• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN DAN BENTUK PERJANJIAN

D. Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak dan Peserta

Perlindungan hukum dalam suatu perjanjian merupakan unsur yang sangat penting yang harus ada. Perlindungan hukum disini terkait dengan masalah perlindungan hak bagi para pihak yang tercermin dari pasal-pasal yang mengatur hak dan kewajiban diantara para pihak yang terikat dalam perjanjian kerjasama tersebut. Apabila ada salah satu pihak dalam perjanjian dirugikan oleh pihak lain, maka pihak yang dirugikan tersebut dapat menuntut haknya agar tetap dipenuhi.

Berikut akan dibahas mengenai perlindungan hukum terhadap para pihak, yaitu sebagai berikut :

1. Perlindungan Hukum Bagi Pihak PT.Jamsostek (Persero)

Perlindungan hukum bagi Badan Penyelenggara di dalam perjanjian ini sudah cukup baik mengingat pada dasarnya PT. Jamsostek selaku pemberi pekerjaan merupakan pihak yang berada dalam posisi yang kuat. Adapun pengaturan perlindungan hukum bagi pihak PT.Jamsostek dalam perjanjian ini adalah sebagai berikut :

a. Apabila pihak kedua terbukti secara nyata tidak melayani peserta dan anggota keluarganya sesuai dengan kewajiban sebagai pemberi pelayanan kesehatan, maka Pihak Pertama dalam hal ini PT. Jamsostek (Persero) Cabang Binjai berhak untuk menangguhkan pembayaran atau penundaan pembayaran

kapitasi atas tagihan biaya pelayanan kesehatan yang telah diajukan oleh Pihak Kedua sampai adanya penyelesaian yang dapat diterima oleh para pihak, hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 ayat (3) perjanjian kerjasama tersebut

b. Dalam hal Pihak Kedua mengajukan biaya melebihi waktu 6 (enam) bulan yang sudah disepakati, maka Pihak Pertama berhak mengenakan sanksi berupa denda sebesar 2,5 % (dua setengah persen) dari jumlah tagihan kapitasi yang harus dibayarkan, sedangkan bila klaim yang diajukan oleh Pihak Kedua melebihi jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun, maka Pihak Pertama menganggap bahwa kalim tersebut tidak pernah ada. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 ayat (3) perjanjian kerjasama

c. Apabila Pihak Kedua dalam merujuk pasien peserta JPK ke PPK TK.II untuk rawat jalan maupun rawat inap tidak berdasarkan indikasi medis, maka segala biaya yang timbul menjadi tanggung jawab Pihak Kedua, sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 ayat (4) perjanjian kerjasama

2. Perlindungan Hukum Bagi Pihak Klinik Kesehatan

Perlindungan hukum bagi pihak klinik kesehatan dapat ditemukan dalam Pasal 9 ayat (1) perjanjian kerjasama ini, yang menyebutkan bahwa dalam hal Pihak Pertama tidak dapat melaksanakan kewajiban pembayaran sebagaimana diatur dalam perjanjian kerjasama ini, maka Pihak Kedua berhak mengenakan sanksi berupa denda sebesar 1 (satu) permil untuk setiap hari keterlambatan dari

jumlah klaim atau tagihan yang tertunggak sampai maksimal sebesar 5% (lima persen).

Selanjutnya perlindungan hukum terhadap para pihak juga dapat ditemukan dalam Pasal 10 ayat (1) perjanjian kerjasama, yaitu ketentuan force majeure. Apabila terjadi suatu keadaan yang memaksa di luar kehendak para pihak atau

force majeure yaitu berupa kebakaran, bencana alam, huru hara, peperangan, pemogokan yang menyeluruh, dan adanya Peraturan Pemerintah atau penguasa setempat yang secara langsung dapat mempengaruhi kewajiban masing-masing.

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 aya(1) perjanjian kerjasama, maka Pihak PT.Jamsostek (Persero) Cabang Binjai dan pihak klinik dapat menunda atau membebaskan kewajiban masing-masing, tetapi harus memberitahukan kepada pihak lainnya secara tertulis selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah terjadinya force majeure. Pemberitahuan tersebut harus disertai dengan bukti-bukti yang layak dan akibat-akibatnya terhadap pelaksanaan kewajiban masing-masing. Keterlambatan memberitahukan terjadinya force majeure akan mengakibatkan hapusnya hak masing-masing pihak mengajukan

force majeure.

Konsekuensi yang diterima oleh klinik kesehatan ketika perjanjian kerjasama tersebut ditandatangani adalah beralihnya resiko kerugian dari PT.Jamsostek kepada klinik kesehatan atas biaya pelayanan kesehatan yang harus diberikan kepada peserta JPK-Jamsostek.

Penggantian biaya atas jasa pelayanan kesehatan yang diberikan atau atas resiko yang diambil kepada klinik kesehatan oleh PT.Jamsostek adalah berdasarkan sistem kapitasi. Besarnya angka kapitasi telah ditentukan secara sepihak oleh PT.Jamsostek untuk kurun waktu perjanjian dengan menggunakan dasar perhitungan yang terdapat dalam lampiran 1 (satu) perjanjian kerjasama tersebut.

Kenaikan harga obat-obatan, jasa medis dan angka kunjungan pasien yang tidak sesuai dengan jumlah kunjungan yang ditetapkan sebagai dasar perhitungan kapitasi, akibatnya akan membuat pihak klinik menderita kerugian dan tentunya akan berimbas terhadap mutu pelayanan yang diberikan klinik kesehatan kepada peserta JPK.

Dalam perjanjian kerjasama tersebut tidak ditemukan perlindungan hukum terhadap pihak klinik kesehatan yang menderita kerugian akibat sistem perhitungan biaya kapitasi secara sepihak oleh PT.Jamsostek yang tidak sesuai dengan kenyataan dalam prakteknya.

Selanjutnya pada Pasal 2 perjanjian kerjasama disebutkan bahwa pihak pertama berkewajiban untuk menyampaikan daftar nama tertanggung setiap bulannya kepada pihak kedua, tapi dalam klausula tersebut tidak dicantumkan secara tegas sanksi terhadap pihak PT.Jamsostek apabila lalai dalam menyampaikan daftar nama tertanggung tersebut dan menyebabkan kerugian bagi pihak Klinik kesehatan.

Berdasarkan uraian perlindungan hukum tersebut di atas terlihat bahwa perlindungan hukum yang diterima oleh pihak klinik masih sangat kurang sekali apabila terjadi wanprestasi, dengan demikian asas keseimbangan tidak terakomodasi dengan baik dalam perjanjian kerjasama tersebut dan selanjutnya kurang mencerminkan rasa keadilan

3. Perlindungan Hukum Terhadap Peserta JPK-Jamsostek

Untuk menciptakan perlindungan hukum bagi peserta JPK-Jamsostek, maka para pihak harus memahami hak dan kewajiban yang melekat pada dirinya, termasuk klinik kesehatan agar bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta JPK-Jamsostek sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan.

Sebagai peserta JPK-Jamsostek mempunyai kewajiban sebagai berikut:168 a. Menyelesaikan prosedur administrasi, antara lain mengisi formulir daftar

susunan keluarga

b. Menandatangani kartu pemeliharaan kesehatan

c. Memiliki kartu pemeliharaan kesehatan sebagai bukti diri untuk mendapatkan pelayanan kesehatan

d. Mengikuti prosedur pelayanan kesehatan yang telah ditetapkan

e. Melaporkan kepada PT.Jamsostek (Persero) bilamana terjadi perubahan anggota keluarga, misalnya : status lajang ke kawin, penambahan anak, anak kawin

f. Segera melaporkan kepada PT.Jamsostek (Persero) apabila kartu pemeliharaan kesehatan milik peserta hilang

g. Bila tidak menjadi peserta lagi maka KPK dikembalikan ke perusahaan

Dalam perjanjian kerjasama pelayanan pemeliharaan kesehatan juga digantungkan hak peserta Jamsostek (tertanggung), yaitu sebagai berikut169:

a. Memperoleh kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal dan menyeluruh, sesuai kebutuhan dengan standar pelayanan yang ditetapkan, kecuali pelayanan khusus seperti kacamata, gigi palsu, mata palsu, alat bantu dengar, alat Bantu gerak tangan dan kaki hanya diberikan kepada tenaga kerja dan tidak diberikan kepada anggota keluarganya

b. Bagi Tenaga Kerja berkeluarga peserta, tanggungan yang diikutkan terdiri dari suami/istri beserta 3 orang anak dengan usia maksimum 21 tahun dan belum menikah

c. Memilih fasilitas kesehatan diutamakan dalam wilayah yang sesuai atau mendekati dengan tempat tinggal

d. Dalam keadaan emergensi peserta dapat langsung meminta pertolongan pada Pelaksana Pelayanan Kesehatan (PPK) yang ditunjuk oleh PT Jamsostek (Persero) ataupun tidak.

e. Peserta berhak mengganti fasilitas kesehatan rawat jalan tingkat pertama (klinik kesehatan) bila peserta tidak memperolah pelayanan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan medis yang telah ditentukan. Penggantian fasilitas klinik kesehatan hanya diizinkan setelah 6 (enam) bulan memilih fasilitas kesehatan rawat jalan tingkat pertama (klinik kesehatn), kecuali pindah domisili.

f. Peserta berhak menuliskan atau melaporkan keluhan bila tidak puas terhadap penyelenggaraan JPK dengan memakai formulir JPK yang disediakan diperusahaan tempat tenaga kerja bekerja, atau PT. Jamsostek (Persero) setempat.

g. Tenaga kerja/istri tenaga kerja berhak atas pertolongan persalinan kesatu, kedua dan ketiga.

h. Tenaga kerja yang sudah mempunyai 3 (tiga) orang anak sebelum menjadi peserta program JPK, tidak berhak lagi untuk mendapatkan pertolongan persalinan.

Jika dikaji bahwa hak dan kewajiban peserta Jamsostek tersebut di atas (Pasal 2 perjanjian kerjasama) merupakan penerapan dari hak dan kewajiban peserta yang sudah ditentukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Kondisi tersebut sebenarnya dapat diyakini sebagai bentuk perwujudan perlindungan hukum kepada peserta Jamsostek secara umum, karena apa yang dilihat sebagai “dominasi pihak pertama dalam perjanjian” sebenarnya adalah bentuk perwujudan peran otoritas

negara dalam memberikan perlindungan terhadap kepentingan peserta Jamsostek ketika suatu perjanjian kerjasama JPK dibuat dan disepakati.

Pembahasan perlindungan hukum terhadap peserta Jamsostek tidak bisa dipisahkan dari adanya perjanjian pelayanan medis(terapeutik). Perjanjian teurapetik merupakan suatu bentuk perjanjian yang terdapat dalam perjanjian kerjasama program jaminan pemeliharaan kesehatan, sebagai akibat adanya hubungan hukum antara pasien (peserta-Jamsostek) dengan tenaga kesehatan/klinik. dalam hal pemberian pelayanan medis.

Ketentuan perlindungan hukum bagi pasien peserta Jamsostek selaku penerima pelayanan kesehatan diatur dalam Undang–Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Jamsostek, KUHPerdata, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan memberikan perlindungan hukum, baik kepada pasien sebagai penerima (konsumen) jasa pelayanan kesehatan maupun pemberi (produsen) jasa pelayanan kesehatan170.

Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan memberikan perlindungan hukum baik bagi penerima (konsumen) pelayanan kesehatan dan pemberi pelayanan kesehatan, adalah sebagai berikut :

170 Titik Triwulan Tutik dan Shita Febriana, Perlindungan Hukum Bagi Pasien, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2010), hal. 63

a. Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.

b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.

Selanjutnya Pasal 53 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, dinyatakan :

a. Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.

b. Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.

c. Tenaga kesehatan, untuk kepentingan pembuktian, dapat melakukan tindakan medis terhadap seseorang dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan.

d. Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana diatur dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Perlindungan hukum terhadap pasien selanjutnya juga diatur dalam Pasal 58 UUPK, bahwa setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang tenaga kesehatan dan atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

Kemudian pengaturan mengenai perlindungan hukum terhadap pasien peserta Jamsostek juga dapat dilihat pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama

dalam derajat kesehatan yang optimal, maka peserta Jamsostek sebagai pasien memiliki hak yang sama yang harus dilindungi oleh dokter/tenaga kesehatan/klinik.

Ketentuan lain yang dapat dijadikan rujukan pasien untuk mendapatkan perlindungan hukum diatur dalam Pasal 1366 KUHPerdata, bahwa setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hati, selanjutnya Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata, bahwa seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah penguasaannya.

Pasal 1367 (3) KUH Perdata, bahwa “Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayanan-pelayanan atau bawahan- bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya”.

Selain itu klinik juga bertanggung jawab atas wanprestasi dan perbuatan melawan hukum seperti yang disebutkan Pasal 1365 KUHPerdata, bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

Berdasarkan uraian tersebut di atas jelas bahwa pihak pengelola klinik secara bersama-sama dengan tenaga kesehatan bertanggung jawab atas resiko pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien peserta Jamsostek.

Pelaksanaan pelayanan kesehatan oleh klinik/tenaga kesehatan memang sangat membutuhkan kualitas mutu pelayanan yang baik dan maksimal, dengan manfaat yang dapat dirasakan oleh pasien sebagai peserta JPK-Jamsostek.

Hak pasien atau penerima pelayanan kesehatan adalah mendapatkan ganti rugi apabila pelayanan kesehatan yang diterima tidak sebagaimana mestinya Apabila terjadi penyimpangan dalam ketentuan pelayanan kesehatan, peserta JPK-Jamsostek sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan dapat menuntut haknya yang dilanggar kepada Badan Penyelenggara maupun klinik.

4. Upaya Penyelesaian Perselisihan

Para pihak yang mengadakan perjanjian tentunya mengharapkan agar perjanjian yang mereka buat akan berakhir dengan baik, akan tetapi dalam kenyataannya tidaklah selalu demikian, dimana sering terjadi salah satu pihak tidak dapat melakukan kewajibannya, sehingga menimbulkan sengketa atau perselisihan.

Dalam suatu hubungan bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan timbulnya sengketa atau perselisihan. Sengketa yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara melaksanakan klausul-klausul perjanjian, apa isi perjanjian, ataupun disebabkan hal lainnya.171

171Gatot Soemartono,Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakrta ; Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal. 3.

Perselisihan atau sengketa merupakan kelanjutan dari konflik yang merupakan pertentangan di antara para pihak. Bila para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai solusi pemecahan masalahnya maka sengketalah yang akan timbul.

Menurut Soerjono Soekanto yang dimaksud dengan sengketa ialah: “adanya ketidakserasian antara pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok yang mengadakan hubungan karena hak salah satu pihak terganggu (atau dilanggar)”.172

Meskipun perselisihan atau sengketa merupakan sesuatu yang tidak dikehendaki, namun pada kenyataannya sulit untuk di hindari meskipun derajat keseriusannya berbeda-beda. Pada dasarnya perselisihan yang terjadi dalam masyarakat diselesaikan secara musyawarah mufakat. Pengadilan sebagai salah satu cara penyelesaian yang paling populer akan selalu berusaha untuk dihindari karena menyelesaikan sengketa melalui proses peradilan berlangsung lama dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Dalam Pasal 11 ayat (1) perjanjian kerjasama Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dinyatakan, bahwa “apabila dikemudian hari terjadi perselisihan yang bersumber dari perjanjian ini maka baik Pihak Pertama maupun Pihak Kedua sepakat untuk menyelesaikan secara musyawarah.” Selanjutnya dalam Pasal 11 ayat (2) dinyatakan “apabila tidak tercapai kata sepakat sebagaimana dimaksudkan ayat (1) pasal ini, maka kedua belah pihak setuju untuk menyelesaikan perselisihan tersebut melalui badan peradilan umum yang dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri Binjai”

Penyelesaian perselisihan dengan cara musyawarah merupakan pilihan utama para pihak dalam perjanjian kerjasama ini yang harus diusahakan semaksimal mungkin keberhasilannya. Musyawarah untuk mencapai mufakat, merupakan cara penyelesaian setiap masalah/perselisihan bahkan konflik dengan suasana keakraban dan kekeluargaan.

Menurut Basuki Rekso Wibowo, “musyawarah merupakan suatu keadaan dimana para pihak yang terlibat perselisihan, duduk bersama dalam suatu tempat/ruangan, dimana masing-masing pihak menyampaikan permasalahan masing- masing guna memperoleh suatu jalan keluar yang saling menguntungkan bagi masing-masing pihak.”173

Suasana keakraban dan kekeluargaan akan membuat para pihak bisa melihat permasalahan yang dihadapi sebagai masalah bersama, sehingga sifat ego ataupun mau menang sendiri dan saling mempertahankan pendapat masing-masnig dapat dihindari semaksimal mungkin, sehingga pencarian jalan keluar terhadap permasalahan akan mudah dicapai.

Apabila musyawarah untuk mufakat tidak dapat diwujudkan dalam penyelesaian masalah, maka cara selanjutnya adalah dengan menempuh jalur litigasi

(pengadilan). M. Yahya Harahap, mengatakan :

“Penyelesaian sengketa bisnis, melalui jalur litigasi (lembaga pengadilan) dinilai kurang efektif oleh para pelaku bisnis karena :

a. penyelesaian perkara yang lambat dan banyak membuang waktu b. biaya mahal

173 Basuki Rekso Wibowo, Penyelesaian Sengketa Bisnis di Luar Pengadilan, (Jakarta : Media Citra, 2007), hal. 36

c. peradilan tidak responsif terhadap kepentingan umum

d. putusan sering kali dijatuhkan tidak disertai dengan pertimbangan yang cukup rasional.”174

Oleh karena itu penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan sedapat mungkin dihindarkan dan merupakan pilihan jalur terakhir, apabila semua jalur di luar pengadilan telah ditempuh dan mengalami jalan buntu. Berdasarkan berbagai kekurangan penyelesaian sengketa melalui pengadilan itulah sehingga dalam dunia bisnis pihak yang bersengketa dapat memilih menyelesaikan sengketa yang dihadapi di luar pengadilan.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang lebih dikenal denganAlternatif Dispute Relation (ADR) selain melalui musyawarah untuk mufakat, penyelesaian sengketa dapat juga ditempuh dengan cara lembaga arbitrase. “Dalam Pasal 1 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase dibedakan dari alternatif penyelesaian sengketa, karena yang termasuk alternatif penyelesaian sengketa hanya konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian para ahli.”175

Pengertian arbitrase berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 adalah merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa. Namun dalam perjanjian kerjasama ini tidak disebutkan adanya arbitrase dalam penyelesaian masalah yang timbul antara para pihak.

174M. Yahya Harahap,Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hal. 16 175Ahmadi Miru,Op.Cit, hal. 113

Apabila dicermati maka pada saat perjanjian kerjasama program JPK ditandatangani oleh para pihak, maka mulai saat itulah terjadi pengalihan risiko terhadap pelayanan kesehatan bagi peserta JPK-Jamsostek yang harus ditanggung oleh pihak klinik kesehatan dari pihak PT.Jamsostek (Persero) Cabang Binjai. Selain risiko kerugian, risiko yang harus ditanggung oleh pihak klinik adalah risiko dalam kaitannya dengan tindakan medis yang dilakukan oleh dokter/tenaga kesehatan di klinik tersebut.

Profesi kedokteran memang banyak berkaitan dengan problema yang dapat berpotensi menimbulkan sengketa medik antara pemberi jasa pelayanan kesehatan (klinik/tenaga medis) dengan penerima jasa pelayanan kesehatan (pasien).

Dokter/tenaga kesehatan dan klinik dapat dimintakan tanggung jawab hukum, apabila melakukan kelalaian/kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Dokter tidak dapat berlindung dengan dalih perbuatan yang tidak disengaja, sebab kesalahan/kelalaian dokter yang menimbulkan kerugian terhadap pasien menimbulkan hak bagi pasien untuk menggugat ganti rugi.176

Menurut Titik Triwulandari Tutik dan Shita Febriana, bahwa ”penyelesaian sengketa yang terjadi antara pihak klinik/dokter/tenaga kesehatan dengan peserta Jamsostek dapat ditempuh dengan 2 (dua) cara, yaitu penyelesaian melalui jalur

pengadilan ataupun memilih jalan penyelesaian melalui jalur di luar pengadilan berdasarkan keinginan para pihak yang berselisih.”177

Pasal 45 ayat (1) UUPK menyatakan, “setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berbeda dilingkungan peradilan umum”178.Ketentuan berikutnya yaitu Pasal 45 ayat (2) dikatakan bahwa, penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.179

Untuk mengatasi penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan yang berbelit dan membutuhkan waktu dan biaya, maka Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberi jalan alternatif dengan menyediakan jalur penyelesaian di luar pengadilan.

Pasal 45 ayat (3) Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan, “jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa”.

Salah satu upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat ditempuh melalui julur damai yakni melalui jalur keprofesian adalah melalui MKEK (Majelis Kode Etik Kedokteran), dalam hal ini merupakan upaya penyelesaian secara damai yang biasanya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat.

177Titik Triwulan Tutik dan Shita Febriana,Op. Cit, hal. 65 178Ibid

Dokumen terkait