• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAUT WILAYAH DI BAGIAN TIMUR SELAT SINGAPURA

C. Dampak Perjanjian Garis Batas Laut Wilayah di Bagian Timur Selat Singapura bagi Indonesia

.

Ditandatanganinya perjanjian ini menjadi angin segar bagi Indonesia, guna menindaklanjuti kepastian hukum perbatasan Indonesia khususnya dengan Singapura. Perjanjian yang berjudul Treaty between the Republic of Indonesia and the Republic of Singapore Relating to the Delimitating of the Territorial seas of the Two Countries in the Eastern Part Of The Strait of Singapore ditandatangani pada 3 September 2014. Traktat ini berisi pengesahan perjanjian diplomatik antara Indonesia dengan Singapura, yang merupakan tindak lanjut dari Perjanjian Bilateral yang telah ditandatangani sebelumnya, yaitu pada 25 Mei 1973 dan 10 Maret 2009 tentang batas wilayah kedua negara di Selat Singapura.

Penandatangan Perjanjian Penetapan Garis Batas Wilayah antara Indonesia dan Singapura di bagian Timur Selat Singapura, dinilai oleh Menteri Luar Negeri saat itu, Marty Natalegawa, akan memberikan kepastian atas batas wilayah kedua negara di Selat Singapura dan mempererat hubungan bilateral serta mendorong

110

Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan hak Asasi Manusia, Laporan Akhir : Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Perjanjian antara epublik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas laut Wilayah Kedua Negara di Bagian Timur Selat Singapura, 2015, hal. 52

kerja sama kedua negara di berbagai bidang, termasuk dalam pengelolaan kawasan perbatasan111

Perjanjian tersebut akan memberikan manfaat nyata bagi Indonesia dan Singapura dalam memelihara kedaulatan dan menegakkan hukum di wilayah perairan kedua negara dan dalam meningkatkan kerja sama di bidang keselamatan pelayaran, kelautan dan perikanan, serta penanggulangan kejahatan lintas batas di Selat Singapura

.

112

. Menurut Staf Khusus Presiden di bidang Hubungan Internasional, Teuku Faizasyah, penyelesaian negosiasi batas laut wilayah Indonesia dan Singapura dapat menjadi rujukan bagi penyelesaian sengketa perbatasan di antara negara-negara di kawasan yang dilakukan secara damai dengan menggunakan prinsip hukum laut internasional113

Indonesia memiliki perbatasan maritim dengan 10 (sepuluh) negara yaitu, dengan India (landas Kontingen, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)), Thailand (Landas Kontingen, ZEE), Malaysia (Laut Wilayah, ZEE, Landas Kontingen), Singapura

.

Dengan demikian, permasalahan perbatasan laut Indonesia dengan Singapura pada titik tersebut tidak lagi menjadi polemik yang bisa menimbulkan konflik. Namun demikian masih ada beberapa titik perbatasan yang belum disepakati yakni dan masih terbuka peluang terjadinya konflik kedua negara.

111

Didik Pambudi, Perundingan Batas laut RI-Singapura Berlangsung Tiga Tahun,

diakses tanggal 15 agustus 2016

112

Ervan Hardoko, RI-Singapura Sepakati Batas wilayah Laut Bagian Timur,

113

Fidel Ali Permana, Perjanjian Batas Laut RI-Singapura Bisa Jadi Rujukan Penyelesaian

Sengketa Perbatasan,

(Laut Wilayah), Vietnam ( Landas Kontingen, ZEE), Filipina (ZEE, Landas Kontingen), Palau (ZEE, Landas Kontingen), Papua Nugini (ZEE, Landas Kontingen), Timor Leste (Laut Wilayah, Landas Kontingen, ZEE), dan Australia (ZEE, Landas Kontingen). Dan menurut Teuku Faizasyah, dari sejumlah perbatasan itu, Indonesia baru menyelesaikan sebagian penetapan batas maritim dengan India (Landas Kontingen), Thailand (Landas Kontingen), Malaysia (sebagian Laut Wilayah, Landas Kontingen), Singapura (sebagian Laut Wilayah), Vietnam (Landas Kontingen), Filipina (ZEE), Papua Nugini (ZEE, Landas Kontingen), dan Australia (ZEE, Landas Kontingen)114

114

Ibid.

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Konsep Kedaulatan Negara secara garis besar dapat dibagi tiga, yakni kedaulatan eksternal, kedaulatan internal dan kedalatan teritorial. Kedaulatan teritorial suatu negara mencakup tiga dimensi, yaitu darat, udara dan laut. Dalam penetapan batas wilayah, suatu Negara harus memperhatikan kepentingan Negara lain yang berbatasan. Berkaitan dengan masalah perbatasan antar Negara di wilayah laut, salah satu hal menarik adalah adanya suatu rezim yang baru diatur dalam UNCLOS 1982, yaitu rezim Negara Kepulauan (Archipelagic State). Untuk bisa menerapkan penguasaan kedaulatan atau hak berdaulat di perbatasan wilayah perairan antarnegara, suatu Negara pantai harus menentukan batas masing-masing zona maritim bagi negaranya. Peran dan fungsi hukum internasional adalah untuk memberikan kepastian hukum dan batasan yang jelas tentang hak dan kewajiban pada masing-masing Negara yang berbatasan di wilayah laut. 2. Penetapan garis batas laut wilayah Indonesia dengan Singapura di Selat

Singapura telah dimulai sejak tahun 1971. Urgensi dari diselenggarakannya perjanjian ini adalah karena Selat Singapura merupakan kelanjutan dari Selat Malaka yang memiliki tingkat pelayaran internasional yang tinggi. Perundingan ini berakhir di tahun 1973 yang menghasilkan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis

Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Selat Singapura atau dengan nama resmi Treaty between the Republic of Indonesia and the Republic of Singapore Relating to the Delimitating of the Territorial seas of the Two Countries in the Strait of Singapore. Perundingan ini berhasil menentukan batas maritim bagian tengah yang berupa garis lurus yang ditarik dari 6 (enam) titik yang titik koordinatnya telah disepakatai kedua Negara dan juga menetapkan Pulau Nipah sebagai median line Indonesia-Singapura. Perjanjian ini menyisakan dua bagian yang belum di sepakati, yakni bagian Barat dan bagian timur (timur 1, Batam - Changi, dan timur 2, South Ledge - Middle Rock - Pedra Branca, yang harus disepakati kedua Negara bersama dengan Malaysia). Perjanjian ini telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1973. Perjanjian penetapan berikutnya berhasil disepakati tahun 2009. Perjanjian ini berisi penetapan perbatasan di bagian barat Selat Singapura. Dalam perjanjian ini disepakati jarak antara garis pangkal kepulauan Indonesia dengan garis batas kesepakatan yakni sepanjang 3950 m dan jarak antara hasil reklamasi (Singapura) dengan batas kesepakatan sepanjang 1900 m. Terdapat 4 (empat) titik yang disepakati dalam perjanjian ini dan titik-titk tersebut menambah panjang perbatasan laut territorial Indonesia dengan Singapura di bagian barat Selat Singapura. Perjanjian ini juga telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2010. Sebagai kelanjutan dari perundingan di tahun 1973 dan tahun 2009, pemerintah Indonesia kemudian kembali mengadakan perundingan dengan Singapura. Tahun 2014, kedua Negara akhirnya menyelesaikan

penetapan perbatasan di bagian timur Selat Singapura (Batam-Changi). Namun, hingga saat ini perjanjian ini belum diratifikasi ke dalam peraturan nasional. Dengan disepakatinya ketiga bagian perbatasan garis batas laut wilayah kedua Negara di Selat Singapura, perbatasan Indonesia dengan Singapura tinggal menyisakan satu bagian lagi, yaitu bagian timur 2, yang ditangguhkan karena harus disepakati bersama dengan Malaysia.

3. Dalam upaya memperjelas eksistensi batas wilayah Indonesia dengan Singapura, pemerintah Indonesia telah mengupayakan kesepakatan dengan pemerintah Singapura melalui perundingan bilateral. Hasilnya adalah ketiga perbatasan yang langsung dengan Singapura di Selat Singapura telah diselesaikan, yaitu di bagian tengah, barat dan timur (Batam-Changi) telah disepakati dengan perjanjian internasional. Dalam melaksanakan perjanjian-perjanjian internasional, Indonesia menganut prinsip primat hukum nasional, yang berarti bahwa Hukum Nasional mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada hukum Internasional. Pengesahan perjanjian internasional menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dilakukan melalui undang-undang apabila berkenaan dengan masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan Negara; perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; kedaulatan atau hak berdaulat negara; hak asasi manusia dan lingkungan hidup; pembentukan kaidah hukum baru; pinjaman dan / atau hibah luar negeri. Perjanjian bilateral antara Indonesia dengan Singapura ini menyangkut masalah perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah

negara Republik Indonesia dan juga menyangkut masalah kedaulatan atau hak berdaulat negara, maka sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, Perjanjian Penetapan Garis Batas Laut Wilayah di Bagian Timur Selat Singapura ini harus disahkan melalui undang-undang. Hal ini berarti bahwa pemberlakuan Perjanjian Internasional ke dalam hukum nasional Indonesia tidaklah serta-merta. Perjanjian tersebut harus terlebih dahulu dituangkan ke dalam hukum nasional Indonesia melalui proses ratifikasi agar memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Untuk itu, agar perjanjian ini mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat, pemerintah harus segera meratifikasi perjanjian ini ke dalam peraturan nasional serta segera menerbitkan titik-titik koordinat pulau-pulau terluar NKRI. Untuk menindaklanjuti pengaturan dalam upaya menjamin kepastian hukum eksistensi batas wilayah Indonesia dengan Singapura, pemerintah melalui Badan Pembinaan hukum Nasional (BPHN) memang telah membuat naskah rancangan undang-undang untuk meratifikasi perjanjian ini ke dalam peraturan nasional. Di dalam Laporan Akhir Naskah Rancangan Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa besar harapan sekiranya Rancangan Undang-Undang Pengesahan Perjanjian tersebut dapat masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2015 Kumulatif Terbuka.

B. SARAN

1. Kedaulatan Negara, khususnya atas wilayah laut telah cukup diatur pengaturannya dalam hukum internasional melalui Konvensi Hukum Laut

1982 yang berfungsi memberikan kepastian hukum dan batasan yang jelas tentang hak dan kewajiban pada masing-masing Negara yang berbatasan di wilayah laut. Namun, masih banyak wilayah-wilayah laut yang belum jelas batas-batasnya, menyebabkan terjadinya sengketa antarnegara yang saling klaim atas suatu wilayah. Maka dari itu diperlukan adanya inisiatif dari Negara-negara untuk menetapkan batas wilayahnya dengan cara yang sah menurut hukum internasional dan juga kesadaran diri Negara untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap batas kedaulatan yang telah ditetapkan menurut hukum internasional sehingga mencegah timbulnya sengketa atau gugatan hukum dari Negara yang merasa dirugikan di kemudian hari.

2. Aspek yang perlu diperhatikan menyangkut perbatasan Indonesia dan Singapura di Selat Singapura adalah aspek hukum dan aspek pengelolaan. Aspek hukum menyangkut bagaimana batas-batas Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki dasar hukum yang jelas dan kuat. Dasar hukum tersebut dikeluarkan oleh pemerintah dalam bentuk ratifikasi dari perjanjian yang telah disepakati maupun peraturan perundang-undangan yang sudah ada dituangkan dalam bentuk peraturan pelaksananya PP, Kepres, KepMen dan sebagainya. Sedangkan aspek pengelolaan menyangkut bagaimana wilayah perbatasan Negara dikelola dengan suatu kebijakan yang jelas dan terarah. Dua aspek tersebut bersifat saling menguatkan sehingga tidak dapat dipisahkan dalam pelaksanaanya. Tanpa adanya payung hukum yang jelas dan kuat terhadap wilayah perbatasan, pengelolaan yang dilakukan dapat menjadi sia-sia.

3. Perbatasan di bagian timur 2 Selat Singapura (South Ledge – Middle Rock – Pedra Branca) antara Singapura – Indonesia – Malaysia merupakan suatu hal yang perlu segera diselesaikan dalam jangka waktu tertentu. Untuk mewujudkan Indonesia sebagai Negara maritim yang kuat, Indonesia harusnya lebih proaktif dalam penyelesaian batas laut dengan Negara tetangga. Oleh karena itu merintis segera dilakukannya perjanjian penetapan garis batas laut wilayah oleh pemerintah Singapura, Indonesia, dan Malaysia. Sambil menunggu tercapainya persetujuan perbatasan, pihak-pihak harus memanfaatkan sumberdaya alam dalam kerjasama di wilayah perbatasan.

Dokumen terkait