BAB II PENGATURAN DAN BENTUK PERJANJIAN
C. Dampak Pemanfaatan Kontrak Baku dalam Perjanjian
Tujuan dari pelaku usaha dalam menerapkan perjanjian baku adalah untuk menghemat tenaga, waktu dan biaya, oleh karena itu dalam hal ini tidak diperlukan proses tawar menawar karena akan berbelit-belit dan memakan banyak tenaga, waktu dan biaya. Selain itu, perjanjian baku juga diterapkan untuk membuat keseragaman terhadap pelayanan yang diberikan kepada konsumen. Dengan adanya perjanjian baku, maka semua konsumen diperlakukan sama. Menurut Sutan Remy Syahdeini :
”keabsahan berlakunya perjanjian baku tidak perlu lagi dipersoalkan karena perjanjian baku eksistensinya sudah merupakan kenyataan yaitu dengan telah dipakainya perjanjian baku secara meluas dalam dunia bisnis sejak lebih dari 80 (delapan puluh) tahun lamanya. Kenyataan itu terbentuk karena perjanjian baku memamng lahir dari kbutuhan masyarakat sendiri. Dunia bisnis tidak dapat berlangsung tanpa perjanjian baku, oleh karena itu perjanjian baku dibutuhkan masyarakat.”159
Penggunaan klausula baku pada dasarnya tidak dilarang sepanjang tidak merugikan pihak yang lemah dan tidak melanggar ketentuan yang ditentukan oleh Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu sebagai beriukut :
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :
a. Menyatakan pengalihaan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan 159Sutan Remy Syahdeini,Op. cit.hal. 160
sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan
baru, tambahan, lanjutan, dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini.
Seperti yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya bahwa perjanjian kerjasama jaminan pemeliharaan kesehatan merupakan perjanjian baku, sehingga dalam kenyataannya dapat diketahui bahwa perjanjian baku yang dirancang secara sepihak oleh pengusaha akan memberikan keuntungan, berupa :160:
1 efisiensi biaya, waktu, dan tenaga;
2 praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau blanko yang siap diisi dan ditandatangani.
3 penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui dan atau menandatangani perjanjian yang disodorkan kepadanya;
4 homogenitasperjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak.
Meskipun memberi keuntungan, namun dengan dilanggarnya asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian kerjasama tersebut, dimana Pihak Kedua (pihak klinik)
tidak dilibatkan dalam proses pembuatan perjanjian kerjasama ini, maka sudah tentu pengaturan klausula-klausula yang terdapat dalam perjanjian tersebut berpeluang menimbulkan kerugian kepada pihak klinik. Hal ini terjadi karena yang membuat perjanjian tersebut adalah pihak pelaku usaha (PT.Jamsostek) secara sepihak.
Karakter tersebut menyebabkan pihak yang lemah (klinik kesehatan) tidak dapat melakukan tawar menawar terhadap klausula-klausula dalam perjanjian kerjasama yang telah ditetapkan secara sepihak oleh PT.Jamsostek. Dengan kata lain, pihak klinik kesehatan tidak memiliki posisi tawar menawar yang sama dengan pihak PT.Jamsostek atau Badan Penyelenggara. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa ”pihak klinik kesehatan hanya dapat menerima atau menolak isi perjanjian yang ditetapkan sepihak oleh pelaku usaha secara keseluruhan atau secara utuh”161
Akibat dilanggarnya asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian kerjasama JPK, maka dalam pelaksanaannya banyak sekali terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh para pihak terhadap isi dan ketentuan yang terdapat dalam perjanjian tersebut, yang menyebabkan kerugian kepada kedua belah pihak. Tindakan penyimpangan tersebut dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk wanprestasi para pihak.
Pengertian wanprestasi adalah ”tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.”162
161 Wawancara dengan ibu Elvi Susanti, Pimpinan Klinik Sehat Sehati, Pada Tanggal 24 Januari 2013
Wanprestasi menurut Wiryono Prodjodikoro adalah ”ketiadaan suatu prestasi, sedangkan prestasi dalam hukum perjanjian berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari perjanjian.”163
Jadi wujud dari wanprestasi tersebut adalah : 1. Sama sekali tidak melakukan prestasi 2. Prestasi yang dilakukan tidak sempurna 3. Terlambat memenuhi prestasi
4. Melakukan sesuatu apa yang menurut perjanjian dilarang dilakukan164
Adapun bentuk penyimpangan yang dilakukan oleh para pihak sebagai dampak dari pelaksanaan kontrak baku tersebut dan telah dilanggarnya asas kebebasan berkontrak adalah sebagai berikut :
1. Penyimpangan yang dilakukan pihak PT. Jamsostek
Penyimpangan terhadap isi perjanjian kerjasama yang dilakukan oleh pihak PT.Jamsostek akan mengakibatkan kerugian bagi pihak klinik kesehatan. Adapun bentuk penyimpangan tersebut adalah berupa pembayaran kapitasi yang tidak tepat waktu. Dalam Pasal 7 perjanjian kerjasama, dinyatakan bahwa Pihak Pertama berkewajiban membayar biaya kapitasi secara praupaya pada setipa tanggal 10 (sepuluh) bulan berjalan kepada Pihak Kedua.
163Wiryono Prodjodikoro, Asas Asas Hukum Perjanjian, (Bandung : PT.Bale, 1989), hal. 147 164Ahmadi Miru,Op. Cit, hal 74
Selanjutnya penyimpangan lainnya yaitu pihak PT.Jamsostek sering tidak melaporkan daftar nama tertanggung, mutasi peserta (peserta keluar/masuk) serta peserta yang sudah tidak aktif lagi setiap bulannya kepada pihak klinik sesuai ketentuan yang terdapat dalam Pasal 8 perjanjian kerjasama.dan Lampiran 3 perjanjian kerjasama. Hal ini akan menyulitkan pihak klinik untuk membedakan peserta aktif dan non aktif dalam rangka pemberian pelayanan kesehatan, yang pada akhirnya akan menimbulkan kerugian bagi pihak klinik kesehatan karena melayani peserta yang sudah tidak aktif.
Kemudian bentuk penyimpangan lain yang dilakukan oleh pihak PT.Jamsosek adalah terkait dengan penarikan kartu peserta Jamsostek yang sudah tidak berlaku lagi yang tetap digunakan oleh peserta Jamsostek apabila sakit dan berobat ke klinik. Hal ini tentunya sangat merugikan pihak klinik kesehatan.
2. Penyimpangan yang dilakukan oleh pihak klinik kesehatan
Perjanjian kerjasama ini juga pada intinya adalah merupakan pengalihan risiko terhadap kerugian kepada pihak klinik kesehatan dari PT.Jamsostek dalam kaitannya dengan pelaksanaan pemberian pelayanan kesehatan bagi peserta Jamsostek.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa ”pihak klinik tidak dilibatkan dalam proses terjadinya perjanjian, dan yang menjadi alasan utama menandatangani perjanjian adalah memperoleh pekerjaan walaupun
klausula-klausula dalam perjanjian kerjasama tersebut banyak yang memberatkan pihak klinik kesehatan.”165
Hal ini tentunya mengakibatkan pihak klinik tidak sepuhnya melaksanakan klausula dalam perjanjian kerjasama tersebut sebagaimana yang telah mereka sepakati bersama, dimana pihak klinik sering tidak melayani peserta Jamsostek sesuai dengan standar pelayanan kesehatan yang telah ditentukan dalam Pasal 4 dan Lampiran 6, misalnya ”pihak klinik tidak menyediakan pelayanan dokter gigi, karena mahalnya unit gigi dan sulitnya mencari dokter gigi, sedangkan biaya kapitasi dari PT.Jamsostek yang diterima pihak klinik belum cukup untuk membiayainya.166 Selanjunya penyimpangan lainnya yang dilakukan klinik kesehatan adalah terhadap ketentuan dalam lampiran 3 perjanjian kerjasama, yang mewajibkan pihak klinik kesehatan membuka klinik dan melayani pasien peserta Jamsostek 24 (dua puluh empat) jam dan bila dokter pelaksana berhalangan hadir, pihak klinik harus mencari atau menunjuk dokter pengganti.
Dalam hal dokter berhalangan hadir, biasanya pihak klinik tidak mencari dokter pengganti, namun pelayanan kesehatan kepada peserta hanya diberikan oleh tenaga medis (perawat), dan klinik sering tutup pada malam hari, sehingga pelayanan kepada pasien tidak diberikan secara maksimal sesuai dengan yang sudah disepakti.167
Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan pleh pihak klinik merupakan dampak dari ketidakseimbangan kebebasan berkontrak khususnya terhadap
165
Wawancara dengan Ibu Elvi Susanti, Pimpinan Klinik Sehat Sehati, pada tanggal 24 Januari 2013.
166
Wawancara dengan Ibu Kiki, Pimpinan Klinik Adhisma Husada, pada tanggal 21 Desember 2012
167 Wawancara dengan Bapak Umardin Lubis, Kepala Kantor PT.Jamsostek Cabang Binjai, pada tanggal 25 Oktober 2012
pengaturan hak dan kewajiban yang dirasakan memberatkan, bahkan dapat membawa kerugian baginya.
D. Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak dan Peserta Jamsostek dalam