• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari Model Integratif ke Kebijakan Partisipatif

Dalam dokumen D 902009101 BAB VIII (Halaman 35-42)

Pada bagian sebelumnya saya memaparkan sebuah model integratif yang pada intinya menunjukan dinamika dampak pariwisata terhadap ekonomi rumah tangga. Dalam model tersebut kita melihat ada masalah dengan partisipasi masyarakat memanfaatkan peluang yang muncul karena pengembangan pariwisata. Ketika pariwisata berkembang secara ideal masyarakat lokal harus yang utama memanfaatkan peluang baik sebagai pekerja maupun sebagai pengusaha. Namun dalam kenyataan di tiga lokasi penelitian tidak semua masyarakat dapat berperan karena masalah kapasitas yang mereka miliki. Untuk itu uluran tangan pihak luar, baik pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), menjadi penting meningkatkan kompetensi masyarakat karena hanya sedikit masyarakat yang mampu membiayai pendidikan dan pelatihan anggota keluarga.

Dari hasil kajian lapangan pemerintah daerah belum memberi perhatian pada pemberdayaan masyarakat lokal ketika merancang pariwisata Sulawesi Utara, sehingga terkesan bahwa dengan miskinnya kebijakan Pemerintah ini ternyata pariwisata di Bunaken telah bertumbuh dengan kekuatan sendiri. Seperti diungkapkan sebelumnya, kebijakan pemerintah dalam pariwisata lebih bersifat makro dan lebih menekankan pada sumbangan sektor ini pada PAD dan masih belum memberi perhatian khusus

pada kesejahteraan masyarakat. Pemerintah lebih memberi perhatian pada upaya meningkatkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke daerah daripada peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar obyek wisata. Kebijakan seperti ini bisa menjadi masalah karena yang mendapat manfaat pengembangan pariwisata adalah pengusaha dari luar sedangkan masyarakat lokal bisa menjadi penonton. Kebijakan ini menjadi anomali karena bisa jadi pemerintah berhasil meningkatkan pendapatan daerah tapi gagal meningkatkan status ekonomi masyarakat lokal. Hal ini sering terjadi di negara berkembang karena pemerintah lebih menekankan pada aspek pertumbuhan ekonomi daripada pemerataan ekonomi, Burns dan Novelli (2008). Ketika pemerintah mementingkan aspek kuantitas, kebijakan yang

dikembangkan adalah menarik wisatawan secara massal (mass

tourism). Tentu ini agak berbeda dengan model pengembangan

wisata yang berbasis masyarakat lokal (community based tourism).

Kebijakan pengembangan wisata yang berbasis masyarakat lebih menekankan pada pendekatan kesejahteraan. Model ini menekankan bahwa pengembangan pariwisata memberi dampak positif pada ekonomi rumah tangga dan pemenuhan kehidupan sehari-hari masyarakat. Model pengembangan wisata berbasis masyarakat dikembangkan di banyak negara berkembang karena ada asumsi bahwa jika masyarakat mendapat manfaat dari pengembangan pariwisata maka mereka akan ikut memelihara obyek wisata itu sendiri. Implementasi model ini sering kita lihat pada pengembangan pariwisata yang berbasis alam (Fandeli dan Nurdin, 2005).

Tadi sudah diungkapkan sebelumnya bahwa masalah yang muncul adalah keterlibatan masyarakat lokal dalam kegiatan pariwisata. Salah satu alasan adalah kurangnya kapasitas yang dimiliki masyarakat lokal (lihat Bagan 8.2). Berdasarkan masalah tersebut saya mencoba merancang sebuah model pemberdayaan yang dapat disebut sebagai “model partisipasi ekonomi”. Model ini

mencoba menawarkan cara pelibatan masyarakat dalam kegiatan pariwisata.

Ketika pemerintah membuat kebijakan mengembangkan pariwisata di daerah tertentu, masyarakat lokal seharusnya perlu mendapat perhatian agar mereka bisa mengambil bagian dalam kegiatan pariwisata. Nasib masyarakat lokal sering luput dari perhatian para pengambil kenbijakan karena ketika berbicara tentang pariwisata maka yang muncul dalam benak para pengambil kebijkan adalah meningkatkan pendapatan asli daerah. Oleh karena itu Bagan 8.2 menjadi penting bagi kita untuk memahami cara meningkatkan kesejahteraan masyarakat memanfaatkan kehadiran pariwisata.

Dari Bagan 8.1 pengembangan pariwisata menciptakan peluang ekonomi kepada masyarakat lokal. Mereka bisa terlibat sebagai pekerja atau pengusaha, atau kedua-duanya. Karena kondisi mereka yang terbatas kita tidak berharap mereka menjadi pengusaha besar, namun mereka bisa menjadi pedagang kecil (petty traders). Nanti dari sini mereka belajar dan mungkin suatu ketika ada yang bisa menjadi pengusaha besar. Proses ini bisa berjalan secara alamiah tapi bisa juga mengalami akselerasi karena intervensi pihak luar.

Dalam banyak hal maka masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi wisata memanfaatkan peluang karena keterbatasa kapasitas yang dimiliki. Namun karena keterbatasan kapasitas mereka tidak mampu menangkap peluang dan bisa menjadi penonton. Tentu pemerintah tidak bisa tinggal diam tapi perlu melakukan berbagai upaya meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan mereka. Karena hanya dengan cara ini pemerintah akan mampu mendorong partisipasi masyarakat lokal. Dalam beberapa kasus demi mendukung pengembangan pariwisata pemerintah membuat kebijakan memindahkan penduduk lokal. Hal ini karena penduduk yang berdiam di obyek wisata sering

dituduh merusak obyek tersebut. Ada juga yang menganggap kehadiran penduduk akan merusak pemandangan obyek wisata itu sendiri. Bahkan masih ada pemikiran tempat tinggal dan cara hidup penduduk yang masih bersahaja menggambarkan situasi masyarakat tradisional sehingga tidak boleh diperlihatkan kepada wisatawan luar negeri. Atau dengan kata lain, masyarakat lokal kadang masih dianggap sebagai hama yang merusak tanaman pariwisata sehingga perlu lalu disingkirkan. Inilah yang biasanya menjadi alasan pokok merelokasi penduduk lokal dalam rangka pengembangan pariwisata.

Walaupun pandangan seperti ini keliru tapi relokasi tetap dilaksanakan dengan melibatkan sumber dana yang jumlahnya besar. Merelokasi penduduk berarti harus membebaskan tanah di daerah baru dan membangun fasilitas pemukiman yang layak. Dalam banyak hal program relokasi gagal karena pengambil kebijakan hanya berpikir tentang memindahkan penduduk secara

fisik tapi mengabaikan livelihood penduduk. Dalam rangka

memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga sehari-hari penduduk bekerja sebagai nelayan dan mereka dipindahkan ke daerah pedalaman dengan maksud akan menjadi petani. Ketika

berada di daerah baru livelihood penduduk terganggu karena

mereka tidak terbiasa bertani. Akibatnya ada penduduk yang memutuskan pindah ke daerah lain dan lebih dekat ke pantai. Misalnya, pada tahun 2006 hingga 2009, ketika pemerintah memindahkan penduduk yang tinggal di sepanjang pantai Manado. Kebijakan pemindahan dibuat pemerintah dalam rangka

pembangunan jalan boulevard di sepanjang pantai Manado.

Kebijakan pemindahan dibuat pemerintah dalam rangka

pembangunan boulevard Manado di sepanjang pantai tersebut.

Sebagian penduduk dipindahkan ke pantai di bagian Selatan Kota Manado dan tetap bekerja sebagai nelayan. Namun sisanya dipindahkan ke Sumompo, kawasan pegunungan di bagian Utara Kota Manado. Setelah setahun menempati lokasi baru, ada

sebagian dari mereka pindah ke tepi pantai kembali karena mereka tidak terbiasa bertani.

Bagan 8.2

Pandangan di atas dianut oleh para pengambil kebijakan

yang berorientasi pada wisatawan (tourist centered). Mereka

membuat program dalam rangka menarik wisatawan sebanyak mungkin namun telah mengabaikan masyarakat. Berbeda dengan pandangan tersebut yaitu kebijakan pariwisata yang berorientasi

kepada masyarakat (community based tourism) dengan tekanan

pada manfaat pengembangan pariwisata bagi masyarakat. Dalam hal ini masyarakat yang tinggal di sekitar obyek wisata adalah bagian dari daya tarik pariwisata itu sendiri. Jika pandangan ini yang berkembang, tidak perlu lagi ada relokasi penduduk karena kebijakan pariwisata. Dengan demikian yang terjadi adalah ketika pemerintah daerah merancang pengembangan pariwisata di suatu

lokasi, masyarakat lokal sudah harus sejak awal masuk dalam rancangan tersebut.

Dalam hal ini perencanaan harus dibuat secara berhati-hati. Jangan sampai masyarakat di sekitar obyek wisata hanya

menjadi makhluk yang seolah-olah berada dalam etalase dan

menjadi tontonan para wisatawan. Mereka tidak terlibat dalam kegiatan pariwisata itu sendiri dan hanya menjadi penonton. Dalam rangka menghindari ironi tersebut sejak awal perencanaan pariwisata, nasib masyarakat yang hidup di sekitar obyek wisata sudah diperhitungkan. Hal ini tidak berarti semua program peningkatan kesejahteraan masyarakat hanya menjadi tanggung jawab Dinas Pariwisata saja tapi merupakan bagian kerjasama antar dinas. Memang kerjasama seperti ini mungkin masih sulit karena ego-sektoral yang masih melekat pada setiap dinas yang ingin menonjol sendiri. Namun saya yakin dan percaya dengan kepemimpinan yang kuat maka masalah ini akan terkikis dengan sendirinya.

Kesimpulan

Pengembangan pariwisata berbasis komunitas di Bunaken, Kimabajo, dan Tangkoko di satu sisi memberi dampak positif tapi juga di sisi lain menimbulkan masalah. Dampak positif adalah pengembangan pariwisata dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat karena ekonomi rumah tangga meningkat. Hal ini berlaku bagi anggota masyarakat yang mempunyai kapasitas untuk terlibat dalam aktivitas pariwisata. Namun kondisi menjadi berbeda bagi masyarakat yang tidak mempunyai kapasitas yang cocok untuk berpartisipasi. Mereka menjadi penonton dan timbul irihati yang berpotensi konflik. Dari sini pengembangan kapasitas masyarakat lokal menjadi masalah pokok yang harus dilaksanakan jika pemerintah ingin melihat pengembangan pariwisata berbasis komunitas berhasil.

Pengembangan pariwisata pada tiga lokasi tersebut memunculkan konflik antara masyarakat lokal dan pengusaha luar. Hal seperti ini terjadi karena masyarakat lokal merasa tidak mendapatkan apa-apa dari pengembangan pariwisata. Memang ada satu wilayah yang hubungan pengusaha dan masyarakat lokal harmonis yaitu Kimabajo. Di sini pengusaha memprioritaskan penduduk lokal ketika mereka melakukan perekrutan tenaga kerja.

Tugas Pemerintah Daerah selama ini membuat kebijakan tetapi kebijakan selama ini kadang-kadang kita tidak jelas dasarnya. Kebijakan yang berasal dari Pemerintah Pusat sering bermasalah karena mereka kurang informasi mengenai kondisi di lapangan. Kebijakan apa pun harus memperhatikan konteks. Di sini penelitian dilapangan menjadi penting sebagai dasar pembuatan kebijakan. Dengan demikian kebijakan yang dibuat lebih mencerminkan kebutuhan di lapangan.

Gambar 8.1

Guide dan Penyelam Istirahat di Bunaken

Gambar 8.2

Dalam dokumen D 902009101 BAB VIII (Halaman 35-42)

Dokumen terkait