• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap Gambaran Histopatologis Lambung Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Jantan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap Gambaran Histopatologis Lambung Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Jantan"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1

Berat badan awal dan berat badan akhir Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) jantan. Ulangan P0 (<20 dB) P1 (25-50 dB) P2 (55-80 dB) P3 (85-110 dB)

Berat lambung Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) jantan.

(2)

Lampiran 2

Analisis Statistik Rerata Selisih Berat Badan Tikus

(3)
(4)

Lampiran 4

Analisis Statistik Rata-rata Tingkat KeparahanUlkus Lambung Tikus

ANOVA

(5)
(6)

DAFTAR PUSTAKA

Bashiruddin, J., Soetirto, I. 2008. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

Bevelander, G., Ramaley, J.A. 1988. Dasar-dasar Histologi. Jakarta: Erlangga Buchari, 2007. Kebisingan Industri dan Hearing Conservation Program. USU Repository: 1-6.

Budidhalim, S. 1990. Aspek Psikosomatik Ulkus Peptik dalam Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Daldiyono, 1999. Sindroma Dispepsia Diagnosis dan Penatalaksanaan dalam Praktek Sehari-hari. Jakarta: FKUI

Doelle, I. 1972. Akustik Lingkungan. Jakarta: Erlangga.

Fahmi, U. 1997. Health Safety and Environment. Jakarta: Bina Diknakes.

Febrianti, R.V dan Wahyuningsih, I. 2013. Efek Ulcerogenic Dispersi Padat Ibuprofen- Polivinil pirolidon (PVP) pada Tikus Putih Jantan. Jurnal Pharmaciana. 3(2): 365.

Fitrie, A.A. 2004. Histologi Lambung. Medan: USU

Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Gunawan, B., Sumadiono. 2007. Stres dan Sistem Imun Tubuh: Suatu Pendekatan Psikoneuroimunologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Gunawan, Y., Ismail, S. 2008. Efek Anti Ulkus Eurycoma Longifolia terhadap Ulkus Lambung Tikus. Jurnal Tumbuhan Obat Indonesia. 1(1): 35-37.

(7)

Hartono, 2005. Pengaruh perbedaan Intensitas Kebisingan Terhadap Sindrom Dispepsia pada Tenaga Kerja PT. Kusumahadi Sentosa Karanganyar. 7(2). Jurnal Biosmart. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Hirlan, 2001. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jilid Kedua, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

Inayah, 2008. Pengaruh Kebisingan Terhadap Jumlah Leukosit Mencit BALB/C. [Karya Tulis Ilmiah]. Semarang: Universitas Diponegoro.

Irianto, K. 2004. Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia untuk Paramedis. Bandung: CV. Yrama Widya

Jain, R.K., et al,.1981. Enviromental Impact Analysis, 2nd Edition. New York: Van Reinhold Co.

Junqueira, L. C., Carneiro J, and Kelley R.O. 2003. Basic Histology. 10 th edition. Washington: Prentice Hall International.

Keith, L.M. dan Anne, M.R. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates. Kusumaadhi, Z.A. 2010. Pengaruh Pemberian Deksametason Dosis Bertingkat Per Oral 30 hari Terhadap Kerusakan Mukosa Lambung Tikus Wistar. [Karya

Leksono, R.A. 2009. Gambaran Kebisingan. Jakarta: Universitas Indonesia. Manahan, S.E. 1992. Toxicological Chemistry. 2nd edition. New York: Lewis Publisher.

Marpaung, S. 2006. Pengaruh Kebiasaan Intensitas Tinggi terhadap Kadar Kortisol Plasma pada Tikus Jantan. Medan: Majalah Kedokteran Nusantara. 39(2): 94-99.

Masjhur, J.S. 1994. Pemantauan Biologik dalam Penilaian Resiko Terhadap Pencemaran Lingkungan. Majalah Kedokteran Bandung. 28(4).

(8)

Mukono, 1999. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press.

Nie, Y., Liana, L. K dan Evacuasiny, E. 2012. Pengaruh Ekstrak Etanol Rimpang Kencur (Kaemferia galanga L.) Terhadap Mukosa Gaster pada Model Mencit Swiss Webster yang Diinduksi Asetosal. Jurnal Medika Planta. 2(1): 77-84.

O’Leany, Ann. 1990. Stress, Emotion, and Human Immune Function. The State

University New Jersey. Psycological Bulletin. 108(2): 365.

Palgudadi, G., Soewigno, S., Wenny, A., 1999. Gambaran Endoskopi dan Infeksi Helicobacter Pylori pada Penderita Dispepsia di RSU Mataram.

Rahayu, T. 2010. Dampak Kebisingan Terhadap Munculnya Gangguan Kesehatan. Yogyakarta: UNY

Ridwan, E. 2013. Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan Penelitian Kesehatan. Jurnal Indonesia Medical Association. 63(3):114-116.

Rosidah, 2003. Studi Kejadian Hipertensi Akibat Bising pada Wanita yang Tinggal di Sekitar Lintasan Kereta Api di Kota Semarang [Tesis].

Setiadi, 2007. Anatomi dan Fisiologi Manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sherwood, L. 1996. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Slamet, S. 2009. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Soemonegara, R. 1975. Ketulian Akibat Pekerjaan dan Rencana Pemeliharaan Indra Pendengaran di Dalam Lingkungan Bising. Majalah Hiperkes dan Keselamatan Kerja. 27(3).

Subekti, T dan Utami, M. 2011. Metode Relaksasi untuk Menurunkan Stres dan Keluhan Tukak Lambung pada Penderita Tukak Lambung Kronis. Jurnal Psikologi. 38(2).

Suntoro, A.H. 1983. Metode Pewarnaan. Jakarta: Bhatara Karya Aksara.

Sutomo, A.H. 1997. Dasar-dasar Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

(9)

Syaifuddin, 2009. Fisiologi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Syamsulhadi, 1999. Pengaruh Psikologis yang Mempengaruhi Terjadinya Sindroma Dispepsia. Simposium. Sindroma Dispepsia Diagnosa dan Penatalaksanaannya. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Tambunan, S. 2005. Kebisingan di Tempat Kerja. Yogyakarta: Andi

________, G. 1994. Patologi Gastrointestinal. Medan: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Telford, I.R., Bridgman, C.F. 1995. Introduction to Functional Histology. New York: Harper Collins.

(10)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret 2014sampai dengan selesai di Laboratorium Struktur Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, dan Balai Penyidikan Pengujian Veteriner (BPPV) Medan.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kotak perlakuan, multy player 3,

sound level meter, timer, timbangan digital, box dan penutup tempat pemeliharaan hewan, bak bedah, dissecting set, camera digital, mikroskop, shaker, object glass, kuas, hot plate, mikrotom, sample cup, botol balsam, jarum pentul, gelas ukur, plat parafin, cutter, chamber, oven, alat tulis, cawan petri.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus L.), kapas, alkohol absolut, alkohol 96%, 80%, 70%, 60%, 50%, 40%, 30%, Formalin, Hematoxilin, Eosin, NaCl 0,9%, aquadest, pakan, sekam,

tissue,canada balsam, Xilol, Parafin, kertas label, holder.

3.3. Rancangan Percobaan

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari satu kelompok kontrol dan tiga kelompok perlakuan dengan masing-masing 6 ulangan.

a. Kelompok I (P0) = terdiri dari 6 ekor tikus jantan tidak diberi perlakuan (kelompok kontrol).

b. Kelompok II (P1) = terdiri dari 6 ekor tikus jantan diberi perlakuan bising sebesar 25-50 dB selama 8 jam setiap hari.

(11)

d. Kelompok IV (P3) = terdiri dari 6 ekor tikus jantan diberi perlakuan bising sebesar 85-100 dB selama 8 jam setiap hari.

Jumlah ulangan tikus percobaan untuk setiap kelompok ditentukan dengan menggunakan rumus Federer (Ridwan, 2013), yaitu (t-1) (n-1) ≥ 15.Dimana t adalah jumlah perlakuan dan n adalah jumlah sampel tiap kelompok.Dari hasil perhitungan diatas diperoleh jumlah ulangan 6 ekor tiap perlakuan, sehingga jumlah tikus yang digunakan sebanyak 24 ekor tikus.

3.4. Prosedur Kerja

3.4.1. Penyediaan Hewan Percobaan

Penelitian ini menggunakan tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan dewasa yang sehat berumur 8-12 minggu dengan berat badan ±200 gram, yang diperoleh dari Laboratorium Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara dan dibagi dalam kelompok perlakuan dan kontrol.Tikus diberi makan dan minum secara ad-libitum.Penanganan hewan percobaan dilakukan sesuai dengan persyaratan kode etik yang berlaku.

3.4.2. Persiapan Hewan Percobaan

Masing-masing kelompok hewan percobaan dipersiapkan dalam kandang yang terpisah.Tikus dipilih dan dipisahkan secara random dalam keadaan baik, disiapkan untuk beradaptasi sebelum dilakukan penelitian.Sebelum perlakuan terhadap semua tikus, berat badannya ditimbang dan diamati kesehatannya secara fisik (berat badan, makan dan minum).Setelah tikus-tikus beradaptasi maka untuk selanjutnya diberikan perlakuan kebisingan dengan intensitas yang berbeda selama 8 hari.

3.4.3. Perlakuan Hewan Percobaan

Masing-masing kelompok hewan percobaan dimasukkan ke dalam kotak perlakuan yang terbuat dari gabus dilapisi dengan busa serta triplek polywood

(12)

25-50 dB, 55-80 dB, 85-100 dB ) 8 jam setiap hari selama 8 hari. Berat badan hewan percobaan ditimbang setiap 2 hari sekali.

3.4.4. Isolasi Organ untuk Pengamatan

Setelah perlakuan terhadap hewan percobaan selesai, maka dilakukan isolasi hewan percobaan untuk pengamatan yaitu:

a. Dilakukan anestesi terhadap tikus dengan memasukkannya ke dalambotol besar yang berisi eter sehingga tikus tidak sadar dan pingsan.

b. Dilakukan pembedahan pada tiap-tiap kelompok perlakuan sesuai dengan waktunya masing-masing perlakuan.

c. Organ lambung hewan percobaan diamati morfologi dan warnanya, ditimbang beratnya kemudian diambil untuk pembuatan sediaan histopatologi.

3.4.5. Pembuatan Preparat Histologi Lambung dengan Metode Parafin

Pembuatan preparat yang dilakukan dengan metode parafin sebagai berikut: a. Fiksasi

Tikus (Rattus norvegicus L.) dianestesi dan dibedah. Diambil organ lambung dan dicuci dengan larutan NaCl 0,9% kemudian difiksasi selama 1 malam dengan larutan formalin.

b. Washing (Pencucian)

Setelah difiksasi, lambung dicuci dengan alkohol 70% minimal 7 kali pengulangan dan direndam selama 1 malam.

c. Dehidrasi

Dehidrasi dilakukan dengan merendam lambung dengan alkohol 70%, 80%, 85%, 90%, 96% dan 100% selama 1 jam.

d. Clearing (Penjernihan)

(13)

e. Infiltrasi

Infiltrasi dilakukan dengan merendam organ ke dalam xilol yang berada di dalam oven pada suhu 560C selama 1 jam. Dilanjutkan dengan merendam lambung ke dalam parafin murni I, II, III masing-masing selama 1 jam pada suhu 560C. f. Embedding (Penanaman)

Embedding dilakukan dengan meletakkan lambung pada kotak berbentuk segi empat yang telah dipersiapkan sebelumnya sebagai cetakan. Setelah itu, menuang parafin yang telah cair kedalam kotak tersebut, dan diberi label. Dibiarkan sampai dingin sehingga membentuk blok parafin dan dimasukkan ke dalam kulkas. Kemudian dilakukan penempelan blok-blok parafin pada holder yang terbuat dari kayu yang berbentuk persegi.

g. Cutting (Pemotongan)

Cutting dilakukan dengan memotong blok-blok parafin yang telah di holder pada mikrotum sehingga membentuk pita-pita parafin dengan ukuran ketebalan 6 µm. h. Attaching (Penempelan)

Attaching dilakukan dengan mengambil beberapa pita parafin dengan skapel, kemudian diletakkan pada objek glass, dan dicelupkan pada air dingin dan air hangat. Untuk melekatkan pita parafin pada objek glass maka dilakukan diatas

hotplate yang bersuhu 560C i. Pewarnaan (Suntoro, 1983)

Pewarnaan sediaan lambung dengan Hematoxilin Eosin adalah sebagai berikut: (1) Deparafinasi, dilakukan dengan cara mencelupkan objek pada xilol sampai parafin

habis kira-kira selama ± 15 menit sebanyak 2-3 kali.

(2) Dealkoholisasi, dilakukan secara bertingkat dengan alkohol konsentrasi menurun, dengan alkohol 100%, alkohol 96%, alkohol 80% dan alkohol 70% .

(14)

Mounting dilakukan dengan menutup preparat dengan canada balsam.Diusahakansupaya tidak terdapat gelembung udara. Diberi label dan diamati

dibawah mikroskop.

3.5 Parameter Pengamatan

3.5.1 Pengamatan Berat dan Morfologi Lambung

Pengamatan berat dan morfologi lambung dilakukan dengan cara mendislokasi tikus dan diambil organ lambungnya. Organ lambung ditimbang dengan menggunakan timbangan digital.Pengamatan morfologi lambung meliputi warna yang putih agak coklat, permukaan berlekuk halus dan konsistensi lembek.

3.5.2 Pengamatan Histopatologi Lambung

Setelah organ lambung pada tikus diambil dan dibuat preparat histopatologi dengan pewarnan Hematoxilin Eosin dilakukan pengamatan pada preparat.Menurut Fitra dan Sri (2009) dalam Harris (2009), pemeriksaan preparat histopatologi lambung dilakukan 5 lapang pandang mikroskop pada pembesaran 100x dan 400x. Perubahan histopatologi sel lambung yang diamati berupa adanya ulkus dan gastritis (penyebaran sel radang).

a. Ulkus sel lambung adalah hilangnya sel epitel yang mencapai atau menembus muskularis mukosa, dengan diameter kedalaman > 5 mm.

b. Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung, secara histopatologi dapat dibuktikan dengan adanya infiltrasi sel-sel radang pada daerah tersebut.

(15)

(jumlah sel radang 0-20); ringan (jumlah sel radang 21-100); dan berat (jumlah sel radang lebih dari 101).

Tabel 4. Tingkat Keparahan Erosi/ Ulkus Lambung dengan Modifikasi.

Tingkat keparahan erosi/ ulkus Nilai

Normal 1

Erosi hanya pada epitel permukaan 2

Erosi mencapai 1/3 kelenjar lambung bagian atas 3 Erosi mencapai 1/3 kelenjar lambung bagian tengah 4 Erosi mencapai 1/3 kelenjar lambung bagian bawah 5 Erosi mencapai kedalaman lamina muskularis mukosa 6 Skor erosi berdasarkan Kriteria Wattimena (1982) dalam Nie dkk. (2012)

Tabel 5. Gastritis (penyebaran sel radang) dengan Modifikasi.

Jumlah sel radang Nilai

0-20 Ringan

21-100 Sedang

>100 Berat

(Hadi, 2002)

3.6. Analisis Data

(16)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Morfologi Lambung Tikus Jantan Setelah Perlakuan Kebisingan

Pengamatan morfologi lambung tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan setelah perlakuan kebisingan dapat dilihat sebagai berikut:

4.1.1. Rerata Berat Badan

Didapatkan rerata berat badan tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan setelah perlakuan kebisingan sebagai berikut:

Gambar 2. Rerata Selisih Berat Badan Awal dan Akhir Tikus Setelah Perlakuan Kebisingan. P0 = Kontrol kebisingan (<20 dB) selama 8 hari, P1, P2 dan P3 = Perlakuan kebisingan (25-50 dB), (55-80 dB) dan (85-110 dB) selama 8 hari.

Gambar 2. menunjukkan data rerata selisih berat badan awal dan akhir tikus setelah perlakuan kebisingan. Rerata selisih berat badan P0 (19,54 g), P1 (10,4 g), P2 (2,4 g) dan P3 (-35,45 g). Rerata selisih berat badan tertinggi pada P0 (19,54 g) dan rerata selisih berat badan terendah pada P3 (-35,45 g). Hasil analisis menunjukkan pemberian perlakuan kebisingan berpengaruh secara signifikan

(17)

(p<0,05) terhadap berat badan tikus antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Pada hasil uji lanjut pemberian perlakuan kebisingan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok P1 dengan P2 dan antara P2 dengan P3. Perlakuan kebisingan menyebabkan penurunan berat badan yang signifikan pada P3.

Hasil yang diperoleh mengindikasikan bahwa penurunan berat badan pada P3 dengan perlakuan kebisingan intensitas 85-110 dB disebabkan karena berkurangnya nafsu makan tikus yang diakibatkan oleh stress sehingga merusak pola makan dari tikus tersebut. Emosi atau stress mempengaruhi fisiologi dari saluran cerna berupa rasa cepat kenyang sehingga tikus lebih sedikit makan dari biasanya dan hal inilah yang menyebabkan penurunan berat badan tikus. Hasil uji yang sama telah dilaporkan oleh Marpaung (2006), hasil penelitian membuktikan bahwa kebisingan mengurangi pertambahan berat badan tikus. Pengaruh kebisingan selama tiga minggu terhadap laju pertambahan berat badan tikus jantan. Pada kelompok kontrol, laju pertambahan berat badan (40,28 g), pada kelompok kebisingan 90 dB-95 dB, laju peningkatan berat badan tikus sebanyak (8,158 g), pada kelompok kebisingan 100 dB-105 dB, laju peningkatan berat badan tikus sebanyak (4,98 g). Pengaruh kebisingan terhadap laju pertambahan berat badan tikus jantan berbeda nyata (p<0,05). Berkurangnya laju pertambahan berat badan pada kelompok pemaparan intensitas tinggi diduga karena pada kelompok pemaparan bising kadar hormon tiroksin yang tinggi menyebabkan meningkatnya kecepatan metabolisme dan ekskresi nitrogen yang mengakibatkan protein endogen dan cadangan lemak di dalam tubuh akan dibongkar. Keadaan tersebut akan mengakibatkan turunnya berat badan.

(18)

4.1.2. Rerata Berat Lambung

Didapatkan rerata berat lambung tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan setelah perlakuan kebisingan sebagai berikut:

Gambar 3. Rerata Berat Lambung Tikus Setelah Perlakuan Kebisingan. P0 = Kontrol kebisingan (<20 dB) selama 8 hari, P1, P2 dan P3 = Perlakuan kebisingan (25-50 dB), (55-80 dB) dan (85-110 dB) selama 8 hari.

Gambar 3. menunjukkan data rerata berat lambung tikus setelah perlakuan kebisingan. Rerata berat lambung P0 (3,31 g), P1 (2,25 g), P2 (2,93 g) dan P3 (2,28 g). Rerata berat lambung tertinggi pada P0 (3,31 g) dan rerata berat lambung terendah pada P1 (2,25 g). Hasil analisis menunjukkan pemberian perlakuan kebisingan tidak berpengaruh secara signifikan (p>0,05) antara kelompok kontrol dan perlakuan. Dari data dapat dilihat berat lambung tertinggi pada kelompok kontrol dan pada kelompok perlakuan berat lambung mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena tikus mengalami gangguan emosi, sehingga nafsu makan tidak normal begitu juga dengan sekresi asam lambungnya.

Motilitas dan sekresi lambung diatur oleh mekanisme persarafan humoral. Menurut Ganong (2003), keadaan kejiwaan memiliki pengaruh terhadap sekresi dan motilitas lambung. Rasa cemas dan depresi menurunkan sekresi lambung dan aliran darah serta menghambat motilitas lambung.

(19)

4.1.3. Warna Lambung

Pengamatan secara makroskopik dimulai dari pengamatan warna, konsistensi dan berat lambung. Secara makroskopik warna lambung tikus pada kelompok kontrol (P0) memiliki warna merah muda dan sedikit lebih terang dibandingkan dengan warna lambung pada kelompok perlakuan. Pada P1 warna lambung sedikit kecoklatan, sedangkan pada kelompok P2 dan P3 warna lambung tikus berwarna merah muda pucat. Untuk konsistensi lambung, semuanya memiliki konsistensi lunak.

Gambaran warna lambung tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan setelah pemberian kebisingan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Warna Lambung Tikus Setelah Perlakuan Kebisingan. P0 = Kontrol kebisingan (<20 dB) selama 8 hari, P1, P2 dan P3 = Perlakuan kebisingan (25-50 dB), (55-80 dB) dan (85-110 dB) selama 8 hari.

Gambar 4. menunjukkan warna lambung tikus (Rattus norvegicus L.) jantan setelah perlakuan kebisingan. Perubahan warna lambung dipengaruhi oleh perubahan fisiologis lambung yang disebabkan oleh adanya gangguan akibat perlakuan kebisingan. Dari gambar dapat dilihat pada perlakuan dengan intensitas kebisingan tertinggi warna lambung lebih pucat daripada perlakuan dengan intensitas yang lebih rendah. Pada Leeson (1996), dalam keadaan hidup mukosa lambung berwarna merah pucat dan dibatasi oleh epitel selapis kolumnar.

P0 P1

(20)

4.2. Gambaran Histologi Lambung

Pengamatan histologi lambung tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan setelah perlakuan kebisingan dapat dilihat sebagai berikut:

4.2.1. Tingkat Keparahan Ulkus Lambung

Rerata tingkat keparahan ulkus lambung tikus jantan setelah perlakuan kebisingan dapat dilihat sebagai berikut:

Gambar 5. Rerata Tingkat Keparahan Erosi/Ulkus Lambung Tikus Setelah Perlakuan Kebisingan. P0 = Kontrol kebisingan (<20 dB) selama 8 hari, P1, P2 dan P3 = Perlakuan kebisingan (25-50 dB), (55-80 dB) dan (85-110 dB) selama 8 hari.

Gambar 5. menunjukkan rerata tingkat keparahan erosi/ulkus lambung tikus setelah perlakuan kebisingan. Rerata tingkat keparahan erosi/ulkus lambung P0 (1,4), P1 (1,73), P2 (2,43) dan P3 (3,7). Rerata tingkat keparahan erosi/ulkus lambung tertinggi pada P3 (3,7) dan rerata tingkat keparahan erosi/ulkus lambung terendah pada kelompok P0 (1,4). Hasil analisis menunjukkan pemberian perlakuan kebisingan berpengaruh secara signifikan terhadap keparahan erosi/ ulkus lambung antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan (p<0,05). Pada hasil uji lanjut pemberian perlakuan kebisingan menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan (p>0,05) antara kelompok kontrol (P0) dengan P1. Pada kelompok perlakuan, terdapat perbedaan yang signifikan antara P1 dengan

(21)

P2 dan P3, dan antara P2 dengan P3. Pada intensitas kebisingan tertinggi (85-110 dB) yaitu kelompok perlakuan P3 (3,7) mengalami tingkat keparahan erosi/ ulkus lambung tertinggi.

Hasil yang diperoleh mengindikasikan semakin tinggi intensitas kebisingan maka tingkat keparahan erosi/ ulkus juga semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh emosi/ stress yang disebabkan oleh kebisingan mempengaruhi produksi asam lambung yang berlebih sehingga merusak ulkus lambung.

Ulkus peptikum merupakan daerah ekskoriasi mukosa yang disebabkan kerja pencernaan getah lambung. Penyebab ulkus peptikum yang biasa adalah terlalu banyak sekret getah lambung dalam hubungannya dengan derajat perlindungan yang diberikan oleh lapisan mukus lambung dan duodenum serta netralisasi asam lambung oleh getah duodenum (Guyton, 1990). Menurut Febrianti (2013), umumnya ulkus peptik disebabkan oleh asam dan pepsin dari penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid dan kerusakan mukosa yang berhubungan dengan stress (ulcer stress).

(22)

Menurut Marpaung (2006), kebisingan pada suatu lingkungan, baik secara terus menerus maupun tidak yang dikenakan pada tikus akan mempengaruhi kerja otak yang berhubungan dengan kelenjar endokrin. Keadaan ini disebabkan oleh adanya stimulus yang berasal dari kebisingan yang mempengaruhi kerja saraf otonom. Timbulnya penyakit tukak lambung dipicu oleh stress yang berkepanjangan (Subekti, 2011).

Stress yang berkepanjangan muncul karena gaya hidup saat ini yang serba cepat. Gaya hidup tersebut membuat individu selalu berada dalam ketegangan sehingga berakibat pada munculnya stress. Selain itu pola makan yang tidak teratur dan mengkonsumsi makanan instan sebagai akibat pola hidup serba cepat juga merupakan salah satu pencetus penyakit tukak lambung (Zimbardo dan Gerrig, 1996). Menurut Harris (2009), ada dua penyebab terbentuknya ulkus, yaitu: (1) produksi mukus yang terlalu sedikit atau (2) terlalu banyak asam yang diproduksi atau dikirimkan ke saluran cerna.

Gambaran histologi tingkat erosi/ ulkus lambung dapat dilihat pada Gambar 6.

d

c

b

a

Gambar 6. Gambaran Histologi Tingkat Erosi/ Ulkus Lambung. Keterangan: (A) P0 = Kontrol kebisingan (<20 dB), (B)= P1(25-50 dB), C= P2(55-80 dB) dan (D)= P3 (85-110 dB). A= normal, B= erosi mencapai 1/3 mukosa bagian atas, C= erosi mencapai 1/3 mukosa bagian tengah, D= erosi mencapai 1/3 mukosa bagian bawah. a= mukosa, b= muskularis mukosa, c= submukosa, d= muskularis mukosa. Pewarnaan Hematoxilin Eosin. Perbesaran 100x.

Kebanyakan ulkus terjadi jika sel-sel mukosa tidak menghasilkan mukus sebagai perlindungan terhadap asam lambung. Penyebab penurunan produksi

A B

(23)

mukus dapat menurunkan aliran darah ke usus, menyebabkan hipoksia lapisan mukosa dan cedera atau kematian sel-sel penghasil mukus (Misnadiarly, 2009).

Mukus lambung penting dalam mencegah ulserasi peptik. Mukus lambung disekresi oleh sel mukosa pada epitel mukosa gaster dan kelenjar gaster. Normalnya gel mukus disekresi secara terus menerus oleh sel epitel mukosa lambung dan secara kontinyu dilarutkan oleh pepsin yang disekresi ke dalam lumen lambung (Daldiyono, 1999). Menurut Keith (2002), ulkus peptik kronik sering ditemukan pada perbatasan mukosa. Terdapat kecenderungan bahwa ulserasi sering timbul pada tempat dimana asam dan pepsin mula-mula mengadakan kontak dengan mukosa yang rentan. Lokalisasi tukak umumnya bersifat multiple, dapat ditemukan pada permukaan mukosa lambung dan kadang pada mukosa duodenum. Tukak lambung umumnya satu atau lebih, kecil, dan terdapat pada mukosa lambung. Tukak lambung dapat menembus ke dalam mukosa tetapi tidak menembus lapisan muskularis mukosa, disertai sel radang ringan dan tidak ditemukan perubahan vaskularisasi dan fibrosis (O’Leany, 1990).

(24)

4.2.2 Gastritis

Rerata gastritis lambung tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan setelah perlakuan kebisingan dapat dilihat sebagai berikut:

Gambar 7. Rerata Derajat Gatritis Tikus Setelah Perlakuan Kebisingan. P0 = Kontrol kebisingan (<20 dB) selama 8 hari, P1, P2 dan P3 = Perlakuan kebisingan (25-50 dB), (55-80 dB) dan (85-110 dB) selama 8 hari.

Gambar 7. menunjukkan rerata derajat gastritis tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan setelah perlakuan kebisingan. Rerata derajat gastritis P0 (2,3), P1 (6,83), P2 (17,6) dan P3 (47,9). Rerata derajat gastritis tertinggi pada kelompok P3 (47,9) dan rerata derajat gastritis terendah pada kelompok kontrol atau P0 (2,3). Hasil analisis menunjukkan pemberian perlakuan kebisingan berpengaruh secara signifikan (p<0,05) terhadap derajat gastritis antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Pada hasil uji lanjut pemberian perlakuan kebisingan menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan (p>0,05) antara kelompok kontrol (P0) dengan P1. Pada kelompok perlakuan, hasil uji menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara P1 dengan P2 dan P3, dan antara P2 dengan P3.

Hasil yang diperoleh mengindikasikan pada P2 dimana intensitas kebisingan 55-80 dB sudah mempengaruhi fisiologi dari tikus yang

(25)

mengakibatkan perubahan struktur histologi lambung dengan terjadinya gastritis atau radang pada lambung. Secara fisiologik rangsangan psikologis dan fisik akibat paparan bising sampai ke sekresi getah lambung dapat dijelaskan melalui dua jalan sebagai berikut: (1) Neurogen: paparan bising- korteks serebri- hipotalamus anterior- mengeluarkan kortikotropin- korteks adrenal- hormone adrenal-merangsang sekresi lambung (2) Neurohormonal: paparan bising- korteks serebri- hipotalamus posterior- pituitary anterior- mengeluarkan kortikotropin- korteks adrenal- merangsang sekresi lambung (Leake, 1985).

Gastritis merupakan proses inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa gaster yang dapat mengakibatkan kurangnya produksi asam, enzim, dan mukus. Secara histopatologi dapat dibuktikan adanya infiltrasi sel-sel radang pada daerah tersebut. Menurut Leeson (1996), gastritis mempunyai ciri khas yang dapat ditentukan berdasarkan pemeriksaan histopatologi biopsi mukosa lambung. Adanya radang pada mukosa yang ditandai dengan infiltrasi sel neutrofil atau infiltrasi sel limfosit, sel plasma dan eosinofil.

Secara umum mukosa lambung menipis, licin berkilat dan lipatan mukosa hampir tidak kelihatan lagi dan bayangan pembuluh darah di bawah mukosa menonjol. Secara mikroskopik, epitel permukaan mukosa abnormal, susunan tidak teratur dan sebagian atau seluruhnya mengalami metaplasia intestinal. Infiltrasi sel radang bertambah bukan hanya pada lapisan propia, tetapi juga meluas pada lapisan muskularis mukosa. Pada lapisan propia, mukosa muskularis dan submukosa sering dijumpai jaringan limfoid. Kelenjar mukosa atrofi, kuantitas berkurang dan tubulus sering distorsi. Sel parietal dan “chief cells” menghilang diganti oleh mucous secreting cells (Tambunan, 1994).

(26)

kesehatan tergantung beberapa faktor antara lain: kerentanan individu, lama paparan, jenis bising dan intensitas kebisingan. Semakin tinggi intensitas suatu bising, semakin berpotensi mempengaruhi kesehatan manusia.

Gastritis dibagi menjadi dua yaitu gastritis akut dan gastritis kronik. Gastritis akut adalah kelainan klinis akut yang jelas penyebabnya dengan tanda dan gejala yang khas, biasanya ditemukan sel inlamasi akut dan neutrofil. Sedangkan gastritis kronik merupakan suatu peradangan bagian permukaan mukosa lambung yang menahun, yang disebabkan oleh ulkus dan berhubungan dengan Helicobacter pylori (Fitrie, 2004).

Gambar 8. Gambaran Histologi Radang/ Gastritis Lambung Tikus Setelah Perlakuan Kebisingan. Keterangan: (A) P0 = Kontrol kebisingan (<20 dB), (B)= P1(25-50 dB), C= P2(55-80 dB) dan (D)= P3 (85-110 dB). Sel radang (tanda panah). Pewarnaan Hematoxilin Eosin. Perbesaran 400x.

A B

(27)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah:

a. Kebisingan dalam intensitas tinggi (55-80 dB) dan (85-110 dB) mempengaruhi warna pada lambung, tetapi tidak pada permukaan konsistensi lambung.

b. Berat badan tikus mengalami penurunan pada perlakuan kebisingan intensitas tertinggi (85-110 dB) dan antara kelompok kontrol dengan perlakuan terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05). Pada rerata berat lambung antara kelompok kontrol dan perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0,05). c. Kebisingan dalam intensitas tinggi memberikan pengaruh yang signifikan

(p<0,05) terhadap keparahan erosi/ ulkus lambung.

d. Kebisingan berpengaruh negatif terhadap gambaran histologi lambung dan terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05) pada sel radang (gastritis) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan.

5.2. Saran

a. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan pemberian intensitas bising dan waktu pemaparan yang lebih bervariasi untuk melihat pengaruh yang signifikan.

(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi Bising

Bising adalah bunyi yang tidak diinginkan atau tidak disukai dan sangat mengganggu. Secara objektif bising terjadi dari getaran yang kompleks dari berbagai frekuensi dan amplitude, baik yang getarannya bersifat periodik maupun non periodik (Bashiruddin, 2002).

Bising adalah campuran dari berbagai suara yang tidak dikehendaki ataupun yang merusak kesehatan. Saat ini kebisingan merupakan salah satu penyebab “penyakit lingkungan” yang penting. Pada tahun 1970-an di Amerika Serikat, tingkat kebisingan kota bertambah dengan 1 dB per tahun dan 10 dB per dekade. Penyebabnya adalah bertambahnya jalan bebas hambatan di perkotaan, peningkatan kepadatan lalu-lintas udara, bertambahnya aktivitas konstruksi, dan bertambahnya mekanisasi baik di daerah pemukiman maupun daerah perindustrian, seperti sepeda motor, pemotong rumput bermotor, mesin cuci, dan peralatan masak bermotor. Semakin cepat pergerakan peralatan semakin tinggi taraf kebisingan yang ditimbulkan. Di Indonesia yang masih terus membangun, taraf kebisingan akan terus naik, terutama dari jalan raya dan dari industri (Slamet, 2009).

Bunyi atau suara yang masuk telinga akan diterima sebagai suatu rangsangan akibat adanya getaran-getaran yang terjadi melalui media elastik. Kuat atau lemahnya suatu bunyi atau suara akan dipersepsikan berbeda pada masing-masing individu yang mendengarnya, hal ini sangat bergantung pada subjektivitas frekuensi dan intensitas bunyi atau suara (Leksono, 2009).

2.2 Karakteristik Suara

(29)

Frekuensi merupakan jumlah perubahan tekanan dalam setiap detiknya atau frekuensi setiap detiknya dalam satuan cycles per second (cls) atau Hertz (Hz). Setiap orang relatif sedikit berbeda, tetapi respon pendengaran orang muda terletak pada 16-2.000 Hz. Kecepatan rambatan suara bervariasi tergantung pada medium dan suhu, tetapi untuk kecepatan perambatan suara pada medium udara pada suhu 200C berkisar 344 m/s, pada kondisi tersebut maka panjang gelombang suara berkisar 13 inch (0,344m) pada frekuensi 1000 Hz. Frekuensi bunyi yang terpenting adalah 250 Hz, 1.000 Hz, 2.000 Hz, 8.000 Hz (naik 1 oktaf). Frekuensi bunyi yang dapat didengar oleh telinga manusia adalah 16 - 20.000 Hz. Bunyi yang kurang dari 16 Hz dinamakan bunyi infrasonik dan bunyi yang lebih dari 20.000 Hz dinamakan bunyi ultrasonik. Frekuensi bunyi antara 250 - 3000 Hz pada tekanan suara 1 x 10-3 dyne/cm2 sampai kurang dari 1,2 x 10-2 dyne/cm2 merupakan frekuensi dimana manusia dapat melakukan percakapan dengan baik, sehingga pada tekanan 1 x 10-3 dyne/cm2 merupakan suara yang sudah tidak nyaman. Frekuensi 4000 Hz merupakan frekuensi yang paling peka ditangkap oleh pendengaran kita, biasanya ketulian pemaparan bising atau adanya gangguan pendengaran terjadi pada frekuensi ini (Wardhana, 2001).

Amplitudo sebuah gelombang suara adalah tingkat gerakan molekul-molekul udara dalam gelombang, yang sesuai terhadap perubahan dalam tekanan udara yang sesuai gelombang. Lebih besar amplitudo gelombang maka lebih keras molekul-molekul udara untuk menabrak gendang telinga dan lebih keras suara yang terdengar (Tambunan, 2005).

Panjang gelombang merupakan jarak antara dua gelombang yang dekat dengan perpindahan dan kecepatan partikel yang sama dalam satu bidang bunyi datar, sehingga dengan mengetahui kecepatan dan frekuensi bunyi dapat ditentukan panjang gelombangnya. Panjang gelombang suara yang dapat didengar telinga manusia mulai dari beberapa centimeter sampai kurang dari 20 meter (Wahyu, 2003).

(30)

berikut: Frekuensi bunyi, yaitu jumlah getaran per detik. Satuan bunyi dinyatakan dalam Hertz (Hz). Intensitas bunyi, yaitu perbandingan tegangan suara yang datang dan tegangan suara standar yang dapat didengar oleh manusia normal pada frekuensi 1000 Hz dinyatakan dalam desibel (dB).

Tingkat kebisingan dinyatakan dalam desibel (dB) yang membandingkan tingkat tekanan suara. Berikut beberapa contoh tingkat suara: 60-70 dB untuk pembicaraan biasa, 80-90 dB untuk lalu lintas ramai dan 140-150 dB untuk bunyi mesin jet. Tingkat maksimal yang dapat didengar telinga manusia adalah 130 dB, walaupun dianjurkan sebaiknya manusia jangan sampai dihadapkan pada tingkat suara setinggi itu. Intensitas suara 90-95 dB dapat merusak pendengaran (Irianto, 2004).

2.3 Sumber Suara

Menurut Tambunan (2005), di lingkungan kerja, jenis dan jumlah sumber suara sangat beragam, beberapa diantaranya adalah:

a. Suara mesin

Jenis mesin penghasil suara di tempat kerja sangat bervariasi, demikian pula karakteristik suara yang dihasilkan. Contohnya adalah mesin pembangkit tenaga listrik seperti genset, mesin diesel, dan sebagainya. Di tempat kerja, mesin pembangkit tenaga listrik umumnya menjadi sumber-sumber kebisingan berfrekuensi rendah adalah <400 Hz.

b. Benturan antara alat kerja dan benda kerja

(31)

c. Aliran material

Aliran gas, air atau material-material cair dalam pipa distribusi material di tempat kerja, apalagi yang berkaitan dengan proses penambahan tekanan (high pressure processes) dan pencampuran, sedikit banyak akan menimbulkan kebisingan di tempat kerja. Pada proses-proses transportasi material-material padat seperti batu, kerikil, potongan-potongan metal yang melalui proses pencurahan (gravity based).

d. Manusia

Tingkat kebisingan suara manusia memang tetap diperhitungkan sebagai sumber suara di tempat kerja.

2.4 Mengukur Tingkat Kebisingan

Menurut Buchari (2007), untuk mengetahui intensitas bising di lingkungan kerja, digunakan Sound Level Meter dan untuk mengukur nilai ambang pendengaran digunakan Audiometer. Sound Level Meter adalah alat pengukur suara. Mekanisme kerja SLM apabila ada benda bergetar, maka aka menyebabkan terjadinya perubahan tekanan udara yang dapat ditangkap oleh alat ini, selanjutnya akan menggerakkan meter penunjuk. Audiometer adalah alat untuk mengukur nilai ambang pendengaran. Audiogram adalah chart hasil pemeriksaan audiometri. Nilai ambang pendengaran adalah suara yang paling lemah yang masih dapat didengar telinga. Noise Dose Meter digunakan untuk menilai tingkat pajanan pekerja karena pekerja umumnya tidak menetap pada suatu kerja selama 8 jam bekerja.

2.5 Zona Kebisingan

Menurut Rahayu (2010), penentuan kebisingan terhadap efek kesehatan dibedakan beberapa zona di mana kebisingan akan memberikan efek pada kesehatan manusia sesuai dengan lokasi kebisingan. Empat jenis zona tersebut adalah sebagai berikut:

(32)

b. Zona B, adalah zona bagi tempat perumahan, tempat pendidikan, rekreasi dan

No. Zona Tingkat kebisingan maksimum yang dianjurkan

Telinga manusia dapat mendengar frekuensi 20-20.000 Hz. Ambang dengar suara (kepekaan) tidak sama dengan frekuensi. Kepekaan tertinggi adalah 1-4 Khz. Kekerasan suara ditentukan oleh sistem pendengaran yang sekurang-kurangnya melalui tiga cara, yaitu sebagai berikut:

a. Ketika suara menjadi keras, amplitudo getaran membran basilaris dan sel rambut juga meningkat sehingga sel-sel rambut mengeksitasi ujung saraf dengan lebih cepat.

b. Ketika getaran amplitudo meningkat, peningkatan ini menyebabkan semakin banyaknya sel rambut di atas lingkaran pinggir dan bagian membran basilaris menjadi terangsang bukan melalui beberapa serat saraf.

c. Sel rambut sebelah luar tidak terangsang secara bermakna sampai getaran basilaris mencapai intensitas yang tinggi kemudian stimulasi sel-sel ini menggambarkan pada sistem syaraf bahwa suara itu sangat keras (Syaifuddin, 2001).

(33)

Menurut ACGIH (1996) dalam Leksono (2009), nilai ambang batas untuk pemajanan kebisingan adalah seperti yang terdapat pada tabel yang memiliki kesamaan dengan NAB surat keputusan Menteri Negara Tenaga Kerja Nomor: KEP-51/MEN/1999 sebagai berikut:

Tabel 2. NAB Menurut ACGIH dan Surat Keputusan Menteri Negara Tenaga Kerja Nomor: KEP-51/MEN/1999

Satuan Waktu Lama Pajanan per hari dB

Jam

Sumber: American Conference Of Industrial Hygienist (ACGIH), Treshold Limit Valie, 1996 dan NAB berdasarkan Kepmenaker No. 51/Men/1999.

2.8 Organ dan Mekanisme Pendengaran

Telinga adalah organ pendengaran yang terdiri dari tiga bagian, yaitu: telinga luar, telinga tengah, dan rongga telinga dalam . Saraf yang melayani indera ini adalah saraf kranial kedelapan atau nervus auditorius. Telinga berjumlah sepasang, yaitu telinga kiri dan kanan. Organ keseimbangan pada manusia diasosiasikan dengan organ pendengaran, keduanya terletak dalam rongga telinga dalam (Irianto, 2004).

(34)

a. Telinga bagian luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga (audiotory canal), dibatasi oleh membran timpani. Telinga bagian luar berfungsi sebagai mikrofon yaitu menampung gelombang suara dan menyebabkan membran timpani bergetar. Semakin tinggi frekuensi getaran semakin cepat pula membran tersebut bergetar begitu juga pula sebaliknya.

b. Telinga bagian tengah terdiri dari osside yaitu 3 tulang kecil (tulang pendengaran yang halus) martil-landasan-sanggurdi yang berfungsi memperbesar getaran dari membran timpani dan meneruskan getaran yang telah diperbesar ke oval window yang bersifat fleksibel. Oval window ini terdapat pada ujung dari koklea.

c. Telinga bagian dalam disebut juga koklea dan berbentuk rumah siput. Koklea mengandung cairan, di dalamnya terdapat membran basiler dan organ korti yang terdiri dari sel-sel rambut yang merupakan reseptor pendengaran. Getaran dari

oval window akan diteruskan oleh cairan dalam koklea, mengantarkan membran basiler. Getaran ini merupakan impuls bagi organ korti yang selanjutnya diteruskan ke otak melalui saraf pendengar (nervus cochlearis).

2.9 Dampak Kebisingan Terhadap Kesehatan

Menurut Fahmi (1997), kebisingan di tempat kerja dapat menimbulkan gangguan yang dapat dikelompokkan secara bertingkat sebagai berikut:

2.9.1.1.Gangguan Fisiologis

Gangguan fisiologis adalah gangguan yang mula-mula timbul akibat bising, dengan kata lain fungsi pendengaran secara fisiologis dapat terganggu. Pembicaraan atau instruksi dalam pekerjaan tidak dapat didengar secara jelas, sehingga dapat menimbulkan gangguan lain, seperti kecelakaan. Kebisingan dapat juga mengganggu Cardiac Out Put dan tekanan darah (Wahyu, 2003).

(35)

perubahan itu tidak tampak lagi. Kebisingan dapat menimbulkan gangguan fisiologis melalui tiga cara yaitu:

a. Sistem internal tubuh

Sistem internal tubuh adalah sistem fisiologis yang penting untuk kehidupan yang terdiri dari: kardiovaskuler (jantung, paru-paru, pembuluh darah), gastrointestinal (perut, usus), saraf (urat saraf), musculoskeletal (otot, tulang) dan endokrin (kelenjar)

b. Ambang pendengaran

Ambang pendengaran adalah suara terlemah yang masih bisa didengar. Makin rendah level suara terlemah yang didengar berarti makin rendah nilai ambang pendengaran, berarti makin baik pendengarannya. Kebisingan dapat mempengaruhi nilai ambang batas pendengaran baik secara sementara (fisiologis) atau menetap (patofisiologis) (Rosidah, 2003).

c. Gangguan pola tidur

Pola tidur sudah merupakan pola alamiah, kondisi istirahat yang berulang secara teratur, dan penting untuk tubuh normal dan pemeliharaan mental secara kesembuhan. Kebisingan dapat mengganggu tidur dalam hal kegelapan, kontinuitas, dan lama tidur (Fahmi, 1997).

Berdasarkan penelitian yang menemukan bahwa persentase seseorang bisa terbangun dari tidurnya sebesar 5% pada tingkat intensitas suara 40 dB dan meningkat sampai 30% pada tingkat 70 dB. Pada tingkat intensitas suara 100 dB sampai 120 dB, hampir setiap orang terbangun dari tidurnya (Jain, 1981).

2.9.1.2.Gangguan psikologis

(36)

Reaksi terhadap gangguan ini sering menimbulkan keluhan terhadap kebisingan yang berasal dari pabrik, lapangan udara dan lalu lintas. Umumnya kebisingan pada lingkungan melebihi 50-55 dB pada siang hari dan 45-55 dB akan mengganggu kebanyakan orang. Apabila kenyaringan kebisingan meningkat, maka dampak terhadap psikologis juga akan meningkat. Kebisingan dikatakan mengganggu apabila pemaparannya menyebabkan orang tersebut berusaha untuk mengurangi, menolak suara tersebut atau meninggalkan tempat yang bisa menimbulkan suara yang tidak dikehendakinya (Rosidah, 2003).

2.9.1.3.Gangguan patologis organ

Gangguan kebisingan yang paling menonjol adalah pengaruhnya terhadap alat pendengaran atau telinga, yang dapat menimbulkan ketulian yang bersifat sementara hingga permanen. Kelainan yang timbul pada telinga akibat bising terjadi tahap demi tahap sebagai berikut: stadium adaptasi, merupakan suatu daya proteksi alamiah dan keadaan yang dapat pulih kembali, atau kata lain sifatnya

reversible. Stadium temporary threshold shiff disebut juga auditory fatigue yang merupakan kehilangan pendengaran reversible sesudah 48 jam terhindar dari bising itu. Batas waktu yang diperlukan untuk pulih kembali sesudah terpapar bising adalah 16 jam. Stadium persistem trehold shiff, dalam stadium ini ambang pendengaran meninggi lebih lama, sekurang-kurangnya 48 jam setelah meninggalkan lingkungan bising, pendengaran masih terganggu. Stadium

permanent trehold shiff, pada stadium ini meningginya ambang pendengaran menetap sifatnya, gangguan ini banyak ditemukan dan tidak dapat disembuhkan. Tuli akibat bising ini merupakan tuli persepsi yang kerusakannya terdapat dalam koklea berupa rusaknya saraf pendengaran (Wahyu, 2003).

2.9.1.4.Komunikasi

(37)

dibicarakan oleh orang lain, apakah itu berupa percakapan langsung, percakapan telepon, melalui alat komunikasi lain, misalnya radio, televisi dan pidato (Rosidah, 2003).

Tabel 3. Intensitas dan Lama Kebisingan Terhadap Tubuh

No. Gangguan Intensitas

(dB)

Lama Waktu

1 Sistem internal tubuh 85 Sewaktu-waktu

2 Ambang pendengaran

B. Impulsif 140 10000 microsec

3 Pola tidur

A. Terbangun 55-60 Sewaktu-waktu

B. Pergantian jam tidur 35-45 Sewaktu-waktu Sumber: Jain, R.K. et al: Enviromental impact Analysis, 1981: 280.

2.10 Lambung

2.10.1 Anatomi umum

Lambung adalah ruang berbentuk kantung mirip huruf J yang terletak diantara esophagus dan usus halus. Lambung dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan perbedaan anatomis, histologist dan fungsional. Fundus adalah bagian lambung yang terletak di bagian atas lubang esophagus. Bagian tengah atau utama lambung adalah korpus (badan). Lapisan otot polos di fundus dan korpus relatif tipis, tetapi bagian bawah lambung, antrum, memiliki otot yang lebih tebal. Diantara region-regio tersebut terdapat perbedaan kelenjar di mukosa. Bagian akhir lambung adalah stingfer pylorus, yang berfungsi sebagai sawar antara lambung dan bagian atas usus halus, duodenum (Sherwood, 1996).

(38)

ini menghasilkan suatu sisi yang berbentuk sangat konkaf antara kardia dan pilorus yang disebut lengkungan pendek (lesser curvature), serta sisi lainnya yang konveks disebut lengkungan besar (greater curvature). Ada suatu tonjolan besar yang terletak di dekat kardia yang disebut fundus (Frandson, 1992).

Gambar 1. Anatomi eksternal dan internal lambung mamalia

Lambung tikus terbagi menjadi 2 bagian, sisi glandular dan sisi lambung depan non-glandular yang berdinding tipis. Kedua bagian tersebut dibatasi oleh sebuah jembatan (ridge) yang sekaligus melapisi pintu masuknya esophagus. Struktur lambung ini mencegah terjadinya muntah pada tikus. Sisi lambung depan non-glandular memiliki lapisan mukosa yang menyerupai mukosa lumen dan dilapisi oleh sel epitel skuamosa bertingkat dan berperan sebagai reservoir. Sisi glandular lambung (korpus) memilki karakteristik adanya sumur lambung yang dilapisi oleh epitel kolumnar selapis. Kelenjar lambung terdiri dari sel parietal dan

chief cell/ sel zimogen. Bagian pislorus lambung tikus dilapisi oleh epitel kolumnar selapis yang juga melapisi perpanjangan sumur lambung. Dibawah lapisan tersebut terdapat kelenjar pilorus (Harris, 2009).

2.10.2 Fungsi Lambung

Fungsi lambung adalah sebagai berikut:

(39)

memungkinkan adanya interval waktu yang panjang antara saat makan dan kemampuan menyimpan makanan dalam jumlah besar sampai makanan ini dapat terakomodasi di bagian bawah saluran.

b. Produksi kimus, aktivitas lambung mengakibatkan terbentuknya kimus (massa homogen setengah cair, berkadar asam tinggi yang berasal dari bolus) dan mendorongnya ke dalam duodenum.

c. Digesti protein, lambung memulai digesti protein melalui sekresi tripsin dan asam klorida.

d. Produksi mukus. Mukus yang dihasilkan dari kelenjar membentuk barier setebal 1 mm untuk melindungi lambung terhadap aksi pencernaan dan sekresinya sendiri. e. Produksi faktor intrinsik, yaitu glikoprotein yang disekresi sel parietal dan vitamin

B12 yang didapat dari makanan yang dicerna di lambung yang terikat pada faktor intrinsik. Komplek faktor intrinsik vitamin B12 dibawa ke ileum usus halus, dimana tempat vitamin B12 diabsorbsi.

f. Absorbsi. Di lambung hanya terjadi sedikit absorbsi nutrien. Beberapa zat yang diabsorbsi antara lain adalah beberapa obat yang larut lemak (aspirin) dan alkohol diabsorbsi pada dinding (Setiadi, 2007).

2.10.3 Histologi Lambung

Dinding lambung disusun oleh beberapa lapisan yaitu lapisan mukosa, submukosa, muskularis eksterna atau muskularis propia, dan serosa

a. Mukosa

(40)

b. Submukosa

Lapisan submukosa yang terdiri atas jaringan areolar berisi pembuluh darah dan saluran limfa. Lapisan mukosa yang terdapat di sebelah dalam, tebal, dan terdiri atas banyak kerutan atau rugae yang hilang bila organ itu mengembang karena berisi makanan (Hirlan, 2001).

c. Muskularis Propia

Muskularis mukosa tersusun dari 3 lapisan otot polos, yaitu lapis longitudinal di bagian luar, lapis serkuler di bagian tengah, dan lapis oblique di bagian dalam. Susunan serat otot yang unik ini memungkinkan berbagai macam kombinasi kontraksi yang diperlukan untuk memecah makanan menjadi partikel-partikel kecil, mengaduk dan mencampur makanan tersebut dengan cairan lambung ke arah duodenum (Bevelander & Ramaley, 1998).

d. Serosa

Serosa merupakan lapisan tipis yang terdiri atas jaringan ikat longgar, kaya akan pembuluh darah dan jaringan adipose dan mesotel (Junqueira. 1983). Pada lapis serosa terlihat suatu selaput dan jaringan areolar yang mengandung pembuluh darah, jaringan lemak dan batang saraf (Bevelander & Ramaley, 1998).

2.10.4 Kerusakan yang Terjadi pada Lambung 2.10.4.1 Gastritis

Gastritis berarti peradangan mukosa lambung. Keadaan ini dapat diakibatkan dari makanan yang mengiritasi mukosa lambung, ekskoriasi mukosa lambung yang berlebihan oleh secret peptik lambung sendiri atau peradangan bakteri. Mukosa yang meradang pada gastritis sering menimbulkan rasa nyeri, menyebabkan perasaan nyeri terbakar difus yang dialihkan ke epigastrium bagian atas. Refleks-refleks yang dimulai pada mukosa lambung menyebabkan kelenjar saliva mengeluarkan saliva dalam jumlah besar (Guyton, 1990).

2.10.4.2 Ulkus Peptikum

(41)

dimana erosi berukuran lebih kecil (< 5mm) dan lebih superficial. Mukosa superficial hanya memilki pembuluh kapiler, sehingga erosi hanya dapat menyebabkan pendarahan ringan, tidak mungkin sampai menyebabkan pendarahan yang signifikan. Bila ulkus mengenai otot dan menyebabkan kerusakan otot, maka akan terbentuk jaringan fibrosis, dan akan menimbulkan lekukan. Pada ulkus yang aktif dan terbentuk sempurna terdapat lapisan pada permukaannya berupa eksudat purulen, bakteri atau debris nekrosis (Harris, 2009).

Ulkus peptikum merupakan daerah ekskoriasi mukosa yang disebabkan kerja pencernaan getah lambung. Penyebab ulkus peptikum yang biasa adalah terlalu banyak sekret getah lambung dalam hubungannya dengan derajat perlindungan yang diberikan oleh lapisan mukus lambung dan duodenum serta netralisasi asam lambung oleh getah duodenum. Semua daerah yang dalam keadaan normal terpapar getah lambung disuplai banyak kelenjar mukosa, mulai dengan kelenjar mukosa komposita pada bagian bawah esophagus, kemudian sel mukosa yang meliputi mukosa lambung, sel leher mukosa glandula gastrika, glandula pilorika dalam yang terutama menyekresi mukus, dan akhirnya kelenjar

(42)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebisingan merupakan salah satu masalah kesehatan lingkungan. Bising adalah suara yang tidak dikehendaki yang dapat mengganggu atau membahayakan kesehatan. Pengaruh bising pada kesehatan berupa gangguan pendengaran dan bukan gangguan pendengaran (Rahayu, 2010).

Menurut surat edaran menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, Koperasi No. SE 01/MEN/1978 dalam Leksono (2009), mendefinisikan bahwa Nilai Ambang Batas (NAB) untuk kebisingan di tempat kerja adalah intensitas tertinggi dan merupakan nilai rata-rata yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan menurunnya daya dengar yang tetap untuk waktu kerja terus-menerus selama tidak lebih dari 8 jam sehari dan 40 jam seminggu. Kebisingan di tenpat kerja diusahakan agar lebih rendah dari NAB, yaitu 85dB.

Saat ini kebisingan mulai meningkat di beberapa negara, padahal bila terjadi berulang kali dan terus menerus sehingga melampaui daya adaptasi individu maka terjadi kondisi stress yang merusak atau sering disebut distress. Keadaan bising dapat mengakibatkan gangguan yang serius dan mempengaruhi kondisi fisiologis dan psikologis seseorang, disamping sebagai stressor yang dapat memodulasi respon imun (Inayah, 2008).

(43)

Hubungan antara kebisingan dengan kemungkinan timbulnya gangguan terhadap kesehatan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu intensitas kebisingan, frekuensi kebisingan, dan lamanya seseorang berada di tempat atau di dekat bunyi tersebut, baik dari hari ke hari ataupun seumur hidupnya (Rosidah, 2003).

Menurut Hartono (2007), kebisingan juga menyebabkan stres pada bagian tubuh yang mengakibatkan sekresi hormon abnormal dan tekanan pada otot. Pekerja yang terpapar bising kadang mengeluh gugup, susah tidur dan lelah. Emosi atau stres mempengaruhi keadaan fisiologi traktus gastrointestinal, antara lain sekresi musinoid, pepsin dan asam klorida lambung. Diduga keadaan inilah yang menjadi penyebab ulkus peptikum yang sekarang lebih dikenal dengan sindrom dispepsia. Dispepsia yang dimaksud di sini adalah penderita dengan keluhan yang berasal dari saluran cerna bagian atas yang dapat berupa nyeri epigastrium, mual, muntah yang dapat disertai darah atau tidak, rasa cepat kenyang, kembung atau sering sendawa.

(44)

1.2. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan intensitas kebisingan, frekuensi kebisingan, dan waktu pemaparan terhadap gambaran histopatologi lambung tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui kerusakan yang terjadi pada morfologi lambung tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan yang dipapari kebisingan.

b. Untuk mengetahui gambaran kerusakan histopatologi lambung tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan yang dipapari kebisingan.

1.4. Hipotesis

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah:

a. Kebisingan dalam intensitas tinggi (> 80dB) berpengaruh negatif terhadap gambaran histopatologi dan morfologi lambung tikus.

b. Kebisingan dalam intensitas sedang dan rendah (<80dB) tidak berpengaruh negatif terhadap gambaran histopatologi dan morfologi lambung tikus.

1.5 Manfaat Penelitian

a. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang pengaruh kebisingan dalam intensitas tinggi terhadap kesehatan lambung.

b. Sebagai kajian penelitian selanjutnya mengenai pengaruh kebisingan terhadap lambung.

(45)

ABSTRAK

Bising adalah suara yang tidak dikehendaki yang dapat mengganggu arau membahayakan kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran histopatologi lambung tikus putih (Rattus norvegicus L.) yang dipapari kebisingan. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 kelompok perlakuan dengan 6 ulangan. Kelompok P0 (kontrol) = (< 20 dB), P1= (25-50 dB), P2= (55-80 dB) dan P3= (85-110 dB) diberi kebisingan selama 8 jam setiap hari selama 7 hari secara kontinu. Preparat lambung dibuat dengan metode parafin dan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE). Hasil pengamatan morfologi lambung menunjukkan adanya perubahan warna tetapi tidak pada konsistensi lambung. Pada pengamatan berat badan menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara kelompok kontrol dengan perlakuan dan P1 dengan P2 sedangkan pengamatan berat lambung tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05). Gambaran histologi lambung pada tingkat keparahan erosi/ ulkus lambung dan gastritis terdapat perbedaan yang signifikan antara P1 dan P2.

(46)

ABSTRACT

Noise is undesired sound which can affect and threaten one’s health. Objective of this study is to obtain histopathological image of Rattus novergicus L. stomach under effect of noises. This research was experimental design as Complete Randomized Design with four treatment groups and six replications. The four treatment groups were designated as control group (P0, less than 20dB), group one (P1, 25-50 dB), group two (P2, 55-80 dB), and group three (85-110dB) with noise given within eight hours daily for seven days continuously. Histology preparation was made using paraffin method and Eosin-Hematoxylin staining. The results of stomach morphological observation showed a color change but not for stomach consistency. The results of body mass observation showed that there was a significant differences (P<0,05) between P0 and P2 and between P2 and P3 while stomach weight observation didn’t give any significal differences (P<0,05). Histological image of stomach resulted in gastric ulcer or gastritis with serious erosion degree was found significantly different between P1 and P2.

(47)

(Rattus norvegicus L.)

JANTAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

OLEH:

LAURA C.A NAIBAHO 090805050

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(48)

Judul : Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap Gambaran Histopatologis Lambung Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Jantan

Kategori : Skripsi

Nama : Laura C A Naibaho

Nomor Induk Mahasiswa : 090805050

Program Studi : Sarjana (S1) Biologi

Departemen : Biologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Disetujui di Medan, Maret 2016

Komisi Pembimbing:

Pembimbing 2, Pembimbing 1,

Dr. Salomo Hutahaean, M.Si Prof. Dr. SyafruddinIlyasM.Biomed NIP. 196510111995011001 NIP.196602091992031003

Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

(49)

PENGARUH INTENSITAS KEBISINGAN TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGIS LAMBUNG TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus L.)

JANTAN

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya

Medan, Maret 2016

(50)

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan pertolongannNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

PENGARUH INTENSITAS KEBISINGAN TERHADAP GAMBARAN

HISTOPATOLOGIS LAMBUNG TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus L.) JANTAN. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sains pada Fakultas MIPA USU Medan.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada orang tua,ayahanda dan ibunda tercinta, Drs. J. Naibaho dan N. Butar-butar yang selalu memberikan kasih sayang, doa, perhatian, pengorbanan yang besar, dukungan moral serta motivasi kepada penulis. Kepada abang dan adik penulis, Gray Hugo Naibaho, S.Pd, Rina Katrina Naibaho, Alberdo Nommensen Naibaho, dan Gracias Nico Naibaho serta seluruh keluarga besar atas segala perhatian dan motivasi yang diberikan kepada penulis.

Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M. Biomed selaku pembimbing I dan Bapak Dr. Salomo Hutahaean, M.Si selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu , bimbingan, tenaga dan pikiran saat bimbingan pada masa penelitian hingga penulisan skripsi ini. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Dra. Emita Sabri, M.Si dan Bapak Drs. Arlen Hanel Jhon, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran serta arahan dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini. Ibu Dr. Nursahara Pasaribu M. Sc selaku ketua Departemen Biologi FMIPA USU, Ibu Nurhasni Muluk, Ibu Rosalina Ginting, Bang Ewin, dan Kak Siti selaku staf pegawai Departemen Biologi FMIPA USU.

(51)

selama penelitian dilaksanakan, dan segala bantuan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kepada teman-teman penulis, Yulia, Freatty, Eka, Elgina, Rebekka dan Anju atas segala motivasinya. Kepada 09topus, Julie, Frisshy, Elisabeth, Venny, Astri, Hans, Raymond, Sahat, Hotman, Sepwin, Bobbi, Imam, Aan, Bertua, dan teman-teman 2009 lainnya yang telah memberikan dukungan penuh untuk penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga ucapkan terimakasih kepada seluruh adek-adek 2010, adek-adek asuh 2011 Dedeck, Nopi, Riski, Feby, Siren, Grace, Rinda, Putri, Arisa, Titis, adek-adek 2012 Bobby Pranoto, Ilham, Aditya, Melda, Maretta, Nolo, adek 2013, dan semua rekan-rekan yang telah memberi semangat kepada penulis.

Akhirnya dengan penuh ketulusan dan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.Atas partisipasi dan dukungannya penulis ucapkan terimakasih.

Medan, Maret 2016

(52)

ABSTRAK

Bising adalah suara yang tidak dikehendaki yang dapat mengganggu arau membahayakan kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran histopatologi lambung tikus putih (Rattus norvegicus L.) yang dipapari kebisingan. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 kelompok perlakuan dengan 6 ulangan. Kelompok P0 (kontrol) = (< 20 dB), P1= (25-50 dB), P2= (55-80 dB) dan P3= (85-110 dB) diberi kebisingan selama 8 jam setiap hari selama 7 hari secara kontinu. Preparat lambung dibuat dengan metode parafin dan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE). Hasil pengamatan morfologi lambung menunjukkan adanya perubahan warna tetapi tidak pada konsistensi lambung. Pada pengamatan berat badan menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara kelompok kontrol dengan perlakuan dan P1 dengan P2 sedangkan pengamatan berat lambung tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05). Gambaran histologi lambung pada tingkat keparahan erosi/ ulkus lambung dan gastritis terdapat perbedaan yang signifikan antara P1 dan P2.

(53)

ABSTRACT

Noise is undesired sound which can affect and threaten one’s health. Objective of this study is to obtain histopathological image of Rattus novergicus L. stomach under effect of noises. This research was experimental design as Complete Randomized Design with four treatment groups and six replications. The four treatment groups were designated as control group (P0, less than 20dB), group one (P1, 25-50 dB), group two (P2, 55-80 dB), and group three (85-110dB) with noise given within eight hours daily for seven days continuously. Histology preparation was made using paraffin method and Eosin-Hematoxylin staining. The results of stomach morphological observation showed a color change but not for stomach consistency. The results of body mass observation showed that there was a significant differences (P<0,05) between P0 and P2 and between P2 and P3 while stomach weight observation didn’t give any significal differences (P<0,05). Histological image of stomach resulted in gastric ulcer or gastritis with serious erosion degree was found significantly different between P1 and P2.

(54)

Halaman

2.4. Mengukur Tingkat Kebisingan 7

2.5. Zona Kebisingan 7

2.6. Kemampuan Dengar 8

2.7. Nilai Ambang Batas (NAB) 9

2.8. Organ dan Mekanisme Pendengaran 9

2.9. Dampak Kebisingan Terhadap Kesehatan 10 2.10. Lambung

2.10.1. Anatomi Lambung 13

2.10.2. Fungsi Lambung 14

2.10.3. Histologi Lambung 15

2.10.4. Kerusakan yang Terjadi pada Lambung 16

2.10.4.1. Gastritis 16

2.10.4.2. Ulkus Peptikum 16

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 18

3.2. Alat dan Bahan 18

3.3. Rancangan Percobaan 18

(55)

3.4.5. Pembuatan Preparat Histologi 20

3.5. Parameter Pengamatan 22

3.5.1. Pengamatan Berat dan Morfologi Lambung 22

3.5.2. Pengamatan Histologi Lambung 22

3.6. Analisis Data 24

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Morfologi Lambung Tikus Jantan Setelah

Perlakuan Kebisingan 25

4.1.1. Rerata Berat Badan 25

4.1.2. Rerata Berat Lambung 27

4.1.3. Warna Lambung 28

4.2. Gambaran Histologi Lambung 29

4.2.1. Tingkat Keparahan Ulkus Lambung 29

4.2.2. Gastritis 33

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan 36

5.2. Saran 36

(56)

Nomor Tabel

Judul Halaman

1. Syarat-syarat Zona Kebisingan 8

2. Nilai Ambang Batas 9

3. Intensitas dan Lama Kebisingan Terhadap Tubuh 13 4. Tingkat Keparahan Erosi/ Ulkus Lambung dengan

Modifikasi

(57)

Nomor Gambar

Judul Halaman

1. Anatomi Eksternal dan Internal Lambung Mamalia 14 2. Rerata Berat Badan Awal dan Akhir Tikus setelah

Perlakuan Kebisingan

25 3. Rerata Berat Lambung Tikus Setelah Perlakuan

Kebisingan

27 4. Warna Lambung Tikus Setelah Perlakuan Kebisingan 28 5. Rerata Tingkat Keparahan Erosi/ Ulkus Lambung Tikus

Setelah Perlakuan Kebisingan

29 6. Gambaran Histologi Tingkat Keparahan Erosi/ Ulkus

Lambung Setelah Perlakuan Kebisingan

31 7. Rerata Derajat Gastritis Tikus Setelah Perlakuan

Kebisingan

33 8. Gambaran Radang/ Gastritis Lambung Setelah Perlakuan

Kebisingan

(58)

Lampiran Judul Halaman Lampiran 1.

Lampiran 2.

Data Mentah Berat Badan dan Berat Lambung Analisis Statistik Rata-rata Berat Badan Tikus

40 41 Lampiran 3. Analisis Statistik Rata-rata Berat Lambung Tikus 42 Lampiran 4. Analisis Statistik Rata-rata Tingkat Keparahan Ulkus

Lambung Tikus

43

Gambar

Tabel 4. Tingkat Keparahan Erosi/ Ulkus Lambung dengan Modifikasi.
Gambar 2. Rerata Selisih Berat Badan Awal dan Akhir Tikus Setelah Perlakuan Kebisingan.dan P3 = Perlakuan kebisingan (25-50 dB), (55-80 dB) dan (85-110 dB) selama 8  P0 = Kontrol kebisingan (<20 dB) selama 8 hari, P1, P2 hari
Gambar 3.  Rerata Berat Lambung Tikus Setelah Perlakuan Kebisingan. P0 = Kontrol kebisingan (<20 dB) selama 8 hari, P1, P2 dan P3 = Perlakuan kebisingan (25-50 dB), (55-80 dB) dan (85-110 dB) selama 8 hari
Gambar 5.  Rerata Tingkat Keparahan Erosi/Ulkus Lambung Tikus Setelah Perlakuan Kebisingan.dan P3 = Perlakuan kebisingan (25-50 dB), (55-80 dB) dan (85-110 dB) selama 8  P0 = Kontrol kebisingan (<20 dB) selama 8 hari, P1, P2 hari
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Penulisan ilmiah ini membahas mengenai cara pembuatan program aplikasi keamanan folder menggunakan Microsoft Visual Basic.NET untuk menjaga keamanan file di dalam suatu folder

[r]

Penulisan ilmiah ini membahas tentang informasi jadwal penerbangan secara on-line dengan menggunakan pemrograman PHP, Dreamweaver MX untuk tampilan, dan MySQL

Setelah itu ketika diteteskan metil jingga dari yang semula berwarna putih gading menjadi warna kuning soft yang menunjukan Ph &gt; 4,0 disebut larutan basa dan ketika.

Penelitian ini digunakan untuk menjawab permasalahan yaitu apakah penggunaan metode Contextual Teaching And Learning (CTL) pada mata pelajaran IPS materi menghargai perjuangan

laksanaan, den penilaian penbelajaran, makc pembinaan guru dalam rangka peningkatan lcualitas profesionalnya tidak saja menggunakan pendekatnn dari atas ke banah melainkan

a) Ivan P. Pavlov: teori belajar Dari percobaannya tersebut Pavlov menyimpulkan bahwa hampir semua organisme perilakunya terjadi secara refleks dan di batasi oleh rangsangan