• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Kegagalan Rumah Tangga Pekerja Migran di

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Hasil Penelitian

2. Dampak Kegagalan Rumah Tangga Pekerja Migran di

Kegagalan rumah tangga yang dialami oleh kelima orang subjek penelitian ini tidak hanya memiliki faktor penyebab yang berbeda-beda sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Dampak kegagalan rumah tangga dalam hal ini juga tidak sama antara subjek yang satu dengan subjek lain. Pada pokoknya, dampak tersebut dapat dikelompokan menjadi dampak psikologis dan dampak yang berkaitan dengan aspek ekonomi subjek.

Pada subjek YT misalnya, kegagalan rumah tangga yang pernah dialami dengan terjadinya perceraian dengan suaminya justru disikapi sebagai satu hal yang dapat memberi dampak positif bagi kondisi perekonomiannya. Berikut adalah penuturan YT mengenai hal tersebut:

“Sekarang semuanya saya yang mengatur mbak, uang saya simpan dan kelola sendiri. Lebih hemat lagilah.” (Wawancara dengan YT, pada tanggal 19 Juni 2013) (Lampiran 1, baris 157-158)

Kutipan wawancara tersebut menunjukan bahwa setelah bercerai dengan suaminya maka YT dapat memperbaiki pengelolaan uangnya. Uang yang menjadi jerih payahnya bekerja di luar negeri dapat dikelola sendiri dengan lebih baik setelah bercerai dengan suaminya. Pada sisi lain, perceraian yang dialami oleh subjek YT dengan pasangannya dirasanya tidak perlu untuk disesali sebab hal tersebut merupakan hal terbaik yang dapat dilakukan. Berikut adalah penuturan YT mengenai hal tersebut:

“Saya sedih pasti ya mbak, gara-gara masalah ekonomi saja kami harus bercerai tapi harus bagaimana lagi mungkin itu yang terbaik bagi kami. Dan semoga mantan suami saya lebih terbuka lagi pikirannya. Menyesal sih enggak mbak, saya ikhlas.” (Wawancara dengan YT, pada tanggal 19 Juni 2013) (Lampiran 1, baris 174-177)

Pada kutipan wawancara tersebut dapat diketahui bahwa YT tidak merasa menyesal sebab telah dapat menerima perceraian yang dialami. Perceraian dianggap sebagai hal terbaik yang dapat dipilihnya untuk mengakhiri rumah tangganya. Pada sisi lain, tidak adanya penyesalan setelah perceraian dalam hal ini juga dapat terlihat dari penuturan YT mengenai sikap suaminya sebagai berikut yang menegaskan bahwa tidak ada penyesalan:

“Mungkin bukan saya yang harus memperbaiki mbak, menurut saya adalah suami saya. Karena saya harus sampai jauh-jauh ke negeri orang untuk mencari nafkah, tetapi suami saya tidak bisa menjaga keuangan di rumah. Atau setidaknya saya berharap saat itu bahwa suami saya mau bekerja, ya bekerja apapun lah saya terima.” (Wawancara dengan YT, pada tanggal 19 Juni 2013) (Lampiran 1, baris 180-185)

Kutipan wawancara tersebut semakin menunjukan bahwa YT sangat kecewa pada sikap suaminya yang tidak dapat mengelola keuangan dengan baik. Hal demikian membuat hasil kerja YT di luar negeri selama bertahun-tahun menjadi tidak terlihat. Kondisi tersebut diperparah dengan tidak bekerjanya suami YT selama YT bekerja di luar negeri. Pada akhirnya hal demikian membuat YT sudah merasa cukup untuk mengakhiri rumah tangganya sehingga dampak kegagalan rumah tangga yang dialami tidak cukup besar dan YT dapat segera memulai kehidupan barunya.

Kondisi yang hampir sama dengan YT dalam hal ini dapat dilihat dari dampak kegagalan rumah tangga yang dialami subjek lain yaitu BR. Menurut BR, kegagalan rumah tangganya setidaknya membawa dampak cukup positif bagi kehidupan ekonominya sebab uang dapat dikelola dengan lebih baik sendiri oleh BR. Berikut ini adalah penuturan dari subjek BR mengenai hal tersebut:

“Semakin membaik ya mbak, soalnya sekarang uangnya bisa kumpul. Kalau dulu kan uang dipegang istri saya dan selalu habis untuk senang-senang dengan suaminya yang baru, kalau sekarang saya kirim uang dari luar lewat adik saya dan yang mengatur uang untuk anak saya juga adik saya.” (Wawancara dengan BR, pada tanggal 19 Juni 2013) (Lampiran 2, baris 151-150)

Kutipan wawancara tersebut menunjukan bahwa kondisi perekonomian BR justru mulai membaik perlahan setelah memutuskan

bercerai dengan istrinya. Sementara itu, dari sisi psikologis dalam hal ini BR mencoba untuk tidak terpengaruh dampak kegagalan rumah tanga yang dialami sehingga anak-anaknya diharapkan juga tidak terpengaruh. Berikut penuturan BR mengenai hal tersebut:

“Ya saya ikhlas mbak, memang begini takdirnya ya saya parsah sama Gusti Allah. Yang pasti sekarang saya tetap fokus pada anak-anak, bagaimana membuat mereka tetap bahagia walaupun saya dan ibunya anak-anak sudah bercerai. Jangan smapai anak-anak kurang perhatian.” (Wawancara dengan BR, pada tanggal 19 Juni 2013) (Lampiran 2, baris 169-173)

Kutipan wawancara tersebut menunjukan bahwa BR tidak ingin dampak kegagalan rumah tangga yang dialami sampai membuat anak-anaknya merasa kurang perhatian. Oleh sebab itu daripada merasakan dampak kegagalan rumah tangga yang dialami secara berlebihan dalam hal ini BR lebih memilih untuk berupaya membahagiakan anak-anaknya.

Selain itu, BR dalam hal ini juga merasa telah mengikhlaskan kegagalan rumah tangga yang dialami. Berikut adalah penuturan BR mengenai hal tersebut:

“Untuk apa di sesali mbak, toh semua sudah kejadian. Mungkin memang sudah harus begini jalannya. Saya menerima semuanya dengan lapang dada.” (Wawancara dengan BR, pada tanggal 19 Juni 2013) (Lampiran 2, baris 175-177)

Kutipan wawancara tersebut menunjukan bahwa BR telah dapat menerima kegagalan rumah tangganya. Hal demikian dapat dilihat dari ungkapan BR yang menyatakan telah berlapang dada menerima kegagalan rumah tangganya sehingga tidak perlu disesali.

Hal yang sama oleh subjek BR juga dialami oleh subjek penelitian lain yaitu SR. Pada penuturannya, SR merasa bahwa dampak kegagalan rumah tangga untuk kehidupan ekonominya justru memberi dampak positif. Berikut adalah penuturan SR mengenai hal tersebut:

“Sekarang justru saya malah bisa mengatur keuangan lebih baik ya mbak, kalau saya kirim saya kirim ke kakak saya. Nanti anak saya sering ngecek ke bank. Jadi tahu uang yang masuk berapa.” (Wawancara dengan SR, pada tanggal 20 Juni 2013) (Lampiran 3, baris 169-171)

Kutipan wawancara tersebut menunjukan dampak kegagalan rumah tangga bagi kondisi ekonomi SR merupakan satu dampak yang cenderung positif. Hal demikian dikarenakan setelah bercerai SR menjadi dapat mengelola keuangannya sendiri tanpa suaminya sehingga hasil kerjanya di luar negeri lebih dapat dikelola dengan baik. Pada sisi lain, sama seperti subjek penelitian lain yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kegagalan rumah tangga yang dialami dapat disikapi secara positif dampaknya. Hal demikian dapat dilihat dari penuturan SR sebagai berikut:

“Lebih plong pastinya ya mbak, saya sudah tidak harus mikir di rumah ada apa, suami saya ke mana. Lebih tenang aja mbak, saya jalaninnya juga lebih enak.” (Wawancara dengan SR, pada tanggal 20 Juni 2013) (Lampiran 3, baris 182-184)

Kutipan wawancara dengan SR tersebut menunjukan bahwa SR dapat mengambil sisi positif dari kegagalan rumah tangga yang dialami. Hal demikian membuat SR cenderung lebih mudah untuk dapat menerima perceraian dengan suaminya sehingga tidak memberikan dampak berlebih pada kondisi psikologisnya sendiri. Pada akhirnya SR akan lebih siap untuk memulai kehidupan baru sebagai orang tua tunggal bagi anaknya.

Dampak kegagalan rumah tangga lain dalam hal ini dialami oleh GM. Pada penuturannya, GM mengaku kegagalan rumah tangga yang dialami sangat berdampak pada dirinya sebagaimana dapat dilihat dalam kutipan wawancara berikut:

“Saya jadi benci sekali dengan laki-laki mbak, apalagi yang tidak bertanggung jawab seperti suami saya.” (Wawancara dengan GM, pada tanggal 20 Juni 2013) (Lampiran 4, baris 158-159)

Penuturan GM dalam kutipan wawancara tersebut menunjukan bahwa GM menyimpan kekecewaan yang cukup mendalam pada suaminya. Oleh sebab itu dampak kegagalan rumah tangga yang dialami kemudian membuat secara psikologis GM membenci laki-laki. Hal demikian juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi GM yang cukup terpuruk setelah kegagalan rumah tangga yang dialami. Berikut adalah penuturan GM terkait hal tersebut:

“Saya ya mulai dari awal lagi mbak, uang sudah habis sama suami saya selama ini untuk bersenang-senang dengan wanita lain. Saya sekarang mau nggak mau ya harus jadi tulang punggung keluarga kecil saya dan mulai menghemat untuk kepentingan anak saya nantinya” (Wawancara dengan GM, pada tanggal 20 Juni 2013) (Lampiran 4, baris 147-151)

Kutipan wawancara tersebut menunjukan bahwa dampak kegagalan rumah tangga yang dialami GM cukup terasa buruk bagi kehidupan ekonominya. Dapat dilihat bahwa dampak kegagalan rumah tangga yang dialami oleh subjek GM cukup buruk bagi kondisi ekonominya akibat tidak ada hasil kerja GM yang tersisa. Kekecewaan mendalam pada suaminya tersebut kemudian berdampak pada pandangan GM terhadap laki-laki. Pada

akhirnya GM kemudian merasa memiliki kekecewaan yang sangat mendalam pada laki-laki.

Sementara itu, dampak kegagalan rumah tangga yang dialami subjek JR dalam hal ini cenderung berbeda dengan dampak pada diri subjek lain yang telah diuraikan sebelumnya. Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa istri JR telah mengalami perubahan orientasi seksual dan memutuskan menjadi lesbian. Oleh sebab itu, dampak kegagalan rumah tangga bagi kondisi psikologis JR dapat dilihat cukup dapat dilihat mengingat JR masih memiliki keinginan untuk mempertahankan rumah tangga dengan pasangannya. Hal demikian dapat dilihat dari penuturan JR berikut:

“Saya sebenernya masih sayang banget mbak sama istri saya, tapi bagaimana lagi, istri saya minta cerai terus mbak. Saya kabulkan akhirnya.” (Wawancara dengan JR, pada tanggal 21 Juni 2013) (Lampiran 5, baris 119-121)

Kutipan wawancara tersebut menunjukan bahwa tuntutan untuk bercerai datang dari pihak pasangan JR. Selain itu, kutipan wawancara tersebut juga menunjukan bahwa JR masih menyayangi istrinya. Hal demikian membuat kegagalan rumah tangga yang dialami cukup disesali sebagaimana dapat dilihat dari kutipan wawancara berikut:

“Nyesel banget mbak, kenapa saya bisa membiarkan istri saya seperti itu. Kalau saya bisa ya jangan sampai bercerai lah.” (Wawancara dengan JR, pada tanggal 21 Juni 2013) (Lampiran 5, baris 138-139)

Kutipan wawancara tersebut menunjukan bahwa terdapat penyesalan pada diri JR dengan tejadinya perceraian antara dirinya dengan

istrinya. JR merasa menyesal telah memberikan izin pada istrinya untuk bekerja sebagai pekerja migra di Hongkong. Penyesalan tersebut dapat pula dilihat dari hal yang disesali JR dan diungkapkan dalam kutipan wawancara berikut:

“Saya tidak akan membiarkan dan mengizinkan istri saya kerja di Hongkong kalau tahu akhirnya bakalan seperti ini mbak.” (Wawancara dengan JR, pada tanggal 21 Juni 2013) (Lampiran 5, baris 143-144)

Kutipan wawancara tersebut menunjukan bahwa penyesalan dalam diri JR sangat dalam atas kegagalan rumah tangga yang dialami dengan istrinya. Penyesalan tersebut semakin dalam karena sejak awal JR merasa dirinyalah yang telah memberikan izin kepada istrinya untuk bekerja sebagai pekerja migran ke Hongkong sehingga demi alasan ekonomi dan materi dalam hal ini istri JR bekerja ke Hongkong yang pada akhirnya membuat rumah tangganya tidak dapat dipertahankan lagi sampai berujung pada perceraian.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dilihat bahwa dampak yang dialami oleh masing-masing subjek penelitian berbeda. Terdapat subjek yang merasakan dampak terbesar pada sisi psikologis, namun terdapat pula subjek yang justru merasa telah mendapat dampak positif pada kehidupan ekonomi setelah rumah tangganya mengalami kegagalan. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa dampak yang berbeda pada masing-masing subjek dalam hal ini kemudian membuat proses masing-masing subjek untuk menerima kegagalan rumah tangga yang dialami menjadi berbeda-beda pula.

Selain pada aspek ekonomi dan psikologis sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dampak kegagalan rumah tangga yang dialami subjek dalam hal ini juga dapat berdampak pada visi subjek ke depan. Visi subjek ke depan yang dimaksud yaitu adanya rencana untuk menjalani kehidupan di masa mendatang dengan lebih baik, termasuk pula kemungkinan atau keinginan subjek untuk kembali menjalin rumah tangga lagi.

Pada subjek YT misalnya, dapat dilihat bahwa kegagalan rumah tangga yang dialami tidak memberikan satu hal yang membuat subjek merasa trauma. Kondisi tersebut kemudian membuat YT tidak merasa takut untuk kembali menjalin rumah tangga di masa mendatang. Hal demikian dapat dilihat dari keterangan YT pada kutipan wawancara sebagai berikut:

“Pasti pengenlah mbak, cuma enggak sekarang. Saya masih harus banyak belajar dari kegagalan saya, saya tidak mau terulang lagi.” (Wawancara dengan YT, pada tanggal 19 Juni 2013) (Lampiran 1, baris 198-200)

Hasil wawancara dalam kutipan tersebut menunjukan bahwa bagi subjek YT tidak menutup kemungkinan untuk menjalani kehidupan rumah tangga lagi di masa mendatang. Artinya dalam hal ini YT merasa memiliki keyakinan apabila harus menjalin hubungan rumah tangga kembali di masa mendatang. Hanya saja hal tersebut baru akan dilakukan setelah YT merasa yakin sudah cukup belajar atas kegagalan yang pernah dialami.

Tidak seperti subjek YT yang menyatakan keinginannya untk kembali menjalin rumah tangga kembali di masa mendatang, hal yang berbeda diungkapkan oleh subjek BR. BR merasa belum memiliki niat

untuk kembali menjalin rumahtangga setelah kegagalan yang dialami dengan pasangannya. Berikut adalah penuturan BR mengenai hal tersebut:

“Saya sudah tidak memikirkan hal itu lagi mbak, yang saya pikirkan untuk saat ini adalah anak-anak saya.” (Wawancara dengan BR, pada tanggal 19 Juni 2013) (Lampiran 2, baris 197-198)

Pada kutipan wawancara tersebut dapat dilihat bahwa bagi subjek BR, kehidupan masa mendatang yang terpenting adalah kehidupan anak-anaknya sehingga berumah tangga kembali tidak menjadi pritoritas. Dalam hal ini BR belum memiliki keinginan untuk kembali berumah tangga dan terlebih dahulu foku pada anak-anaknya. Hal yang serupa diungkapkan oleh subjek lain yaitu SR. Berikut adalah penuturan SR mengenai hal tersebut:

“Saya sudah tua mbak sekarang, sudah nggak laku. Saya juga enggak mau kecewa kedua kalinya lah.” (Wawancara dengan SR, pada tanggal 20 Juni 2013) (Lampiran 3, baris 205-206)

Pada kutipan wawancara tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa SR sama sekali tidak memiliki keinginan untuk kembali berumah tangga. Hal demikian menunjukan bahwa SR memiliki kekecewaan yang sangat mendalam atas kegagalan rumah tangga yang pernah dialaminya. Selain itu, kondisi tersebut menunjukan bahwa dampak kegagalan rumah tangga yang dialami cukup membekas sehingga menimbulkan kekecewaan yang mendalam.

Rasa trauma untuk kembali berumah tangga dalam hal ini juga dapat dilihat pada diri subjek GM. Berikut adalah penuturan GM mengenai hal tersebut:

“Enggak mbak saya trauma, sudah cukup saya di bodohin suami saya, jangan sampai terulang lagi mbak. Saya enggak mikir ke sana, saya mikirin anak saya ajah. Cukup saya hidup berdua dengan anak saya.” (Wawancara dengan GM, pada tanggal 20 Juni 2013) (Lampiran 4, baris 175-178)

Pada kutipan wawancara tersebut dengan jelas dapat dilihat bahwa GM merasakan trauma mendalam atas kegagalan rumah tangga yang pernah dialami. Kondisi demikian membuat GM sama sekali tidak berniat untuk kembali menjalin rumah tangga di masa mendatang.

Sementara itu, bagi subjek JR kegagalan rumah tangga yang dialami meskipun dirasa berat namun tidak membuat dirinya trauma untuk kembali menjalin rumah tangga di masa mendatang. Dalam hal ini JR hanya berusaha untuk belajar dari pengalamannya mengalami kegagalan di masa lalu dan berupaya untuk tidak kembali gagal apabila berumah tangga di masa mendatang. Hal demikian sesuai dengan penuturanya sebagai berikut:

“Sebisa mungkin saya tidak akan membiarkan istri saya pergi dan kerja di luar rumah, saya mau istri saya mengurus rumah dan tinggal bersama anak saya. Saya tidak mau kejadian ini terulang kembali.” (Wawancara dengan JR, pada tanggal 21 Juni 2013). (Lampiran 5, baris 156-159)

Kutipan wawancara tersebut menunjukan bahwa bagi subjek JR kegagalan rumah tangga harus disikapi sebagai suatu bentuk pembelajaran hidup yang harus disikapi dengan baik. Artinya yaitu kegagalan yang telah dialami dicoba untuk dicari penyebabnya dan dijadikan sebagai bahan untuk mencegah kegagalan rumah tangga di masa mendatang. Oleh sebab itu pada penuturannya tersebut JR mengungkapkan pula upaya yang akan

dilakukannya untuk mencegah kegagalan rumah tangganya di masa mendatang yaitu dengan cara tidak perlu membuat istrinya bekerja.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dilihat bahwa subjek YT dan JR masih memiliki keinginan untuk kembali menjalin rumah tangga di masa mendatang dan menjadikan kegagalan rumah tangga yang dialami sebagai bahan pembelajaran di kehidupannya dan harus disilapi dengan baik. Sementara itu pada subjek BR, SR, dan GM dapat dilihat bahwa sudah tidak ada lagi keinginan untuk menjalin rumah tangga di masa mendatang. Artinya dalam hal ini ketiga subjek tersebut merasakan trauma yang sangat mendalam atas kegagalan rumah tangganya sehingga tidak lagi berkeinginan menjalin rumah tangga kembali di masa mendatang.

Selain masalah mengenai dampak kegagalan rumah tangga bagi diri subjek pekerja migran, dampak dari kegagalan rumah tangga tersebut dalam hal ini juga berkaitan dengan cara anggota keluarga maupun masyarakat lingkungan sekitar subjek menyikapi fenomena tersebut. Pada subjek YT misalnya, keputusannya untuk mengakhiri rumah tangga dengan pasangannya melalui perceraian menurutnya cukup disayangkan pula oleh masyarakat di sekitarnya. Hal demikian dapat dilihat dari kutipan wawancara berikut:

“Semuanya enggak nyangka yah kalau saya harus bercerai dengan suami, pasti menyayangkan. Seandainya saja suami saya lebih hemat dan dapat mengatur keuangan dan tidak mudah terayu dengan dukun.” (Wawancara dengan YT, pada tanggal 19 Juni 2013) (Lampiran 1, baris 188-191)

Kutipan wawancara tersebut menunjukan bahwa masyarakat di sekitar YT menyayangkan terjadinya perceraian. Hanya saja dalam hal ini dapat dilihat bahwa masyarakat memiliki pemahaman mengenai penyebab terjadinya perceraian sehingga penilaian masyarakat tidak berubah menjadi satu penilaian yang sifatnya menghakimi YT. Hal demikian dapat dilihat dari penuturan YT dalam kutipan wawancara berikut:

“Ya tadinya malu, pulang-pulang dari luar negeri malah cerai, tapi gimana lagi ya mbak. Toh tetangga sudah mengetahui watak suami saya. Lama-lama saya sudah biasa.” (Wawancara dengan YT, pada tanggal 19 Juni 2013) (Lampiran 1, baris 193-195)

Pada penuturan YT tersebut dapat diketahui dengan jelas bahwa masyarakat di sekitar YT memahami situasi dan kondisi pada rumah tangga YT sampai harus berakhir dengan perceraian. Khususnya yaitu yang berkaitan dengan sikap pasangan YT ketika dirinya bekerja sebagai pekerja migran. Oleh sebab itu, YT merasa penilaian masyarakat masih dalam batas wajar yang tidak sampai menjurus pada penilaian negatif.

Sama seperti yang dialami oleh subjek YT, dalam hal ini subjek BR dapat dikatakan mengalami hal yang sama. Berikut adalah penuturan BR mengenai hal tersebut:

“Semua menyayangkan, kenapa istri saya bisa berbuat seperti itu padahal saya bekerja untuk dia.” (Wawancara dengan BR, pada tanggal 19 Juni 2013) (Lampiran 2, baris 185-186)

Melalui penuturannya tersebut, BR mengungkapkan bahwa masyarakat di sekitarnya menyayangkan perceraian yang dialami rumah tangga BR dengan pasanagannya. Pada sisi lain, dari kutipan wawancara tersebut dapat pula diketahui bahwa masyarakat di sekitar BR memiliki

pemahaman atas hal-hal yang menjadi pokok permasalahan rumah tangga BR sehingga harus berakhir dalam perceraian. Kondisi demikian cukup menguntungkan bagi BR sebab tidak ada penilaian negatif dari masyarakat. Terlebih lagi dalam hal ini BR juga mendapat dukungan penuh dari keluarganya sebagaimana dituturkan subjek dalam kutipan wawancara berikut:

“Semua mendukung keputusan yang saya ambil, tidak ada yang menilai negatif terhadap saya. Semuanya bahu-membahu membantu saya mengurus anak-anak saya.” (Wawancara dengan BR, pada tanggal 19 Juni 2013) (Lampiran 2, baris 192-194)

Kutipan wawancara tersebut menunjukan bahwa BR mendapat dukungan penuh dari keluarganya. Kegagalan rumah tangga yang dialami BR dalam hal ini dinilai sebagai satu permasalahan bersama sehingga keluarga turut membantu meringankan beban BR, khususnya berkaitan dengan hal mengurus anak ketika BR bekerja di luar negeri.

Dukungan keluarga pada subjek dalam hal ini juga dapat dilihat dari penuturan subjek GM mengenai penilaian keluarga dan masyarakat steleha diambil keputusan bercerai. Berikut adalah kutipan wawancara yang menunjukan hal tersebut:

“Orang tua saya mendukung saya sepenuhnya ya mbak, tidak pernah menilai saya buruk. (Wawancara dengan GM, 20 Juni 2013) (Lampiran 4, baris 168-169)

Kutipan wawancara tersebut menunjukan bahwa apapun keputusan terbaik yang telah GM ambil untuk rumah tangganya selalu didukung oleh orang tuanya. Begitu pula dengan orang-orang di sekitar GM yang telah

mengetahui penyebab perceraian GM seperti dapat dilihat dari kutipan wawancara berikut:

“Kalau masyarakat dan tetangga setelah tahu memang suami saya yang nggak beres, ya mereka tidak pernah nggosipin saya di belakang.” (Wawancara dengan GM, 20 Juni 2013) (Lampiran 4, baris 171-173)

Penuturan GM pada kutipan wawancara tersebut menunjukan bahwa tidak ada penilaian negatif dari masyarakat di sekitar GM serta adanya dukungan penuh dari keluarga atas keputusannya mengakhiri rumah tangga dengan bercerai. Hal demikian menurut GM terjadi karena orang-orang di sekitarnya mengerahui hal yang menjadi sumber permasalahan dalam rumah tangga GM sampai berujung pada perceraian. Dalam hal ini, sumber permasalahan lebih dipahami berasal dari sisi pasangan GM sehingga penilaian negatif tidak tampak atas keputusan GM yang memilih bercerai.

Sementara itu, hal yang berbeda dialami oleh subjek SR. Perceraian yang dialami SR dinilai mendapat penilaian negatif dari masyarakat, khususnya pada saat setelah perceraian terjadi. Hal demikian dituturkan oleh SR sebagaimana tercantum dalam kutipan wawancara sebagai berikut:

“Namanya tetangga yah mbak, kalau lagi baru-barunya cerai ya sana-sini nggosipin. Tapi saya cuek saja mbak, lah adanya begitu. Lama-lama ya hilang sendiri gosipnya. Hehe.” (Wawancara dengan

Dokumen terkait