• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II URAIAN TEORETIS

II.1.2. Dampak Krisis Finansial

Krisis keuangan global telah terjadi. Berbagai pihak mengaitkannya dengan kondisi perekonomian negara Amerika Serikat. Ketika kondisi perekonomian sebuah negara adidaya berubah dan mengalami goncangan, dapat dipastikan akan membawa konsekuensi yang luas pada perekonomian dunia. Menurut Bloomberg dalam Kuncoro (2008), hingga Agustus 2008, dampak krisis mengakibatkan jumlah penganggur di Inggris melejit menjadi 1,79 juta orang atau 5,7 persen dari angkatan kerja. Menurut International Labour Organization, inilah tingkat pengangguran terparah sejak Juli 1991.

Melihat situasi tersebut di atas, krisis keuangan yang menimpa Amerika Serikat dengan cepat merembet ke seluruh dunia. Setiap pemerintahan berusaha mencegah agar krisis tidak semakin dalam melumpuhkan perekonomian negara masing-masing.

Dampak krisis ekonomi berbeda di setiap negara akan berbeda karena perbedaan kebijakan yang diambil dan fundamental ekonomi negara bersangkutan. Tentunya, negara yang paling rentan adalah negara yang fundamental ekonomi domestiknya tidak kuat. Kuatnya dampak krisis ini pun telah menyebabkan Bank Dunia dan IMF mengoreksi proyeksi tingkat pertumbuhan ekonomi berbagai negara dan dunia. Perekonomian AS, misalnya, diprediksi akan melemah menjadi tumbuh

sebesar 1,3 persen pada 2008 dari sebelumnya sebesar 2,7 persen pada 2007. Demikian pula, negara-negara di kawasan Eropa, diprediksi akan melemah dari 2,6 persen pada 2007 menjadi 1,4 persen pada 2008. Adapun laju pertumbuhan Indonesia diperkirakan turun dari 6,5 persen 2007 menjadi sekitar 6,0 persen pada 2008 (IMF, 2008)

Sistem pasar bebas membuat negara-negara di kawasan Asia Pasifik pun terkena dampak krisis keuangan global tersebut. Salah satu dampak tersebut bisa muncul melalui financial market. Cadangan devisa USD 1 triliun tak menjamin Jepang bebas dari krisis finansial global. Pasar saham di Negeri Matahari Terbit itu juga terkena dampak krisis keuangan global. Ketika investor panik, akhirnya indeks saham Nikkei turun hingga 11,4 persen, penurunan terbesar sejak 1987 (Bappenas, 2004).

Sejak awal Oktober 2008, indeks saham di Negeri Sakura sudah terkoreksi sekitar 20 persen. Hal yang sama juga terjadi di hampir semua pasar modal di Asia. Selama sepekan, indeks Hang Seng Hong Kong sudah turun 10,78 persen. Indeks Strait Times Singapura terkoreksi 9,53 persen dan Indeks Kospi Korea turun 8,37 persen (Aksa, 2008).

Dampak lain yang bisa dilihat adalah anjloknya nilai ekspor negara-negara Asia. Contoh paling dekat adalah perekonomian Singapura dan Hongkong. Singapura dan Hongkong dapat terpengaruh besar, karena dua negara itu menjadi salah satu pusat beroperasinya raksasa-raksasa keuangan dunia. Sedangkan Tiongkok akan terpengaruh karena daya beli rakyat AS akan sangat menurun, yang berarti banyak

barang buatan Tiongkok yang tidak bisa dikirim secara besar-besaran ke Amerika Serikat.

Laporan kuartal IV-2007, ekonomi Singapura yang biasanya tumbuh sekitar 9 persen, anjlok ke 6 persen. Hal itu menunjukkan kemerosotan ekonomi Amerika berdampak terhadap negara-negara Asia lainnya. Bahkan ekonomi Cina, yang dianggap memiliki kekebalan terhadap resesi negara lain, juga terkena imbas. Indeks Shanghai anjlok dan mulai mengantisipasi penurunan ekspornya ke AS dengan mengalihkan ke pasar regional tentunya termasuk Indonesia (IMF, 2008).

Tentu dibutuhkan kebijakan yang tepat bagi kita untuk mempertahankan pertumbuhan ekspor. Di samping itu, bagi negara-negara lain, perlu juga mewaspadai adanya kemungkinan membanjirnya produk Cina akibat tidak terpenuhinya pasar ekspor mereka di Amerika Serikat. Krisis keuangan di AS mengakibatkan pengeringan likuiditas sektor perbankan dan institusi keuangan non-bank yang disertai berkurangnya transaksi keuangan. Penger ingan likuiditas akan memaksa para investor dari institusi keuangan AS untuk melepas kepemilikan saham mereka di pasar modal Indonesia untuk memperkuat likuiditas keuangan institusi mereka. Aksi tersebut akan menjatuhkan nilai saham dan mengurangi volume penjualan saham di pasar modal Indonesia. Selain itu, beberapa perusahaan keuangan Indonesia yang menginvetasikan dananya di instrumen investasi lembaga keuangan di AS juga mendapat imbas atas kejatuhan nilai saham tersebut (Bappenas, 2008).

Krisis keuangan di AS yang merambah ke beberapa negara lainnya juga akan mengancam perdagangan beberapa produk ekspor Indonesia di pasar AS, Jepang, dan

kawasan Uni Eropa yang telah berlangsung sejak lama. Hal ini sangat berbahaya mengingat produk ekspor Indonesia sangat bergantung pada negara-negara tersebut, sedangkan di dalam negeri produk-produk tersebut kalah bersaing dengan produk impor China yang lebih murah. Krisis keuangan AS berdampak kepada kondisi keuangan semua negara tidak terkecuali untuk negara-negara Asia dan emerging market lainnya.

Nilai tukar mata uang negara-negara Asia mengalami depresiasi terhadap mata uang dolar AS, namun apabila melihat kondisi Rupiah dibandingkan yang lainnya masih menunjukkan kondisi yang lebih baik. Selama 1 Januari - 10 Oktober 2008, Rupiah hanya terdepresiasi sekitar 3%, jauh dibawah nilai mata uang Philipina (16%) dan juga Thailand (17%). Hal ini menunjukkan bahwa, ekonomi kita masih terjaga menghadapi krisis ekonomi. Dengan demikian krisis keuangan global memberikan dampak langsung ataupun tidak langsung terhadap perkembangan ekonomi Indonesia (Bappenas, 2008).

Dampak langsung yang terjadi adalah kerugian pada sebagian kecil investor yang memiliki exposure atas aset-aset yang terkait langsung dengan institusi- institusi keuangan Amerika Serikat yang bermasalah, misalnya lembaga keuangan Indonesia yang menanam dana dalam instrumen Lehman Brothers (Imansyah, 2008).

Sedangkan dampak tidak langsung krisis finansial global, antara lain (Imansyah, 2008):

a) Mempengaruhi momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam bentuk pengeringan likuiditas, lonjakan suku bunga, anjloknya harga komoditas, dan

melemahnya pertumbuhan sumber dana.

b) Menurunnya tingkat kepercayaan konsumen, investor, dan pasar terhadap berbagai institusi keuangan yang ada.

c) Flight to quality, pasar modal Indonesia terkoreksi akibat indikasi melemahnya mata uang rupiah dan yang paling mengkhawatirkan apabila para investor yang saat ini masih memegang aset keuangan likuid di Indonesia mulai melepas aset-aset tersebut karena alasan kejatuhan nilai saham akibat faktor tertentu.

d) Kurangnya pasokan likuiditas di sektor keuangan karena kebangkruta berbagai institusi keuangan global khususnya bank-bank investasi akan berdampak pada cash flow sustainability perusahaan perusahaan besar di Indonesia. Akibatnya, pendanaan ke capital market dan perbankan global akan mengalami kendala dari aspek pricing (suku bunga) dan availability (ketersediaan dana).

e) Menurunnya tingkat permintaan dan harga komoditas utama ekspor Indonesia tanpa diimbangi peredaman laju impor secara signifikan akan menyebabkan defisit perdagangan yang semakin melebar dalam beberapa waktu mendatang. f) Selanjutnya defisit perdagangan tersebut akan menyulitkan penggalangan

capital inflow dalam jumlah besar untuk menutup defisit itu sendiri seiring dengan keringnya likuiditas pasar keuangan global.

Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa yang berdampak negatif terhadap negara-negara lainnya, tidak berimbas terlalu besar bagi Indonesia. Hal ini disebabkan net ekspor Indonesia ke luar negeri hanya 10 persen dari total produk domestik bruto (PDB). Pasar ekspor utama Indonesia adalah Jepang dan

Singapura, kedua negara tersebut sangat merasakan dampaknya dari krisis keuangan global itu. Namun, pemerintah memahami bahwa upaya mengamankan sistem ekonomi secara menyeluruh harus terus dilakukan, khususnya menjaga kekuatan sektor riil (Bappenas, 2008).

II.2. Teori Tentang Pemutusan Hubungan Kerja II.2.1. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Pemutusan hubungan kerja merupakan suatu hal yang pada beberapa tahun yang lalu merupakan suatu kegiatan yang sangat ditakuti oleh karyawan yang masih aktif bekerja. Hal ini dikarenakan kondisi kehidupan politik yang goyah, kemudian disusul dengan carut marutnya kondisi perekonomian yang berdampak pada banyak industri yang harus gulung tikar, dan tentu saja berdampak pada pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan sangat tidak terencana. Kondisi inilah yang menyebabkan orang yang bekerja pada waktu itu selalu dibayangi kekhawatiran dan kecemasan, kapan giliran dirinya diberhentikan dari pekerjaan yang menjadi penopang hidup keluarganya.

Menurut Pasal 1 butir 25 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.

Djumialdji (1992) menyatakan bahwa istilah pemutusan hubungan kerja dapat memberikan beberapa pengertian, yaitu:

(1) Termination: yaitu putusnya hubungan kerja karena selesainya atau berakhirnya kontrak kerja yang telah disepakati. Berakhirnya kontrak, bilamana tidak terdapat kesepakatan antara karyawan dengan manajemen, maka karyawan harus meninggalkan pekerjaannya.

(2) Dismissal: yaitu putusnya hubungan kerja karena karyawan melakukan tindakan pelanggaran disiplin yang telah ditetapkan. Misalnya: karyawan melakukan kesalahan-kesalahan, seperti mengkonsumsi alkohol atau obat-obat psikotropika, madat, melakukan tindak kejahatan, merusak perlengkapan kerja milik pabrik. (3) Redundancy, yaitu pemutusan hubungan kerja karena perusahaan melakukan

pengembangan dengan menggunakan mesin-mesin berteknologi baru, seperti: penggunaan robot-robot industri dalam proses produksi, penggunaan alat-alat berat yang cukup dioperasikan oleh satu atau dua orang untuk menggantikan sejumlah tenaga kerja. Hal ini berdampak pada pengurangan tenaga kerja.

(4) Retrenchment, yaitu pemutusan hubungan kerja yang dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi, seperti resesi ekonomi, masalah-masalah pemasaran, sehingga perusahan tidak mampu untuk memberikan upah kepada karyawannya.

Konsep teori PHK berhubungan dengan teori harapan dan teori Z. Berdasarkan teori pengharapan, karena ego manusia yang selalu menginginkan hasil yang baik baik saja, daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seseorang terkandung dari harapan yang akan diperolehnya pada masa depan (Hasibuan, 2005). Apabila harapan dapat menjadi kenyataan, karyawan akan cenderung meningkatkan

gairah kerjanya. Sebaliknya jika harapan tidak tercapai, karyawan akan menjadi malas.

Teori harapan dikemukakan oleh Victor Vroom yang mendasarkan teorinya pada tiga konsep penting, yaitu: harapan (expentancy), nilai (Valence), dan pertautan (Inatrumentality). Harapan (expentancy) adalah suatu kesempatan yang diberikan terjadi karena prilaku .Harapan merupakan propabilitas yang memiliki nilai berkisar nol yang berati tidak ada kemungkinan hingga satu yang berarti kepastian. Nilai (Valence) adalah akibat dari prilaku tertentu mempunyai nilai atau martabat tertentu (daya atau nilai motivasi) bagi setiap individu tertentu. Pertautan (Inatrumentality) adalah persepsi dari individu bahwa hasil tingkat pertama akan dihubungkan dengn hasil tingkat ke dua.

Dalam kasus PHK, dari sudut pandang Expectancy Theory, para pekerja tidak termotivasi untuk bekerja keras karena tidak adanya hubungan antara prestasi kerja dengan penghasilan. Persepsi mereka adalah bahwa kerja keras tidak akan memberikan mereka penghasilan yang diharapkan. Malahan, dengan adanya PHK, mereka memiliki persepsi bahwa walaupun telah bekerja keras, kadang-kadang mereka malah mendatangkan hasil yang tidak diinginkan, misalnya PHK. Konsisten dengan teori ini, para pekerja pun menunjukkan motivasi yang rendah dalam melakukan pekerjannya.

Berbeda dengan teori Z yang lebih menekankan pada peran dan posisi pegawai atau karyawan dalam perusahaan yang dapat membuat para pekerja menjadi nyaman, betah, senang dan merasa menjadi bagian penting dalam perusahaan.

Dengan demikian maka karyawan akan bekerja dengan lebih efektif dan efisien dalam melakukan pekerjaannya. Teori Z yang dicetuskan/diciptakan oleh William Ouchi. Teori ini sudah banyak diimplementasikan/dijalankan pada banyak perusahaan di Amerika Serikat dan Jepang (Sihotang, 2006).

Berikut ini adalah syarat dan ciri dari perusahaan yang menerapkan teori Z menurut William Ouchi dalam Sihotang (2006):

1. Tanggung jawab diberikan secara perorangan atau individual.

2. Karyaban bebas bekerja menggunakan keterampilan yang dimilikinya.

3. Karyawan dipekerjakan seumur hidup dan jika perusahaan mengalami krisis, maka para pegawai tidak akan dipecat atau phk.

4. Pengambilan keputusan dilakukan dengan cara konsensus atau secara terbuka. Walaupun akan memakan waktu yang lebih lama namun tingat keberhasilan pengimplementasian hasil keputusan yang didapat akan lebih tinggi karena mendapat dukungan dari mayoritas pekerja.

5. Promosi dilakukan perlahan-lahan dari bawah, dan proses evaluasi prestasi dan promosi dilakukan dengan hari-hati agar tidak menimbulkan masalah dengan para karyawan

Dokumen terkait