• Tidak ada hasil yang ditemukan

D 902009101 BAB VIII

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "D 902009101 BAB VIII"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 8

Dinamika Pengembangan Pariwisata Berbasis

Komunitas di Sulawesi Utara: Sebuah Sintesa

Pendahuluan

Salah satu keberhasilan pengembangan pariwisata adalah dukungan masyarakat di sekitar obyek wisata. Pariwisata tanpa dukungan masyarakat sekitar biasanya tidak bertahan lama atau dengan kata lain akan memunculkan masalah keberlanjutan (sustainability). Dukungan masyarakat sangat tergantung pada partisipasi mereka dalam pariwisata. Saya mau membangun argumen bahwa masalah partisipasi dapat teratasi jika pengembangan pariwisata memberi manfaat ekonomi kepada masyarakat. Bab ini menyajikan sintesa yang menjadi temuan dari tiga lokasi penelitian, Bunaken, Kimabajo, dan Tangkoko. Proses sintesa ini mencoba menemukan beberapa konsep yang nantinya menjadi dasar yang memnberikan gambaran dinamika pengembangan pariwisata di tiga lokasi tersebut. Gambaran yang kita peroleh dapat dianggap sebagai model pariwisata yang berkembang di tiga wilayah tersebut. Dari model ini kita akan memperoleh hambatan yang muncul ketika pariwisata berbasis masyarakat dikembangkan.

Peluang Kerja dan Peluang Usaha

(2)

sehari hari. Sebagai nelayan sudah dapat dibayangkan pendapatan masyarakat tidak stabil karena berbagai masalah. Salah satu masalah adalah kelembagaan yang berkaitan dengan hasil tangkapan. Hasil tangkapan ada yang dijual namun karena mata rantai niaga yang panjang menyebabkan pendapatan para nelayan tidak meningkat. Pada umumnya bisnis ikan melibatkan jaringan disribusi yang cukup panjang. Selain itu ada juga masalah dengan cuaca. Ketika musim angin barat gelombang laut cukup tinggi sehingga para nelayan hampir tidak mungkin melaut. Keadaan ini yang membuat pendapatan para nelayan pada musim tertentu

mengalami masa paceklik. Pada musim seperti inilah livelihood

masyarakat nelayan terganggu. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan telah menunjukkan bahwa nelayan tradisional hampir tidak mungkin lepas dari kemiskinan (Panayotou, 1982). Wilson Therik (2007) dalam penelitian di Pulau Rote menemukan para nelayan tetap hidup dalam kemiskinan dalam cengkraman juragan. Temuan Therik jelas menunjukan bahwa nelayan terbelenggu dalam suatu struktur sosio-ekonomi yang sifatnya eksploitatif. Oleh karena itu apa yang pernah dialami para nelayan di Kimabajo, Bunaken, dan Tangkoko adalah gambaran umum nasib nelayan di kebanyakan wilayah daerah lain di Indonesia. Masuknya pariwisata membantu perekonomian sebagian besar masyarakat di tiga wilayah tersebut.

Pariwisata mempunyai dampak positif dan negatif terhadap suatu masyarakat. Dalam beberapa kajian kedua dampak tersebut sudah dibahas (Meyer 2006; Neto 2003; Cattarinich, 2001;

Gee, et al, 1989). Dalam bagian ini saya hanya mengulas dampak

(3)

lebih dominan peluang kerja dan ada wilayah tertentu yang dominan peluang usaha. Contoh pariwisata yang berhasil mendorong peluang kerja adalah Kimabajo. Hampir semua

penduduk di wilayah ini bergantung pada daya serap dua resort

yang beroperasi di sana. Semua keluarga di wilayah ini berharap salah satu anggota keluarga dapat bekerja di sektor pariwisata yang berkembang di sana. Hal lain yang menarik adalah kehadiran aktivitas pariwisata bukan saja memberi pendapatan tapi juga mengangkat status sosial masyarakat. Hal ini dirasakan masyarakat Kimabajo.Menjadi petani dan nelayan oleh masyarakat setempat dianggap sebagai profesi yang mempunyai status lebih rendah disbanding dengan status pegawai. Hal ini yang membuat penduduk sangat bersikap positif dan mau berkompromi dengan berbagai tuntutan pengusaha yang beroperasi di sana.

Gambaran pengembangan pariwisata di Kimabajo sedikit berbeda dengan kenyataan pengembangan yang ada di Bunaken. Pengembangan pariwisata di Bunaken menempatkan orang lokal sebagai orang asing di tempat mereka sendiri. Tidak banyak orang

lokal yang bekerja pada resort yang dibangun di sana. Kebanyakan

para pekerja mereka berasal dari luar pulau dan penduduk lokal termarjinalisasikan. Para pengusaha di Bunaken tampaknya belum

peduli dengan masyarakat lokal. Hal ini karena resort yang

(4)

barangkali menjadi alasan para pengusaha lebih memprioritaskan pekerja dari luar daripada pekerja di Bunaken sendiri. Dengan kata lain pariwisata yang berkembang di Bunaken kurang memberi manfaat kepada masyarakat lokal jika ditinjau dari penyediaan kesempatan kerja.

Perkembangan usaha pariwisata di Tangkoko menunjukan gambaran yang lain. Pariwisata yang berkembang di Tangkoko tidak banyak membantu penyerapan tenaga kerja lokal. Hal ini karena pengusaha yang beroperasi di sana masih sedikit dan belum membutuhkan tenaga kerja lokal. Jika dibanding dengan Kimabajo dan Bunaken, Tangkoko lebih jauh dari Kota Manado dengan fasilitas yang masih terbatas. Selain itu para turis yang ke Sulawesi Utara lebih berminat ke aktivitas menyelam dan dalam hal ini Bunaken dan Kimabajo lebih beruntung. Turis yang tertarik dengan satwa dan fauna atau kegiatan khusus lain di alam masih terbatas dan jumlah mereka masih sedikit. Para turis yang datang juga membawa alat perlengkapan perkemahan sendiri sehingga tidak terlalu membutuhkan penginapan. Hal ini yang membuat belum banyak pengusaha dari luar yang tertarik menanamkan modal di Tangkoko. Memang pengembangan pariwisata di Tangkoko menjadi perdebatan atau menjadi paradox tersendiri. Di satu pihak ada keinginan pemerintah agar obyek ini tumbuh dan dapat menarik lebih banyak wisatawan, namun di lain pihak maka jumlah turis yang banyak mungkin akan mengganggu habitat satwa di sana. Masalah yang dimunculkan

adalah terbatasnya kapasitas (carrying capacity) obyek wisata ini

untuk menerima wisatawan lebih banyak. Dengan demikian, dalam kontroversi semacam ini obyek wisata Tangkoko dalam jangka panjang belum dapat diandalkan menyerap tenaga kerja lokal seperti Kimabajo dan Bunaken.

(5)

yang beroperasi di sini membuat kebijakan memprioritaskan perekrutan penduduk lokal sebagai pekerja. Kebijakan ini sangat tepat yang membuat perusahan mendapat dukungan masyarakat lokal untuk tetap beroperasi di sana. Hal ini tidak terjadi di Bunaken, pengusaha luar belum memprioritaskan tenaga kerja lokal sehingga dukungan terhadap perusahan rendah. Lain hal dengan Tangkoko, pariwisata di daerah ini belum berkembang secara maksimal sehingga penyerapan tenaga kerja masih rendah. Oleh karena itu belum terlihat peran tenaga kerja dalam aktivitas pariwisata di sana.

Lebih lanjut, pengembangan Pariwisata di Kimabajo, Bunaken, dan Tangkoko mendorong munculnya peluang usaha baru baik bagi masyarakat lokal maupun masyarakat luar. Seperti telah diungkapkan sebelumnya para pengusaha dari luar

memanfaatkan peluang usaha yang ada dengan mendirikan resort

dan usaha penyelaman. Usaha seperti ini didominasi masyarakat dari luar. Namun demikian, kita melihat juga upaya masyarakat lokal memanfaatkan peluang usaha ketika pengembangan pariwisata berlangsung. Pada umumnya usaha mereka membuat pondok sederhana melayani wisatawan penggelandang. Dalam bagian ini saya akan melihat bagaimana pengembangan pariwisata mendorong peluang usaha bagi masyarakat lokal di masing-masing wilayah tersebut.

Tidak seluruh masyarakat Kimabajo menggantungkan

hidupnya sebagai tenaga kerja pada resort yang beroperasi di sana.

Kehadiran kedua resort tersebut menciptakan peluang usaha baru

kepada masyarakat. Peluang usaha yang muncul di Kimabajo adalah potensi permintaan dari para pekerja lokal. Ada beberapa ibu yang melihat peluang ini dan membuka usaha melayani permintaan pekerja tersebut. Memang beberapa usaha yang berkembang di sini dilakukan oleh perempuan. Peluang usaha yang muncul di Kimabajo lebih menunjukan permintaan tidak

(6)

berkembang bukan karena permintaan langsung para wisatawan yang datang ke Kimabajo tapi oleh penduduk lokal yang memperoleh pendapatan dari kehadiran pariwisata. Walaupun demikian ada perbedaan karakter usaha di Kimabajo dibanding dengan Bunaken dan Tangkoko. Usaha yang berkembang di Kimabajo lebih bersifat sambilan oleh karena sebagian besar masyarakat tidak hanya bergantung pada usaha tapi pekerjaan lain. Dengan demikian dari sisi penciptaan kesempatan usaha, kehadiran pariwisata cukup positif di Kimabajo walaupun hanya bersifat komplementer.

Pengalaman di pulau Bunaken ada sedikit berbeda. Secara menyeluruh yang memanfaatkan peluang untuk berusaha adalah masyarakat Bunaken sendiri. Hal ini mungkin karena tidak banyak masyarakat lokal yang terserap sebagai tenaga kerja pada resort yang dibangun pengusaha luar. Masyarakat lokal di sana

membuka penginapan murah bagi wisatawan backpackers, dan

membuka rumah makan sederhana melayani tamu lokal dan asing dengan anggaran terbatas. Hal ini menggembirakan karena jika mereka terserap menjadi tenaga kerja, barangkali mereka tidak berpikir mendirikan usaha sendiri. Tentu usaha yang mereka bangun sekedar untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka sehari hari karena kebanyakan dari mereka tidak mempunyai pekerjaan lain sehingga lebih menggantungkan kebutuhan hari-hari dari usaha di sektor pariwisata. Memang ada beberapa keluarga yang membangun usaha dimana istrinya menjalankan usaha, sedang suaminya tetap menjadi nelayan, sehingga mereka tidak terlalu bergantung pada hasil dari usaha. Di satu pihak ada keprihatinan masyarakat lokal kurang terlibat sebagai pekerja,

namun ini dapat dikatakan sebagai blessing in disguise karena

situasi ini mendorong masyarakat lokal menjadi pengusaha, walaupun kecil-kecilan.

(7)

yang berkembang di sana. Namun demikian sudah ada inisiatif beberapa pengusaha lokal melayani para wisatawan yang masih terbatas jumlahnya. Keadaan ini mendorong berkembangnya entrepreneurship lokal. Pengusaha lokal tertarik memulai usaha kecil-kecilan karena melihat peluang usaha. Perkembangan entrepreneur di Tangkoko sedikit berbeda dengan Bunaken. Di

Tangkoko enterpreneur tumbuh karena peluang terbuka lebar

sedang di Bunaken karena diskriminasi. Sebenarnya dalam beberapa kasus agak sulit membedakan pengusaha dan para pekerja di Tangkoko. Misalnya, para pemandu wisata dapat digolongkan sebagai pengusaha. Sebagai pemandu mereka sebenarnya menjalankan usaha sendiri dan tidak bekerja pada orang lain. Oleh karena itu mereka dapat digolongkan sebagai pengusaha dengan menjadikan diri mereka sebagai pekerja. Mereka bahkan mengeluarkan dana sendiri untuk memperbaiki fasilitas publik yang ada di sana agar bisa menarik lebih banyak wisatawan. Keputusan yang mereka ambil dapat diibaratkan sebagai keputusan seorang pengusaha melakukan investasi untuk masa yang akan datang.

Dari uraian di atas, maka secara umum pariwisata telah meningkatkan pendapatan masyarakat di Kimabajo, Bunaken, dan Tangkoko. Kehadiran kegiatan pariwisata mendorong peningkatan kestabilan pendapatan masyarakat di sana. Sebelum pariwisata masuk, pendapatan masyarakat sebagai nelayan dan petani tidak bersifat tetap. Namun setelah sektor pariwisata berkembang, pendapatan mereka lebih teratur baik sebagai pekerja maupun sebagai pengusaha. Keadaan ini tentu akan lebih menjamin perbaikan kesejahteraan masyarakat dari pada mereka terus berkutat dengan sektor tradisional. Dengan kata lain dari segi

pemenuhan kebutuhan sehari-hari (livelihood) masyarakat merasa

(8)

pendapatan alternatif ini yang membuat masyarakat lolos dari jeratan rentenir. Singkatnya, pariwisata baik langsung maupun

tidak langsung telah meningkatkan kualitas hidup (quality of live)

masyarakat di sana. Walaupun sektor pariwisata menjanjikan namun ada juga masyarakat yang tidak mau hanya menggantungkan dari sektor tersebut. Hal ini terjadi baik di Kimabajo, Bunaken, dan Tangkoko. Pilihan ini sangat berkaitan erat dengan strategi pemenuhan kebutuhan sehari-hari (livelihood). Mereka yang hanya menggantungkan dari satu sumber pendapatan akan lebih rentan terhadap gejolak ekonomi daripada mereka yang melakukan diversifikasi pada kegiatan ekonominya dalam hal diversifikasi sumber pendapatan. Oleh karena itu dalam menjamin pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat lokal tidak hanya mengandalkan sektor pariwisata saja, tapi mereka mencari sektor lain sebagai sumber pendapatan alternatif.

Dari perspektif jender maka pengembangan pariwisata mendorong perempuan untuk terlibat dalam dunia usaha. Pada umumnya perempuan terlibat karena sampai derajat tertentu mereka adalah penyangga kebutuhan rumah tangga sehari-hari (livelihood) (Ashley, 2000). Inilah yang menjadi alasan kebanyakan sektor usaha kecil dan menengah dikendalikan perempuan. Temuan saya di tiga lokasi tersebut menunjukan semakin banyak perempuan yang terlibat dalam dunia usaha. Daerah yang paling menonjol dengan pengusaha perempuan adalah Kimabajo. Perempuan yang masuk ke sektor usaha di Kimabajo terdorong membantu ekonomi keluarga tanpa harus mengorbankan urusan rumah tangga. Walaupun para suami

bekerja di resort yang ada di sana, namun gaji mereka hanya

(9)

dikelola bersama, sehingga belum merupakan suatu usaha yang murni dicirikan perempuan. Keterlibatan khususnya perempuan dalam usaha belum nampak di Tangkoko. Hal ini karena belum banyak usaha yang berkembang di sana. Tapi melihat perkembangan di tempat lain ada kemungkinan pada masa depan akan muncul perempuan menjadi pengusaha dengan melihat peluang usaha di Tangkoko.

Hubungan pembangunan pariwisata dengan penciptaan lapangan kerja telah ditulis Bardgett (2000). Pengembangan pariwisata membuka peluang kerja di sektor perhotelan, rumah makan, biro perjalanan, dan berbagai tempat rekreasi. Neto, (2003) mengungkapkan bahwa pariwisata memberi peluang kerja bagi masyarakat dari berbagai kualifikasi, yaitu mereka yang berpendidikan rendah hingga yang berpendidikan tinggi. Dalam hal ini pengembangan pariwisata membuka peluang kerja bagi masyarakat lokal di tiga wilayah tersebut. Pada saat ini mereka yang terserap dalam pasar tenaga kerja lebih banyak yang berpendidikan rendah. Oleh karena itu pandangan Bardgett dan Neto dapat kita temui di Bunaken, Kimabajo dan Tangkoko. Lebih lanjut Neto (2000), mengatakan pengembangan pariwisata memberi peluang kepada perempuan berkiprah sebagai tenaga kerja. Pada umumnya perempuan bisa terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam sektor pariwisata. Sektor pariwisata mendorong perempuan memberdayakan diri sehingga mereka bisa

bekerja untuk diri sendiri (self-employed). Dari kajian lapangan

kita mendapati banyak perempuan yang terlibat dalam sektor pariwisata. Mereka bisa menjadi pelayan dan tukang masak di rumah makan kecil. Selain itu ada yang juga membuka usaha kecil dan mereka sendiri yang menjadi pekerjanya. Banyak usaha kios dijaga sendiri sehingga mereka dapat termasuk kedalam kategori bekerja untuk diri sendiri seperti yang dikatakan Neto.

(10)

lebih banyak menggunakan tenaga kerja daripada mesin. Selain itu industri pariwisata juga menyerap tenaga kerja dari berbagai kualifikasi, dari mereka yang mempuyai pendidikan rendah hingga yang tinggi. Lebih lanjut industri pariwisata banyak memperkerjakan perempuan sehingga banyak perempuan yang mengalami pemberdayaan melalui sektor ini. Oleh karena perempuan memainkan peran penting dalam ekonomi rumah tangga, maka keterlibatan mereka dalam usaha akan dengan sendirinya ikut mengurangi kemiskinan pada aras rumah tangga (Neto, 2003). Dalam kaitan dengan peluang usaha, Meyer (2006), menemukan di Karibia usaha masyarakat tumbuh karena ada permintaan barang dan jasa oleh para wisatawan, hotel dan restoran. Selain itu perkembangan pariwisata akan mendorong hubungan kemitraan antar pengusaha. Pengusaha lokal dapat menjadi mitra usaha pengusaha dari luar daerah. Lebih lanjut membangun relasi usaha dengan masyarakat lokal akan berarti para pengusaha besar mewujudkan tanggung jawab sosial mereka dengan lingkungan usaha mereka. Mitra usaha seperti yang digambarkan Meyer belum nampak di tiga lokasi penelitian. Pada umumnya mereka yang berusaha di sini adalah masih masuk dalam kategori usaha kecil yang langsung menjual produknya ke konsumen akhir.

Partisipasi Masyarakat dalam Pariwisata

(11)

lingkungan sosial yang aman sehingga para wisatawan merasa betah, atau melakukan upaya menjaga keselamatan tamu yang tinggal di sana. Dalam bagian ini saya hanya membahas partisipasi masyarakat menjaga lingkungan sosial dan keselamatan tamu di Kimabajo, Bunaken, dan Tangkoko. Keterlibatan masyarakat menjaga lingkungan akan dibahas pada bagian lain.

Hal yang menonjol dari proses pengembangan pariwisata adalah partisipasi masyarakat menjaga lingkungan sosial agar tamu betah tinggal di daerah mereka. Sering terjadi masalah antara wisatawan dan penduduk lokal karena gaya hidup atau budaya berpakaian para tamu belum dapat diterima secara positif oleh masyarakat. Dari tiga wilayah penelitian, hanya dua wilayah yang masyarakatnya menunjukan tingkat partisipasi yang tinggi menjaga kenyamanan tamu, yaitu, Kimabajo dan Tangkoko (lihat Tabel 8.1). Misalnya, ketika para tamu mengeluh tentang pengeras suara baik dari mesjid maupun gereja, masyarakat Kimabajo mau kompromi mengarahkan pengeras suara tersebut ke arah yang

berlawanan dengan posisi resort, sehingga para tamu tidak

terganggu.

(12)

yang rusak di sana. Hal ini mereka lakukan dalam rangka ikut memberi kenyamanan kepada para wisatawan.

Seharusnya fasilitas publik seperti ini wajib disiapkan pemerintah, namun karena pemerintah belum berbuat sesuatu di sana, masyarakat berinisiatif membangun fasilitas tersebut. Seperti dalam bab 7, fasilitas yang dibangun penduduk adalah tempat pembuangan sampah dan perbaikan bangunan untuk kamar kecil. Tentu menjadi pertanyaan apa alasan masyarakat mau berkorban, padahal ini semestinya dilakukan pemerintah. Alasan yang dapat diterima adalah adanya harapan masyarakat Tangkoko agar daerah mereka menjadi daerah tujuan wisata seperti dua daerah lain dalam penelitian ini. Pengorbanan yang dilakukan masyarakat dapat diibaratkan sebagai investasi untuk perbaikan kesejahteraan atau perbaikan nasib mereka di masa depan.

Tabel 8.1

Tingkat Parisipasi Masyarakat Menjaga Kenyamanan Tamu

Daerah/Tingkat

Partisipasi Bunaken Kimabajo Tangkoko

Tinggi X X

Menengah

Rendah X

Sumber: diolah dari data primer

Partisipasi dari masyarakat Bunaken yang berkaitan dengan kenyamanan wisatawan tidak terlalu nampak seperti Kimabajo dan Tangkoko. Hal ini karena kehadiran pengusaha asing di sana sejak awal sudah bermasalah dengan penduduk lokal.

Wilayah yang menjadi lokasi resort merupakan sebuah enclave

(13)

merasa mempunyai tanggung jawab terhadap kenyamanan wisatawan. Sampai saat ini belum terjadi konflik terbuka antara wisatawan dengan penduduk lokal, namun keadaan ini mungkin menyimpan ketegangan yang bisa pecah suatu ketika. Singkatnya, penduduk akan terlibat dalam menjaga ketenangan lingkungan sosial jika mereka memperoleh manfaat langsung dari kehadiran pengembangan pariwisata itu sendiri. Walaupun demikian, dalam hal kesadaran lingkungan, masyarakat Bunaken cukup aktif. Pembahasan tentang lingkungan akan diuraikan dalam bagian berikut.

Partisipasi tidak bisa lepas dari modal sosial yang dibangun dalam masyarakat. Kekuatan modal sosial ini dapat dilihat dari keinginan bersama menjaga kenyamanan tamu. Jika ada keluhan masyarakat dari berbagai golongan dan latar belakang duduk bersama mencari solusi bersama. Dalam masyarakat yang heterogen seoerti ini biasanya sulit menggalang dukungan dari semua pihak. Di sini peran modal sosial menjadi sangat penting. Dari beberapa kepustakaan bentuk modal sosial yang berkembang

di Bunaken dan Kimabajo adalah bridging social capital. Sedang

yang berkembang di Tangkoko lebih mengarah pada bonding

social capital. Kedua bentuk modal sosial di atas diungkapkan oleh Putnam (2000), dalam bukunya yang menjadi acuan mereka yang mempelajari topik ini.

Kesadaran Masyarakat Menjaga Lingkungan

Lingkungan menjadi masalah yang mendapat perhatian dalam pengelolaan pariwisata di berbagai negara. Memang dalam

pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan (sustainable tourism),

(14)

mereka sadar bahwa pada masa mendatang obyek seperti ini bisa punah karena berbagai alasan. Misalnya, kebijakan pemerintah yang keliru, pertumbuhan penduduk, dan kebijakan Tata Ruang yang kurang jelas mempunyai potensi menghancurkan otensitas sebuah obyek wisata. Dengan demikian pengembangan pariwisata tidak bisa mengabaikan pelestarian lingkungan. Pembahasan lebih lanjut adalah bagaimana kesadaran masyarakat lokal terhadap lingkungan. Bentuk-bentuk partisipasi apa yang dilakukan masyarakat menjaga lingkungan.

Tabel 8.2

Perbandingan Masalah Lingkungan di Bunaken, Kimabajo, dan Tangkoko

D

aerah/Kualitas

Masalah Bunaken Kimabajo Tangkoko

Sangat

Bermasalah X

Cukup

Bermasalah

X X

Kurang

Bermasalah

Sumber: diolah dari data primer

(15)

masyarakat Bunaken. Masyarakat sendiri merasa frustrasi karena mereka yang sering disalahkan sebagai penyebab abrasi. Masyarakat sering dipersalahkan berkaitan dengan abrasi. Mereka dituduh mengambil pasir untuk bangunan rumah sehingga pantai yang tadinya landai berubah menjadi lebih curam. Penduduk tidak menerima tuduhan tersebut. Mereka merasa bahwa abrasi yang dialami merupakan dampak pemanasan global yang membuat air laut naik lebih tinggi dari biasanya. Oleh karena itu jangan ada yang disalahkan karena kondisi tersebut di luar kekuasaan mereka. Terlepas dari itu semua penduduk berharap ada upaya dari pemerintah mengatasi masalah abrasi. Namun dari sisi lain pemerintah sendiri juga bingung dengan fenomena aberasi ini dan belum banyak berbuat untuk berusaha mengatasinya karena mungkin anggaran masih terbatas. Pemerintah belum membangun pemecah ombak seperti yang diharapkan masyarakat untuk menekan tingkat abrasi di sana.

(16)

tempat tinggal dan sekaligus tempat usaha mereka sehingga mereka juga peduli terhadap masalah ini. Namun masalah yang dihadapi masyarakat Bunaken menyangkut gejala alam di luar kekuasaan mereka maka untuk pemecahan mereka meminta bantuan dari pihak luar (pemerintah dan LSM). Temuan ini sejalan dengan pendapat Denman bahwa ketika masyarakat menghadapi masalah lingkungan yang mengancam eksistensi mereka maka mereka akan sungguh-sungguh memberi perhatian.

Masalah lingkungan juga terlihat di Tangkoko namun belum separah di Bunaken. Masalah yang sering ditemui di sana adalah sampah plastik dan kaleng yang ditinggalkan para wisatawan ketika mengunjungi hutan Tangkoko. Sampah yang dibiarkan berserakan bukan saja mengganggu pemandangan tapi mengancam habitat satwa dan tanaman yang ada di sana. Memang ini masih menjadi masalah karena belum ada fasilitas pembuangan sampah yang memadai. Memang pada awalnya pemerintah membuat tempat penampungan sampah namun setelah beberapa waktu tempat sampah tersebut rusak dan tidak ada pergantian. Kondisi ini yang menyebabkan para wisatawan (pada umumnya wisatawan lokal) membuang sampah di sembarang tempat.

Kimabajo yang memang paling tidak merasakan masalah lingkungan secara serius. Daerah ini belum mengalami abrasi seperti yang terjadi di Bunaken. Memang ada masalah sampah kiriman tapi tidak separah Bunaken. Selain itu hampir seluruh wilayah Kimabajo menjadi daerah pemukiman sehingga penduduk dapat mengelola sampah dengan baik dan lingkungan lebih terjaga

dengan baik. Selain itu resort yang ada di daerah ini tidak

(17)
(18)

Pengembangan Kapasitas Masy

arak

at

Ketika membahas tentang partisipasi dalam kaitan dengan perkembangan pariwisata kita harus memperhatikan kapasitas masyarakat. Sering terjadi masyarakat menjadi penonton ketika pariwisata berkembang di suatu daerah mereka karena kapasitas mereka untuk terlibat dalam kegiatan pariwisata. Kapasitas yang dimaksud di sini adalah ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki anggota masyarakat yang memungkinkan mereka ambil bagian dalam kegiatan pariwisata baik sebagai pekerja maupun sebagai pengusaha. Dengan kata lain kapasitas masyarakat berkaitan erat dengan modal manusia yang ada dalam masyarakat tersebut. Sebagai bagian dari modal manusia maka stok kapasitas yang dimiliki anggota masyarakat bisa dilihat sebagai bentuk investasi yang dilakukan keluarga atau pemerintah. Investasi modal manusia yang dilakukan keluarga dengan maksud mempersiapkan anggota keluarga agar bisa mandiri secara ekonomi sehingga dapat membantu ekonomi keluarga pada masa depan. Jika pemerintah daerah yang melakukan investasi tentu dengan maksud agar tenaga tersebut dapat berpartisipasi dalam aktivitas pembangunan di daerah tersebut. Berikut ini saya akan membahas program pengembangan kapasitas di tiga wilayah yang menjadi obyek penelitian.

(19)

akan mendatangkan pekerja dari luar daerah. Disini muncul dilema karena di satu pihak ada keinginan agar pengembangan pariwisata dapat menyerap tenaga kerja lokal namun dari sisi modal manusia mereka tidak memenuhi syarat. Sebaliknya jika tidak diijinkan maka kemungkinan besar para pengusaha siap membatalkan keputusan berusaha di daerah tersebut.

Akhirnya, masyarakat lokal juga harus berkompromi agar pengusaha merekrut tenaga khusus yang memang tidak tersedia di daerah tersebut, dan masyarakat lokal harus bisa menerima menduduki posisi yang kurang strategis. Setelah mendapatkan gambaran kapasitas yang dimiliki masyarakat lokal di tiga wilayah penelitian yang masih lemah, kita dapat menarik kesimpulan bahwa masyarakat membutuhkan pengembangan kapasitas. Tabel 8.3 menunjukan proses pemberdayaan berlangsung di Bunaken, Kimabajo, dan Tangkoko.

Hal yang menarik di sini adalah masyarakat lokal belum merasakan proses pemberdayaan yang dilakukan pemerintah. Dari hasil wawancara di tiga daerah tersebut tidak ada satu pun informan yang menyinggung bahwa masyarakat lokal pernah merasakan proses pemberdayaan yang dilakukan pemerintah. Dari hasil wawancara di tiga daerah tersebut tidak ada satu pun informan yang menyinggung program pemberdayaan pemerintah dalam rangka pengembangan pariwisata di tempat mereka masing-masing. Barangkali upaya pemerintah telah melakukan pemberdayaan untuk sektor lain tapi khusus sektor pariwisata pemerintah belum menunjukkan peran mereka.

(20)

usaha atau bekerja. Keinginan membayar sendiri dapat dilihat sebagai suatu kesadaran masyarakat tentang perlunya ketrampilan tertentu jika mereka ingin turut berpartisipasi dalam kegiatan pariwisata. Mereka sadar bahwa tidak mungkin ada perusahan

Tabel 8. 3

Pengembangan Kapasitas

Daerah/Pihak-pihak Terkait Bunaken Kimabajo Tangkoko

Pemerintah

LSM X X

Perusahan X

Masyarakat X X X

Sumber: diolah dari data primer

yang mau merekrut mereka jika tidak mempunyai ketrampilan yang dibutuhkan. Dari sini jelas penduduk lokal mengetahui tentang tuntutan dunia kerja yang professional yang didasarkan pada prestasi. Kesadaran inilah yang menyebabkan penduduk tidak protes jika perusahan merekrut tenaga kerja dari luar karena ketrampilan yang dibutuhkan tidak tersedia dalam masyarakat tersebut. Kursus bahasa Inggris tidak hanya diikuti mereka yang

mau bekerja pada resort tapi oleh mereka yang membuka usaha

penginapan kecil-kecilan. Ketrampilan berbahasa dibutuhkan para pengusaha agar mereka bisa melayani tamu di penginapan mereka.

(21)

di sana adalah masalah lingkungan. Biasanya lingkungan menjadi masalah global yang mendapatkan perhatian lembaga-lembaga internasional. Termasuk LSM juga berperan memberdayakan penduduk lokal melestarikan hutan dan berbagai satwa dan fauna yang hidup di dalamnya. Hal ini bisa dilihat pada pengalaman Bunaken. LSM di Tangkoko sangat berperan melatih penduduk

menjadi guide yang menjaga lingkungan dan satwa dan fauna

yang ada di dalamnya. Namun karena hutan tersebut milik negara sering terjadi ketegangan antara jagawana dan petugas dari Dinas Kehutanan di sana.

Pengembangan kapasitas masyarakat sekitar wilayah obyek wisata sudah dibahas oleh Cupples (2005), dan Aref dan Redzuan (2009). Mereka berpendapat defisit kapasitas di suatu daerah bisa menyebabkan dominasi pekerja dari luar daerah terhadap pekerja lokal. Oleh karena itu perlu ada pengembangan kapasitas masyarakat lokal sehingga mereka tidak menjadi penonton kegiatan pariwisata di daerah mereka sendiri. Selain itu pengembangan kapasitas akan turut menghapus kemiskinan di suatu daerah wisata (Ashley, 2001). Hasil penelitian ini menunjukan ada pengembangan kapasitas yang dilakukan LSM dan masyarakat sendiri. LSM berkepentingan untuk upaya mengembangkan kapasitas masyarakat Tangkoko karena keprihatinan mereka dengan pelestarian lingkungan. Sejalan dengan pendapat Ashley, LSM dan masyarakat melakukan pengembangan ketrampilan masyarakat sekitar obyek wisata di Bunaken, Kimabajo, dan Tangkoko agar masyarakat bisa memperbaiki kesejahteraan ekonomi mereka. Dalam hal pengembangan kapasitas pemerintah belum berbuat banyak.

Konflik dalam Pengembangan Pariwisata

(22)

di sini bisa berupa perlawanan yang sifatnya terbuka hingga ketegangan sosial antar dua kelompok sosial. Perlawanan terbuka bisa berupa perlawanan fisik. Sedangkan ketegangan sosial bisa berupa protes sosial baik secara terbuka maupun tersembunyi. Sebenarnya protes tersebut juga bisa dilihat sebagai bentuk perlawanan seperti yang diungkapkan oleh James Scott (2000). Khusus mengenai Scott akan dibahas lebih lanjut pada bagian lain dalam bab ini.

Potensi konflik antara masyarakat dengan wisatawan bisa muncul sebagai akibat perbedaan nilai kultural. Misalnya, ada komunitas masyarakat belum bisa menerima jika wisatawan yang mengenakan pakaian minim berkeliling di sekitar tempat tinggal penduduk. Konflik juga bisa terjadi antara masyarakat dengan pengusaha. Konflik semacam ini karena perebutan lahan ekonomi karena adanya Pariwisata. Lebih lanjut konflik bisa terjadi juga antara pemerintah dengan kelompok masyarakat lokal. Kebijakan pemerintah juga bisa diterima masyarakat secara negatif karena kebijakan tersebut mengancam sumber ekonomi mereka. Mereka juga bisa melawan karena dampak kebijakan yang dibuat pemerintah telah menempatkan mereka sebagai pemain pinggiran dalam pengembangan pariwisata. Akhirnya, konflik juga bisa terjadi antar masyarakat karena kompetisi mendapatkan tamu. Dalam bagian ini kita akan coba melihat peta konflik karena pengembangan pariwisata di tiga wilayah penelitian dan karena penyebabnya.

(23)

mendiami Bunaken hanya menjadi penonton ketika pariwisata berkembang. Pemerintah daerah dianggap tidak berpihak kepada penduduk lokal tapi lebih berpihak pada kepentingan pengusaha

Tabel 8. 4

Potensi Konflik berdasarkan Daerah

Daerah/Intensitas

Konflik Bunaken Kimabajo Tangkoko

Pemerintah X X X

Pengusaha X

Antar Masyarakat

Sumber: diolah dari data primer

Ibarat makan roti, para pengusaha makan roti yang enak dan penduduk makan remah-remah. Di sini kemudian muncul potensi perlawanan masyarakat terhadap pemerintah dan pengusaha. Memang sampai saat ini perlawanan tersebut masih terkontrol karena kebutuhan sehari-hari masih mudah diperoleh, namun keadaan ini bisa berubah menjadi konflik terbuka pada masa mendatang jika sumber kehidupan sehari-hari sudah tidak bisa terpenuhi.

(24)

hal ini dia melihat perlawanan terhadap negara karena pajak yang dikenakan kepada masyarakat sudah mengancam pemenuhan kebutuhan subsisten. Lebih lanjut, dalam bukunya yang kemudian Scott mulai memperbaiki teorinya dengan mencoba memilah bentuk perlawanan menjadi beberapa macam. Bentuk perlawanan bisa keras dan terbuka dan bisa juga halus dan tersembunyi. Bentuk perlawanan yang terjadi sehari-hari biasanya halus dan tersembunyi, dan baru menjadi keras dan terbuka jika kebutuhan pokok mereka terganggu. Dalam penelitian ini bentuk perlawanan keras dan halus seperti yang diungkapkan Scott belum nampak di Bunaken. Namun ketidakpuasan sudah mulai nampak dari obrolan masyarakat lokal. Walaupun ini hanya baru berupa gerutuan masyarakat namun sudah bisa dikatakan sebagai suatu bentuk perlawanan kognitif. Bentuk perlawanan seperti ini terasa masih tersebar secara individual dan belum terlihat merupakan gerakan perlawanan bersama. Namun kondisi ini dapat menjadi cikal bakal aksi perlawanan bersama jika masyarakat dapat mengorganisir diri atau diorganisir pihak lain.

(25)

pemandu. Oleh karena itu dalam persaingan ini para pegawai kehutanan selalu dalam posisi lebih baik.

Persaingan antara para guide sebagai pemandu wisata

lokal dengan jagawana belum sampai pada konflik terbuka karena masih ada hubungan keluarga diantara mereka. Para pemandu lokal masih berhubungan kekeluargaan dengan para pegawai kehutanan/jagawana tersebut melalui ikatan tali perkawinan. Oleh karena masyarakat di sini masih beretika menjunjung tinggi senioritas maka biasanya para pemandu yang rata-rata masih muda memilih mengalah kepada senior mereka agar hubungan kekeluargaan tidak hancur. Selain itu, para pemandu wisata masih masih mempunyai sumber pendapatan alternatif yaitu, selain menjadi pemandu juga bekerja sebagai petani dan nelayan. Walaupun pendapatan sebagai petani dan nelayan tidak selalu dapat diandalkan namun jika terjadi situasi yang mendesak kedua pekerjaan tersebut dapat menopang kehidupan mereka sehari-hari. Situasi seperti yang digambarkan di atas yang dapat meredam konflik terbuka antara masyarakat lokal dengan pegawai Dinas Kehutanan yang nota bene adalah aparat pemerintah.

(26)

terbuka. Namun secara menyeluruh terlihat hampir tidak terjadi ketegangan yang berarti di Kimabajo.

Singkatnya, konflik yang terjadi berbeda antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Masing-masing wilayah menunjukkan pola dan intensitas konflik yang berbeda. Konflik yang terjadi di Kimabajo lebih banyak melibatkan penduduk dengan pejabat namun hampir tidak terjadi konflik dengan para pengusaha. Usaha yang dikembangkan di Kimabajo berada di tengah pemukiman penduduk, sehingga penduduk merasa usaha resort tersebut adalah bagian dari penduduk. Di Tangkoko konflik muncul sebagai akibat persaingan antara petugas dan para pramuwisata. Di Tangkoko belum banyak pengusaha yang masuk sehingga konflik dengan pengusaha hampir tidak ada. Lain hal di Bunaken, konflik justru muncul antara pengusaha dan penduduk lokal. Pemerintah juga ikut berperan meningkatkan konflik dengan membuat kebijakan yang lebih berpihak pada pengusaha.

Kehadiran resort di Bunaken sebagai sebuah enclave yang terpisah

dari masyarakat menyebabkan masyarakat merasa tidak memiliki

usaha resort yang ada. Resort milik pengusaha adalah benda asing

di mata penduduk. Masyarakat yang juga berusaha dalam penginapan, berkompetisi dengan pengusaha dari luar. Keadaan ini yang menambah intensitas konflik dengan pengusaha semakin kuat di Bunaken.

(27)

ketentraman sosial. Hal ini dapat terlihat di Bunaken, Kimabajo dan Tangkoko. Namun modal sosial yang berkembang di

Kimabajo lebih condong ke bridging social capital, Putnam (2000),

karena masyarakat ini berbeda beda dari segi etnis dan agama. Sedang modal sosial yang berkembang di Bunaken dan Tangkoko

dapat disebut sebagai bonding social capital, Putnam, (2000),

karena masyarakat yang hidup di sana mempunyai ikatan keluarga dari tali- temali perkawinan.

Hal yang juga menarik adalah penolakan masyarakat dari ketiga wilayah tersebut terhadap masyarakat luar untuk bekerja atau berusaha di daerah mereka. Masyarakat lokal menganggap kehadiran pariwisata selayaknya dinikmati mereka yang berdiam di daerah itu. Penolakan ini menunjukan bahwa masyarakat lokal menganggap kehadiran pariwisata sebagai berkah yang disediakan untuk mereka. Penolakan terhadap orang luar dapat dilihat sebagai upaya masyarakat lokal mengurangi kompetisi antar mereka (masyarakat lokal sendiri). Sebelum orang luar datang kompetisi sudah muncul antar sesama anggota masyarakat dan jika orang luar dibiarkan masuk kompetisi akan semakin ketat. Jika kompetisi semakin ketat bisa terjadi masyarakat akan menjadi sangat individualistis yang pada akhirnya melemahkan modal sosial masyarakat. Dengan kata lain, penolakan terhadap orang luar adalah strategi masyarakat lokal memelihara modal sosial yang hidup di daerah mereka masing-masing.

Beberapa penelitian telah menunjukan konflik yang

muncul sebagai akibat pengembangan pariwisata (Rowe, et al,

2002; Ashley, 2000; Pandey, et al, 1995). Misalnya, Ashley dalam

penelitian di Namibia menemukan konflik antara masyarakat lokal dengan petugas konservasi. Hal yang sama saya temukan di Tangkoko, penduduk lokal berbenturan kepentingan dengan petugas dari Dinas Kehutanan. Dari Kimabajo saya menemukan penduduk sempat tegang dengan pengusaha karena akses ke

(28)

(2008), yang melihat penduduk memprotes pembangunan sarana pariwisata di Kenya menghambat akses penduduk terhadap sumber mata air minum. Selain itu Uddhammar (2006), mengungkapkan ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah Afrika Selatan karena hak masyarakat atas hutan tidak diakui. Masalah yang diungkapkan terakhir ini juga dialami penduduk Bunaken dan Tangkoko.

Kebijakan Pengembangan Pariwisata

Kebijakan pariwisata di Provinsi Sulawesi Utara selama ini lebih bersifat makro dan hampir tidak ada kebijakan khusus pariwisata yang dikaitkan dengan pengembangan masyarakat lokal. Dalam kebijakan makro pengembangan pariwisata dikaitkan dengan kenaikan pendapatan asli daerah (PAD) dan penciptaan lapangan kerja. Nasib masyarakat yang tinggal di sekitar obyek wisata belum menjadi perhatian pemerintah karena ada asumsi bahwa jika pariwisata sudah mampu berkembang, secara otomatis masyarakat sekitar akan mendapat keuntungan sebagai pekerja dan terciptanya peluang usaha. Tugas pemerintah kemudian adalah membangun infrastruktur seperti jalan dan jembatan yang dapat mendorong pengembangan kegiatan pariwisata dan pada akhirnya merangsang pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal. Dalam pembuatan kebijakan seperti inilah maka pemerintah menganut pendekatan neo-liberalisme yang sangat percaya pada mekanisme pasar.

(29)

berbeda. Dengan demikian dinas pariwisata tidak merasa perlu merancang program pemberdayaan sendiri, namun masyarakat yang tinggal di sekitar obyek wisata tetap mengharapkan peran aktif dinas pariwisata.

Target kebijakan pariwisata hingga selama ini adalah upaya mempromosikan obyek wisata di Provinsi Sulawesi Utara agar dikenal calon wisatawan dari luar negeri. Semakin banyak wisatawan yang berkunjung akan semakin besar kontribusinya pada pertumbuhan ekonomi daerah. Namun juga yang menjadi masalah adalah apakah pariwisata bisa diandalkan sebagai sektor unggulan yang dapat menggerakan sektor lain. Karena selama ini pariwisata masih dipandang sebagai sebuah sektor yang sama statusnya dengan sector-sektor yang lain seperti sektor pertanian, pertambangan, dan industri. Padahal jika mau dikaji secara seksama potensi sektor pariwisata cukup besar untuk menjadi sektor unggulan pada masa depan. Ada beberapa alasan untuk mendukung pernyataan di atas. Pertama, selama ini tujuan wisata yang paling popular di Indonesia adalah Bali dan Yogyakarta. Baru setelah itu Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Utara. Kedua, Provinsi Sulawesi Utara mempunyai obyek wisata dengan karakteristik lebih beragam. Ada obyek wisata pantai dan laut, wisata hutan dengan spesies satwa dan fauna yang beragam. Daerah lain hanya mengandalkan salah satu dari obyek yang disebut di atas. Dengan kekayaan obyek wisata seperti ini seharusnya Provinsi Sulawesi Utara akan lebih mudah menjaring lebih banyak wisatawan di masa datang.

(30)

menarik wisatawan dari seluruh dunia (Long, 2004). Dalam hal ini yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mempersiapkan para pengusaha yang bergerak di kuliner merancang paket kursus masak yang menarik perhatian.

Jelas dari paparan di atas pada masa yang akan datang pariwisata berpotensi sebagai sektor unggulan yang menjadi penggerak sektor ekonomi yang lain. Perkembangan pariwisata akan mendorong sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan ikut berkembang. Pengalaman Bali dapat dipakai sebagai contoh. Provinsi Bali mengandalkan pariwisata untuk menggerakan sektor ekonomi yang lain. Pariwisata menumbuhkan usaha perhotelan dan rumah makan di Bali. Permintaan dari kedua sektor tersebut menumbuhkan kegiatan di sektor pertanian, kerajinan tangan, dan konveksi (Arjani dan Wiasti, 1991). Selain itu pariwisata yang berkembang di Bali dirasakan oleh penduduk lokal dengan

menyiapkan penginapan sederhana kepada wisatawan jenis

back-packers yang mempunyai anggaran yang terbatas.

(31)

sepanjang arah dari Manado ke Tumpaan, seperti desa Arakan, Wawontulap, dan Poopo mulai menjadi obyek pariwisata Sulawesi Utara. Dengan kata lain daerah tertentu yang dulunya tidak dikenal sekarang menjadi terkenal sebagai tempat wisata setelah infrastruktur jalan dibangun.

Selain ketersediaan infrastruktur, tidak kalah pentingnya adalah kebijakan tentang penataan ruang. Kebijakan Tata Ruang memang sudah dilakukan tapi masih dominan berorientasi pada perdagangan dan pemukiman. Padahal yang dibutuhkan adalah Tata Ruang kota yang ikut mendukung perkembangan pariwisata daerah. Pada intinya kebijakan Tata Ruang Pariwisata perlu

memperhatikan daya dukung (carrying capacity) obyek wisata.

Seperti diingatkan Klaric dan kawan-kawan bahwa kebijakan pariwisata bisa menjadi malapetaka jika mengabaikan daya

dukung suatu daerah (Klaric, et al, 1999). Oleh karena itu Tata

Ruang harus dirancang secara hati-hati dalam rangka menjaga kelangsungan pariwisata. Pada umumnya para wisatawan lebih banyak menghabiskan waktunya di daerah perkotaan sehingga jika tata kota tidak teratur maka akan mengurangi minat wisatawan untuk berkunjung kesana lagi. Tata Ruang yang baik akan mendorong wisatawan betah di kota tersebut dan pada akhirnya akan mendorong peningkatan masa tinggal wisatawan di daerah tersebut. Singkatnya, kedepan pemerintah dalam rangka membuat kebijakan perlu memperhatikan Tata Ruang yang berorientasi pada pariwisata.

Berbicara tentang kebijakan tidak lengkap jika tidak membahas tentang konflik. Konflik bisa juga terjadi antara pemerintah daerah dengan pemerintah Provinsi atau pemerintah daerah dengan pemerintah daerah lain. Misalnya, lokasi Pantai Malalayang yang pernah dipakai untuk kegiatan penyelaman

massal dalam rangka Guiness World of Record, oleh pemerintah

(32)

menjadi lokasi usaha. Saat ini tempat tersebut sudah ditimbun untuk dibangun bangunan pertokoan di atasnya. Konflik seperti ini muncul karena belum adanya peraturan Tata Ruang yang jelas dan menjadi acuan pemerintah Kabupaten dan Provinsi.

Perekonomian Komunitas Berbasis Pariwisata:

Model Integratif

Setelah sintesa di atas, maka berikut ini saya mencoba membangun sebuah model terkait yang saya sebut sebagai model integratif. Model ini disebut integratif karena dibangun atas dasar integrasi dari konsep hasil sintesa yang didasarkan atas kasus di pada tiga wilayah penelitian. Walaupun dalam penulisan sintesa temuan-temuan lapangan dihubungkan dengan kepustakaan, namun dalam design model integratif penulis hanya mendasarkan diri pada temuan lapangan. Dengan demikian model integratif merupakan rangkuman dari berbagai temuan yang dipaparkan dalam sintesa. Model integratif ini membantu kita memahami struktur ekonomi dan sosial yang berlangsung dalam komunitas yang diteliti. Dari gambaran struktur ini kemudian kita dapat melihat dampak pengembangan pariwisata terhadap ekonomi dan sosial dalam rumah tangga.

(33)

hidup masyarakat. Apa yang dipaparkan di atas hanya mungkin terjadi jika masyarakat luas bisa berpartisipasi dalam kegiatan pariwisata. Dari temuan di lapangan partisipasi masih menjadi masalah sebagian besar masyarakat. Kecuali Kimabajo yang menunjukan partisipasi yang tinggi, Bunaken dan Tangkoko masih menujukan partisipasi yang rendah sebagai pekerja sektor pariwisata.

Bagan 8. 1

Keterangan : seharusnya dilakukan

(34)

dibutuhkan ketrampilan khusus yang membutuhan pendidikan dan pelatihan yang membutuhkan investasi. Sebaliknya partisipasi

dalam dunia, pada umumnya sebagai pedagang kecil (petty

traders), seseorang membutuhkan ketrampilan seadanya.

Partisipasi dalam kegiatan pariwisata tergantung pada kapasitas yang dimiliki masyarakat lokal. Tingkat partisipasi rendah di Bunaken dan Tangkoko karena kapasitas mereka masih belum memenuhi syarat untuk direkrut sebagai tenaga kerja. Dalam kondisi seperti ini seharusnya pemerintah membantu meningkatkan kapasitas mereka tapi dari kajian di lapangan masyarakat merasa belum mendapat bantuan pemerintah. Garis putus-putus menunjukan peran yang seharusnya dimainkan oleh pemerintah dalam pengembangan kapasitas lokal tapi di dalam kenyataan pemerintah belum maksimal. Dalam kekosongan peran pemerintah, LSM berperan secara baik dalam pengembangan kapasitas lokal. Pengembangan kapasitas lokal oleh LSM selain untuk menolong masyarakat lokal memperbaiki situasi ekonomi melalui partisipasi mereka dalam kegiatan pariwisata, juga dimaksudkan untuk pelestarian lingkungan. Pengembangan pariwisata tidak selamanya positif tapi ada sisi negatifnya. Konflik sering muncul sebagai akibat ketegangan karena pengembangan pariwisata. Persaingan antar pelaku usaha, antar pelaku usaha dengan masyarakat, dan antar pemerintah dan masyarakat lokal bisa melahirkan konflik. Hal ini saya temukan di tiga wilayah penelitian. Dalam situasi seperti ini seharusnya pemerintah daerah berinisiatif melakukan mediasi untuk penyelesaian konflik, namun pemerintah sendiri dicurigai seolah-olah tidak berpihak kepada masyarakat. Dalam krisis kepercayaan masyarakat seperti ini tampaknya akan sulit bagi pemerintah daerah memainkan fungsi sebagai mediator.

(35)

Kimabajo adalah contoh yang baik tentang bagaimana peran modal sosial mendukung pengembangan pariwisata lokal. Modal sosial juga mampu meredam konflik terbuka. Walaupun ada konflik tapi hanya sebatas ketegangan sosial biasa dan cepat surut karena modal sosial yang kuat. Lebih lanjut modal sosial juga berperan dalam pelestarian lingkungan. Hal ini bisa kita lihat di Tangkoko, masyarakat menjaga kelestarian lingkungan yang kadang- kadang dengan biaya sendiri. Lingkungan yang lestari menjadi tulang punggung pariwisata di daerah.

Dari Model Integratif ke Kebijakan Partisipatif

Pada bagian sebelumnya saya memaparkan sebuah model integratif yang pada intinya menunjukan dinamika dampak pariwisata terhadap ekonomi rumah tangga. Dalam model tersebut kita melihat ada masalah dengan partisipasi masyarakat memanfaatkan peluang yang muncul karena pengembangan pariwisata. Ketika pariwisata berkembang secara ideal masyarakat lokal harus yang utama memanfaatkan peluang baik sebagai pekerja maupun sebagai pengusaha. Namun dalam kenyataan di tiga lokasi penelitian tidak semua masyarakat dapat berperan karena masalah kapasitas yang mereka miliki. Untuk itu uluran tangan pihak luar, baik pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), menjadi penting meningkatkan kompetensi masyarakat karena hanya sedikit masyarakat yang mampu membiayai pendidikan dan pelatihan anggota keluarga.

(36)

pada kesejahteraan masyarakat. Pemerintah lebih memberi perhatian pada upaya meningkatkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke daerah daripada peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar obyek wisata. Kebijakan seperti ini bisa menjadi masalah karena yang mendapat manfaat pengembangan pariwisata adalah pengusaha dari luar sedangkan masyarakat lokal bisa menjadi penonton. Kebijakan ini menjadi anomali karena bisa jadi pemerintah berhasil meningkatkan pendapatan daerah tapi gagal meningkatkan status ekonomi masyarakat lokal. Hal ini sering terjadi di negara berkembang karena pemerintah lebih menekankan pada aspek pertumbuhan ekonomi daripada pemerataan ekonomi, Burns dan Novelli (2008). Ketika pemerintah mementingkan aspek kuantitas, kebijakan yang

dikembangkan adalah menarik wisatawan secara massal (mass

tourism). Tentu ini agak berbeda dengan model pengembangan

wisata yang berbasis masyarakat lokal (community based tourism).

Kebijakan pengembangan wisata yang berbasis masyarakat lebih menekankan pada pendekatan kesejahteraan. Model ini menekankan bahwa pengembangan pariwisata memberi dampak positif pada ekonomi rumah tangga dan pemenuhan kehidupan sehari-hari masyarakat. Model pengembangan wisata berbasis masyarakat dikembangkan di banyak negara berkembang karena ada asumsi bahwa jika masyarakat mendapat manfaat dari pengembangan pariwisata maka mereka akan ikut memelihara obyek wisata itu sendiri. Implementasi model ini sering kita lihat pada pengembangan pariwisata yang berbasis alam (Fandeli dan Nurdin, 2005).

(37)

mencoba menawarkan cara pelibatan masyarakat dalam kegiatan pariwisata.

Ketika pemerintah membuat kebijakan mengembangkan pariwisata di daerah tertentu, masyarakat lokal seharusnya perlu mendapat perhatian agar mereka bisa mengambil bagian dalam kegiatan pariwisata. Nasib masyarakat lokal sering luput dari perhatian para pengambil kenbijakan karena ketika berbicara tentang pariwisata maka yang muncul dalam benak para pengambil kebijkan adalah meningkatkan pendapatan asli daerah. Oleh karena itu Bagan 8.2 menjadi penting bagi kita untuk memahami cara meningkatkan kesejahteraan masyarakat memanfaatkan kehadiran pariwisata.

Dari Bagan 8.1 pengembangan pariwisata menciptakan peluang ekonomi kepada masyarakat lokal. Mereka bisa terlibat sebagai pekerja atau pengusaha, atau kedua-duanya. Karena kondisi mereka yang terbatas kita tidak berharap mereka menjadi pengusaha besar, namun mereka bisa menjadi pedagang kecil (petty traders). Nanti dari sini mereka belajar dan mungkin suatu ketika ada yang bisa menjadi pengusaha besar. Proses ini bisa berjalan secara alamiah tapi bisa juga mengalami akselerasi karena intervensi pihak luar.

(38)

dituduh merusak obyek tersebut. Ada juga yang menganggap kehadiran penduduk akan merusak pemandangan obyek wisata itu sendiri. Bahkan masih ada pemikiran tempat tinggal dan cara hidup penduduk yang masih bersahaja menggambarkan situasi masyarakat tradisional sehingga tidak boleh diperlihatkan kepada wisatawan luar negeri. Atau dengan kata lain, masyarakat lokal kadang masih dianggap sebagai hama yang merusak tanaman pariwisata sehingga perlu lalu disingkirkan. Inilah yang biasanya menjadi alasan pokok merelokasi penduduk lokal dalam rangka pengembangan pariwisata.

Walaupun pandangan seperti ini keliru tapi relokasi tetap dilaksanakan dengan melibatkan sumber dana yang jumlahnya besar. Merelokasi penduduk berarti harus membebaskan tanah di daerah baru dan membangun fasilitas pemukiman yang layak. Dalam banyak hal program relokasi gagal karena pengambil kebijakan hanya berpikir tentang memindahkan penduduk secara

fisik tapi mengabaikan livelihood penduduk. Dalam rangka

memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga sehari-hari penduduk bekerja sebagai nelayan dan mereka dipindahkan ke daerah pedalaman dengan maksud akan menjadi petani. Ketika

berada di daerah baru livelihood penduduk terganggu karena

mereka tidak terbiasa bertani. Akibatnya ada penduduk yang memutuskan pindah ke daerah lain dan lebih dekat ke pantai. Misalnya, pada tahun 2006 hingga 2009, ketika pemerintah memindahkan penduduk yang tinggal di sepanjang pantai Manado. Kebijakan pemindahan dibuat pemerintah dalam rangka

pembangunan jalan boulevard di sepanjang pantai Manado.

Kebijakan pemindahan dibuat pemerintah dalam rangka

pembangunan boulevard Manado di sepanjang pantai tersebut.

(39)

sebagian dari mereka pindah ke tepi pantai kembali karena mereka tidak terbiasa bertani.

Bagan 8.2

Pandangan di atas dianut oleh para pengambil kebijakan

yang berorientasi pada wisatawan (tourist centered). Mereka

membuat program dalam rangka menarik wisatawan sebanyak mungkin namun telah mengabaikan masyarakat. Berbeda dengan pandangan tersebut yaitu kebijakan pariwisata yang berorientasi

kepada masyarakat (community based tourism) dengan tekanan

(40)

lokasi, masyarakat lokal sudah harus sejak awal masuk dalam rancangan tersebut.

Dalam hal ini perencanaan harus dibuat secara berhati-hati. Jangan sampai masyarakat di sekitar obyek wisata hanya

menjadi makhluk yang seolah-olah berada dalam etalase dan

menjadi tontonan para wisatawan. Mereka tidak terlibat dalam kegiatan pariwisata itu sendiri dan hanya menjadi penonton. Dalam rangka menghindari ironi tersebut sejak awal perencanaan pariwisata, nasib masyarakat yang hidup di sekitar obyek wisata sudah diperhitungkan. Hal ini tidak berarti semua program peningkatan kesejahteraan masyarakat hanya menjadi tanggung jawab Dinas Pariwisata saja tapi merupakan bagian kerjasama antar dinas. Memang kerjasama seperti ini mungkin masih sulit karena ego-sektoral yang masih melekat pada setiap dinas yang ingin menonjol sendiri. Namun saya yakin dan percaya dengan kepemimpinan yang kuat maka masalah ini akan terkikis dengan sendirinya.

Kesimpulan

(41)

Pengembangan pariwisata pada tiga lokasi tersebut memunculkan konflik antara masyarakat lokal dan pengusaha luar. Hal seperti ini terjadi karena masyarakat lokal merasa tidak mendapatkan apa-apa dari pengembangan pariwisata. Memang ada satu wilayah yang hubungan pengusaha dan masyarakat lokal harmonis yaitu Kimabajo. Di sini pengusaha memprioritaskan penduduk lokal ketika mereka melakukan perekrutan tenaga kerja.

(42)

Gambar 8.1

Guide dan Penyelam Istirahat di Bunaken

Gambar 8.2

Gambar

Tabel 8.1
Tabel 8.2
Tabel 8. 3
Tabel 8. 4
+2

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan yang diperoleh adalah sistem E- Payment pada DJP dengan sistem aplikasi MP3 dirancang sesuai standar yang telah ditetapkan, dan diharapkan dapat memberikan kontribusi

Melaksanakan pembuatan obat sesuai dengan surat perintah kerja (SPK) dari bagian PPPI, mulai dari permintaan bahan baku ke gudang, penimbangan, pengolahan, pengemasan,

Bank Tabungan Negara become principal destination of society to get the credit distribution, because managing of credit management is trusted and can helping to

Betty dan Yendri (2007) menyatakan bahwa bahan pangan asal ternak mudah terkontaminasi oleh mikroba patogen terutama daging karena banyak mengandung kadar air yang

Pada analisis ini merupakan penilaian kerentanan sikap penduduk terhadap terjadi bencana tergenangnya beberapa kawasan akibat kenaikan air laut di Wilayah Pesisir Kota Semarang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh diazinon (pestisida) terhadap tingkat keberhasilan larva yang terbentuk dan waktu dari setiap tahap perkembangan

Restoran merupakan salah satu unsur produk wisata yang memegang peranan penting karena restoran adalah salah satu jenis usaha jasa pangan yang bertempat di sebagian

Berdasarkan hasil perhitungan dan pembahasan yang telah dilakukan, maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah terdapat Pengaruh latihan senam Aerobik “Low intensity” selama