• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.6. Dampak Pestisida

2.6.2. Dampak Pestisida Terhadap Kesehatan

Pestisida merupakan bahan yang beracun dan berbahaya, yang bila tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan dampak negatip terhadap manusia. Manusia berada paling dekat dengan pestisida, pestisida membahayakan pada manusia karena sifat racunnya, yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kesehatan.

Penggunaan pestisida terbanyak di daerah pertanian, ini dapat menimbulkan masalah kesehatan pekerja di pertanian atau petani termasuk juga pencampur pestisida. Perhatian petani umumnya tertuju pada hama dan

penyakit yang menyerang tanaman saja, tanpa memperhatikan keselamatan dan pencemaran lingkungan. Kebanyakan petani yang tidak peduli bahaya pestisida , seperti merokok pada saat menyemprot, mencuci tangki semprot di sungai, membuang wadah bekas pestisida sembarangan, dan tidak menggunakan alat pelindung diri.

Petani tidak menggunakan alat pelindung diri dalam melakukan pekerjaannya, petani beranggapan penggunaan alat pelindung diri tidak praktis dan merepotkan, akibatnya dapat terpapar pestisida melalui kulit dan saluran napas. Masyarakat yang tinggal di sekitar pertanian dapat terpapar oleh pestisida. Eksposure pestisida dapat juga terjadi pada pekerja di industri/pabrik pestisida.

Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukan 500.000 hingga 1.000.000 orang per tahun di seluruh dunia telah mengalami keracunan pestisida. Sekitar 5000 -10.000 orang per tahun diantaranya mengalami dampak yang sangat fatal, seperti kanker, cacat, kemandulan dan liver (Novizan, 2003). Pestisida yang disemprotkan pada tanaman akan meninggalkan residu pada batang, daun, buah dan akar. Walaupun sudah dicuci residu ini masih terdapat pada bahan makanan, jika dimakan oleh manusia akan menimbulkan efek yang berbahaya bagi kesehatan.

Berdasarkan hasil tes darah pada petani tanaman bawang merah di Kabupaten Brebes sangat memprihatinkan. Dari 80 petani di Desa Kemurang Wetan dan Sarireja Kecamatan Tanjung diantaranya 36-37 % petani menderita keracunan di tubuhnya (Suara Merdeka, 2002). Efek yang paling buruk akibat pestisida adalah keracunan akut akibat kecelakaan. Beberapa peristiwa keracunan masal oleh senyawa metil merkuri dan etil merkuri, heksaklorobenzen sebagai fungisida, serta paration sebagai insektisida organofosfat, telah terjadi berbagai belahan dunia, dan mengakibatkan kematian (Frank, 1995).

Pestisida dapat masuk ke dalam tubuh melalui saluran napas dan absorpsi kulit, tetapi sejumlah kecil dapat memasuki saluran gastrointestinal (GI) karena menggunakan tangan atau peralatan yang tercemar. Pestisida dalam bentuk gas merupakan pestisida yang paling berbahaya bagi pernapasan,

sedangkan pestisida dalam bentuk cairan berbahaya bagi kulit karena dapat masuk ke dalam tubuh melalui kulit.

Keracunan pestisida dapat dibedakan berdasarkan jumlah pestisida yang masuk ke dalam tubuh. Bila pestisida masuk kedalam tubuh sekaligus dalam dosis tertentu disebut keracunan akut, yang dapat mengakibatkan kematian. Jika pestisida masuk kedalam tubuh secara ber angsur-angsur dalam jumlah yang sangat kecil disebut keracunan kronis. Penderita k eracunan kronis biasanya akan mengalami perubahan histologis dan genetis (Wudianto, 1990).

Dampak buruk dari penggunaan pestisida terhadap manusia dan lingkungan baru dirasakan dalam jangka panjang. Berbagai penyakit dari yang sederhana seperti penyakit kulit, gangguan pernapasan, gangguan pencernaan, gangguan penglihatan hingga penyakit kanker yang dapat mengakibatkan kematian.

2.7. Cara Masuk Pestisida ke dalam Tubuh Manusia 1. Kulit

Pestisida cair masuk ke dalam tubuh manusia yang paling banyak terjadi melalui kulit (absorpsi). Pemaparan yang terjadi melalui kulit ini karena petani tidak menggunakan pakaian pelindung, dengan alasan tidak praktis dan merepotkan. Banyak petani yan g hanya menggunakan kaos lengan pendek dalam bekerja. Lengan atau tangan merupakan bagian yang paling sering terpapar pestisida pada waktu melakukan pencampuran dan penyemprotan pestisida. Jenis pestisida organo fosfat masuk dengan cepat melalui kulit dan menimbulkan iritasi.

2. Pernapasan

Jenis pestisida cair yang berbentuk partikel “mist” mudah masuk melalui saluran pernapasan. Untuk menghindarinya maka pekerja tau petani harus menggunakan alat pelindung pernapasan seperti masker atau respirator.

3. Mulut

Pestisida b isa masuk kedalam tubuh manusia melalui mulut. Biasanya terjadi setelah menangani pestisida tidak mencuci tangan ketika hendak

makan, minum dan merokok. Selain itu juga terjadi pada saat melakukan penyemprotan sambil merokok .

2.8. Faktor yang Mempengaruhi Masuknya Pestisida ke dalam Tubuh 2.8.1. Faktor Spesifik

Tingkat keracunan pekerja atau petani yang menggunakan organofosfat tergantung beberapa faktor seperti absorbsi, distribusi, biotransformasi dan ekskresi (Gan, 1981).

1. Absorbsi

Sifat abso rbsi sangat penting dan menentukan efek dari insketisida. Sifat ini dipengaruhi oleh sifat fisik, kimiawi, bentuk dan dosis insektisida yang digunakan, juga luas permukaan kontak dan tempat absorbsi. 2. Distribusi

Insektisida setelah diabsorbsi akan tersebar melalui sirkulasi darah ke seluruh badan. Molekul insektisida mudah melintasi membrane sel akan mencapai seluruh cairan tubuh.

3. Biotranformasi

Pada umumnya biotransformasi insektisida terjadi oleh enzim hati. Reaksi biokimia yang terjadi pada proses biotransformasi dapat dibagi dalam reaksi sintetik dan non sintetik.

4. Ekskresi

Insektisida dapat dikeluarkan dari badan dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau bentuk asalnya. Ekskresi umumnya terjadi melalui urin dan tinja.

2.8 .2. Faktor Tidak Spesifik

Faktor tidak spesifik atau tidak langsung yang mempengaruhi kandungan kolinesterase adalah lingkungan, jumlah pemaparan, alat pelindung dan kepekaan tubuh.

1. Lingkungan a. Tempat bekerja

Jika melakukan penyemprotan di dalam gedung (indoor spraying) kemungkinkan kulit terpapar paling banyak , dan penyemprotan di luar gedung (outdoor spraying), pada saat angin kencang penyemprotan harus dihentikan atau penyemprotan dikerjakan menurut arah angin, sehingga kabut semprot tidak ke arah badan. b. Cuaca

- Suhu

Jika melakukan penyemprotan dalam gedung sebaiknya yang mempunyai ventilasi dan suhu yang sama. Suhu yang diharapkan (optimum) berkisar antara 24oC-30oC (WHO, 1974).

- Kelembaban

Dalam gedung/ruangan kelembaban diharapkan antara 50 %-70 %. Jika udara lembab insektisida relatif mudah melekat pada kulit.

- Arah angin

Penyemp rotan yang dilakukan di luar gedung (out door spraying), seperti daerah pertanian dan perkebunan sesuai dengan arah angin. Arah angin potensial mengembalikan titik cairan ke tubuh penyemprot, terutama insektisida berbentuk aerosol.

2. Jumlah Pemaparan

Dalam menentukan jumlah pemaparan terdapat dua unsur penting yaitu waktu dan konsentrasi. Penyemprot terpapar maksimum 8 jam/hari dan bekerja setiap minggu melebihi 5 hari/minggu. Konsentr asi insektisida yang digunakan dalam gram per liter.

3. Alat Pelindung

Untuk mengurangi pemaparan insektisida perlu menggunakan alat pelindung saat melakukan penyemprotan seperti baju lengan panjang, sarung tangan, masker, sepatu, tutup muka, dan kaca mata.

4. Kepekaan Tubuh

Daya tahan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain umur, jenis kelamin, keadaan kesehatan, keturunan dan alat penyemprot yang digunakan.

2.9. Asetilkolinesterase.

Kolinesterase adalah enzim, suatu bentuk dari katalis biologik , yang di dalam jaringan tubuh berperan menjaga agar otot-otot, kelenjar-kelenjar dan sel-sel saraf bekerja secara terorganisir dan harmonis (DepKes, 1992). Enzim kolinesterase merupakan suatu enzim yang mengkatalisis hidrolisis kolinester (Bhabayan, 1974 ; Champbell and Smith, 1988). Enzim kolinesterase ini melakukan peniadaan keaktifan asetilkolin setelah berakhir dalam menghantarkan rangsangan, akibatnya akan terjadi penimbunan asetilkolin pada sambungan saraf efektor sehingga kehilangan sama sekali koordinasi otot yang menyebabkan kematian melalui proses berhentinya napas.

Menurut Jacob et al (1990) dua tipe kolinesterase yang dijumpai dalam darah yaitu :

- “true” cholinesterase(acethylcholinesterase) dalam sel darah merah.

- “pseudocholinesterase” (acythylcholine acylhydrolase) pada

serum/plasma.

Asetilkolinesterase dalam butir/sel darah merah lebih banyak dibandingkan dengan pseudokolinesterase. Keduanya merupakan indikator, plasma dipakai sedikit penurunannya bila kontak dengan organo fosfat meskipun dalam jumlah sedikit (WHO, 1986). Kadar kolinesterase untuk laki-laki dewasa berbeda dengan kadar kolinesterase perempuan dewasa. Dalam keadaan normal kadar kolinesterase laki-laki dewasa 2,3 – 7,4 µ/ml (25oC), sedangkan perempuan dewasa 2,0 – 6, 7 µ/ml (25oC) (Merk, 1977 dalam Wiyono, 1981). Hambatan pada kolinesterase akan menyebabkan terjadinya penumpukan asetilko lin sehingga dapat menimbulkan efek muskarinik, nikotinik maupun menurunnya fungsi saraf pusat dan berakibat fatal. Kadar kolinesterase merupakan petanda biologis (biomarker) terjadinya keracunan senyawa golongan organofosfat dan karbamat.

2.9 .1. Metabolisme Asetilkolin

Asetilkolin merupakan suatu neuro hormon yang terdapat di antara ujung-ujung syaraf dan otot sebagai chemical mediator yang berfungsi meneruskan rangsangan saraf atau impuls ke reseptor sel-sel otot dan kelenjar. Rangsangan yang berlangsung terus menerus akan menyebabkan gangguan pada pada tubuh. Asetilkolin mempunyai efek ringkas pada reseptor (1 msec atau lebih) karena menghidrolisis secara cepat asetilkolinesterase (true cholinesterase) menjadi kolin dan asetat. Kolin diangkut kemb ali menuju saraf parasimpatik akhr dan digunakan kembali untuk sintesa asetilkolin.

Hidrolisis oleh asetilkolin tidak terjadi jika dihambat oleh antikolinesterase, seperti organo fofat dan karbamat. Cara bekerjanya antikolinesterase dapat digambarkan secara sederhana sebagai berikut (Gan, 1981) :

Asetilkolin Kolin + Asam cuka Kolinesterase

diikat

Anti kolinesterase

Asetilkolin sebagai transmitter harus diinaktifkan dalam waktu cepat., kecepatan inaktifasi tergantung dari sinap dan neuron (Darmansyah dan Gan, 1995).

Reaksi hidrolisis dari asetilkolin oleh organofosfat

ENZIM-OH + (CH3)3N+CH2CH2OC(O)CH3 ? [ENZIM-OH---(CH3)3N+CH2CH2OC(O)CH3]

(CH3)3N+CH2CH2OH

ENZIM-OC(O)CH3

Atau

E-O H + ACh E-OH ? ACh E-OAc E-OH

ChH AcOH

Reaksi hidrolisis dari asetilkolin oleh karbamat :

ENZIM-OH + RO-C(O)NHCH3 [ ENZYME – OH----RO-C (O)NHCH3]

> (ROH)

ENZYME-OC(O)NHCH3

HOC(O)NHCH3 CO(OH)2 + CH3N H2

Dokumen terkait