mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak berfungsi sebagai mana mestinya. Pelaksanaan kasus kusta yang buruk dapat menyebabkan kusta menjadi berkembang secara cepat dan akan menyebabkan kerusakan permanen pada kulit penderitanya.
3) Dampak Penyakit Kusta
Penyakit kusta akan memiliki dampak yang berpengaruh pada penderitanya antara lain:
1. Dampak Fisik
Penyakit kusta merupakan penyakit yang menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak bahkan dapat menyebabkan pada kerusakan indera penglihatan.
2. Dampak Psikis
(Kemenkes RI, 2015) Menjelaskan bahwa dampak psikis yang dialami penderita kusta yang telah
menyelesaikan masa pengobatannya dan
dinyatakan sembuh tidak menular akan tetap mendapatkan status predikat penyandang kusta yang melekat pada dirinya seumur hidup, dengan adanya hal itu seringkali menjadi dasar permasalahan psikologis para penderita kusta, rasa kecewa, malu, tidak percaya diri dan merasa tidak berguna akan melekat pada diri penderita kusta.
35
3. Dampak Sosial
Kusta tidak hanya berdampak pada fisik dan psikis penderitanya namun berdampak pula pada kehidupan sosial penderita kusta. Menurut (Kemenkes RI, 2015) dampak sosial yang dialami oleh penderita kusta dan seringkali menjadi sumber permasalahan dalam kehidupan penderitanya yaitu kecacatan pada tubuh yang diakibatkan oleh penyakit kusta, pada akhirnya banyak masyarakat yang merasa jijik dan banyak masyarakat yang menjauhi, serta mengucilkan penderita kusta dari lingkungannya dan dengan adanya hal tersebut penderita kusta memiliki masalah lain yaitu sulitnya mendapatkan pekerjaan. Stigma mengenai penyakit kusta masih menjadi salah satu faktor penghambat bagi penderita kusta untuk kembali diterima oleh masyarakat, mendapatkan pekerjaan bahkan diterima oleh keluarganya sendriri. Seringkali penderita kusta menjadi terasing, tidak mendapatkan keberfungsian sosialnya, bahkan karena menyebabkan kecacatan fisik, akhirnya penderita kusta dijadikan orang terbuang. Dengan adanya dampak sosial tersebut berpengaruh pada keberfungsian sosial penderita kusta, karena banyaknya stigma negatif mengenai penyakit kusta menyebabkan penderita kusta tidak dapat menjalankan tugas, peran dan fungsinya dalam kehidupan di masyarakat.
36
Pekerjaan Sosial dengan Keluarga
Pekerja sosial tidak hanya melakukan intervensi kepada individu, pekerja sosial juga melakukan intervensi pada level keluarga. Menurut Zastrow (2004: 79) dalam Adi (2013) menjelaskan bahwa intervensi pada level keluarga dilakukan dengan melihat keluarga sebagai suatu sistem yang anggotanya saling berinteraksi dan saling ketergantungan satu dengan yang lainnya. Karena itu masalah yang ada pada individu biasanya dipengaruhi oleh dinamika keluarga dan perubahan pada satu anggota keluarga akan mempengaruhi anggota keluarga yang lain.
Dalam intervensi keluarga terdapat salah satu metode yaitu family based service atau layanan berbasis keluarga. Dalam Nelson (1990) menjelaskan bahwa pendekatan berbasis keluarga menganggap bahwa keluarga merupakan sistem sosial dimana tindakan dan interaksi anggota keluarga tidak terpisah satu dengan yang lain.
Menurut Hartman (1983) menjelaskan bahwa layanan berbasis keluarga melihat keterkaitan antar anggota keluarga dan juga melihat lingkungan sosial tempat keluarga tersebut, karena lingkungan sosial memliki pengaruh pada layanan berbasis keluarga.
Menurut Pecora (1996) menjelaskan bahwa layanan berbasis keluarga memiliki komponen penting yaitu:
37
1. Unit keluarga menjadi fokus perhatian. Dalam melakukan pelayanan berbasis keluarga, maka keluarga menjadi fokus perhatian sehingga nantinya berpengaruh pada kesejahteraan anggota keluarga.
2. Memperkuat kapasitas keluarga agar berfungsi secara efektif. Tujuan utama dari layanan berbasis keluarga adalah memperkuat potensi dan melaksanakan tanggung jawab dalam keluarga. 3. Keluarga memiliki keterlibatan dalam merancang
dan mengambil sebuah keputusan. Pekerja sosial yang berbasis pada keluarga dapat menggunakan pengetahuan mereka dalam membantu keluarga untuk mengambil sebuah keputusan.
4. Keluarga terhubung dengan lebih banyak jaringan dukungan dan komunitas yang beragam. Intervensi yang berpusat pada keluarga membantu untuk memaksimalkan komunikasi, perencanaan bersama dan keterlibatan keluarga dengan lingkungan sekitarnya.
Penderita kusta sangat membutuhkan adanya dukungan dari keluarga agar dapat memberikan semangat dan membuat penderita merasa nyaman serta terlindungi dari orang-orang yang selalu memberikan stigma negatif terhadap penderita kusta. Pekerja sosial dapat menjalankan peran-perannya dalam layanan berbasis keluarga, yaitu:
38
1. Motivator
Dalam hal ini pekerja sosial memiliki peran untuk memberikan motivasi kepada keluarga agar dapat menerima kondisi anggota keluarga yang terkena penyakit kusta agar tetap semangat dalam menjalankan kehidupannya.
2. Konselor
Dalam hal ini pekerja sosial berperan untuk memberikan nasihat dan saran kepada keluarga mengenai cara pemberian pelayanan keluarga sebagai wujud penerimaan terhadap anggota keluarga penderita kusta.
3. Advokator
Pekerja sosial dalam hal ini akan bertugas untuk
memberikan perlindungan dan pembelaan,
terutama terhadap keluarga dan hak-hak penderita kusta yang tidak didapatkan sehingga mereka berada pada posisi yang dirugikan
4. Broker
Dalam hal ini pekerja sosial bertugas sebagai
penghubung dengan memberikan
informasi-informasi yang diperlukan oleh kepala keluarga, agar dapat menghubungkan kepala keluarga dengan sistem sumber yang diperlukan.
39
5. Pendampingan (Fasilitator)
Dalam hal ini pekerja sosial bertugas untuk memberikan pendampingan kepada keluarga agar penderita kusta dapat menjalankan peran sosial
serta memberikan kesempatan untuk
mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Dengan melihat pemaparan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pekerja sosial merupakan praktisi yang dapat meningkatkan keberfungsian sosial khususnya bagi penderita kusta.
Penyakit kusta merupakan penyakit yang
menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak bahkan dapat menyebabkan pada kerusakan indera penglihatan. Orang-orang yang terkena penyakit kusta sebagian besar akan mengalami kecacatan fisik, dimana paling banyak penderita kusta adalah berubahnya kondisi fisik terutama pada tangan maupun kaki yang pada akhirnya menjadi cacat. Penyakit kusta memiliki dampak yang buruk bagi penderitanya mulai dari dampak pada fisik, dampak psikis yang membuat penderita kusta tidak percaya diri dan dampak sosial yang menyebabkan penderita kusta selalu mendapat stigma negaif. Masih banyak masyarakat yang memberikan stigma negatif kepada para penderita kusta, karena adanya perubahan fisik pada penderitanya yang membuat masyarakat merasa takut untuk berdekatan dengan penderita kusta.
40
Seoseorang yang masuk dalam masa dewasa muda seharusnya dapat hidup mandiri dan sudah mulai memiliki pasangan hidup, namun dalam hal ini penderita kusta yang masuk dalam masa dewasa muda masih belum memiliki pasangan hidup dan mendapatkan pekerjaan sehingga para penderita kusta masih tinggal bersama keluarga dan masih harus dibantu oleh kepala keluarga dalam melakukan aktivitas. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang memiliki tanggung jawab menjalankan fungsi-fungsinya, keluarga diharapkan menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi penderita kusta dan dapat memberikan rasa semangat dalam menjalani kehidupan, dengan adanya kasus ini penulis ingin mengetahui bagaimana dukungan keluarga terhadap anggota keluarga yang menderita kusta, karena bagaimanapun seseorang akan membutuhkan orang lain dalam menjalankan kehidupannya.
Dukungan sosial yang diberikan oleh kepala keluarga bagi penderita kusta sangat dibutuhkan terutama untuk menumbuhkan rasa percaya diri serta mengembalikan rasa semangat dalam menjalani kehidupannya. Dukungan sosial dibagi menjadi empat dimensi yaitu:
1. Dukungan Emosional
Dukungan emosional meliputi pemberian rasa nyaman, pemberian rasa dicintai dan pemberian rasa dipedulikan. Dukungan emosional dapat dikatakan sebagai bentuk dukungan yang membuat
41
individu agar lebih menerima kondisi dan dapat mengontrol emosi diri. Faktor yang melatar belakangi keluarga dalam memberikan dukungan emosional yaitu karena adanya faktor kebutuhan sosial yang dibutuhkan oleh penderita kusta. Dengan diberikannya dukungan emosional maka akan bermanfaat pada managemen stress penderita kusta dan merasa nyaman serta dicintai. Dengan kata lain dukungan emosional merupakan salah satu dukungan untuk membantu individu agar dapat menerima sekaligus mengontrol emosi diri individu tersebut.
2. Dukungan Penghargaan
Dukungan penghargaan yang diberikan oleh keluarga yaitu penilaian positif yang terjadi lewat ungkapan hormat (penghargaan). Dukungan penghargaan berbentuk pemberian motivasi, pemberian penghargaan positif berupa “Reward” dan perbandingan positif dengan individu lain. Faktor yang melatar belakangi keluarga dalam memberikan dukungan penghargaan yaitu karena adanya faktor kebutuhan sosial yang dibutuhkan oleh penderita kusta. Dukungan penghargaan membuat penderita kusta merasa lebih dihargai. 3. Dukungan Instrumental
Bentuk dukungan ini mencakup bantuan langsung dan nyata yang berupa materi atau jasa contohnya
42
memberikan pinjaman uang kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau menolong seseorang saat mengalami stress. Dalam dukungan instrumental yaitu mencakup bantuan materi yaitu pemberian uang, pemberian barang, pemberian makan, dan pemberian pelayanan. Faktor yang melatar belakangi keluarga memberikan dukungan yaitu faktor kebutuhan fisik yang dibutuhkan oleh penderita kusta. Dukungan instrumental akan bermanfaat pada kesehatan fisik penderita kusta.
4. Dukungan Informatif
Bentuk dukungan ini yaitu mencakup pemberian informasi (bantuan medis) dan pemberian saran mengenai kondisi individu serta apa yang dapat dilakukannya. Faktor yang melatar belakangi keluarga memberikan dukungan informatif pada penderita kusta agar penderita kusta mendapatkan solusi mengenai pengobatannya serta mendapatkan saran yang terbaik dari keluarganya.
Dalam pemberian dukungan sosial yang diberikan oleh kepala keluarga terhadap penderita kusta, dimana pengobatan penderita kusta membutuhkan waktu kurang lebih satu sampai dua tahun, maka kepala keluarga harus dapat memahami mengenai penyakit kusta dan memahami kondisi anggota keluarga yang menderita penyakit kusta, mulai dari cara pengobatan, kondisi psikis
43
maupun kondisi sosialnya, hal itu akan berpengaruh pada cara kepala keluarga memberikan dukungan sosial kepada penderita kusta. Para penderita kusta memiliki berbagai macam dampak, mulai dari dampak fisik, dampak psikis, dan dampak sosial. Sehingga peran dari kepala keluarga dalam memberikan dukungan sosial sangat dibutuhkan agar penderita kusta mampu mengembalikan keberfungsian sosialnya.
Kegiatan pekerjaan sosial layaknya profesional lain, dimana pekerjaan sosial merupakan kegiatan pertolongan (helping action). Namun konsep dari pekerjaan sosial sendiri berbeda dengan profesi-profesi lain, konsep pertolongan pekerjaan sosial yaitu menolong orang agar orang tersebut mampu menolong dirinya sendiri (help people to help themselves). Pekerjaan sosial membantu seseorang maupun kelompok untuk memahami kondisi
yang dihadapi dengan cara meningkatkan
kemampuannya dan mengaitkan pada sistem sumber yang ada, sehingga pekerjaan sosial tidak hanya menangani seseorang akan tetapi yang berkaitan dengan sistem sumber yang ada.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan salah satu konsep dalam pekerjaan sosial yaitu family based service atau pelayanan sosial berbasis keluarga, dimana dalam pelayanan ini keluarga dijadikan sebagai sasaran atau media utama pelayanan. Melalui kerangka pemikiran atau alur pemikiran ini, dapat ditarik sebuah proposisi bahwa penelitian ini akan menggambarkan bagaimana
44
keluarga memberikan dukungan sosial bagi penderita kusta. Dukungan sosial yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu bagaimana keluarga memberikan dukungan
emosional, dukungan penghargaan, dukungan
instrumental dan dukungan informatif bagi penderita kusta agar dapat membantu penderita kusta dalam menghadapi permasalahannya sehingga keberfungsian sosial penderita kusta akan berjalan kembali. Untuk dapat dirinci lebih jelas, berikut penulis gambarkan dalam sebuah diagram:
Gambar 2.1 Alur Kerangka Pemikiran
Permasalahan bagi penderita Kusta:
1. Fisik 2. Psikis 3. Sosial
Dukungan keluarga bagi penderita kusta a. Dukungan Emosional b. Dukungan Penghargaan c. Dukungan Instrumental d. Dukungan Informatif Meningkatkan Keberfungsian Sosial Penderita Kusta
45
Kajian dalam buku ini dilaksanakan dengan bersandar pada batasa berikut, bahwa:
1. Penderita kusta yang dimaksud dalam kajian ini adalah mereka yang tinggal di Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Mereka adalah yang terkena penyakit kusta telah memiliki dampak yang buruk bagi penderitanya mulai dari dampak pada fisik, dampak psikis yang membuat penderita kusta tidak percaya diri dan dampak sosial yang menyebabkan penderita kusta selalu mendapat stigma negatif dari masyarakat.
2. Keluarga penderita kusta merupakan suatu keluarga dimana salah satu anggota keluarga didalamnya menderita penyakit kusta dan membutuhkan dukungan dari kepala keluarga dalam menjalankan kehidupan sehari-hari di Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Dukungan keluarga adalah dukungan yang diberikan meliputi: dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental dan dukungan informatif yang diberikan pada penderita kusta.
Selanjutnya fokus kajian lebih diarahkan pada dukungan keluarga yaitu ukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental dan dukungan informatif dengan rincian pada aspek berikut:
46 Dimensi Dukungan Sosial Aspek 1. Dukungan Emosional
a. Pemberian rasa nyaman b. Pemberian perasaan dicintai c. Pemberian perasaan dipedulikan
2. Dukungan Penghargaan
a. Pemberian motivasi
b. Pemberian penghargaan positif berupa “Reward”
c. perbandingan positif dengan individu lain 3. Dukungan Instrumental a. Pemberian uang b. Pemberian barang c. Pemberian makan d. pemberian pelayanan 4. Dukungan Informatif
a. Pemberian informasi mengenai bantuan medis
47
METODE KAJIAN
Pendekatan dan Teknik
Penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan Dukungan keluarga bagi penderita kusta. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dipilih karena pendekatan ini dapat menggambarkan dan menjelaskan secara detail mengenai dukungan keluarga bagi penderita kusta. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif maka peneliti dapat berkomunikasi secara langsung dengan sehingga dapat mengetahui lebih mendalam bagaimana Dukungan keluarga seperti dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental dan dukungan informatif. Menurut Patilima, 2005 (dalam Rustanto, 2015) metode kualitatif merupakan proses investigasi, secara bertahap peneliti berusaha memahami fenomena sosial
dengan membedakan, membandingkan, meniru,
mengatalogkan, dan mengelompokkan objek studi. Peneliti dunia infoeman dan melakukan interaksi terus-menerus dan mencari sudut pandang. Teknik studi kasus, merupakan teknik yang digunakan dalam penelitian agar memperoleh gambaran utuh penderita kusta dan keluarga penderita kusta itu sendiri.
48 Sumber Data
Keluarga penderita kusta untuk dan pada penelitian ini yang dipilih adalah keluarga, dan keluarga merupakan sumber utama bagi penderita kusta untuk mendapatkan dukungan sosial. Selain itu juga tetangga lingkungan terdekat menjadi sumber data. Selanjutnya adalah pihak Puskesmas yang menangani penyakit kusta sebagai, karena lebih mengetahui mengenai penyakit kusta dan pasien-pasien kusta yang ada di Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon.
Teknik Pengumpulan Data
Untuk data primer, teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan observasi kepada sumber informasi. Sedangkan untuk data sekunder, dengan studi dokumentasi dan pustaka yang relevan dengan kajian ini. Studi kepustakaan yakni berkaitan dengan pencarian data melalui artikel, jurnal, buku, yang berkaitan dengan Dukungan keluarga bagi penderita kusta. Studi dokumentasi dapat berguna sebagai pelengkap informasi yang didapat dari hasil wawancara dan pada observasi di lapangan dan sturdi dokumentasi dapat dilakukan untuk mengetahui peristiwa-peristiwa maupun kegiatan yang telah terjadi terkait dukungan sosial bagi penderita kusta baik berupa foto, laporan maupun catatan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
49 Instrumen Pengumpulan Data
Adapun instrumen pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara, dan pedoman observasi. Kemudian alat bantu dipakai juga dimanfaatkan untuk mendukung riset ini. Pedoman wawancara digunakan untuk membantu peneliti dalam memperoleh data yang sistematis dan terstruktur dalam proses penggalian informasi terkait Dukungan keluarga bagi penderita kusta di Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Sedangkan pedoman observasi digunakan dengan tujuan agar dapat menghasilkan sebuah catatan lapangan yang tepat mengenai kejadian dan situasi lapangan terkait dukungan keluarga.
Alat bantu. Alat bantu yang digunakan dalam proses penelitian ini yakni berupa perekam suara dan kamera untuk mendokumentasikan hal yang dianggap penting dan dibutuhkan untuk menunjang data riset. Selain itu, alat bantu perekam suara digunakan sebagai alat bantu pengingat bagi peneliti dalam proses penggalian informasi melalui wawancara.
Pengolahan dan Analisis Data
Analisis data adalah proses penyederhanaan data dan penyajian data dengan mengelompokkannya dalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasikan, oleh Miles dan Huberman (1992). Sebelum melakukan analisis
50
data ini diperlukan teknik pengolahan data. Pengolahan data akan menentukan bagaimana hasil analisis dari data yang bersangkutan. Dalam pengolahan dan analisis data ini menurut Moleong (2007) terdapat tiga langkah pengolahan data kualitatif yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan dan verifikasi. Ketiga langkah tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Reduksi data
Dalam proses pengumpulan data, reduksi data dalam hal ini digunakan dengan membuat catatan penelitian, ringkasan data, hingga kategorisasi data yang dianggap sesuai dengan data yang dibutuhkan terkait dengan Dukungan keluarga bagi penderita kusta di Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon.
2. Penyajian data, mengorganisisasi dan menyusun informasi
Setelah melakukan proses pereduksian data, selanjutnya disajikan data yang komprehensif terkait Dukungan keluarga bagi penderita kusta di Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon.
3. Penarikan kesimpulan dan verifikasi
Dalam proses ini peneliti melakukan pembandingan, pencatatan, serta pengelompokan data sesuai dengan pola dan tema yang telah ditentukan untuk menarik
51
kesimpulan terkait Dukungan keluarga bagi penderita kusta di Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon karena masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui betul menganai penyakit kusta dan mantan penderita kusta masih sering mendapatkan diskriminasi dari masyarakat. Waktu penelitian dilakukan selama enam bulan, dari awal September 2019 – hingga Februari 2020.
52
KEHIDUPAN
PENDERITA KUSTA:
KASUS KELUARGA DI KOTA CIREBON
Gambaran Lokasi
Dalam bagian ini akan digambarkan bagaimana kehidupan penderita kusta dalam kesehariannya. Termasuk juga bagaimana dukungan yang diberikan oleh keluarga bagi penderita kusta, dengan lokasi di Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon.
Penderita kusta di Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon memiliki mata pencaharian yang bekerja sebagai buruh bangunan, dan ada yang masih belum bekerja. Kelurahan Argasunya menjadi salah satu tempat yang dijadikan sebagai tambang pasir dan batu yang digunakan untuk bangunan, terkadang penderita kusta yang menjadi buruh bangunan ikut menjadi penambang pasir dan batu untuk menambah pemasukan ekonomi keluarganya. Keadaan lokasi di sekitar rumah penderita kusta layaknya berada di perdesaan, padahal secara administratif Kelurahan Argasunya sendiri masuk dalam wilayah pemerintahan Kota Cirebon.
53
Tabel Jumlah Penderita Kusta Baru dan Penderita Kusta Sembuh di Kota Cirebon
Tahun Jumlah
Kusta Penderita Baru DinyatakJumlah an
Penderita
Sembuh Keterangan
MB PB MB PB MB PB
2013 10 4 9 4 Sembuh pada tahun 2015.
1 orang tidak melanjutkan pengobatan
Sembuh pada tahun 2014
2014 8 - 6 Sembuh pada tahun 2016.
1 orang pindah. 1 orang tidak melanjutakan pengobatan
-
2015 14 3 11 1 Sembuh pada tahun 2017.
2 orang meninggal. 1 orang tidak melanjutkan
pengobatan Sembuh pada tahun 2016. 1 orang meninggal. 1 orang tidak melanjutkan pengobatan
2016 18 1 17 1 Sembuh pada tahun 2018.
1 orang tidak melanjutkan pengobatan
Sembuh pada tahun 2017
2017 16 1 14 1 Sembuh pada tahun 2019.
1 orang meninggal. 1 orang tidak melanjutkan
pengobatan
Sembuh pada tahun 2018
2018 14 1 14 1 Sembuh pada tahun 2019 Sembuh pada tahun 2019 2019 11 1 - - Masih dalam proses pengobatan proses pengobatan Masih dalam
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Cirebon, 2019
Di Kota Cirebon dan di Kelurahan Argasunya jumlah penderita kusta setiap tahunnya mengalami fluktuatif,
54
jumlah tersebut dapat dilihat dari tabel yang berisi jumlah penderita di Kota Cirebon dari tahun ke tahun, yaitu sebagai berikut:
Tabel Jumlah Penderita Kusta Di Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon
Tahun Jumlah Penderita Kusta
Usia
2015 1 orang 44 tahun
2016 1 orang 51 tahun
2017 2 orang 47 dan 60 tahun
2018 5 orang 52, 46, 20, 30,dan 21 tahun
2019 1 orang 60 tahun
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Cirebon, 2019
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa terjadi fluktuatif pada jumlah penderita kusta di Kota Cirebon dan di Kelurahan Argasunya. Pada tahun 2018 pengobatan bagi penderita kusta MB menjadi satu tahun. Hal ini sesuai dengan peraturan yang telah di tetapkan oleh WHO. Walaupun mengalami fluktuatif dan sudah dikatakan sembuh dalam masa pengobatan tetap saja penderita kusta memiliki cukup banyak masalah yang harus dihadapi, seperti masalah fisik, masalah psikis dan masalah sosial yang sulit dihilangkan dari masayarakat yaitu adanya stigma negatif mengenai penderita kusta,
55
dikucilkannya penderita kusta oleh masyarakat sekitar, dan sulitnya penderita kusta untuk mendapatkan lapangan pekerjaan, bahkan adapula penderita kusta yang dikucilkan oleh keluarganya sendiri karena anggota keluarga merasa takut adanya penularan penyakit kusta kepada anggota keluarga lainnya sehingga penderita kusta harus merawat dirinya sendiri, dengan adanya permasalahan tersebut maka banyak penderita kusta yang pada akhirnya muncul keputusasaan untuk melanjutkan hidupnya. Dalam penelitian Soenoe (2017) terdapat beberapa kasus diskriminasi atau adanya pemberian kesempatan yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya pada penderita kusta, contohnya saat menjalin hubungan dengan masyarakat, sempat merasakan takut dan sedih karena sikap masyarakat yang menjauhinya. Namun dengan adanya hal itu penderita kusta menjalani penyesuaian diri dengan mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan individu yaitu dengan mengubah diri dengan keadaan lingkungannya. Pada kasus yang kedua masyarakat yang ada disekitarnya memberikan stigma dan diskriminasi terhadap penderita kusta yang pada akhirnya penderita kusta tersebut tidak percaya lagi dengan masyarakat yang ingin membantunya karena penderita kusta tersebut beranggapan bahwa masyarakat yang ingin membantunya tidak ikhlas, dengan adanya penolakan dari masyarakat menjadi hambatan tersendiri bagi penderita kusta tersebut dan juga keluarganya dalam proses penyesuaian. Jika melihat contoh kasus tersebut maka dukungan keluarga sangat dibutuhkan dalam
56
menjalani kehidupan bagi penderita kusta, dimana keluarga akan memberikan rasa aman dan juga memberikan motivasi untuk kehidupan penderita kusta.