• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

12. Darussalam a Tugu Tentara Pelajar

b.Tugu Darussalam c.Rumah Teuku Nyak Arif

1.Masa Kemerdekaan

2.Pengelola: Pemprov dan BP3 3.Lokasi: Darussalam

Ga mbar 4 P eta s eba ra n si tus s ejar ah Kota B and a A ce h Su m b er : B APPEDA Ko ta B an d a Ace h 2 0 1 2

Ga mbar 5 P eta Ka ra kter La nska p S ejar ah Kota B anda Ac eh

Masa Kerajaan dan Kesultanan

Kerajaan Islam pertama yang berkembang di Aceh adalah Peurelak. Namun Pasai merupakan sebuah kerajaan Islam yang mengalami perkembangan pesat baik dibidang politik maupun perdagangan. Pada masa itu bandar dagang telah ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing yang bermaksud untuk membina hubungan perdagangan dengan kerajaan tersebut.

Pada perkembangan selanjutnya muncullah Bandar Aceh Darussalam pada tahun 1205 Masehi sebagai ibukota Kerajaan Aceh Darussalam yang diproklamirkan oleh Sultan Alaudin Johan Syah yang terletak dekat kuala sungai (Krueng Aceh). Pada Masa pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah tahun 1267-1309 Masehi, pusat Kerajaan Aceh dipindahkan dari Kandang ke seberang Krueng Aceh dan dibangun pusat kerajaan dan istana dengan nama Kuta Dalam Darud Donya, bersamaan itu dibangunnya pula Mesjid Jamik Baiturrahman.

Pada masa-masa tahun 1465-1489 Masehi, Bandar Aceh Darussalam mengalami perubahan menjadi Banda Aceh Darussalam sebagai ibukota dari federasi yang dibentuk oleh Kerajaan aceh Darussalam, Kerajaan Daya dan Kerajaan Pidie, dibawah pemerintahan Sultan Husein Syah. Pada Abad ke-17 Kerajaan Aceh merupakan sebuah kerajaan besar dan jaya di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Banda Aceh yang kemudian digelari menjadi Bandar Aceh Darussalam sebagai ibukota Kerajaan Aceh Darussalam, sangat dikenal sebagai salah satu diantara Lima Besar Kerajaan Islam Dunia, yakni: Baghdad, Damaskus, Agra, Isfahan dan Aceh Darussalam. Banda Aceh berkembang menjadi pusat pemerintahan, pusat perkembangan kebudayaan, tamaddun, pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan arsitektur, hukum dan ketatanegaraan, perdagangan dan pertanian.

Memasuki Abad ke-18 Kerajaan Aceh secara berangsur-angsur mulai mengalami kemunduran. Pada tahun 1824 di masa Kesultanan Muhammad Daud Syah naik tahta, sebuah peristiwa penting yaitu ditandatanganinya Traktat London antara Inggris dengan Belanda. Isi perjanjian menyebutkan tentang pembagian wilayah jajahan Indonesia dan semenanjung Malaya. Berpijak dari perjanjian tersebut, maka untuk memperlancar penguasaan terhadap Aceh, Belanda mengikat perjanjian baru dengan Inggis yang disebut dengan Traktat Sumatera pada tahun 1871. Isi Traktat mengenai pemberian kekuasaan terhadap Belanda untuk melakukan perluasan wilayah di Aceh. Peperangan antara rakyat Aceh dan Belanda ini berlangsung selama 40 tahun, perang itu disebut juga “Perang Kaphee Beulanda” oleh rakyat Aceh.

Setelah memasuki Abad ke-19 Kerajaan Aceh telah merosot sama sekali, walaupun secara juridis formal masih diakui sebagai kerajaan yang berdaulat penuh. Sejalan dengan memudarnya kejayaan Aceh, peranan Kota Bandar Darussalam sebagai kota perdagangan mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan karena daerah-daerah yang dulunya takluk mulai satu persatu lepas dan dikuasai oleh negara lain. Melihat akan hal ini, Belanda yang memang sejak lama mengincar Aceh mencari kesempatan untuk menguasai dengan melakukan berbagai cara diantaranya mengacaukan dan merebut daerah-daerah taklukan Aceh. Kerajaan Aceh Darussalam dinyatakan berakhir setelah Sultan Aceh Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem beserta pengikutnya menyerah pada Belanda di tahun 1903.

Lanskap Gampong Pande

Gampong Pande

Pada tahun 1201 datang ke Aceh 500 orang rombongan dari Seljuk yang hendak menyebarkan Islam di Aceh. Diantara rombongan mubaligh ada yang bernama Abdurrauf As Saljuki yang tinggal di Kandang Aceh. Kelak ia dikenal sebagai Tuan Di Kandang. Abdurrauf As Saljuki mempunyai anak yang bernama Abdul Azis yang kelak menjadi Sultan Aceh pertama yang bergelar Sultan Johan Syah. Sultan Johan Syah mendirikan kerajaan Aceh pada 1205 M bertempat di Gampong Pande. Sultan Johan Syah menikahi anak Raja Lamuri yang bernama Maharani Putroe Ti Seuno. Pernikahan ini memperkuat posisi Sultan Johansyah yang kemudian menyebarkan Islam di seluruh Aceh Raya dan menaklukkannya pada 1215. Sultan memerintah di atas tahta selama 29 tahun dan wafat pada 1234.

Tugu titik nol Banda Aceh terdapat di Gampong pande. Pada tugu tersebut terdapat tulisan “Di sinoe asai muasai jadi Kuta Banda Aceh tempat geupeudong Keurajeun Aceh Darussalam le Soelthan Johansyah Bak Uroe Phon Ramadhan thon 601 Hijriah”. Artinya “Di sini cikal bakal kota Banda Aceh tempat awal mula Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Johansyah pada 1 Ramadhan 601 Hijriah atau 22 April 1205 M”.

Gambar 6 Tugu titik nol Banda Aceh (kiri), batu nisan masa kerajaan (tengah) dan makam sultan-sultan pada masa kerajaan Aceh (kanan)

Gampong Pande berlokasi di sisi barat Krueng Aceh, berdekatan dengan Kecamatan Meuraksa dan Pelabuhan Ulee Lheue. Kampung Pande diapit beberapa kampung tua lainnya. Ada Kampung Jawa di sebelah timur, Kampung Peulanggahan dan Keudah di sebelah selatan. Sementara sebelah utaranya berhadapan dengan pantai dan kuala Krueng Aceh. Dapat dikatakan bahwa Gampong Pande merupakan kota pelabuhan pada saat itu dan di kawasan inilah Istana Kerajaan Aceh berdiri. Menurut tulisan sejarah saat itu ketika Sultan Johansyah berhasil menaklukkan Kerajaan Hindu/Budha Indra Purba dengan ibukota di Kutaraja (sekarang Banda Aceh).

Pada akhir tahun 2014 lalu Gampong Pande tiba-tiba digegerkan dengan penemuan ribuan keping emas kuno di Muara Krueng Doy. Penemuan tersebut bermula ketika seseorang yang sedang mencari tiram menemukan koin emas yang diyakini sebagai mata uang Kerajaan Aceh Darussalam saat itu. Gampong Pande banyak tersimpan peninggalan sejarah, seperti Makam Putroe Ijo, Makam Raja- Raja Gampong Pande dan Makam Teungku di Kandang. Kompleks Makam tersebut terletak di tengah-tengah pemukiman penduduk. Terdapat lebih dari 50

batu nisan kuno dengan beragam hiasan di dalam komplek. Beberapa batu nisan tergeletak begitu saja dan tidak terawat.

Masjid Teungku Di Anjong

Masjid ini didirikan Sayyid Abu Bakar bin Husin Bafaqih tahun 1781-1795 pada masa Sultan Muhammad Syah. Ulama dari negeri Arab ini mengembara untuk mendakwahkan Islam. Sayyid Abu Bakar memiliki ilmu Islam yang sangat mendalam. Namun karena situasi perebutan kekuasaan di Aceh beliau tidak berhasil memajukan pendidkan. Masyarakat menganggap Sayyid Abu Bakar orang keramat dan mendapat gelar Teungku di Anjong.

Ketika Teuku Umar menyerah kepada Belanda tahun 1893, Snouck Hurgronje menasehati Gubernur Deijkerhoff untuk menguji kesungguhan Teuku Umar menyerah. Umar diminta bersumpah di Makam Teungku Di Anjong. Permintaan itu dituruti. Karena tidak terjadi apa-apa setelah sumpah diucapkan, Belanda yakin Teuku Umar telah menyerah. Namun pada 1896, Teuku Umar kembali ke barisan pejuang dan menjadi musuh paling dibenci Belanda.

Gambar 7 Mesjid (kiri) dan Makam Teungku Di Anjong (kanan)

Lanskap Baiturrahman

Mesjid Raya Baiturrahman

Masjid Baiturrahman didirikan masa Sultan Mahmud Syah pada tahun 1292. Selain tempat ibadah, masjid ini juga sebagai tempat pengembangan ilmu keislaman. Masjid Baiturrahman terbakar pertama kali masa Sultan Muda Ali Riayat Syah (1604-1607). Pada masa Sultan Iskandar Muda, masjid ini didirikan kembali dua kali lebih besar. Masa itu, mimbar Masjid Baiturrahman dibuat dari emas dan puncak mimbar dari suasa. Menurut utusan Turki yang datang ke Aceh, jamaahnya membludak, hampir menyamai jumlah jamaah salat di Masjidil Haram Mekkah masa itu. Sultan Turki bernama Sultan Ahmad yang mendengar laporan utusannya memuji Sultan Iskandar Muda dan memberi gelar sebagai Raja Timur sedangkan Sultan Turki Raja Barat.

Pada masa Sultanah Naqiatuddin, Masjid Baiturrahman dan Istana terbakar. Kemudian Masjid Baiturrahman didirikan ulang. Ketika Habib Abdurrahman Az Zahir datang, Masjid Baiturrahman kembali bergairah. Pada Perang Aceh masjid ini dibakar oleh Van Swieten pada 6 Januari 1874. Namun pada 27 Desember 1881 masa Gubernur Van Der Heijden mesjid ini dibangun kembali dengan satu kubah. Pada 1935, masjid diperluas menjadi 3 kubah. Tahun 1967 menjadi 5 kubah dilengkapi 2 menara. Perluasan kembali dilakukan pada 1992-1995 hingga memiliki 7 kubah dan 5 menara, mampu menampung 7000 jamaah. Saat tragedi

tsunami menerjang Aceh, masjid ini tidak mengalami kerusakan berarti. Gelombang tsunami tidak masuk ke dalam masjid. Itu sebabnya, warga menjadikannya sebagai tempat berlindung dan mengungsi. Di depan mesjid terdapat “Menara Modal” dengan ketinggian 45 meter.

Gambar 8 Mesjid Raya Baiturrahman, tampak depan (atas), tampak samping (kiri bawah) dan menara masjid (kanan bawah)

Masjid di pusat kota Banda Aceh mempunyai luas 3.30 hektar dengan lima pintu gerbang. Mampu menampung 10.000-13.000 jemaah di dalamnya. Tapi jika memakai halaman, dapat memuat jamaah hingga 25.000 orang. Sejarah perang tercatat panjang di Masjid Raya. Masuk dari dari pintu gerbang sebelah kanan, pengunjung akan sambut oleh sebuah prasasti. Bahwa di tempat tersebut Jenderal Kohler tewas tertembak pada April 1873 saat memimpin pasukan Belanda untuk penyerangan ke Aceh. Pemerhati sejarah Islam sekaligus penceramah Masjid Baiturrahman, Tgk Ameer Hamzah menjelaskan, bahwa dalam penyerangan oleh Belanda itulah, masjid kemudian dibakar.

Indonesia merdeka, masjid itu jadi saksi. Masyarakat berduyun ke sana berdoa menyambutnya. Saat berakhirnya konflik DI/TII, setelah Tgk Daud Beureueh turun gunung, masjid itu juga jadi saksi perdamaian itu. Tsunami melanda Aceh, 26 Desember 2004, Masjid Raya Baiturrahman tanpa kerusakan yang berarti dan banyak warga kota yang selamat di sini. Hanya menara depan yang miring dan kini telah diperbaiki. Sampai kemudian damai kembali hadir di Aceh, setelah Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sepakat hentikan perang. Saat MoU damai di Helsinki, Filandia, 15 Agustus 2005 silam, di Masjid Raya Baiturrahman ribuan masyarakat menggelar acara sambut damai dengan doa dan zikir-zikir. Di masjid kenangan Sultan dan Belanda itulah, zikir dan doa-doa damai kerap bersenandung hingga kini.

Taman Sari

Taman Sari pada era pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) termasuk bagian dari Taman Bustanussalatin (sekarang dikenal dengan nama Taman Putroe Phang) yang merupakan tempat bermainnya permaisuri dan putri raja. Ketika masa Sultan Iskandar Tsani, taman ini dilengkapi dengan berbagai

Mulya MR Mulya MR

jenis bunga dan buah-buahan. Di bagian tengah taman ini terdapat Tugu Proklamasi. Diujung jalan Taman Sari (sekarang Jl. Tgk. Abu Lam U) terdapat bangunan bungalow “rudi” yang merupakan bangunan peninggalan kolonial berlantai dua pertama di Aceh. Disekitar taman sari saat ini terdapat kantor-kantor pemerintahan dan kediaman pejabat diantaranya kantor Walikota (Balai Kota) Banda Aceh. Sekarang taman ini berfungsi sebagai tempat wisata dan bermain, pementasan kesenian, pagelaran pameran, kegiatan sosial dan juga terdapat ruang galeri.

Gambar 9 Taman Sari tampak samping (kiri) tampak depan (tengah) dan Tugu Proklamasi (kanan)

Lapangan Blang Padang

Pada Zaman Sultan Iskandar Muda Blang Padang adalah tempat perkumpulan para hulubalang dan Gajah sebelum perayaan Hari besar Islam seperti Hari Raya Idul Fitri ataupun Hari Raya Haji. Perjalanan Sultan Iskandar Muda dari Blang Padang ke Masjid Baiturrahman diiringi 20 barisan yang terdiri tokoh agama, hulubalang dan prajurit. Jumlahnya mencapai 35 ribu orang. Pada masa Iskandar Tsani jumlah yang mengiringi Sultan telah banyak berkurang. Ini lantaran 20 ribu prajurit Aceh gugur di Malaka.

Luas lapangan Blang Padang sekitar 8 hektar. Pada 1970, lapangan ini dibagi menjadi dua bagian, dipisahkan oleh jalan raya di tengah-tengah. Bagian sebelah timur digunakan untuk berbagai upacara, sedangkan sebelah barat adalah stadion olahraga. Pada 1981, stadion dibongkar untuk penyelenggaraan MTQ XII. Pada acara itu Blang Padang disebut Desah Arafah. Pasca tsunami Blang Padang menjadi salah satu Land Mark kota Banda Aceh. Di lapangan ini dilaksanakan penyerahan senjata sebagai bukti tanda perdamaian antara GAM dan RI pada tahun 2005. Pada tahun 2009 lapangan Blang Padang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Taman Internasional Aceh Thanks the World, yang dilengkapi dengan monumen peringatan tsunami, plakat 53 negara donor, dan jogging track.

Gambar 10 Gerbang Lapangan Blang Padang (kiri), Tugu Taman Aceh Thanks the World (tengah) dan jogging track (kanan)

Mulya MR Mulya MR Mulya MR

Lanskap Makam Raja

Makam Saidil Mukammil

Sultan Alaidin Saidil Mukammil (1589-1604) Ibnu Sultan Firman Syah Ibnu Sultan Inayat Syah adalah salah satu sultan terbesar di Aceh. Pada masanya perdagangan Aceh maju pesat. Sultan Saidil Mukammil merupakan kakek Sultan Iskandar Muda. Pada tahun 1599 beliau mendapat bintang kehormatan dari Sultan Turki Muhammad Khan yang mengirim banyak hadiah. Salah satunya Kuda Tizi yang sangat indah. Pada 21 Juni 1599, dua penjelajah Belanda bernama Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman datang ke Aceh. Cornelis terbunuh dalam pertempuran di atas geladak kapal oleh Laksamana Malahayati. Pada tahun 1601 Prins Maurits mengirim surat kepada Sultan memohon hubungan Aceh dan Belanda diperbaiki. Surat dibawa oleh Gerard de Roy dan Laksamana Laurens Bicker.

Sultan membalas surat serta mengirim utusan ke Belanda dipimpin Orang Kaya Abdul Hamid dan Laksamana Sri Muhammad. Abdul Hamid mangkat pada usia 72 tahun di Middelburg, Belanda, karena cuaca dingin. Pada tahun 1602 giliran Ratu Inggris Elizabeth mengirim surat yang dibawa oleh Laksamana Sir James Lancaster. Surat diterima dengan kehormatan dan izin berdagang diberikan kepada Inggris. Dalam suratnya Ratu memuji kehebatan Sultan Saidil Mukammil dan Laksamana Aceh yang mengalahkan Portugis. Sultan Saidil Mukammil dimakzulkan pada tahun 1604 oleh putranya Sultan Muda. Setahun kemudian beliau wafat dan dimakamkan di Merduati. Makam tersebut telah rusak akibat peristiwa tsunami pada Desember 2004 lalu, kini kondisinya tidak terawat.

Gambar 11 Kondisi makam sultan-sultan di merduati (kiri), papan cagar budaya (tengah), makam Sultan Saidil Mukammil (kanan)

Makam Teuku Di Bitay

Sultan Alaiddin Al Qahar (1539-1572) adalah musuh besar Portugis di Malaka. Pada tahun 1566 M Sultan mengirim utusan kepada Sultan Sulaiman Al Qanuni di Istanbul meminta bantuan. Namun utusan harus menunggu dua tahun karena Sultan Sulaiman telah wafat. Sultan Selim II yang menggantikan Sultan Sulaiman mengirim bantuan kepada Sultan Alaiddin Al Qahar. Ada 300 orang utusan Turki yang datang ke Aceh untuk membantu menyerang Malaka. Diantara yang datang adalah seorang ulama besar di Baitul Maqdis yang menurut riwayat kemudian berganti nama menjadi Teungku Di Bitay. Mereka menetap di Imperium yang oleh logat Aceh dibaca Emperom.

Di museum Bronbeek di Arnhem, Belanda tersimpan meriam “Lada Sicupak”. Meriam ini di rampas oleh kolonial Belanda dari kerajaan Aceh dan di bawa ke negerinya pada perang kolonial 1873. Meriam Lada sicupak adalah

pemberian Sultan Turki kepada Sultan Aceh pada abad ke-16. Sultan Aceh mengirim utusan ke Turki dengan membawa lada satu kapal untuk dipersembahkan kepada Sultan Turki. Karena lama menunggu, utusan terpaksa menjual lada itu untuk keperluan hidup, sehingga saat mendapat kesempatan di terima oleh Sultan, ladanya hanya tinggal “sicupak”. Namun Sultan Turki yang bersahabat dengan Aceh tetap memberikan meriam besar dan panjang kepada utusan untuk dibawa pulang ke Aceh.

Makam ini sekarang berfungsi sebagai peninggalan sejarah dan kuburan para ulama asal Turki dan keluarga Teungku Di Bitay. Elemen yang tersisa pasca tsunami 2004 berupa batu nisan dan relief pada pintu masuk. Sedangkan makam- makam lainnya sudah banyak mengalami perbaikan dari pemerintah Turki pada tahun 2006.

Komplek Makam Tengku Di Bitai dan Sultan Salahuddin ini sendiri terletak di tengah perkampungan desa Bitai dengan luas area 500 meter persegi. Desa Bitai dewasa ini sudah dibangun kembali dengan bantuan organisasi Palang Merah Turki yang membantu pembangunan rumah-rumah penduduk yang hancur diterpa oleh gelombang tsunami Desember 2004 lalu serta bantuan negara Turki yang di fasilitasi juga dari kedutaan besar Turki di Jakarta dan dibuat rumah sebanyak 350 buah bagi warga yang selamat dari Gempa Bumi dan Tsunami tersebut dan diresmikan langsung oleh Wakil Perdana Menteri Turki yang datang ke Bitai Banda Aceh

Gambar 12 Komplek makam Teungku Di Bitai tampak luar (kiri), tampak dalam (tengah) dan saat dikunjungi walikota dan dubes turki (kanan)

Makam Raja Jalil

Raja Jalil merupakan anak dari Sultan Alaiddin Al Qahar Ibnu Sultan Ali Mughayat Syah. Raja Jalil adalah kakek dari Sultan Iskandar Muda dari pihak ayahnya. Anak raja Jalil adalah Sultan Mansyur, ayah dari Sultan Iskandar Muda. Raja Jalil mempunyai peran besar menyatukan dua dinasti yang lama berseteru. Raja Jalil mengirim utusan kepada Sultan Saidil Mukammil untuk melamar anaknya bernama Putri Indra Bangsa. Setelah pernikahan ini Dinasti Meukuta Alam dan Dinasti Darul Kamal bersatu. Dari pernikahan dua dinasti ini lahirlah Iskandar Muda, sultan terkuat dari kerajaan Aceh.

Situs makam ini terdapat di Kecamatan Banda Raya, Lamlagang, Banda Aceh. Elemen fisik yang tampak dari situs ini adalah masih adanya sekitar 25 batu nisan. Situs ini sudah dipugar tahun 2009. Sekarang sudah ada atap yang menutupi, tetapi masih ada beberapa makam yang tanpa atap.

Makam Sultan Iskandar Muda

Sultan Saidil Mukammil turun tahta pada tahun 1604, diturunkan kepada anaknya Sultan Muda. Sedangkan anaknya yang lain Sultan Husin menjadi wakil

sultan di Pidie. Akan tetapi keadaan kerajaan menjadi kurang memuaskan bagi Sultan Husin dan Perkasa Alam (Sultan Iskandar Muda). Sultan Muda akan menangkap Iskandar Muda karena dituduh menghasut. Perkasa Alam lari ke Pidie untuk meminta pertolongan pamannya. Lalu Pidie diserang dan Iskandar Muda dipenjarakan. Karena ada kekacauan di Aceh maka Portugis ingin menyerang Aceh. Iskandar Muda meminta kepada Raja agar ia dibebaskan dari penjara untuk melawan Portugis.

Dipimpin Admiral Alfonso De Castro yang bergelar “Singa Selat Malaka”, Portugis melawan kekuatan Perkasa Alam. Dalam pertempuran dahsyat Portugis kalah dan hancur. Pada tahun 1607 Iskandar Muda naik tahta. Kemudian berturut- turut Sultan menaklukan Deli (1612), Johor (1613), pasukan Portugis di perairan Baning (1614), Pahang (1618), Kedah (1620), dan Nias (1624). Sultan juga melakukan diplomasi internasional dengan menerima utusan Turki yang dikirim oleh Sultan Ahmad (1612), menerima utusan dari Raja Inggris James I (1613), dan menerima Admiral de Beaulieu dari Perancis yang membawa surat dari Raja Louis XIII (1621). Pada tahun 1629, terjadi peristiwa pengepungan Malaka yang sangat terkenal sampai ke Eropa dan dunia pada saat itu. Malaka diserang oleh Sultan Iskandar Muda karena disana terdapat benteng pertahanan Portugis yang hendak menjajah Nusantara. Armada yang dikirim oleh Sultan Iskandar Muda mencapai 236 buah kapal dengan 20.000 prajurit. Aceh mengepung Malaka selama lima bulan.

Dalam sebuah pertempuran di benteng Portugis Madres Dios, Gubernur Malaka De Fonseca tewas tertembak. Dalam masa lima bulan ini benteng Portugis dihujani habis habisan oleh tentara Aceh yang membuat pihak Portugis kalang kabut dan kekurangan makanan karena terkepung. Portugis tidak dapat mempertahankan benteng Madres Dios dan hanya sanggup bertahan selama dua bulan kemudian mundur ke benteng terkuat mereka A Famosa. Di benteng ini mereka terkepung cukup lama di hujani meriam setiap hari dan kekurangan logistik karena pengepungan tentara Aceh. Pada 27 Desember 1636, Iskandar Muda wafat. Kemudian digantikan oleh menantunya Sultan Iskandar Tsani.

Gambar 13 Makam Sultan Iskandar Muda tampak dalam (kiri) dan tampak luar (kanan)

Makam Raja-Raja Bugis

Salah satu yang dimakamkan adalah Sultan Alaiddin Ahmad Syah Ibnu Maharaja Lela Abdurrahim. Maharaja Lela Abdurrahim adalah suami dari Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah. Beliau anak Zainal Abidin Ibnu Dayim Mansur Teungku Chik Di Reubee. Dayim Mansur ini adalah anak Raja Jalil, kakek Sultan

Iskandar Muda yang merantau ke Bugis untuk menyebarkan Islam dan kemudian menikahi anak Raja Bugis. Raja Jalil kembali ke Aceh dan kemudian wafat di Aceh. Anaknya, Daeng Mansur, setelah dewasa melaksanakan haji ke Mekkah kemudian memutuskan kembali ke Aceh dan menetap di Reubee, Pidie.

Oleh sebab itu Raja Aceh selanjutnya disebut Dinasti Raja-Raja Bugis. Pada tahun 1726 Sultan Jamalul Alam digulingkan, kemudian terjadilah beberapa pergantian raja. Namun pada akhirnya, tahun 1727, tahta jatuh pada Sultan Alaiddin Ahmad Syah. Kemudian dia digantikan oleh putranya Sultan Johan Syah (1735-1760). Di komplek ini juga dimakamkan Pocut Muhammad, seorang Pangeran berdarah panas yang amat berani berperang dan mengalahkan Jamalul Alam di Gampong Jawa. Juga disini dimakamkan Sultan Alaidin Muhammad Dawod Syah I (1824-1838) yang merupakan anak dari Sultan Jauharul Alam (1795-1824).

Gambar 14 Makam Raja-Raja Dinasti Bugis,

makam Raja-Raja Aceh keturunan bugis (kiri, tengah, kanan) Kandang Meuh

“Kandang Meuh” atau Kandang emas dikenal karena dahulu di dalam kompleks ini terdapat makam yang nisannya terbuat dari emas. Sementara umumnya makam-makam Sultan Aceh yang lain hanya menggunakan nisan batu atau suasa. Dalam suratnya kepada Raja Inggris James I dan Raja Perancis Louis XIII, Sultan Iskandar Muda memuji penyiapan nisan emas untuk dirinya sendiri. Ketika Belanda datang Makam Sultan Iskandar Muda dihancurkan, dan di atasnya dibangun sebuah gedung kantor. Di dalam Kandang Meuh dimakamkan Sultan Alaiddin Mahmud Syah I (1760-1781), Putri Raja Anak Raja Bangka Hulu, Raja Perempuan Darussalam, Tuanku Zainal Abidin, dan keluarga kerajaan lainnya.

Dokumen terkait