• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.9 Dampak Kebisingan Terhadap Kesehatan

Menurut Fahmi (1997), kebisingan di tempat kerja dapat menimbulkan gangguan yang dapat dikelompokkan secara bertingkat sebagai berikut:

2.9.1.1.Gangguan Fisiologis

Gangguan fisiologis adalah gangguan yang mula-mula timbul akibat bising, dengan kata lain fungsi pendengaran secara fisiologis dapat terganggu. Pembicaraan atau instruksi dalam pekerjaan tidak dapat didengar secara jelas, sehingga dapat menimbulkan gangguan lain, seperti kecelakaan. Kebisingan dapat juga mengganggu Cardiac Out Put dan tekanan darah (Wahyu, 2003).

Menurut Rosidah (2003), pemaparan bunyi terutama yang mendadak menimbulkan reaksi fisiologis seperti: denyut nadi, tekanan darah, metabolisme, gangguan tidur dan penyempitan pembuluh darah. Reaksi ini terutama terjadi pada permulaan pemaparan terhadap bunyi kemudian akan kembali pada keadaan semula. Bila terus-menerus terpapar maka akan terjadi adaptasi sehingga

perubahan itu tidak tampak lagi. Kebisingan dapat menimbulkan gangguan fisiologis melalui tiga cara yaitu:

a. Sistem internal tubuh

Sistem internal tubuh adalah sistem fisiologis yang penting untuk kehidupan yang terdiri dari: kardiovaskuler (jantung, paru-paru, pembuluh darah), gastrointestinal (perut, usus), saraf (urat saraf), musculoskeletal (otot, tulang) dan endokrin (kelenjar)

b. Ambang pendengaran

Ambang pendengaran adalah suara terlemah yang masih bisa didengar. Makin rendah level suara terlemah yang didengar berarti makin rendah nilai ambang pendengaran, berarti makin baik pendengarannya. Kebisingan dapat mempengaruhi nilai ambang batas pendengaran baik secara sementara (fisiologis) atau menetap (patofisiologis) (Rosidah, 2003).

c. Gangguan pola tidur

Pola tidur sudah merupakan pola alamiah, kondisi istirahat yang berulang secara teratur, dan penting untuk tubuh normal dan pemeliharaan mental secara kesembuhan. Kebisingan dapat mengganggu tidur dalam hal kegelapan, kontinuitas, dan lama tidur (Fahmi, 1997).

Berdasarkan penelitian yang menemukan bahwa persentase seseorang bisa terbangun dari tidurnya sebesar 5% pada tingkat intensitas suara 40 dB dan meningkat sampai 30% pada tingkat 70 dB. Pada tingkat intensitas suara 100 dB sampai 120 dB, hampir setiap orang terbangun dari tidurnya (Jain, 1981).

2.9.1.2.Gangguan psikologis

Gangguan fisiologis lama kelamaan bisa menimbulkan gangguan psikologis. Kebisingan dapat mempengaruhi stabilitas mental dan reaksi psikologis, seperti rasa khawatir, takut dan sebagainya. Stabilitas mental adalah kemampuan seseorang untuk berfungsi atau bertindak normal. Suara yang tidak dikehendaki dapat memperberat problem mental dan perilaku yang sudah ada (Jain, 1981).

Reaksi terhadap gangguan ini sering menimbulkan keluhan terhadap kebisingan yang berasal dari pabrik, lapangan udara dan lalu lintas. Umumnya kebisingan pada lingkungan melebihi 50-55 dB pada siang hari dan 45-55 dB akan mengganggu kebanyakan orang. Apabila kenyaringan kebisingan meningkat, maka dampak terhadap psikologis juga akan meningkat. Kebisingan dikatakan mengganggu apabila pemaparannya menyebabkan orang tersebut berusaha untuk mengurangi, menolak suara tersebut atau meninggalkan tempat yang bisa menimbulkan suara yang tidak dikehendakinya (Rosidah, 2003).

2.9.1.3.Gangguan patologis organ

Gangguan kebisingan yang paling menonjol adalah pengaruhnya terhadap alat pendengaran atau telinga, yang dapat menimbulkan ketulian yang bersifat sementara hingga permanen. Kelainan yang timbul pada telinga akibat bising terjadi tahap demi tahap sebagai berikut: stadium adaptasi, merupakan suatu daya proteksi alamiah dan keadaan yang dapat pulih kembali, atau kata lain sifatnya

reversible. Stadium temporary threshold shiff disebut juga auditory fatigue yang merupakan kehilangan pendengaran reversible sesudah 48 jam terhindar dari bising itu. Batas waktu yang diperlukan untuk pulih kembali sesudah terpapar bising adalah 16 jam. Stadium persistem trehold shiff, dalam stadium ini ambang pendengaran meninggi lebih lama, sekurang-kurangnya 48 jam setelah meninggalkan lingkungan bising, pendengaran masih terganggu. Stadium

permanent trehold shiff, pada stadium ini meningginya ambang pendengaran menetap sifatnya, gangguan ini banyak ditemukan dan tidak dapat disembuhkan. Tuli akibat bising ini merupakan tuli persepsi yang kerusakannya terdapat dalam koklea berupa rusaknya saraf pendengaran (Wahyu, 2003).

2.9.1.4.Komunikasi

Kebisingan dapat mengganggu pembicaraan. Paling penting disini bahwa kebisingan mengganggu kita dalam menangkap dan mengerti apa yang

dibicarakan oleh orang lain, apakah itu berupa percakapan langsung, percakapan telepon, melalui alat komunikasi lain, misalnya radio, televisi dan pidato (Rosidah, 2003).

Tabel 3. Intensitas dan Lama Kebisingan Terhadap Tubuh

No. Gangguan Intensitas

(dB)

Lama Waktu

1 Sistem internal tubuh 85 Sewaktu-waktu

2 Ambang pendengaran A. Continuous 80 16 jam 85 8 jam 90 4 jam 95 2 jam 100 1 jam 105 30 menit 110 15 menit 115 7,5 menit >115 Tidak pernah B. Impulsif 140 10000 microsec 3 Pola tidur A. Terbangun 55-60 Sewaktu-waktu

B. Pergantian jam tidur 35-45 Sewaktu-waktu Sumber: Jain, R.K. et al: Enviromental impact Analysis, 1981: 280.

2.10 Lambung

2.10.1 Anatomi umum

Lambung adalah ruang berbentuk kantung mirip huruf J yang terletak diantara esophagus dan usus halus. Lambung dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan perbedaan anatomis, histologist dan fungsional. Fundus adalah bagian lambung yang terletak di bagian atas lubang esophagus. Bagian tengah atau utama lambung adalah korpus (badan). Lapisan otot polos di fundus dan korpus relatif tipis, tetapi bagian bawah lambung, antrum, memiliki otot yang lebih tebal. Diantara region-regio tersebut terdapat perbedaan kelenjar di mukosa. Bagian akhir lambung adalah stingfer pylorus, yang berfungsi sebagai sawar antara lambung dan bagian atas usus halus, duodenum (Sherwood, 1996).

Kardia dan pylorus letaknya cukup dekat satu sama lain, sehingga secara keseluruhan mengesankan berbentuk seperti buah besar yang membengkak. Hal

ini menghasilkan suatu sisi yang berbentuk sangat konkaf antara kardia dan pilorus yang disebut lengkungan pendek (lesser curvature), serta sisi lainnya yang konveks disebut lengkungan besar (greater curvature). Ada suatu tonjolan besar yang terletak di dekat kardia yang disebut fundus (Frandson, 1992).

Gambar 1. Anatomi eksternal dan internal lambung mamalia

Lambung tikus terbagi menjadi 2 bagian, sisi glandular dan sisi lambung depan non-glandular yang berdinding tipis. Kedua bagian tersebut dibatasi oleh sebuah jembatan (ridge) yang sekaligus melapisi pintu masuknya esophagus. Struktur lambung ini mencegah terjadinya muntah pada tikus. Sisi lambung depan non-glandular memiliki lapisan mukosa yang menyerupai mukosa lumen dan dilapisi oleh sel epitel skuamosa bertingkat dan berperan sebagai reservoir. Sisi glandular lambung (korpus) memilki karakteristik adanya sumur lambung yang dilapisi oleh epitel kolumnar selapis. Kelenjar lambung terdiri dari sel parietal dan

chief cell/ sel zimogen. Bagian pislorus lambung tikus dilapisi oleh epitel kolumnar selapis yang juga melapisi perpanjangan sumur lambung. Dibawah lapisan tersebut terdapat kelenjar pilorus (Harris, 2009).

2.10.2 Fungsi Lambung

Fungsi lambung adalah sebagai berikut:

a. Menampung makanan, menghancurkan dan menghaluskan makanan oleh peristaltik lambung dan getah lambung. Kapasitas lambung normal

memungkinkan adanya interval waktu yang panjang antara saat makan dan kemampuan menyimpan makanan dalam jumlah besar sampai makanan ini dapat terakomodasi di bagian bawah saluran.

b. Produksi kimus, aktivitas lambung mengakibatkan terbentuknya kimus (massa homogen setengah cair, berkadar asam tinggi yang berasal dari bolus) dan mendorongnya ke dalam duodenum.

c. Digesti protein, lambung memulai digesti protein melalui sekresi tripsin dan asam klorida.

d. Produksi mukus. Mukus yang dihasilkan dari kelenjar membentuk barier setebal 1 mm untuk melindungi lambung terhadap aksi pencernaan dan sekresinya sendiri. e. Produksi faktor intrinsik, yaitu glikoprotein yang disekresi sel parietal dan vitamin

B12 yang didapat dari makanan yang dicerna di lambung yang terikat pada faktor intrinsik. Komplek faktor intrinsik vitamin B12 dibawa ke ileum usus halus, dimana tempat vitamin B12 diabsorbsi.

f. Absorbsi. Di lambung hanya terjadi sedikit absorbsi nutrien. Beberapa zat yang diabsorbsi antara lain adalah beberapa obat yang larut lemak (aspirin) dan alkohol diabsorbsi pada dinding (Setiadi, 2007).

2.10.3 Histologi Lambung

Dinding lambung disusun oleh beberapa lapisan yaitu lapisan mukosa, submukosa, muskularis eksterna atau muskularis propia, dan serosa

a. Mukosa

Mukosa lambung terdiri dari epitel permukaan yang berlekuk, mengandung kelenjar dan sumur lambung (faveolae/ gastric pits) dengan sedikit lamina propia. Mukosa lambung menghasilkan asam dan enzim pencernaan, dan mangabsorbsi sejumlah air. Sel yang terdapat di permukaan mukosa lambung dan sumur lambung disusun oleh epitel silindris sebaris yang dinamakan sel mukus permukaan, menghasilkan mukus yang membentuk lapisan tebal yang melindungi sel-sel ini terhadap pengaruh asam kuat yang dihasilkan lambung dan mencegah otodigestion mukosa lambung. Bentuk dan kedalaman proporsional lubang dan sifat-sifat kelenjarnya berbeda pada bagian dari lambung (Junqueira, 2003).

b. Submukosa

Lapisan submukosa yang terdiri atas jaringan areolar berisi pembuluh darah dan saluran limfa. Lapisan mukosa yang terdapat di sebelah dalam, tebal, dan terdiri atas banyak kerutan atau rugae yang hilang bila organ itu mengembang karena berisi makanan (Hirlan, 2001).

c. Muskularis Propia

Muskularis mukosa tersusun dari 3 lapisan otot polos, yaitu lapis longitudinal di bagian luar, lapis serkuler di bagian tengah, dan lapis oblique di bagian dalam. Susunan serat otot yang unik ini memungkinkan berbagai macam kombinasi kontraksi yang diperlukan untuk memecah makanan menjadi partikel-partikel kecil, mengaduk dan mencampur makanan tersebut dengan cairan lambung ke arah duodenum (Bevelander & Ramaley, 1998).

d. Serosa

Serosa merupakan lapisan tipis yang terdiri atas jaringan ikat longgar, kaya akan pembuluh darah dan jaringan adipose dan mesotel (Junqueira. 1983). Pada lapis serosa terlihat suatu selaput dan jaringan areolar yang mengandung pembuluh darah, jaringan lemak dan batang saraf (Bevelander & Ramaley, 1998).

2.10.4 Kerusakan yang Terjadi pada Lambung 2.10.4.1 Gastritis

Gastritis berarti peradangan mukosa lambung. Keadaan ini dapat diakibatkan dari makanan yang mengiritasi mukosa lambung, ekskoriasi mukosa lambung yang berlebihan oleh secret peptik lambung sendiri atau peradangan bakteri. Mukosa yang meradang pada gastritis sering menimbulkan rasa nyeri, menyebabkan perasaan nyeri terbakar difus yang dialihkan ke epigastrium bagian atas. Refleks-refleks yang dimulai pada mukosa lambung menyebabkan kelenjar saliva mengeluarkan saliva dalam jumlah besar (Guyton, 1990).

2.10.4.2 Ulkus Peptikum

Ulkus merupakan hilangnya sel epitel yang mencatat atau menembus muskularis mukosa, dengan diameter kedalaman > 5mm. Ulkus dibedakan dengan erosi,

dimana erosi berukuran lebih kecil (< 5mm) dan lebih superficial. Mukosa superficial hanya memilki pembuluh kapiler, sehingga erosi hanya dapat menyebabkan pendarahan ringan, tidak mungkin sampai menyebabkan pendarahan yang signifikan. Bila ulkus mengenai otot dan menyebabkan kerusakan otot, maka akan terbentuk jaringan fibrosis, dan akan menimbulkan lekukan. Pada ulkus yang aktif dan terbentuk sempurna terdapat lapisan pada permukaannya berupa eksudat purulen, bakteri atau debris nekrosis (Harris, 2009).

Ulkus peptikum merupakan daerah ekskoriasi mukosa yang disebabkan kerja pencernaan getah lambung. Penyebab ulkus peptikum yang biasa adalah terlalu banyak sekret getah lambung dalam hubungannya dengan derajat perlindungan yang diberikan oleh lapisan mukus lambung dan duodenum serta netralisasi asam lambung oleh getah duodenum. Semua daerah yang dalam keadaan normal terpapar getah lambung disuplai banyak kelenjar mukosa, mulai dengan kelenjar mukosa komposita pada bagian bawah esophagus, kemudian sel mukosa yang meliputi mukosa lambung, sel leher mukosa glandula gastrika, glandula pilorika dalam yang terutama menyekresi mukus, dan akhirnya kelenjar

brunner pada duodenum yang menyeksresi mukus yang sangat alkali (Guyton, 1990).

BAB 1 PENDAHULUAN

Dokumen terkait