• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Pemikiran Mori Arinori terhadap Perkembangan Pendidikan di Jepang

Pengalaman-pengalaman Mori sebagai diplomat telah mempengaruhinya dalam merancang konsep mengenai pendidikan. Adanya keprihatinan terhadap kondisi pendidikan Jepang, memotivasi Mori untuk memajukan pendidikan

bangsanya. Dalam hal ini Nagai menyatakan bahwa Mori sendiri pernah mengatakan: “sayang sekali bahwa rakyat negara kita masih jauh tertinggal dibandingkan dengan taraf Kecerdasan orang Barat”, akan tetapi menurutnya “ Dimasa yang tidak lama lagi, kita akan berdiri sama tinggi dengan mereka dalam persaingan internasional…” (Nagai, 1993 : 217). Dengan konsep-konsep pendidikannya tersebut Mori ingin mengejar ketertinggalan yang dialami bangsa Jepang dari negara-negara Barat. Mori berupaya untuk meningkatkan kecerdasan bangsa Jepang melalui pendidikan.

Mori sependapat dengan kaum elit yang menyatakan bahwa pendidikan pada saat itu di Jepang pada umumnya masih terbelakang dan perlu bimbingan menuju sebuah negara modern, yang dicita-citakan oleh pemerintahan Meiji. Selanjutnya mereka pun mengajukan sebuah gagasan bahwa setiap bagian dalam masyarakat harus bekerja sama dalam usaha mewujudkan tujuan negara.

Logika dasar yang ada pada konsep Mori mengenai sistem pendidikan pemerintah adalah mengenai pendidikan Sekolah wajib yang bersifat nasionalistik.. Seperti yang ungkapkan oleh Mori dalam salah satu pidatonya ketika dia menjabat sebagai menteri pendidikan :

“Dapat dikemukakan dengan sederhana tanpa adanya kesalahan bahwa status negara kita sangat rendah, kekuatan nasional kita sangat lemah, dan kita tidak berpengalaman dalam masalah luar negeri…. Bagaimana situasi ini dapat ditingkatkan? satu-satunya jawaban terletak dalam reformasi sistem pendidikan untuk menyediakan metode yang andal tentang pendidikan dan pengajaran untuk membangun manusia yang berwatak dan berkemampuan …. Dalam situasi persaingan dengan bangsa-bangsa asing… orang tidak peduli tidak dapat memenuhi kebutuhan mendesak negara (Michio Nagai , 1993 : 234).

Pendidikan wajib yang bersifat nasionalistik bertujuan agar dapat mempengaruhi rakyat ketika mereka masih kanak-kanak. Didalam sistem pendidikan ini diterapkan nilai-nilai kesetian terhadap negara. Oleh karena itu pendidikan wajib ini dapat dikatakan sebagai alat antisipasi untuk mencegah mereka yang mampu berkembang dan menjadi oposisi negara ketika mereka telah dewasa. Nilai-nilai yang terdapat dalam Pendidikan yang bersifat nasionalistik tersebut diharapkan dapat memajukan pengembangan kepemimpinan intelektual yang diperlukan untuk menjamin pembangunan Jepang, agar dapat berhasil menjadi suatu negara modern dan menjadi kekuatan potensial dunia.

Realisasi dari sistem tersebut pada intinya merupakan suatu mekanisme sosial yang dapat memilih orang-orang berbakat dan berprestasi dari masyarakat. Sistem tersebut dapat menarik akademisi atau pelajar ke dalam struktur kekuasaan, dan berusaha untuk menstabilkan tatanan sosial dan juga memberikan mobilitas maksimal dalam struktur tersebut. Pendidikan wajib yang bersifat nasionalistik menurut Mori sebaiknya diberikan mulai dari pendidikan tingkat sekolah dasar hingga tingkat perguruan tinggi. Lebih lanjut dikatakan pula bahwa riset dan pendidikan di tingkat universitas dan sekolah keterampilan, harus dilaksanakan dengan cara sebebas-bebasnya dan terbuka (Cummings,1984:35).

Pada tataran Sekolah Dasar, pendidikan yang bersifat nasionalistik bersifat lebih terbatas dibandingkan pada tingkat sekolah yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan bahwa pendidikan wajib di Sekolah Dasar dijadikan landasan bagi upaya untuk membatasi kebebasan yang berlebihan. Doktrin mengenai nasionalisme ini

telah dibentuk sejak Sekolah Dasar. Realisasi dari pemikiran Mori tersebut adalah dengan menetapkan suatu aturan yang sangat tegas, salah satunya dengan menuntut siswa untuk menggunakan seragam militer.

Atas kerja keras dan upaya pemerintah sejak tahun 1872 pemerintahan Meiji telah menyatakan niatnya untuk mewajibkan anak-anak Jepang untuk masuk Sekolah Dasar dengan sistem pendidikan yang baru. Pada awalnya pemerintah mengharuskan semua anak-anak masuk sekolah dan orangtuanya yang membayar biaya sekolah tersebut. Sehingga kebijaksanaan tersebut membuat makin merosotnya jumlah anak yang masuk sekolah. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan yang menyebutkan bahwa daerah-daerah yang menghadapi kesukaran ekonomi diperbolehkan untuk tidak menjalankan program pendidikan dengan sistem yang baru tersebut.

Pada perkembangannya, banyak orang yang makin besar minatnya dalam memandang tujuan nasional sebagain sesuatu yang identik dengan pendidikan Moral. Maka semakin lama banyak bermunculan tema-tema yang bersifat nasionalistik dimasukan ke dalam kurikulum pendidikan. Melalui pendidikan pemerintah berusaha dengan sekuat-kuatnya untuk menanamkan pendidikan budi pekerti terhadap masyarakat Jepang kearah tertentu untuk kepentingan nasional.

Mengenai pendidikan spiritual yang di dalamnya diajarkan pendidikan moral (yang merupakan salah satu kebijakan pemerintah Meiji pada saat itu), sejak awal pemerintahan Meiji telah banyak menaruh perhatian terhadap pendidikan ini. Pemerintah dalam hal ini memasukan ajaran-ajaran budi pekerti pada buku teks yang

dipergunakan oleh siswa. Tetapi tidak semuanya dapat berjalan seperti yang diinginkan oleh pemerintah. Adanya pandangan hidup berbagai golongan tradisional termasuk kelompok religi dan kalangan istana yang berlainan tentang hal pendidikan tersebut, membuat sebuah perdebatan yang berkepanjangan. Akan tetapi perdebatan mengenai pendidikan tersebut dapat teratasi dengan dikeluarkannya dekrit kekaisaran mengenai pendidikan moral, sehingga dapat tercapailah suatu persamaan pandangan mengenai pendidikan Moral tersebut.

Sejak tahun 1880 an, kementrian pendidikan telah meningkatkan pengawasan terhadap pendidikan moral, pertama-tama dengan melarang terjemahan buku-buku asing mengenai moral, dan kemudian menerbitkan sendiri buku-buku yang menjurus kepada nilai-nilai tradisional. Hal tersebut berpengaruh pada peraturan-peraturan pendidikan yang dibentuk pada tahun 1890. Peraturan pendidikan inipun dipengaruhi oleh sistem pendidikan yang dirancang oleh Mori. Pada tahun tersebut peraturan-perturan mengenai pendidikan dasar menjelaskan tujuan dari pendidikan moral sebagai : latihan moral, pembinaan suatu kepribadian nasional, dan mengembangkan keterampilan-keterampilan dalam ilmu pengetahuan. Prioritas yang diberikan pada latihan moral dan cinta tanah air merupakan suatu perubahan yang penting dalam kebijaksanaan kegunaan dan praktis yang telah mewarnai pendidikan semenjak 1870 an (Beasley,2003:298).

Pada tahun 1881 pun, kementrian pendidikan telah mengirimkan suatu memorandum kepada semua guru sekolah dasar yang menekankan pentingnya nilai-nilai moral tradisional : ” kesetiaan terhadap lembaga kaisar, cinta tanah air, kasih sayang terhadap ibu bapa, hormat terhadap atasan, saling mempercayai antar sahabat, sikap dermawan terhadap mereka yang lemah, dan mempunyai harga diri merupakan

ajaran agung dalam nenegakkan moralitas manusiawi. Seorang guru harus dapat menjadikan dirinya sebagai teladan dalam menghayati nilai-nilai ini dalam kehidupan sehari-hari dan harus berusaha mendorong para murid mereka agar hidup sesuai dengan ajaran terpuji ” seperti yang ada di dalam ajaran Konfusius dan nilai-nilai tradisional Jepang. (Pyle, 1988 : 162).

Ketika pemerintah mulai memberi subsidi untuk pendidikan wajib, maka para orang tua mulai menyekolahkan kembali anak-anaknya. Adanya keringanan biaya pendidikan dengan adanya subsidi dari pemerintah, maka semakin lama banyak masyarakat yang sadar akan arti pentingnya pendidikan. Masyarakat mulai menyadari bahwa pendidikan dapat memberikan suatu kemungkinan kepada seseorang untuk menduduki berbagai jabatan. Kesadaran umum akan hal tersebut membuat lebih banyak lagi orangtua yang menyekolahkan anak-anak mereka.

Selain mewajibkan Sekolah Dasar untuk anak-anak Jepang, Mori juga berpendapat bahwa pendidikan Keterampilan merupakan aspek yang paling progresif dari kebijakan pendidikan yang dirancang olehnya. Pemerintah pun berusaha untuk mengembangkan tenaga teknik, meskipun dalam pelaksanaannya masih lambat dan belum merata. Mori pun berusaha mendesak pemerintah untuk mendirikan sebuah Sekolah keterampilan Dagang tetapi pemerintah menolak usulan tersebut sehingga Mori mendirikan sekolah atas biayanya sendiri. Akan tetapi dengan adanya kebutuhan yang mendesak dari kelompok-kelompok masyarakat pemilik industri untuk menambah tenaga-tenaga teknik yang kompeten, maka pemerintah mulai mengeluarkan perintah khusus mengenai sekolah teknik. Pemerintah mulai menjalankan programnya secara sistematis untuk mendidik ahli-ahli dalam bidang teknik dan Insinyur.

Promosi sekolah keterampilan yang mendapat perhatian cukup besar dari para pemimpin pemerintahan Meiji, hal ini dapat dipahami dari sudut pandang yang sama. Salah satunya dalam hal dimasukkannya kursus teknik di Universitas Kekaisaran Tokyo. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan keterampilan merupakan aspek paling progresif dari kebijakan pendidikan yang dirancang oleh Mori.

Institut pendidikan Niaga (keterampilan dagang) yang dibuka oleh Mori dalam perkembangannya berada dibawah pengawasan pemerintahan di Tokyo. Kemudian berpindah ke kementrian pertanian pada tahun 1884, sekolah keterampilan Dagang ini pada tahun berikutnya berada dibawah pengawasan kementrian pendidikan, dan menjadi sekolah ”pemerintah” sepenuhnya. Dalam waktu perpindahan pengawasan ini, tidak ada perubahan apapun yang terjadi terhadap penekanan Mori mengenai pendidikan praktis (Jitsu Gaku ) (Nagai,1993:233). Dalam kemampuannya menyediakan tenaga mandiri dan andal bagi industri Jepang dan khususnya bagi keuangan dan niaga, sekolah ini sama sekali tidak kalah dengan Keio, yang dipandang sebagai sekolah yang paling progresif pada waktu itu.

Kendati pemerintah secara konsisten dan progresif mempromosikan pendidikan keterampilan yang dirancang oleh Mori, akan tetapi hanya terbatas dalam dua segi saja yakni, Pertama pendidikan keterampilan diperlukan demi suksesnya kebijakan nasional. Pendidikan normal ” angkatan perang yang kuat ” dan kebijakan ” negara kaya ” dari pendidikan keterampilan merupakan dua unsur yang beriringan. Kedua dalam pendidikan keterampilan bahkan dirancang untuk mempertahankan kedudukan dengan menyediakan jaminan kerja bagi kelas menengah. Akan tetapi

ditujukan kepada kepentingan pemerintah yang pada saat itu membutuhkan tenaga-tenaga ahli untuk mendukung modernisasi dalam berbagai bidang, salah satunya industri. Singkatnya pendidikan pada masa Meiji diarahkan dan diatur oleh pemerintah.

Didirikan pula sekolah Normal atau sekolah pendidikan Guru. Mori memandang bahwa pendidikan Sekolah Normal (sekolah pendidikan Guru) menempati posisi penting dalam keseluruhan sistem. Menurutnya Pendidikan Sekolah Guru berfungsi sebagai penghubung antara pendidikan tinggi dan pendidikan wajib. Mori memandang Guru bertugas meneruskan ilmu pengetahuan yang sudah disistematiskan sebelumnya kepada generasi penerus. Mori pun merancang sebuah Slogan yang kerap kali dikutip untuk sekolah Guru yaitu : “ kepatuhan ” (Junryo), “ kepercayaan ” (Shinai) dan “Martabat” (Iju). Untuk mewujudkan tujuan yang disimbolkan tersebut, Mori menanamkan cara berpikir militer dalam kepribadian guru secara mendalam. Bahkan Mori pun mengubah seluruh rutinitas kehidupan Sekolah Normal menjadi pola militeristik.

Mori mengeluarkan suatu peraturan Kementrian Pendidikan pada tahun 1888 yang mewajibkan Guru menggunakan pakaian dengan kerah yang tegak. Pendidikan Sekolah Normal yang sangat ketat tersebut sesuai dengan yang direncanakan oleh Mori, dimana Sekolah Normal mulai menghasilkan cara hidup dan cara berpikir mereka yang telah dididik secara militer. Menurut Mori dengan sistem pendidikan seperti ini maka Guru-guru yang dihasilkan pun dapat mendidik rakyat dengan rajin dan tegas, dimana rakyat yang disiplin dan tegas merupakan salah satu landasan

untuk menjadikan Jepang sebagai sebuah negara yang kuat dan mempunyai nasionalisme yang tinggi.

Upaya lain pemerintah untuk mendukung pendidikan yaitu dengan cara memberikan subsidi pada lembaga pendidikan tinggi Imperial University (Todai) . Imperial University ini merupakan tingkatan paling tinggi dalam sistem pendidikan yang dirancang oleh Mori. Setiap tahun lembaga ini mendapatkan subsidi yang cukup banyak dari pemerintah untuk membiayai keperluannya. Siswa-siswa yang lulus dari Imperial University diberi prioritas dalam bersaing untuk mendapatkan pekerjaan di lingkungan pemerintahan. Bahkan pada saat sektor-sektor lain dalam masyarakat membutuhkan tenaga-tenaga ahli untuk industri atau perusahaan, mereka melihat Imperial University sebagai tempat yang menyediakan tenaga-tenaga ahli yang kompeten.

Anak-anak muda Jepang pada masa Meiji sangat tertarik untuk memasuki Imperial University, tetapi seleksi pemerintah cukup ketat dalam menerima siswa yang ingin masuk lembaga tersebut. Dalam hal ini pemerintah hanya sedikit menerima siswa-siswa barunya. Meskipun banyak dari para pemuda tersebut kecewa, tetapi mereka tetap berusaha untuk mengikuti seleksi masuk yang dilakukan oleh pemerintah.

Adanya tuntutan dari masyarakat untuk mendirikan sekolah dengan tingkat yang lebih tinggi seperti Imperial University, maka pemerintah pun mulai mendirikan Imperial University di tempat lain. Kyoto merupakan salah satu kawasan yang dijadikan tempat didirikannya Imperial University yang kedua pada tahun 1897.

Selain itu pemerintah mendirikan Imperial University di Tohoku, Hokkaido, Kyushu, Nagoya dan Osaka (Cummings,1984:34).

Meskipun perkembangan ini dalam realisasinya mampu meningkatkan status sosial masyarakat, tetapi tidak dapat meruntuhkan tatanan kelas masyarakat Jepang itu sendiri. Akan tetapi sistem pendidikan yang dirancang oleh Mori mengenai sekolah keterampilan dan penyeleksian siswa yang kompeten oleh sekolah tingkat tinggi, dapat dihubungkan dengan pelanggengan tatanan kelas sosial. Dalam hal ini banyak masyarakat dari golongan bawah yang dapat belajar di universitas, Sekolah Normal, maupun Sekolah Keterampilan. Mereka tidak terikat oleh status sosial yang dimiliknya. Sebagai contoh seorang anak petani dapat menjadi pegawai pemerintah apabila dia mempunyai kemampuan akademis dan mampu bersaing dengan dengan rekan-rekannya yang lain.

Masyarakat golongan bawah seperti yang telah disebutkan sebelumnya meliputi beberapa kelompok sosial yang berbeda-beda. Sebagian besar dari golongan bawah yang belajar di Sekolah Normal tersebut adalah golongan petani, sedangkan mereka yang mampu masuk ke universitas, walaupun disebut rakyat kecil mereka merupakan anak-anak dari golongan atas di pedesaan maupun kaum bangsawan kota (Nagai,1993:236).

Pada waktu Undang-undang Meiji diumumkan pada tahun 1889, Jepang sudah memiliki sistem pendidikan baru yaitu sistem pendidikan dasar delapan tahun. Dalam sistem pendidikan tersebut, empat tahun Sekolah Dasar wajib dan empat tahun Sekolah Menengah. Siswa dapat meneruskan kejenjang sekolah menengah tersebut

apabila dapat memenuhi syarat pengetahuan dan sanggup membayar biaya untuk melanjutkan pendidikan dari Sekolah Dasar. Adapun lulusan Sekolah Menengah kemungkinan besar memenuhi syarat untuk bekerja di tingkat bawah birokrasi maupun pemerintahan dan perusahaan.

Sedangkan sekolah lanjutan yang lebih tinggi hanya untuk orang-orang pilihan, yaitu mereka yang merupakan siswa-siswa berprestasi. Karir dan jabatan tinggi dalam pemerintahan terbuka bagi mereka. Selain itu mereka dapat menjadi cendikiawan Jepang yang semakin berkembang dan dihormati. Kesempatan belajar di sekolah atas dan universitas tidak tergantung pada status sosial mereka. Siapapun dapat melanjutkan pendidikannya ketingkat yang lebih tinggi lagi asalkan sanggup membayar biaya sekolah dan biaya hidup. Meskipun begitu, sistem baru yang diprogramkan oleh pemerintahan Meiji jauh lebih terbuka dibandingkan masa Tokugawa. Jadi bukan hanya anak bekas Samurai saja, tetapi anak bekas tuan tanah, petani kaya maupun pedagang dapat menduduki jabatan tertinggi dalam pemerintahan atau perusahaan asalkan mereka mempunyai kemampuan akademis.

Satu tahun setelah Mori Arinori meninggal dalam sebuah pembunuhan yaitu pada tahun 1890, terdapat kritik-kritik yang sangat keras timbul berkenaan dengan persoalan nilai-nilai pada waktu diumumkannya Titah Kaisar mengenai pendidikan pada bulan oktober 1890 (Beasley,2003:298). Piagam tersebut adalah piagam hasil rancangan kaum konservatif yang berpusat dalam istana kekaisaran, kaum tersebut berusaha untuk melestarikan kembali nilai-nilai tradisional sebagai landasan pendidikan.

Piagam kaisar tentang pendidikan yang telah diumumkan sebelum parlemen pertama bersidang pada 1890, merupakan landasan falsafah dasar tentang tujuan-tujuan pendidikan yang digunakan sampai dengan tahun 1945. Piagam kaisar tersebut mengutarakan prinsip-prinsip etis bahwa tatanan konstitusional yang baru harus dibangun. Adapun isi dari piagam tersebut seperti yang diungkapkan oleh Passin (1965:151) bahwa:

“Para leluhur kaisar telah mendirikan kerajaan ini diatas landasan yang luas dan bersifat abadi... Rakyat kami yang selalu bersatu dalam kesetiaan dan pengabdian, telah menjadi bukti keindahan hubungan ini. Ini merupakan kejayaan dari hakikat dasar kerajaan kami dan didalam itu tersimpul sumber pendidikan kami. Kamu, rakyat kami, mengabdilah kepada orang tuamu, kasih mengasihi sesama saudaramu; sebagaimana para suami dan istri haruslah rukun; diantara sesama sahabat, setia... Tuntutlah ilmu pengetahuan dan binalah ilmu pengetahuan dan dengan demikian mengembangkan kemampuan intelektual dan menyempurnakan kekuatan moral; hormatilah selalu Undang-undang Dasar dan patuhilah peraturan-peraturan hukum; dan jika timbul suatu suasana darurat, korbankalah dirimu dengan gagah perkasa untuk negara; dan dengan demikian mengamankan dan mempertahankan kesejahteraan takhta kerajaan kami yang sederajat dengan langit dan bumi (Pyle, 1988:163).”

Dengan memberikan tekanan kepada paham-paham kerukunan sosial dan kesetiaan terhadap lembaga kekaisaran, piagam tersebut pada hakikatnya mempunyai tujuan untuk mengimbangi nilai-nilai moral dan paham-paham liberal dalam dunia politik yang datang dari Barat.

Sebenarnya pembentukan Undang-undang ini dilatar belakangi juga oleh pengalaman Kaisar Meiji, ketika melakukan inspeksi keliling terhadap sekolah-sekolah diberbagai daerah selama musim panas 1878. Dengan melihat secara langsung situasi pendidikan tersebut maka Kaisar mengambil kesimpulan bahwa

westernisasi dalam pendidikan, telah dilaksanakan melampaui kewajaran, Kaisar pun mengambil kebijakan bahwa ajaran-ajaran moral Konfusius haruslah ditekankan lagi disekolah-sekolah (Pyle,1988:162).

Terjadi peningkatan jumlah siswa di sekolah, hal ini dikarenakan banyak keluarga yang mengirimkan anggota keluarganya untuk bersekolah ketingkat yang lebih tinggi dalam sistem pendidikan. Pada waktu yang sama kebijakan pendidikan pemerintah menanggapi secara serius atas kondisi yang selalu berubah. Sebagai contoh, konsolidasi sistem pendidikan keterampilan yang dilakukan oleh Inoue -sebagai penerus dari Mori- adalah mendirikan struktur pendidikan yang merupakan ”sistem ganda”. Didalam sistem ganda ini, para siswa yang akan meneruskan ketingkat yang lebih tinggi, harus masuk ke dalam suatu kursus ”persiapan” atau kursus ”biasa”. Sedangkan mereka yang akan masuk angkatan kerja setelah mereka lulus ditempatkan dalam suatu ”kursus keterampilan”. Dengan struktur pendidikan tersebut maka lahirlah sebuah pola dasar pendidikan Jepang, yang merupakan suatu pola yang bertahan hingga akhir Perang Dunia II.

Dibawah ini merupakan gambar sistem pendidikan yang dipengaruhi oleh pemikiran Mori Arinori :

Kebijakan pendidikan Mori Arinori telah mempengaruhi sistem pendidikan Jepang menjelang Perang Dunia II. Gambar tersebut menunjukkan jika seseorang menempuh pendidikan di sekolah kejuruan, dia mempunyai kesempatan langsung memasuki dunia kerja. Sementara kesempatan yang lain adalah melanjutkan ke universitas dengan syarat dia harus menempuh pendidikan di tingkat sekolah mengah.

S E K O L A H D A S A R (w a jib ) S E K O L A H D A S A R L A N J U T A N S E K O L A H M E N E N G A H 5 T A H U N S E K O L A H M E N E N G A H P U T E R I 5 T A H U N S E K O L A H R E M A J A (S et en g a h W a k tu ) (W a jib B u a t A n a k L a k i-L a k i) T A M A N K A N A K -K A N A K T in g k a t P er si sa p a n Tingkat Dasar Tingkat Dasar Tk. Menengah Tk. Menengah

Sekolah Anak Tuli dan Buta

Sekolah Anak Buta

(Anak Laki-Laki)

(Anak Perempuan) Sekolah Guru

Lembaga Pendidikan Guru Kejuruan Sekolah Guru Remaja

Sekolah Kejuruan Pertama

Sekolah Guru Atas Putri Kolese Putri

(Anak Laki-Laki)

(Anak Perempuan) Sekolah Guru Pertama Sekolah Guru Atas

Universitas Kesusastraan dan Ilmu-Ilmu

Kolese Universitas

Pendidikan Doktoral Sekolah Lanjutan Tingkat Atas

Sekolah Menengah 7 tahun

G a m b a r 2 .1 B a g a n P em b e d a a n : S is te m S ek o la h J e n ja n g S u m b er H er b er t P as si n , S o c ie ty a n d E d u ca tio n in J a p an , h l. 3 0 8 -3 0 9 1 9 3 7

Sistem tersebut lebih mempertegas pemikiran Mori Arinori, terhadap sistem jenjang persekolahan di Jepang hingga tahun 1937, yang dikenal dengan sistem ganda.

Berdasarkan analisis yang terhadap fakta-fakta yang peneliti lakukan, jelas bahwa dalam pengembangan sistem persekolahan dari mulai jenjang Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi di Jepang dipengaruhi oleh pemikiran Mori Arinori. Bahkan struktur persekolahan pun merujuk kepada pemikiran dasar Mori Arinori dengan model sistem ganda. Pemerintah pusat tetap berpegang teguh kepada kebijaksanaan pendidikan yang bertujuan untuk memajukan integrasi nasional, pendidikan spiritual, dan pengembangan sekolah keterampilan. Meskipun terjadi perubahan-perubahan sosial dalam beberapa aspek masyarakat Jepang, akan tetapi pemikiran Mori Arinori menjadi dasar pertimbangan pemerintah dalam bidang pendidikan. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan lebih ditujukan untuk kepentingan negara dari pada kepentingan siswa. Kebijakan dengan karakter seperti itu cenderung menujukkan pengaruh dari pemikiran Mori Arinori.

Ada beberapa pemikiran Mori yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan pendidikan pemerintahan Meiji pada saat itu. Undang-undang pendidikan yang dikeluarkan pada tahun 1890, menekankan nilai-nilai moral, kesetian kepada negara dan keahlian teknik. Hal tersebut serupa dengan sistem pendidikan Mori yang didalamnya mengungkapkan mengenai pentingnya pendidikan moral, yang bertujuan meningkatkan kesetiaan kepada negara dan Kaisar dan pendidikan keterampilan yang dapat mendukung masyarakat Jepang dalam upaya modernisasi.

Kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah dalam pendidikan bertujuan untuk memajukan integrasi nasional, pendidikan spiritual, mengembangkan inti ahli-ahli teknik yang cakap dan seleksi golongan elit bangsa berdasarkan prestasi. Mori dan tokoh pendidikan lainnya menunjukkan perhatian kepada kesejahteraan rakyat umum. Akan tetapi kebijaksanaan yang diciptakannya tidak dimaksudkan untuk menggapai kebutuhan yang dirasa oleh masyarakat Jepang, melainkan kebijaksanaan tersebut dirancang untuk disesuaikan dengan program yang telah ditetapkan oleh pemerintahan pusat. Mori memiliki pandangan bahwa pendidikan harus dikembangkan bukan untuk kepentingan siswa melainkan untuk kepentingan negara.

Pemerintah berusaha untuk membangun suatu hierarki intelektual di dalam masyarakat Jepang, yaitu suatu hierarki yang akan menjadi dasar bagi suatu tatanan sosial yang harmonis. Keunggulan sistem pendidikan Mori terletak pada sistemnya yang berfungsi untuk mempertahankan kedudukan dalam batas-batas tatanan sosial masyarakat Jepang. Sistem tersebut memungkinkan adanya mobilitas tinggi antar kelas di dalam masyarakat Jepang.

Pembunuhan atas Mori telah membuatnya tidak bisa menyelesaikan rencana-rencananya dalam memodernisasi pendidikan di Jepang. cita-cita Mori Arinori dengan sistem pendidikannya tersebut diteruskan oleh Inoue Kowashi. Dibawah kepemimpinan Inoue sistem keterampilan yang dirancang oleh Mori tersebut dapat

Dokumen terkait