• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. KERANGKA TEORI

3.6. Dampak Subsidi terhadap Kesejahteraan dan Kinerja

Beban pajak (atau manfaat suatu subsidi) sebagian dipikul konsumen dan sebagian lagi oleh produsen, dimana besarnya bagian dari pajak yang dibayar konsumen tergantung dari bentuk kurva penawaran dan permintaan dan khususnya tergantung pada elastisitas relatif dari permintaan dan penawaran.

Dalam kenyataannya subsidi dapat dipandang sebagai pajak negatif. Pada umumnya keuntungan dari subsidi dinikmati oleh konsumen (Pindyck and Rubinfeld, 1991). Seperti yang diperkirakan, efek dari subsidi pada jumlah yang diproduksi dan dikonsumsi adalah kebalikan dari pada efek suatu pajak.

Subsidi dapat dibedakan atas subsidi output (subsidized consumption) dan subsidi input (subsidized production). Subsidi output adalah subsidi yang diberikan pada pasar output sedemikian sehingga konsumen seolah-olah mengalami peningkatan pendapatan. Karena tingkat pendapatan konsumen meningkat, maka daya beli konsumen juga meningkat. Peningkatan daya beli konsumen ditampilkan sebagai pergeseran kurva permintaan ke kanan atas

sehingga harga barang meningkat dan jumlah konsumsi juga meningkat. Contoh subsidi output adalah pengurangan pajak individu atau transfer dana ke konsumen. Subsidi output diilustrasikan pada Gambar 10, dimana keseimbangan awal pada E0 (P0, Q0), dimana surplus produsen sebesar bidang g dan surplus konsumen sebesar a+d. Apabila dilakukan kebijakan subsidi output dalam bentuk cash grant, misalkan BLT (Bantuan Tunai Langsung), maka pendapatan masyarakat akan meningkat, sehingga kurva permintaan bergeser dari D0 ke D1 dan keseimbangan baru berada di E1 (P1, Q1). Jika diasumsikan tidak ada perdagangan, kebijakan subsidi output yang dilakukan oleh pemerintah sebesar bidang a+b+d+e dapat merubah surplus produsen dan konsumen. Surplus produsen menjadi sebesar bidang d+e+f+g dan surplus konsumen sebesar bidang a+b+c serta dead weight loss sebesar bidang c+f. Pada Tabel 14 disajikan evaluasi sebelum dan sesudah adanya kebijakan subsidi output terhadap kesejahteraan.

Subsidi input adalah subsidi yang diberikan pada pasar input sedemikian sehingga produsen seolah-olah mengalami penurunan biaya produksi. Karena biaya produksi berkurang, maka produsen cenderung memproduksi lebih banyak pada tingkat daya beli konsumen konstan. Penurunan biaya produksi produsen ditampilkan sebagai pergeseran kurva penawaran ke kanan bawah sehingga harga barang menurun dan jumlah penawaran meningkat. Contoh subsidi input adalah pengurangan pajak produsen atau transfer dana ke produsen yang dikenal dengan subsidi. Sebagai konsekuensi dari subsidi output atau subsidi input, kesejahteraan mengalami pergeseran yang dicerminkan pada pergeseran surplus konsumen, surplus produsen, dan pembayaran subsidi pemerintah.

Gambar 10. Pengaruh Kebijakan Subsidi Output terhadap Kesejahteraan

Tabel 14. Evaluasi Kebijakan Subsidi Output terhadap Kesejahteraan Keterangan Surplus Produsen Surplus Konsumen Subsidi Pemerintah DWL Sebelum Subsidi g a, d - - Setelah Subsidi d, e, f, g a, b, c a, b, d, e c, f

Keterangan: DWL: Dead Weight Loss.

Subsidi input digambarkan pada Gambar 11 yaitu ketika subsidi diberikan pada produsen, maka harga input akan menjadi lebih rendah, sehingga kurva penawaran bergeser dari S0 ke S1 (Handoko dan Patriadi, 2005). Jika diasumsikan tidak ada perdagangan, maka keseimbangan awal pada titik keseimbangan E0 (P0, Q0), dimana surplus produsen sebesar b+c dan surplus konsumen sebesar a. Apabila subsidi input dilakukan oleh pemerintah, maka keseimbangan baru di titik E1 (P1, Q1) pada kurva permintaan yang sama. Jumlah produksi meningkat dari Q0 menjadi Q1 dan pada akhirnya menurun kembali menjadi Q0 karena harga output menurun menjadi P2. Pada keseimbangan baru, subsidi input sebesar bidang

0 Q P S D0 D1 Q0 Q1 P0 P1 a Eb c 1 d e E0 f h P2 g

b+c+d+f, surplus produsen sebesar bidang c+f+g, dan surplus konsumen sebesar bidang a+b+d+e, serta dead weight loss sebesar bidang e+g.

Gambar 11. Pengaruh Kebijakan Subsidi Input terhadap Kesejahteraan Pada Tabel 15 disajikan evaluasi sebelum dan sesudah adanya kebijakan subsidi input terhadap kesejahteraan.

3.6.2. Dampak Subsidi terhadap Kinerja Perekonomian

Gambar 12 memberikan ilustrasi grafik dampak dari peningkatan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian. Diasumsikan bahwa nilai tukar rupiah yang berlaku adalah flexible exchange rate dengan rezim kapital bebas keluar masuk.

Tabel 15. Evaluasi Kebijakan Subsidi Input terhadap Kesejahteraan Keterangan Surplus Produsen Surplus Konsumen Subsidi Pemerintah DWL Sebelum Subsidi b, c a - - Setelah Subsidi c, f, g a, b, d, e b, c, d, f e, g

Keterangan: DWL: Dead Weight Loss.

Keseimbangan pasar uang (kurva LM) dan pasar barang (kurva IS) berada di titik G (r1 dan y1) sebelum adanya shock ekonomi. Peningkatan subsidi harga

0 Q P S0 D S1 Q0 Q1 P1 P0 a b c d e f g P2 E0 E1

BBM akan membebani anggaran negara sehingga selanjutnya dapat meningkatkan pengeluaran pemerintah. Keseimbangan baru pasar uang dan barang dengan adanya peningkatan subsidi harga BBM adalah di titik I (r2, y2). Peningkatan pengeluaran pemerintah berakibat pada bergesernya kurva Investment-Saving (IS) ke kanan atas (IS1 ke IS2), sehingga output nasional meningkat dari y1 ke y3. Peningkatan output dari y1 ke y3 akan mendorong peningkatan suku bunga dari r1 ke r2 pada kurva permintaan uang MS yang sama, sehingga keseimbangan bergeser ke titik F (r1, y2).

Peningkatan tingkat suku bunga berdampak pada 2 hal. Pertama, investasi swasta cenderung menurun sehingga output juga menurun dari y3 ke y2. Penurunan output ini akan menaikkan impor sehingga ekspor bersih (net export atau X - M) menurun. Kedua, naiknya suku bunga dalam negeri akan berdampak pada perbedaan suku bunga dalam negeri dengan luar negeri yang mengakibatkan peningkatan capital inflow. Capital inflow mengakibatkan permintaan mata uang domestik meningkat dan terjadi apresiasi nilai tukar rupiah.

Di dalam negeri keseimbangan awal aggregat supply dan aggregat demand berada di titik J (p1, y1). Peningkatan output menggeser kurva AD dari AD1 ke AD2 sehingga keseimbangan baru berada di titik L (p2, y2). Pada titik ini terjadi excess demand, sehingga harga-harga barang naik (inflasi) dari p1 ke p2.

Di pasar tenaga kerja, pada (p1), keseimbangan awal di titik O (W1, N1). Ketika terjadi peningkatan harga (p1 ke p2), maka akan mendorong perusahaan meningkatkan produksi, sehingga permintaan terhadap input khususnya tenaga kerja meningkat dari N1 ke N3. Peningkatan permintaan input tenaga kerja ini digambarkan dengan pergeseran kurva permintaan tenaga kerja dari DL1 ke DL2.

Gambar 12. Dampak Subsidi terhadap Kinerja Perekonomian Y Y P S, T, M 0 0 0 Y1 Y2 45O AS AD2 AD1 Y1 Y2 P1 P2 r r1 r2 r M/P L1(r, y1) L2(r, y2) LM IS2 IS1 r1 r2 M/P Y Y2 Y1 0 Y3 Y3 B A E F G I H J L K 0 Y Y1 Y2 N N1 N2 Y=f(N) W W2 W1 0 N N2 N1 N3 DL2 DL1 SL2 SL1 M N O Q P Y Y 45O S, T, M G, I, X G, I, X 0 0 S +T + M G + I + X C D r EB

Terhadap permintaan yang meningkat ini, masyarakat memberikan respon dengan meningkatkan penawaran tenaga kerja sehingga kurva penawaran tenaga kerja bergeser dari SL1 ke SL2. Pergeseran ini terjadi ketika upah nominal tenaga kerja masih pada posisi semula di W1. Ketika pekerja mengetahui bahwa terjadi inflasi, maka untuk mempertahankan daya beli riilnya, para pekerja menuntut peningkatan upah nominal yang dituruti oleh pengusaha. Namun karena terjadi informasi yang tidak seimbang, kenaikan upah nominal pekerja (dari W1 ke W2) masih lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan inflasi, sehingga sebetulnya upah riil pekerja menurun. Namun demikian, kenaikan upah nominal ini (dari W1 ke W2) membuat pengusaha melakukan rasionalisasi jumlah pekerja dari N3 ke N2 untuk menyesuaikan dengan peningkatan biaya produksi sebagai akibat dari kenaikan upah nominal. Pada akhirnya pekerja mengetahui bahwa meskipun upah nominal meningkat (dari W1 ke W2) namun sebetulnya upah riil relatif tetap. Karena itu pekerja mengurangi penawaran tenaga kerja sehingga kurva penawaran bergerak kembali dari SL2 ke SL1. Keseimbangan final pasar tenaga kerja ada di titik Q (W2, N2).

Dari ilustrasi di atas disimpulkan bahwa kenaikan subsidi harga BBM cenderung akan meningkatkan output nasional dari y1 ke y2 atau pertumbuhan ekonomi (growth). Peningkatan output mendorong peningkatan jumlah tenaga kerja dari N1 ke N2 yang berarti penurunan jumlah penganggur. Upah nominal yang diterima pekerja meningkat dari W1 ke W2, walaupun diketahui bahwa upah riil pekerja menurun. Selain itu peningkatan subsidi juga dapat menyebabkan

harga-harga dari p1 ke p2, kenaikan tingkat suku bunga dari r1 ke r2, dan terakhir terjadi penurunan investasi yang diakibatkan oleh kenaikan tingkat suku bunga. 3.6.3. Dampak Subsidi Terhadap Kemiskinan

Dampak subsidi terhadap kemiskinan dapat ditelusuri dari dua pendekatan. Pertama adalah peningkatan anggaran subsidi akan meningkatkan belanja negara. Menurut Gambar 12, peningkatan belanja negara akan menggeser kurva IS ke kanan sehingga output nasional meningkat dari Y1 ke Y2. Karena produksi nasional meningkat, maka terjadi pergeseran sepanjang kurva produksi Y=f(N) sehingga kebutuhan akan tenaga kerja meningkat. Peningkatan permintaan tenaga kerja akan menggeser kurva permintaan tenaga kerja DL1 ke DL2, pada kondisi penawaran tenaga kerja yang relatif stabil di SL1. Hal ini mengakibatkan penyerapan tenaga kerja meningkat dari N1 ke N2 dan upah juga meningkat dari W1 ke W2. Peningkatan upah dan pengurangan pengangguran mengakibatkan daya beli masyarakat relatif membaik. Apabila peningkatan daya beli masyarakat lebih tinggi dari tingkat inflasi, maka sebagian jumlah penduduk miskin dapat melampaui garis kemiskinan dan mengurangi jumlah penduduk miskin. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan subsidi cenderung akan mengurangi jumlah penduduk miskin.

Kedua adalah pendekatan harga. Subsidi BBM membuat harga jual eceran BBM menjadi lebih murah daripada seharusnya. Murahnya harga input energi ini membuat biaya produksi umum menjadi lebih rendah daripada seharusnya sehingga harga-harga umum turun. Penurunan harga-harga umum akan berdampak positif pada peningkatan pendapatan masyarakat. Pada garis kemiskinan yang relatif stabil, maka peningkatan pendapatan relatif masyarakat

akan mengakibatkan pengurangan tingkat kemiskinan. Pendekatan ini meyakini bahwa subsidi cenderung mengurangi tingkat kemiskinan.

Dari pembahasan ini terdapat hal krusial yang terkait dengan pendekatan pertama, yaitu apakah peningkatan belanja negara sebagai akibat dari peningkatan subsidi dapat mendorong kurva IS ke kanan ? Subsidi adalah bagian dari transfer payment seperti juga pengurangan pajak, pengurangan biaya bunga perbankan, atau pembagian beras masyarakat miskin. Hal ini biasanya berdampak pada peningkatan relatif daya beli masyarakat pada tingkat pendapatan yang lama atau pengurangan biaya produksi karena adanya subsidi input. Transfer payment langsung ke masyarakat cenderung berdampak pada peningkatan konsumsi.

Masalah lain adalah timbulnya biaya kesempatan (opportunity cost) sebagai akibat dari peningkatan alokasi anggaran untuk subsidi BBM yang akan mengurangi alokasi anggaran untuk kegiatan lain. Apakah besaran anggaran subsidi BBM memiliki dampak yang sama besar atau lebih besar terhadap perekonomian nasional apabila jumlah anggaran yang sama dipergunakan untuk kegiatan lain yang lebih penting dan memiliki efek pengganda lebih besar? 3.6.4. Kebijakan Subsidi

Besaran subsidi harga BBM dapat berubah-ubah, sebagai respon dari pasar dunia minyak mentah, ketika harga jual eceran konstan. Harga jual eceran yang relatif konstan berdampak pada perubahan subsidi harga BBM sejalan dengan pergerakan harga keekonomian BBM dalam rupiah. Sebagai ilustrasi, pada periode 1986-2006, perbandingan rata-rata harga jual eceran BBM terhadap harga keekonomiannya adalah 95.25 persen untuk premium, 68.33 persen untuk minyak solar, 35.66 persen untuk minyak tanah, dan 110.99 persen untuk elpiji.

Sebagai negara importir minyak mentah, harga dunia merupakan harga jual eceran, jika tidak ada subsidi. Selain itu, harga dunia BBM cenderung sangat fluktuatif dengan kenaikan harga tertinggi mencapai 3 kali lipat dalam beberapa bulan, dan kemudian kembali ke harga normal dalam beberapa bulan kemudian.

Besaran subsidi BBM adalah :

SUBH = (MOPS x NTKR) - HJEC ... (3.16) dimana :

SUBH = subsidi harga BBM (Rp./Liter) atau elpiji (Rp./Kg)

MOPS = harga keekonomian BBM (US$/Liter) atau elpiji (US$/Kg) NTKR = nilai tukar riil rupiah (Rp. /US$)

HJEC = harga jual eceran BBM (Rp./Liter) atau elpiji (Rp./Kg) Persamaan perilaku kebijakan subsidi bagi setiap jenis BBM adalah :

SUBH = f (MOPS, NTKR, KEBJ, NKEBJ) ... (3.17) Hubungan antara harga dunia dengan harga jual eceran adalah:

HJEC = (MOPS x NTKR) – SUBH ... (3.18) dimana:

KEBJ = variabel kebijakan terkait dengan produk BBM NKEBJ= variabel diluar kebijakan

3.7. Kerangka Pemikiran

Tahapan kegiatan dari pasar input minyak mentah hingga pasar BBM dan selanjutnya pasar industri sekunder disajikan pada Gambar 13.

Kegiatan eksploitasi minyak mentah merupakan kegiatan penambangan untuk memperoleh minyak mentah, yang kemudian sebagian besar dijual di pasar internasional. Di pasar internasional ini terjadilah pembentukan harga dunia

minyak mentah sesuai dengan jenis minyak mentah, yang terkenal adalah Dated Brent di Eropa, West Texas Intermediate (WTI) di Amerika Serikat, dan Dubai Fateh di Timur Tengah. Selain itu ada pasar berjangka minyak mentah, yang terkenal adalah NYMEX atau New York Merchantile Exchange di New York.

Setiap titik sumur pengeboran minyak menghasilkan jenis minyak mentah yang berbeda. Indonesia mengeluarkan daftar harga minyak mentah Indonesia yang dikenal dengan Indonesia Crude Price (ICP). ICP berisikan harga rata-rata minyak mentah Indonesia dari berbagai sumur pengeboran di Indonesia yang menghasilkan jenis minyak mentah yang berbeda dan harga yang berbeda pula.

Penggunaan ICP sangat terbatas yaitu hanya digunakan internal oleh pemerintah Indonesia untuk membukukan nilai penjualan minyak mentah Indonesia, penerimaan negara, besaran pajak, dan lainnya yang berkaitan dengan keuangan negara. Penelitian ini menggunakan harga dunia minyak mentah tahunan yang diterbitkan oleh BPMIGAS (Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi). Kilang dalam negeri mampu memenuhi sekitar 61.74 persen dari kebutuhan BBM dalam negeri pada tahun 2005, sementara sekitar 38.26 persennya dipenuhi dari impor.

Penelitian ini memfokuskan diri pada perilaku di pasar BBM dan pasar BBM sekunder. Konsumen BBM di pasar ini membutuhkan BBM sebagai input energi maupun sebagai energi final. Pergerakan harga dan jumlah konsumsi BBM berpengaruh terhadap pasar sekunder BBM. Pasar sekunder BBM berkaitan dengan kondisi perekonomian nasional, seperti penyerapan tenaga kerja, GDP nasional, tingkat harga-harga, dan lainnya. Dengan demikian, perilaku di pasar BBM akan berdampak terhadap perekonomian nasional.

Gambar 13. Tahapan Produksi dan Pasar Bahan Bakar Minyak di Indonesia

Gambar 14 menjelaskan bahwa proses penetapan besaran subsidi harga BBM melalui proses panjang dan terjadi proses iterasi yang panjang dengan DPR- RI. Pemerintah telah menyadari bahwa dampak negatif dari subsidi BBM sudah perlu disikapi dengan suatu kebijakan. Karena itu pemerintah telah mencanangkan kebijakan umum untuk mengurangi beban subsidi dalam APBN, termasuk subsidi BBM. Namun upaya pengurangan subsidi harus dilakukan dengan hati-hati dan bertahap agar tidak menimbulkan gejolak sosial politik.

Pasar BBM Eksploitasi Minyak Mentah Industri Sekunder BBM Industri Primer BBM

Pasar Industri Sekunder

Pasar Minyak Mentah

Pasar Input Minyak Mentah Impor BBM Penawaran Output Permintaan Input Penawaran Output Penawaran Output Permintaan Input Permintaan Input

Gambar 14. Kerangka Pemikiran Keterkaitan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian dan Kemiskinan di Indonesia

Indonesia SebagaiNet Importer

Monetary Side Kemampuan APBN (Fiscal Side) Nilai Tukar Rp/US$ Pengeluaran Pemerintah Fluktuasi Harga Dunia Minyak Mentah Penerimaan Pemerintah Segi Positif:

1.Optimalisasi Hasil Produksi 2.Meningkatkan Daya Beli

Masyarakat

3.Pemerataan Hasil Produksi 4.Stabilitas Harga Produksi Pertimbangan:

-Undang-Undang

-Politik

-Harga Dunia BBM

-Nilai Tukar Rp/US$

-APBN

-Daya Beli Masyarakat Segi Negatif:

1.Inefisiensi Ekonomi (Boros) 2.Diinsentif Pengembangan Energi Alternatif Selain Migas 3.Penyelundupan

4.Mengurangi Kemampuan APBN

5.Distorsi Pasar 6.Ketidakadilan Kebijakan Subsidi Harga BBM Permintaan BBM Penetapan Harga Jual Eceran BBM Penawaran BBM Inflasi Pengangguran Growth Balance of Trade Daya Beli Masyarakat Kemiskinan Kinerja Perekonomian Pendistorsi Indonesia SebagaiNet Importer

Monetary Side Kemampuan APBN (Fiscal Side) Nilai Tukar Rp/US$ Pengeluaran Pemerintah Fluktuasi Harga Dunia Minyak Mentah Penerimaan Pemerintah Segi Positif:

1.Optimalisasi Hasil Produksi 2.Meningkatkan Daya Beli

Masyarakat

3.Pemerataan Hasil Produksi 4.Stabilitas Harga Produksi Pertimbangan:

-Undang-Undang

-Politik

-Harga Dunia BBM

-Nilai Tukar Rp/US$

-APBN

-Daya Beli Masyarakat Segi Negatif:

1.Inefisiensi Ekonomi (Boros) 2.Diinsentif Pengembangan Energi Alternatif Selain Migas 3.Penyelundupan

4.Mengurangi Kemampuan APBN

5.Distorsi Pasar 6.Ketidakadilan Kebijakan Subsidi Harga BBM Permintaan BBM Penetapan Harga Jual Eceran BBM Penawaran BBM Inflasi Pengangguran Growth Balance of Trade Daya Beli Masyarakat Kemiskinan Kinerja Perekonomian Pendistorsi

Proses penetapan besaran subsidi harga BBM dan subsidi BBM yang lazim dilakukan adalah: (1) perkiraan harga jual eceran BBM tahun depan, termasuk pertimbangan daya beli masyarakat, (2) perhitungan kemampuan APBN dalam menyediakan subsidi BBM, termasuk subsidi non-BBM, (3) bersama dengan DPR-RI, menetapkan besaran asumsi makro seperti nilai tukar, lifting minyak, tingkat suku bunga, harga dunia minyak mentah, dan termasuk subsidi BBM, (4) penetapan UU APBN, didalamnya tercantum subsidi BBM.

Yusgiantoro, 2000 menekankan pentingnya peranan harga dunia minyak mentah dalam penghitungan subsidi harga BBM dan harga jual eceran BBM, karena sekitar 75 persen dari komponen pembentuk harga jual eceran BBM berasal dari harga minyak mentah. Karena itu harga dunia minyak mentah menjadi faktor sangat penting dalam penghitungan subsidi harga dan harga jual eceran BBM. Dalam penetapan besaran subsidi harga dan harga jual eceran BBM, selain harga dunia minyak mentah, pemerintah juga mempertimbangkan nilai tukar rupiah, kemampuan APBN, dan daya beli masyarakat. Perlu diketahui, di antara faktor-faktor ekonomi, volatilitas harga dunia minyak mentah sangat dominan mempengaruhi kebijakan subsidi harga BBM.

IV. METODOLOGI PENELITIAN

Dokumen terkait