tenaga kerja pertanian dipengaruhi oleh PDRB pertanian dan panjang jalan aspal. Hubungannya dengan panjang jalan aspal lebih elastis dari pada PDRB pertanian dengan koefisien parameter sebesar 0.14 yang berarti pertambahan jalan aspal sepanjang 1 km akan menyerap tambahan tenaga kerja pertanian sebanyak 140 orang. Hal ini menunjukkan pembangunan infrastruktur merupakan faktor penting bagi ekonomi pedesaan yang didominasi sektor pertanian melalui penyerapan tenaga kerja pertanian. Hubungan tenaga kerja pertanian dan infrastruktur jalan aspal yang lebih elastis dibandingkan tenaga kerja industri dan tenaga kerja perdagangan juga menjadi indikasi bahwa kondisi infrastruktur di wilayah pertanian yang mayoritas berada di pedesaan lebih buruk dibandingkan wilayah industri dan perdagangan di perkotaan sehingga sangat berperan menyerap tenaga kerja pertanian. Sementara itu, upah riil sektoral yang lebih besar menurunkan jumlah tenaga kerja terutama di sektor industri. Perubahan jumlah tenaga kerja industri sangat elastis terhadap perubahan upah riil industri dimana kenaikan upah riil 10% akan menurunkan

jumlah tenaga kerja industri 11.4%. Hal ini mengindikasikan kenaikan upah riil akan mendorong pengusaha sektor industri untuk mengurangi input tenaga kerja dan mengalihkan kenaikan upah riil untuk menambah modal. Dengan perkataan lain, faktor modal dan tenaga kerja di sektor industri bersifat kompetitif.

Tabel 31 Hasil Estimasi Jumlah Tenaga Kerja Sektoral

Variabel Estimasi

parameter t-val Pr > |t| Elastisitas Keterangan Tenaga Kerja Pertanian (TKTANI)

Intercept 278.318 d 1.18 0.2404

PDRBTANI 0.000028 a 4.87 <.0001 0.41 PDRB pertanian UPHTANI -1.10432 a -3.84 0.0002 -0.41 Upah pertanian ASP 0.138568 a 6.90 <.0001 0.83 Panjang jalan aspal

R2 0.90

Tenaga Kerja Industri (TKIND) Intercept 507.7032 a 4.61 <.0001

PDRBIND 0.000013 a 18.83 <.0001 0.95 PDRB industri UPHIND -0.68291 a -7.15 <.0001 -1.14 Upah industri ASP 0.010769 b 1.84 0.0678 0.20 Panjang jalan aspal

R2 0.90

Tenaga Kerja perdagangan (TKDG) Intercept 360.2438 d 1.22 0.2231

PDRBDG 0.000023 a 10.79 <.0001 0.71 PDRB perdagangan UPHDG -0.41858 c -1.41 0.1606 -0.41 Upah perdagangan ASP 0.021856 b 1.76 0.0807 0.26 Panjang jalan aspal

R2 0.87

Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 20%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen

Berdasarkan temuan dari hasil estimasi tenaga kerja sektoral disimpulkan bahwa untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja terutama di sektor pertanian dan perdagangan yang lebih bersifat labor intensive diperlukan infrastruktur jalan aspal yang lebih memadai. Jika dikaitkan dengan temuan-temuan sebelumnya dimana pembangunan infrastruktur jalan aspal memerlukan belanja infrastruktur yang memadai yang bergantung pada kapasitas fiskal maka kapasitas fiskal menjadi faktor penting dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja sektoral terutama tenaga kerja pertanian.

Upah Riil Sektoral

Informasi tingkat upah sangat penting untuk mengevaluasi tingkat hidup dan kondisi kehidupan tenaga kerja beserta anggota rumahtangganya. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan upah riil sebagai proksi pendapatan penduduk untuk menggambarkan daya beli penduduk. Hal ini didasari hipotesis fluktuasi tingkat upah akan mempengaruhi kemiskinan. Indikator upah riil juga digunakan untuk menganalisis siklus bisnis (business cycles) apabila dianalisis bersama variabel- variabel ekonomi lain seperti jumlah tenaga kerja dan output (Malik dan Ahmed, 2000). Hasil estimasi pada Tabel 32 menunjukkan upah riil pertanian, industri, dan perdagangan dipengaruhi secara psitif oleh PDRB per kapita sektoral. Temuan ini sejalan dengan Malik dan Ahmed (2000) yaitu ada hubungan positif output dan upah riil di Pakistan baik total maupun sektoral. Artinya, hubungan pertumbuhan ekonomi dan upah riil bersifat pro-cyclical.

Tabel 32 Hasil Estimasi Upah Riil Sektoral Variabel Estimasi parameter t-val Pr > |t| Elastisitas Keterangan S-R L-R

Upah Pertanian (UPHTANI) Intercept 63.05079 a 2.70 0.0079

PDRBTANIKAP 0.009624 c 1.63 0.1052 0.05 0.36 PDRB tani perkap UPHTANIL 0.860639 a 20.23 <.0001 UPHTANI R

t-1

0.82

2

Upah Industri (UPHIND) Intercept 464.3901 a 8.19 <.0001

PDRBINDKAP 0.032354 a 6.30 <.0001 0.15 0.22 PDRB industri perkap

UPHINDL 0.313735 a 3.79 0.0002 UPHIND

R

t-1

0.75

2

Upah Perdagangan (UPHDG) Intercept 247.4232 a 5.32 <.0001

PDRBDGKAP 0.026432 a 3.49 0.0006 0.09 0.23 PDRB perdag perkap

Dokumen terkait