• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.4. Kriteria Ekonomi

5.4.1. Dampak Pertumbuhan Ekonomi di Sektor

Berdasarkan model dan analisis data yang didapat, adanya hubungan yang tidak signifikan dengan model Environmental Kuznets Curve (EKC) antara emisi CO2 dengan pendapatan di sektor pertanian. Model regresi kuadratik:

Berdasarkan model kuadratik yang didapat (Tabel 5.1), persamaan akan membentuk kurva-U dengan titik balik minimum GDP pertanian sebesar -3,64 miliar US$, namun GDP pertanian selalu lebih besar dari nol maka nilai terkecil dari emisi CO2 adalah pada saat GDP pertanian sama dengan nol sehingga peningkatan GDP pertanian selalu memiliki efek positif dan meningkatkan emisi CO2.

Berdasarkan persamaan tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian memiliki increasing effect pada emisi CO2. Sebagai contoh ketika GDP pertanian sebesar 100 miliar US$ maka emisi CO2 diprediksi meningkat dari tahun sebelumnya sekitar (0.669943 + 2 (9.19e-05) (10e+4)) ≈ 19.05 kilotonne dan ketika GDP pertanian sebesar 1000 miliar US$ maka emisi CO2 diprediksi akan tetap meningkat dari tahun sebelumnya dengan peningkatan yang semakin besar sekitar (0.669943 + 2 (9.19e-05) (10e+5)) ≈ 184.47

kilotonne, dan akan terus meningkat dengan peningkatan yang semakin besar

seiring pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian. Berdasarkan dampak individu yang dapat dilihat melalui nilai cross section effects (Tabel 5.4), pertumbuhan ekonomi tiga negara yang memiliki dampak terbesar terhadap emisi CO2 yaitu Amerika Serikat, Cina, dan United Kingdom.

Menurut Hairah (2005) dalam Minardi (2009), semakin intensif suatu sistem penggunaan lahan maka semakin rendah cadangan Cnya. Konversi ekosistem alami menjadi lahan pertanian biasanya menyebabkan penurunan cadangan C dan selanjutnya akan mempengaruhi biodiversitas dalam tanah. Pembukaan lahan dengan menebangi pohon-pohon ikut meningkatkan jumlah CO2 karena menurunkan penyerapan CO2, dan dekomposisi dari tumbuhan yang

telah mati juga meningkatkan jumlah CO2. Menurut Knorr et al (2005) dalam Minardi (2009) menyatakan bahwa peningkatan suhu yang ditimbulkan oleh perubahan fungsi ekosistem akan menyebabkan mikroorganisme tanah lebih cepat dalam menguraikan bahan organik serta melepaskan karbondioksida (CO2). Penjelasan tersebut dapat menjelaskan penyebab peningkatan pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian selalu memiliki efek positif dan meningkatkan emisi CO2 dengan pendekatan efek skala pada sektor pertanian.

Semakin besar GDP pertanian menandakan semakin besar skala ekonomi pada sektor pertanian dan semakin menuju pertanian generatif. Tahapan pembangunan pertanian berawal dari pertanian ekstraktif, yaitu pertanian yang dilakukan dengan hanya mengambil atau mengumpulkan hasil alam tanpa upaya reproduksi, menuju pertanian generatif yaitu corak pertanian yang memerlukan usaha pembibitan atau pembenihan, pengolahan, pemeliharaan dan tindakan agronomis lainnya. Semakin besar skala ekonomi pada sektor pertanian dan semakin menuju pertanian generatif maka semakin maraknya pembukaan lahan pertanian seperti menebangi hutan untuk perkebunan kelapa sawit serta semakin intensifnya pengelolaan lahan pertanian. Mekanisme ini dapat menjelaskan mengapa peningkatan pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian selalu memiliki efek positif dan meningkatkan emisi CO2 dengan pendekatan efek skala pada sektor pertanian, cateris paribus.

5.4.2. Dampak Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Pertanian Negara Berkembang dan Maju terhadap Emisi Nitrogen Oksida

Berdasarkan model dan analisis data yang didapat (Tabel 5.1), adanya hubungan yang tidak signifikan dengan model Environmental Kuznets Curve antara emisi N2O dengan pendapatan di sektor pertanian. Model regresi kuadratik: N2O = 157.8713 + 0.003961GDPP + 4.05e-09GDPP2 ... (2)

Berdasarkan model kuadratik yang didapat, persamaan akan membentuk kurva-U dengan titik balik minimum GDP pertanian sebesar -489 miliar US$, namun GDP pertanian selalu lebih besar dari nol maka nilai terkecil dari emisi N2O adalah pada saat GDP pertanian sama dengan nol sehingga peningkatan GDP pertanian selalu memiliki efek positif dan meningkatkan emisi N2O.

Berdasarkan persamaan tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian memiliki increasing effect pada emisi N2O. Sebagai contoh ketika GDP pertanian sebesar 100 miliar US$ maka emisi N2O diprediksi meningkat dari tahun sebelumnya sekitar (0.003961 + 2 (4.05e-09) (10e+04)) ≈ 0.00477 kilotonne dan ketika GDP pertanian sebesar 1000 miliar US$ maka emisi N2O diprediksi akan tetap meningkat dari tahun sebelumnya dengan peningkatan yang semakin besar sekitar (0.003961 + 2 (4.05e-09) (10e+05)) ≈ 0.01206

kilotonne, dan akan terus meningkat dengan peningkatan yang semakin besar

seiring pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian. Berdasarkan dampak individu yang dapat dilihat melalui nilai cross section effects (Tabel 5.4), tiga negara yang memiliki dampak terbesar terhadap emisi N2O yaitu Amerika Serikat, Cina, dan Brasil.

Menurut Minardi (2009), pengelolaan lahan untuk pertanian menjadi sumber emisi N2O dengan mekanisme pelepasan atom N untuk bereaksi dengan

udara. Tingkat emisi N2O ini akan meningkat apabila kegiatan pengolahan tanah pada budidaya pertanian tersebut dipupuk dengan pupuk nitrogen seperti urea, walaupun pupuk organik bila berlebihan dapat pula meningkatkan masukan hara nitrogen pada tanah. Penjelasan tersebut dapat menjelaskan penyebab peningkatan pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian selalu memiliki efek positif dan meningkatkan emisi N2O.

Semakin besar GDP pertanian menandakan semakin besar skala ekonomi

pada sektor pertanian dan semakin besar output pertanian. Semakin besar output pertanian menandakan semakin intensifnya pengelolaan lahan untuk pertanian. Mekanisme ini dapat menjelaskan mengapa peningkatan pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian selalu memiliki efek positif dan meningkatkan emisi N2O, cateris

paribus.

5.4.3. Dampak Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Pertanian Negara Berkembang dan Maju terhadap Emisi Metana

Berdasarkan model dan analisis data yang didapat (Tabel 5.1), adanya hubungan yang tidak signifikan dengan model Environmental Kuznets Curve antara emisi CH4 dengan pendapatan di sektor pertanian. Hasil regresi model kuadratik :

CH4 = 8777.112 - 0.035092GDPP + 5.64e-07GDPP2 ... (3) Berdasarkan model kuadratik yang didapat, persamaan akan membentuk kurva-U dengan titik balik minimum GDP pertanian sebesar 31,1 miliar US$ dimana tahap awal emisi CH4 mengalami penurunan seiring dengan pembangunan ekonomi di sektor pertanian. Namun pengaruh dari peningkatan pendapatan dari

sektor pertanian terhadap peningkatan emisi CH4 akan berubah mencapai titik balik pertama yaitu GDP pertanian sebesar 31,1 miliar US$.

Setelah melewati titik balik pertama, maka pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan peningkatan pendapatan dari sektor pertanian akan membawa dampak yang buruk bagi lingkungan, yaitu peningkatan tingkat emisi CH4. Berdasarkan titik balik yang didapat menunjukkan bahwa Indonesia, Cina, India, Brasil, Amerika Serikat, Jepang, dan Perancis dalam fase tumbuh melewati titik balik pertama pada kurva-U dan pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian akan dikaitkan ke kenaikkan emisi CH4. Sedangkan negara berkembang dan maju lainnya dalam fase awal menurun belum melewati titik balik pertama pada kurva-U dan pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian akan dikaitkan ke penurunan emisi CH4.

Berdasarkan persamaan tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian memiliki diminishing effect pada emisi CH4 sebelum melewati turning point dan increasing effect pada emisi CH4 setelah melewati

turning point. Sebagai contoh sebelum melewati turning point ketika GDP

pertanian sebesar 20 miliar US$ maka emisi CH4 diprediksi menurun dari tahun sebelumnya sekitar (-0.035092 + 2 (5.64e-07) (20e+3)) ≈ -0.0125 kilotonne dan ketika GDP pertanian sebesar 30 miliar US$ maka emisi CH4 diprediksi akan tetap menurun dari tahun sebelumnya dengan penurunan yang semakin kecil sekitar (-0.035092 + 2 (5.64e-07) (30e+3))≈ -0.00126 kilotonne, dan akan terus menurun dengan penurunan yang semakin kecil sampai turning point.

Setelah melewati turning point ketika GDP pertanian sebesar 40 miliar US$ maka emisi CH4 diprediksi meningkat dari tahun sebelumnya sekitar

(-0.035092 + 2 (5.64e-07) (40e+3)) ≈ 0.01 kilotonne dan ketika GDP pertanian sebesar 50 miliar US$ maka emisi CH4 diprediksi akan tetap meningkat dari tahun sebelumnya dengan peningkatan yang semakin besar sekitar (-0.035092 + 2 (5.64e-07) (50e+3)) ≈ 0.0213 kilotonne, dan akan terus meningkat dengan peningkatan yang semakin besar seiring pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian. Berdasarkan dampak individu yang dapat dilihat melalui nilai cross

section effects (Tabel 5.4), tiga negara yang memiliki dampak terbesar terhadap

emisi CH4 yaitu Cina, Amerika Serikat, dan India.

Menurut Minardi (2009) metana dihasilkan dari pembusukan limbah organik di tempat pembuangan sampah (landfill) dan budidaya padi sawah. Penjelasan tersebut dapat menjelaskan penyebab terbentuknya kurva-U dampak antara pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian terhadap CH4 dengan pendekatan efek skala pada sektor pertanian. Pada tahap awal ketika pendapatan pertanian sebelum titik balik pada kurva-U seperti apa yang dialami sebagian negara berkembang dan maju dalam sampel penelitian kecuali Indonesia, Cina, India, Brasil, Amerika Serikat, Jepang, dan Perancis, skala ekonomi pada sektor pertanian cenderung masih kecil. Negara yang sedang berkembang dan maju tersebut tidak mengeluarkan banyak output pertanian sehingga masih sedikitnya sampah organik yang dihasilkan oleh sektor pertanian dan lahan budidaya padi sawah cenderung berkurang akibat konversi lahan seiring dengan pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian. Pada tahap ini peningkatan emisi CH4 oleh sampah organik yang dihasilkan oleh sektor pertanian lebih kecil dibandingkan penurunan emisi CH4 oleh lahan budidaya padi sawah sehingga pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian akan dikaitkan ke penurunan emisi CH4.

Pada tahap selanjutnya ketika pendapatan pertanian sudah melewati titik balik seperti apa yang dialami Indonesia, Cina, India, Brasil, Amerika Serikat, Jepang, dan Perancis skala ekonomi pada sektor pertanian cenderung sudah besar. Indonesia, Cina, India, Brasil, Amerika Serikat, Jepang, dan Perancis mengeluarkan banyak output pertanian sehingga banyaknya sampah organik yang dihasilkan oleh sektor pertanian. Walaupun, lahan budidaya padi sawah cenderung berkurang akibat konversi lahan, pada tahap ini peningkatan emisi CH4 oleh sampah organik yang dihasilkan oleh sektor pertanian lebih besar dibandingkan penurunan emisi CH4 oleh lahan budidaya padi sawah. Mekanisme ini dapat menjelaskan mengapa emisi metana awalnya menurun kemudian meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian, cateris

paribus.

5.4.4. Dampak Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Industri Negara Berkembang dan Maju terhadap Emisi Karbondioksida

Berdasarkan model dan analisis data yang didapat (Tabel 5.1), adanya hubungan yang signifikan dengan model Environmental Kuznets Curve antara emisi CO2 dengan pendapatan di sektor industri. Model regresi kuadratik:

CO2 = -313656.6 + 4.959568GDPI - 1.10e-06GDPI2 ... (4) Berdasarkan model kuadratik yang didapat, persamaan akan membentuk kurva-U terbalik Environmental Kuznets Curve dengan titik balik maksimum GDP industri sebesar 2,25 triliun US$ dimana tahap awal emisi CO2 mengalami peningkatan yang cukup pesat seiring dengan pembangunan ekonomi di sektor industri. Namun pengaruh dari peningkatan pendapatan dari sektor industri

terhadap peningkatan emisi CO2 akan berubah ketika mencapai titik balik pertama yaitu GDP industri sebesar 2,25 triliun US$.

Setelah melewati titik balik pertama, maka pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan peningkatan pendapatan dari sektor industri akan membawa dampak yang baik bagi lingkungan, yaitu penurunan tingkat emisi CO2. Berdasarkan titik balik maksimum yang didapat menunjukkan bahwa semua negara dalam sampel baik negara berkembang maupun maju masih dalam fase awal tumbuh belum melewati titik balik pertama pada kurva EKC dan pertumbuhan ekonomi di sektor industri akan dikaitkan ke peningkatan emisi CO2.

Berdasarkan persamaan tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di sektor industri memiliki increasing effect pada emisi CO2 sebelum melewati turning point dan diminishing effect pada emisi CO2 setelah melewati

turning point. Sebagai contoh sebelum melewati turning point ketika GDP

industri sebesar 1 triliun US$ maka emisi CO2 diprediksi meningkat dari tahun sebelumnya sekitar (4.959568 + 2 (-1.10e-06) (10e+05)) ≈ 2.76 kilotonne dan ketika GDP industri sebesar 2 triliun US$ maka emisi CO2 diprediksi akan tetap meningkat dari tahun sebelumnya dengan peningkatan yang semakin kecil sekitar (4.959568 + 2 (-1.10e-06) (20e+05)) ≈ 0.56 kilotonne, dan akan terus meningkat dengan peningkatan yang semakin kecil sampai turning point. Berdasarkan dampak individu yang dapat dilihat melalui nilai cross section effects (Tabel 5.4), tiga negara yang memiliki dampak terbesar terhadap emisi CO2 yaitu Cina, India, dan Afrika Selatan.

Setelah melewati turning point ketika GDP industri sebesar 3 triliun US$ maka emisi CO2 diprediksi menurun dari tahun sebelumnya sekitar (4.959568 + 2 (-1.10e-06) (30e+05))≈ -1.64 kilotonne dan ketika GDP industri sebesar 4 triliun US$ maka emisi CO2 diprediksi akan tetap menurun dari tahun sebelumnya sekitar (4.959568 + 2 (-1.10e-06) (40e+05)) ≈ -3.84 kilotonne, dan akan terus menurun dengan penurunan yang semakin besar seiring pertumbuhan ekonomi di sektor industri.

Ada beberapa penyebab terjadinya hal ini yaitu salah satunya dengan pendekatan efek skala pada sektor industri. Pada tahap awal dari pertumbuhan ekonomi di sektor industri, karbondioksida secara umum meningkat karena tidak ada kebijakan dan regulasi yang diimplementasikan pada sektor industri seperti apa yang dialami semua negara berkembang dan maju dalam sampel. Hal ini terjadi karena tujuan dari pertumbuhan pada tahap ini, yaitu peningkatan output dengan penggunaan sejumlah besar sumber alam atau yang berasal dari lingkungan. Lebih dari itu, sektor industri cenderung berfokus pada peningkatan pendapatan perusahaannya saja dengan mengabaikan permasalahan lingkungan. Dengan kata lain, pada tahap pertumbuhan ini memperlihatkan suatu efek skala pada lingkungan karena peningkatan pada produksi ekonomi menghasilkan lebih banyak polusi dan degradasi lingkungan.

Dalam tahap pertumbuhan selanjutnya, bila sektor industri mulai menikmati pendapatan perusahaannya yang lebih besar, maka pilihan-pilihan mereka akan berubah menuju pada pemeliharaan lingkungan. Dengan kata lain, perusahaan akan lebih memperhatikan emisi karbondioksida dimana mereka menunjukkan suatu kesediaan membayar biaya yang akan dikeluarkan untuk

menurunkan emisi karbondioksida. Mekanisme ini dapat menjelaskan mengapa emisi karbondioksida awalnya meningkat kemudian menurun seiring dengan pertumbuhan ekonomi di sektor industri, cateris paribus.

Hasil ini sesuai dan didukung dengan penelitian sebelumnya yang diteliti oleh Hutabarat. Hutabarat (2010) melakukan penelitian mengenai pengaruh PDB sektor industri terhadap kualitas lingkungan yang ditinjau dari emisi CO2 dan sulfur di 5 negara ASEAN periode 1980-2000 dimana hasil penelitian ini terbukti adanya hubungan yang signifikan dengan model Environmental Kuznets Curve antara emisi CO2 dengan pertumbuhan ekonomi di sektor industri.

5.4.5. Dampak Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Industri Negara Berkembang dan Maju terhadap Emisi Nitrogen Oksida

Berdasarkan model dan analisis data yang didapat (Tabel 5.1), adanya hubungan yang tidak signifikan dengan model Environmental Kuznets Curve antara emisi N2O dengan pendapatan di sektor industri. Model regresi linear: N2O = 169.1472 + 0.000470GDPI ... (5)

Berdasarkan intrepretasi model linear, apabila GDP riil industri meningkat 1 juta US$ maka akan meningkatkan emisi N2O sebesar 4.70e-4 kilotonne, cateris

paribus, yang berarti bila GDP meningkat maka kualitas lingkungan akan

menurun yang ditinjau dari emisi N2O. Berdasarkan dampak individu yang dapat dilihat melalui nilai cross section effects (Tabel 5.4), tiga negara yang memiliki dampak terbesar terhadap emisi N2O yaitu Cina, India, dan Brasil.

Nitrogen Oksida (N2O) terutama dihasilkan dari industri nilon dan asam nitrat. Serat nilon pada saat ini dipergunakan untuk kain dan tali, sedangkan asam

dan minuman ringan. Penjelasan tersebut dapat menjelaskan penyebab terbentuknya hubungan linier dampak pertumbuhan ekonomi di sektor industri terhadap N2O. Tidak adanya barang substitusi yang dapat menggantikan nilon dan asam sitrat sesuai dengan fungsinya masing-masing serta skala ekonomi pada sektor industri yang semakin besar menyebabkan emisi Nitrogen Oksida (N2O) semakin meningkat seiring dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi di sektor industri, cateris paribus.

5.4.6. Dampak Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Industri Negara Berkembang dan Maju terhadap Emisi Metana

Berdasarkan model dan analisis data yang didapat (Tabel 5.1), adanya hubungan yang signifikan dengan model Environmental Kuznets Curve antara emisi CH4 dengan pendapatan di sektor industri. Model regresi kuadratik:

CH4 = 3763.894 + 0.028428GDPI - 8.86e-09GDPI2 ... (6) Berdasarkan model kuadratik yang didapat, persamaan akan membentuk kurva-U terbalik sesuai konsep Environmental Kuznets Curve dengan titik balik maksimum GDP industri sebesar 1,6 triliun US$ dimana tahap awal emisi CH4 mengalami peningkatan yang cukup pesat seiring dengan pembangunan ekonomi di sektor industri. Namun pengaruh dari peningkatan pendapatan dari sektor industri terhadap peningkatan emisi CH4 akan berubah ketika mencapai titik balik pertama yaitu GDP industri sebesar 1,6 triliun US$. Setelah melewati titik balik pertama, maka pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan peningkatan pendapatan dari sektor industri akan membawa dampak yang baik bagi lingkungan, yaitu penurunan tingkat emisi CH4.

Berdasarkan titik balik maksimum yang didapat menunjukkan bahwa Amerika Serikat dan Jepang sudah dalam fase menurun melewati titik balik

pertama pada kurva EKC dan pertumbuhan ekonomi di sektor industri akan dikaitkan ke penurunan emisi CH4. Sedangkan semua negara negara berkembang maupun maju lainnya dalam sampel masih dalam fase awal tumbuh belum melewati titik balik pertama pada kurva EKC dan pertumbuhan ekonomi di sektor industri akan dikaitkan ke peningkatan emisi CH4.

Berdasarkan persamaan tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di sektor industri memiliki increasing effect pada emisi CH4 sebelum melewati turning point dan diminishing effect pada emisi CH4 setelah melewati

turning point. Sebagai contoh sebelum melewati turning point ketika GDP

industri sebesar 1 triliun US$ maka emisi CH4 diprediksi meningkat dari tahun sebelumnya sekitar (0.028428 + 2 (-8.86e-09) (10e+05))≈ 0.0107 kilotonne dan ketika GDP industri sebesar 1,5 triliun US$ maka emisi CO2 diprediksi akan tetap meningkat dari tahun sebelumnya dengan peningkatan yang semakin kecil sekitar (0.028428 + 2 (-8.86e-09) (15e+05)) ≈ 1.82E-03 kilotonne, dan akan terus meningkat dengan peningkatan semakin kecil sampai turning point.

Setelah melewati turning point ketika GDP industri sebesar 2 triliun US$ maka emisi CH4 diprediksi menurun dari tahun sebelumnya sekitar (0.028428 + 2 (-8.86e-09) (20e+05))≈ -7.04E-03 kilotonne dan ketika GDP industri sebesar 2,5 triliun US$ maka emisi CH4 diprediksi akan tetap menurun dari tahun sebelumnya dengan penurunan yang semakin besar sekitar (0.028428 + 2 (-8.86e-09) (25e+05)) ≈ -1.59E-02 kilotonne, dan akan terus semakin menurun dengan penurunan yang semakin besar seiring pertumbuhan ekonomi di sektor industri. Berdasarkan dampak individu yang dapat dilihat melalui nilai cross section effects

(Tabel 5.4), tiga negara yang memiliki dampak terbesar terhadap emisi CH4 yaitu Cina, India, dan Brasil.

Ada beberapa penyebab terjadinya hal ini yaitu salah satunya dengan pendekatan efek skala pada sektor industri. Pada tahap awal dari pertumbuhan ekonomi di sektor industri seperti apa yang dialami semua negara berkembang dan maju dalam sampel kecuali Amerika Serikat dan Jepang, emisi metana secara umum meningkat karena tidak ada kebijakan dan regulasi yang diimplementasikan pada sektor industri terutama industri penghasil batu bara, gas alam, dan minyak bumi sebagai sumber penghasil emisi metana. Hal ini terjadi karena tujuan dari pertumbuhan pada tahap ini, yaitu peningkatan output dengan penggunaan sejumlah besar sumber alam atau yang berasal dari lingkungan. Lebih dari itu, sektor industri cenderung berfokus pada peningkatan pendapatan perusahaannya saja dengan mengabaikan permasalahan lingkungan. Dengan kata lain, pada tahap pertumbuhan ini memperlihatkan suatu efek skala pada lingkungan karena peningkatan pada produksi ekonomi menghasilkan lebih banyak polusi dan degradasi lingkungan.

Dalam tahap pertumbuhan selanjutnya seperti apa yang dialami Amerika Serikat dan Jepang, sektor industri terutama industri penghasil batu bara, gas alam, dan minyak bumi mulai menikmati pendapatan perusahaannya yang lebih besar, maka pilihan-pilihan mereka akan berubah menuju pada pemeliharaan lingkungan. Dengan kata lain, industri batu bara, gas alam, dan minyak bumi akan lebih memperhatikan emisi metana dengan menunjukkan suatu kesediaan membayar biaya yang akan dikeluarkan untuk menurunan emisi metana. Mekanisme ini dapat menjelaskan mengapa emisi metana awalnya meningkat

kemudian menurun seiring dengan pertumbuhan ekonomi di sektor industri,

cateris paribus.

Dokumen terkait