• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Fluor

2.2.5 Dampak Penggunaan Fluor Terhadap Lingkungan dan Manusia

Zat atau senyawa hasil kegiatan manusia ataupun industri (limbah) biasanya berbahaya dan mempunyai sifat beracun. Keberadaan zat atau senyawa tersebut di lingkungan akan sangat membahayakan dan menurunkan kualitas lingkungan (Darmono, 1995).

Hampir semua sumber atau persediaan air dalam tanah mengandung ion fluor, meskipun dengan kadar yang berbeda-beda. Ion fluor merupakan elemen yang sangat elektronegatif dan aktif sehingga terdistribusi di alam secara meluas dan ditemukan dalam mineral-mineral di tanah, udara, air,tumbuhan, dan juga binatang.

Fluorida dilepaskan sebagai limbah dari berbagai proses industri seperti pabrik yang memproduksi baja, aluminium, tembaga, dan nikel serta pabrik lainnya seperti pengolahan fosfat, pupuk, gelas/kaca, pembuatan keramik dan bata, serta produksi lem. Penggunaan pestisida yang mengandung fluorida juga mempengaruhi fluorida pada sumber tanah. Produksi fosfat dan pabrik aluminium

merupakan industri yang utama dalam pelepasan fluorida ke lingkungan (WHO, 2004).

Dengan pupuk dan pabrik pembuatan asam fosfat, batuan fosfat yang mengandung fluor yang digunakan dalam proses tersebut, melakukan sejumlah reaksi untuk membentuk asam hidroflorat (HF) dan silikon tetrafluorida (SiF4) yang berbentuk gas dan dibuang ke atmosfer. Pada pembuatan aluminium proses tersebut melibatkan penggunaan kalsium fluorida selama elektrolisis dan gas yang sama (HF dan SiF4) yang dilepaskan. Mineral yang mengandung fluorida sering digunakan dalam pembuatan baja, batu bata, ubin, barang-barang dari tanah liat, semen, kaca, enamel. Batu bara mengandung fluorida 0,001-0,048% yang menyebabkan pembentukan asam hidroflorat dan silikon tetrafluorida di dalam proses pembakarannya (Connell dan Miller, 2006).

Dalam lingkungan, silikon tetrafluorida bereaksi dengan air menghasilkan asam fluorosilat (H2SiF4). Keduanya, asam fluorosilat dan asam hidroflorat yang merupakan bentuk gas utama dari fluor, yang siap diserap oleh hewan dan tanaman (Smith dan Hodge, 1979). Partikulat pada umumnya antara lain kriolit, natrium fluorosilikat, aluminium fluorida, natrium fluorida dipancarkan ke dalam atmosfer dan mempunyai kelarutan air tanah dari 0,04-4,0 g per 100 mL pada 1000 C. Dengan zat-zat ini, hujan dan keadaan iklim lainnya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perluasan pengaruh toksik (Connell dan Miller, 2006).

Secara optimal intake fluorida ditentukan antara 0,05 sampai 0,07 mg/kg berat badan per hari. Menurut Mc Clure, untuk anak-anak usia 1-12 tahun, intake yang paling optimal adalah 0,05 mg/kg berat badan, sementara menurut Farkas,

intake yang paling optimal untuk pencegahan karies tanpa menimbulkan fluorosis adalah 0,06 mg/kg berat badan untuk anak usia 1-12 tahun (Buzalaf, 2011).

Kira-kira 75-90% dari fluor yang dikonsumsi diserap didalam lambung yang bersifat asam, fluor dikonversikan menjadi hydrogen fluoride (HF) dan hampir 40% dari fluor yang dikonsumsi diserap oleh lambung dalam bentuk HF. pH asam lambung yang tinggi akan mengurangkan absropsi dengan mengurangkan konsentrasi HF. Fluor yang tidak diabropsi dilambung akan diserap oleh usus dan pH tidak mempengaruhi absorpsinya berbanding di lambung (Whitford, 1997;IPCS, 2002).

Setelah diabsorpsi di dalam darah, fluor didistribusikan keseluruh tubuh dengan kira-kira hampir 99% fluor berada di daerah yang tinggi kandungan kalsium seperti tulang dan gigi (dentin dan enamel) dimana ia tersusun seperti crystal lattice. Fluor bisa melewati plasenta dan dijumpai didalam air susu ibu pada kadar yang rendah yaitu sama seperti di dalam darah (WHO, 1996;IPCS, 2002).

Fluor diekskresikan secara primer oleh urin (IPCS, 2002). Urinary fluor clearance meningkat dengan pH urin disebabkan oleh penurunan konsentrasi HF. Berbagai faktor seperti diet dan obat-obatan yang bisa memberi efek kepada pH urin dan ini seterusnya akan memberi efek terhadap fluoride clearance dan retention (USNRC, 1993).

Menurut salah satu penelitian, diperkirakan 25-38% anak menelan pasta gigi sewaktu menyikat gigi. Hal ini disebabkan oleh produsen pasta gigi yang sering menambahkan rasa yang disukai anak-anak ke dalam pasta gigi yang bertujuan untuk menarik perhatian anak, sehingga anak-anak cenderung untuk memakan

pasta gigi yang dioleskan di atas sikat giginya atau menelan pasta gigi tersebut sewaktu menyikat gigi karena anak dibawah umur 5 tahun belum begitu pandai membuang atau meludahkan cairan yang ada didalam mulutnya (Shulman, 1997).

Gejala awal keracunan fluorida termasuk gangguan pencernaan, mual, muntah, dan sakit kepala. Dosis minimal yang yang dapat menghasilkan gejala ini diperkirakan 0,1 sampai 0,3 mg/kg fluorida (yaitu 0,1-0,3 miligram fluorida untuk setiap kilogram berat badan).

Gejala keracunan fluorida akut hampir sama dengan penyakit umum lainnya, 80% insiden keracuanan fluorida terjadi pada anak usia 6 tahun dengan kadar florida 5 mg/kg BB. Sebagaimana dicatat dalam Journal of Public Health Dentisty : “Memperkirakan kejadian eksposur fluorida beracun nasional juga diperumit oleh adanya bias. Orang tua atau pengasuh mungkin tidak menyadari gejala yang terkait dengan toksisitas fluorida ringan seperti kolik atau gastroenteritis, terutama jika mereka tidak melihat anak menelan fluorida. Demikian pula, karena sifat spesifik dari gejala ringan sampai sedang, dokter tidak meungkin memasukkan toksisitas fluorida tanpa riwayat konsumsi fluorida”. Meskipun insiden kejadian tertelannya pasta gigi pada anak banyak yang tidak terdiagnosis, jumlah laporan ke Poison Control Center di AS mengalami peningkatan sejak Food and Drugs Administration (FDA) mengeluarkan peringatan bahaya racun fluorida. Memang di awal 1990-an (sebelum peringatan FDA), ada sekitar 1.000 laporan keracuan setiap tahun dari pasta gigi fluorida. Saat ini, terdapat peningkatan 20 kali lipat sejak FDA menambahkan peringatan (Shulman, 1997).

Intake fluorida yang berlebihan dapat menimbulkan masalah-masalah kesehatan bagi manusia sebagai berikut antara lain :

1. Efek terhadap gigi dan tulang

Efek fluor yang berlebihan pada gigi disebut fluorosis gigi. Fluorosis gigi merujuk kepada perubahan tampilan enamel gigi yang disebabkan oleh pengambilan fluor dalam jangka masa panjang ketika gigi sedang berkembang (Aoba T, Fejerskov O, 2002). Perubahan tampilan enamel gigi adalah warna gigi menjadi tidak putih, pucat, dan buram. Ini bisa berupa tumpukan putih yaitu masih pada tahap ringan sehingga kepada tompokan gelap atau hitam. Warna gigi yang gelap atau hitam ini terlihat pada fluorosis yang lebih berat dan enamelnya juga menjadi lunak dan rapuh. Tanda pertamanya berupa erupsi gigi dengan enamel yang berbintik-bintik (mottled enamel).

Fluorosis gigi merupakan suatu fenomena yang terjadi pada masa pembentukan gigi, maka hanya anak berusia 8 tahun ke bawah yang memiliki risiko tinggi terkena fluorosis. Sedangkan anak berusia di atas 8 tahun tidak berisiko terkena fluorosis. Pada masa ini apabila seseorang terpapar fluorida lebih dari 1 ppm setiap harinya minimal 2 tahun, maka dapat menimbulkan noda cokelat kehitaman pada permukaan gigi. Namun, proses ini akan berhenti saat anak berusia 13 tahun karena proses pembentukan enamel telah sempurna (Centers for Disease Control and Prevention, 2001).

Keparahan kondisi ini tergantung kepada dosis, durasi dan masa pengambilan fluor. Kadar fluorida dalam air yang dapat menyebabkan

terjadinya fluorosis pada tulang adalah antara 8-10 ppm. Fluorosis pada tulang ini ditunjukkan oleh adanya pertambahan ketebalan tulang- tulang kortikal panjang pada endosteal dan periosteal.

2. Kanker

Banyak penelitian dilakukan terhadap pekerja terutamnya dalam bidang peleburan aluminium dilaporkan terdapat peningkatan insiden dan mortalitas akibat kanker paru, kanker kandung kemih dan juga kanker-kanker lain. Hasil penelitian Grandjean, Olsen (2004) di Denmark terhadap pekerja pabrik cryolite yang berbentuk cohort selama 12 tahun telah menunjukkan hasil yaitu mortalitas total lebih dari 90%. Kematian pekerja-pekerja ini kebanyakannya adalah akibat kanker dengan insiden yang paling tinggi adalah kanker paru primer dan kanker kandung kemih. Grandjean dan Olsen membuat kesimpulan bahwa fluor perlu dipertimbangkan sebagai antara faktor yang menyebabkan kanker kandung kemih dan kanker paru primer.

3. Penurunan IQ

Berdasarkan kepada penemuan reset yang terkini, didapati bahwa fluor (F) menyebabkan disfungsi neuronal dan cedera pada sinap dengan mekanisme yang melibatkan produksi radikal bebas dan peroksidasi lipid (Shivarajashankara et al., 2001). Penelitian oleh Lu et al (2000) di China yang mengkaji mengenai efek kadar fluor yang tinggi didalam air minum terhadap IQ anak-anak telah menunjukkan hasil yang signifikan yaitu anak-anak yang minum air yang kadar

fluornya tinggi mempunyai IQ yang lebih rendah berbanding anak-anak yang minum air dengan kandungan fluor yang rendah.

Biomekanisme cara kerja dari fluor yang bisa menurunkan IQ masih tidak jelas namun terdapat bukti yang menyatakan bahwa ini mungkin melibatkan alterasi lipid membran dan menurunnya aktivitas kholinesterase di otak. Fluor juga diketahui mempunyai adverse effect terhadap aktivitas kholinesterase yang terlibat dalam hidrolisis ester choline. Efek toksik ini bisa menyebabkan perubahan utilisasi acethycholine, seterusnya memberi efek terhadap transmisi impuls saraf pada jaringan otak (Vani, Reddy, 2000).

Dokumen terkait