• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelestarian Lanskap Sejarah Kota Banda Aceh Sebagai Kota Pusaka Di Provinsi Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelestarian Lanskap Sejarah Kota Banda Aceh Sebagai Kota Pusaka Di Provinsi Aceh"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

PELESTARIAN LANSKAP SEJARAH KOTA BANDA ACEH

SEBAGAI KOTA PUSAKA DI PROVINSI ACEH

MUHAMMAD RIZKI MULYA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pelestarian Lanskap Sejarah Kota Banda Aceh sebagai Kota Pusaka di Provinsi Aceh adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

MUHAMMAD RIZKI MULYA. Pelestarian Lanskap Sejarah Kota Banda Aceh sebagai Kota Pusaka di Provinsi Aceh. Dibimbing oleh NURHAYATI H.S ARIFIN dan HADI SUSILO ARIFIN.

Banda Aceh menjadi salah satu dari sepuluh kota pusaka yang ada di Indonesia untuk dipersiapkan menjadi The World Heritage City oleh Kementrian Pekerjaan Umum melalui Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP). Program kota pusaka ini mewujudkan ruang kota yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berbasis rencana tata ruang, bercirikan nilai-nilai pusaka, melalui transformasi upaya-upaya pelestarian menuju urban (heritage) development dengan dukungan dan pengelolaan yang baik serta penyediaan infrastruktur yang tepat. Hal ini didasarkan melalui UU Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010 dan UU Penataan Ruang nomor 26 tahun 2007.

Banda Aceh memiliki kawasan situs sejarah yang dapat dibedakan berdasarkan periodenya, yaitu: masa kerajaan, masa kolonial dan masa kemerdekaan. Tetapi, dalam pengelolaannya hingga saat ini belum terlihat adanya strategi pelestarian peninggalan sejarah tersebut. Beberapa lanskap sejarah yang ada dalam kondisi tidak terawat, terlantar, tidak fungsional dan rusak. Dari berbagai masalah di atas, dirasakan sudah saatnya perlu dilakukan kajian pelestarian lanskap sejarah Kota Banda Aceh sebagai kota pusaka di Indonesia. Penelitian juga dilakukan untuk mengevaluasi proses perlindungan pusaka peninggalan sejarahnya yang kemudian diharapkan bermanfaat dalam meningkatkan ekonomi daerah.

Tujuan penelitian ini yaitu: menganalisis karakter dan kualitas lanskap sejarah Kota Banda Aceh, mengkaji persepsi masyarakat dalam mendukung Kota Banda Aceh sebagai kota pusaka, dan menyusun strategi pelestarian lanskap sejarah di Kota Banda Aceh. Metode penelitian yakni analisis karakter dan kualitas lanskap sejarah, analisis dilakukan dengan tahapan yaitu: penentuan karakter lanskap sejarah, penilaian signifikansi, serta penilaian keaslian, keunikan dan kenyamanan. Kemudian dilakukan analisis persepsi masyarakat, yakni untuk mengetahui pengetahuan terhadap kota pusaka, persepsi masyarakat Kota Banda Aceh mengenai pelestarian lanskap sejarah yang perlu dilindungi serta aktor yang berperan untuk melestarikan pusaka di Kota Banda Aceh. Hasil assessment lanskap sejarah dan survei kepada masyarakat menjadi dasar dalam menyusun kriteria dalam metode AHP, hasilnya berupa strategi pelestarian lanskap sejarah Kota Banda Aceh sebagai kota pusaka.

(5)

Hasil Analytical Hierarchy Process (AHP), menunjukkan bahwa komponen prioritas dalam upaya pelestarian lanskap sejarah di Kota Banda Aceh adalah komponen keunikan (0,547), keaslian (0,231), kenyamanan (0,166), dan nilai penting (0,058). Alternatif prioritas untuk pelestarian lanskap sejarah di Kota Banda Aceh yaitu peninggalan Lanskap Kolonial (0,551), Lanskap Kerajaan dan Kesultanan (0,355), dan Lanskap Kemerdekaan (0,095). Komponen keunikan (integritas, keberagaman, dan kualitas estetik) merupakan komponen prioritas dalam upaya pelestarian lanskap sejarah sedangkan alternatif prioritasnya yaitu peninggalan dengan karakter lanskap kerajaan-kesultanan dan kolonial.

Rekomendasi untuk melestarikan lanskap sejarah di Kota Banda Aceh yaitu penetapan kawasan prioritas pusaka. Produk rekomendasi berupa usulan deliniasi kawasan prioritas. Produk selanjutnya dari penelitian ini adalah peta pusaka Banda Aceh beserta informasi mengenai situs-situs sejarah Banda Aceh. Rekomendasi selanjutnya adalah pemberian insentif atau dana bantuan pelestarian terhadap situs maupun kawasan cagar budaya yang berada pada lahan kepemilikan pihak lain (militer, perusahaan swasta, ataupun perorangan). Penetapan cagar budaya terhadap kawasan tersebut perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas lanskap sejarah. Penetapan tersebut juga dimaksudkan agar pengelolaannya efektif dan dilakukan oleh Pemerintah Kota.

(6)

SUMMARY

MUHAMMAD RIZKI MULYA. Preservation of Banda Aceh Historical Landscape as the Heritage City in Aceh Province. Supervised by NURHAYATI H.S ARIFIN and HADI SUSILO ARIFIN.

Banda aceh being one of ten heritage cities in indonesia to prepared for world heritage city by the ministry of public works in structuring program and preservation the heritage city. Heritage City programs are to realize the city safe, comfortable, productive and sustainable based spatial plan, characterized by inheritance values, through the preservation efforts to be urban heritage development with support and proper management and infrastructure. It is based under law of cultural heritage number 11 year 2010 and spatial planning law number 26 year 2007.

Banda Aceh City has been developed through long history since Islamic kingdom, under colonialism, until independence era. There were the existing heritages of Banda Aceh as heritage city. However, it was not embodied. There heritages have been not managed properly, abandoned and neglected. Therefore, preservation of the historical landscape of Banda Aceh as a heritage city in Indonesia, is necessary due to heritage landscape may enhance economy regionally.

This research purposes were: (1) to inventory the historic heritage and to analyze the landscape character. (2) to evaluate public participation and support in heritage city preservation. (3) to propose preservation management strategy of historical landscape. The method of this research was preceded by analyzing the historical aspect to determine the characteristics and to assess the historical landscape of Banda Aceh. Furthermore, survey to the society was held in order to explore their perception on heritage city and its preservation. The results of the assessment and survey was utilitized as bases of criteria to develop Analytical Hierarchy Process (AHP) method.

(7)

the colonial character should be considered properly in order to preserve historical landscapes of Banda Aceh heritage city comprehensively.

Recommendations to preserve the historical landscape in Banda Aceh City is the determination of heritage priority delineation areas. The product of this research is a map of Banda Aceh Heritage City with information about historical sites. Second recommendations to preserve the historical landscape in Banda Aceh City that the incentives or funds to aid the preservation of the site and regional cultural heritage which is located on the other ownership land. The determination of cultural heritage against the area needs to be done to prevent a decline in the quality and quantity of the history of landscape. The determination is also meant to effective manage by government.

Keywords: authenticity, culture, heritage development, historical period, uniqueness

(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2017

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB.

(9)

PELESTARIAN LANSKAP SEJARAH KOTA BANDA ACEH

SEBAGAI KOTA PUSAKA DI PROVINSI ACEH

MUHAMMAD RIZKI MULYA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Arsitektur Lanskap

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan tesis ini. tesis dengan judul Pelestarian Lanskap Sejarah Kota Banda Aceh sebagai Kota Pusaka di Provinsi Aceh dipilih karena terdorong oleh keinginan penulis untuk dapat memberikan kontribusi kepada Kota Banda Aceh.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr Ir Nurhayati HS Arifin, MSc dan Prof Dr Ir Hadi Susilo Arifin, MS yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama kegiatan penyusunan tesis ini. Selanjutnya, kepada keluarga, rekan-rekan Pascasarjana Arsitektur Lanskap 2013 dan seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan dorongan yang tulus baik moril maupun materil, penulis juga tak lupa mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pelestarian Lanskap 4

Kota Banda Aceh 4

Kota Pusaka 6

World Heritage 9

METODOLOGI 10

Waktu dan Tempat Studi 10

Metode Penelitian 11

HASIL DAN PEMBAHASAN 15

Analisis Situasional 15

Karakter Lanskap Sejarah 16

Kualitas Lanskap Sejarah 47

Kajian Partisipasi Masyarakat 49

Signifikansi Kawasan Prioritas Kota Pusaka Banda Aceh 51 Rekomendasi Pelestarian Lanskap Sejarah Kota Banda Aceh 54

SIMPULAN DAN SARAN 58

Simpulan 58

Saran 58

DAFTAR PUSTAKA 59

(14)

DAFTAR TABEL

1 Sepuluh Kriteria Outstanding Universal Value 11 2 Pengelompokan lanskap sejarah Kota Banda Aceh 17

3 Pengetahuan Masyarakat Mengenai Kota Pusaka 48

4 Persepsi masyarakat mengenai pelestarian lanskap sejarah

Kota Banda Aceh 49

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir 3

2 Lokasi penelitian (Kota Banda Aceh) 10

3 Rancangan struktur hierarki menunjukkan komponen dan

variabel yang diperbandingkan 14

4 Peta sebaran situs sejarah Kota Banda Aceh

5 Peta Karakter Lanskap Sejarah Kota Banda Aceh 19 6 Tugu titik nol Banda Aceh dan makam sultan-sultan pada

masa kerajaan Aceh 22

7 Mesjid dan Makam Teungku Di Anjong 23

8 Mesjid Raya Baiturrahman 24

9 Taman Sari dan Tugu Proklamasi 25

10 Lapangan Blang Padang (Taman Aceh Thanks the World) 25

11 Komplek makam Sultan Saidil Mukammil 26

12 Komplek makam Teungku Di Bitai 27

13 Makam Sultan Iskandar Muda 28

14 Makam Raja-Raja Bugis 29

15 Makam Kandang Meuh 29

16 Makam Kandang XII 30

17 Makam Jamalul Alam 30

18 Taman Putroe Phang dan Pinto Khop 31

19 Gunongan 32

20 Makam Sutan Iskandar Tsani 32

21 Keraton atau Pendopo (meligoe) Aceh 33

22 Krueng (sungai) Daroy 34

23 Pulau Gajah atau Kodam Iskandar Muda 34

24 Komplek Makam Kerkhof 36

25 Sentral Telepon Militer atau kantor PSSI 36

26 Menara Air Belanda 37

27 Gedung SMAN 1 Banda Aceh 37

28 Jembatan Pante Pirak 38

29 Gedung Bank Indonesia 39

30 Monumen Belanda 39

31 Museum aceh, Rumah tradisional Aceh dan Lonceng

Cakra Donya 40

32 Gedung Baperis atau Gedung Juang 40

(15)

DAFTAR GAMBAR (lanjutan)

34 Kawasan Pecinan (Peunayong) dan Vihara Dharma Bhakti 42

35 Kawasan Pasar Atjeh 43

36 Taman memoriam bekas Hotel Aceh 44

37 Monumen Pesawat RI-001 Seulawah 44

38 Bioskop Garuda Theatre 45

39 Tugu Tentara Pelajar 45

40 Tugu Darussalam dan tulisan Presiden Soekarno 46

41 Rumah Teuku Nyak Arif 47

42 Hasil skoring penilaian komponen keaslian, keunikan,

nilai penting, dan kebersihan 48

43 Pihak yang harus berperan dalam pelestarian lanskap

sejarah Kota Banda Aceh 50

44 Peta Kawasan Strategis Kota Banda Aceh 2009-2029 52 45 Peta Kawasan Prioritas Kota Pusaka Banda Aceh 53 46 Deliniasi Kawasan Prioritas Kota Pusaka Banda Aceh 54 47 Komponen prioritas pelestarian lanskap sejarah Kota

Banda Aceh 55

48 Hasil expert choice terhadap faktor pelestarian lanskap

sejarah Kota Banda Aceh 56

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kriteria penilaian kualitas lanskap 59

2 Kuisioner penelitian kepada masyarakat 61

3 Kuisioner AHP 66

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kota Banda Aceh merupakan ibukota Provinsi Aceh. Dahulu kota ini bernama Kutaraja yang kemudian pada tanggal 28 Desember 1962, kota ini berubah nama menjadi Banda Aceh. Saat ini, Kota Banda Aceh telah berumur 811 tahun. Hal tersebut ditentukan berdasarkan tanggal keberadaan Kota Banda Aceh, yaitu 22 April 1205 yang tertera pada Perda Aceh No.5/1988. Sejak zaman Kerajaan Aceh, Kota Banda Aceh menjadi pusat segala kegiatan baik kegiatan politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Saat ini, Kota Banda Aceh selain sebagai pusat pemerintahan, juga menjadi pusat segala kegiatan ekonomi, politik, sosial, budaya dan pariwisata.

Banda Aceh memiliki banyak situs sejarah, hal tersebut mengharuskan pemerintah kota untuk dapat menjaga situs peninggalan sejarah tersebut. Saat ini, objek wisata sejarah di Pusat Kota Banda Aceh sering dikunjungi. Akan tetapi, pengunjung baik wisatawan lokal maupun wisatawan asing mengunjungi situs-situs sejarah tersebut secara terpisah, sehingga pengunjung belum mendapatkan pengalaman dan pengetahuan sejarah secara optimal, terutama alur sejarah Pusat Kota Banda Aceh. Oleh karena itu, perlu adanya pelestarian lanskap pada situs-situs sejarah yang berada di Pusat Kota Banda Aceh. Selain itu, hal yang harus diperhatikan dalam pelestarian tersebut adalah jalur interpretasi lanskap kawasan wisata sejarah, karena situs-situs yang berada pada kawasan tersebut merupakan peninggalan sejarah Kota Banda Aceh yang berbeda dimensi waktunya.

Kini Banda Aceh menjadi salah satu dari sepuluh kota pusaka yang ada di Indonesia untuk dipersiapkan menjadi World Heritage City oleh Kementrian Pekerjaan Umum melalui Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP). Pengertian kota pusaka adalah kota yang memiliki kekentalan sejarah yang bernilai dan memiliki pusaka alam, pusaka budaya berwujud, dan pusaka budaya tidak berwujud, serta rajutan berbagai pusaka tersebut secara utuh sebagai aset pusaka dalam wilayah/kota atau bagian dari wilayah/kota yang hidup, berkembang, dan dikelola secara efektif.

Program kota pusaka adalah mewujudkan ruang kota yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berbasis rencana tata ruang, bercirikan nilai-nilai pusaka, melalui transformasi upaya-upaya pelestarian menuju urban (heritage) development dengan dukungan dan pengelolaan yang baik serta penyediaan infrastruktur yang tepat. Hal ini didasarkan melalui UU Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010 dan UU Penataan Ruang nomor 26 tahun 2007.

(18)

pembangunan dengan alasan terciptanya lapangan kerja sekaligus peningkatan pendapatan. Sebaliknya, masyarakat memperjuangkan kelestarian bangunan bersejarah sebagai bukti sejarah yang plural dan multikultural. Sebagai modal budaya, pusaka sejarah tersebut memiliki potensi besar dalam mengantisipasi kecenderungan pariwisata global dan modernisasi. Dari berbagai masalah di atas sehingga perlu dilakukan kajian pelestarian lanskap sejarah Kota Banda Aceh sebagai kota pusaka di Indonesia, serta untuk mengevaluasi proses perlindungan pusaka peninggalan sejarahnya yang kemudian akan bermanfaat dalam meningkatkan ekonomi daerah.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu:

1 menganalisis karakter dan kualitas lanskap sejarah Kota Banda Aceh 2 mengkaji persepsi masyarakat dalam mendukung Kota Banda Aceh

sebagai kota pusaka

3 menyusun strategi pelestarian lanskap sejarah Kota Banda Aceh sebagai kota pusaka

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat mendukung Kota Banda Aceh sebagai kota pusaka untuk menjadi The World Heritage City. Menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Kota Banda Aceh dan pihak-pihak yang terkait dalam merencanakan dan mengembangkan lanskap kawasan wisata sejarah Kota Banda Aceh serta sebagai wahana pendidikan yang dapat menambah wawasan mengenai sejarah Pusat Kota Banda Aceh, baik bagi masyarakat Aceh maupun bangsa Indonesia, serta bangsa-bangsa lain.

Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup penelitian ini dibatasi pada kajian lanskap sejarah di Kota Banda Aceh dan dipertimbangkan pula wilayah sekitar yang memiliki hubungan erat. (Putra et al. 2013) menjelaskan bahwa pusaka sejarah ada yang berwujud (tangible) dan tidak berwujud (intangible), baik peninggalan kebudayaan Banda Aceh maupun peninggalan zaman kerajaan, kolonial dan kemerdekaan.

(19)

Banda Aceh. Kemudian peninggalan-peninggalan pusaka tersebut dikelompokkan sesuai dengan periode kesejarahannya.

Aspek sejarah budaya dan religi juga perlu diperhatikan karena budaya dan religi Islam yang kental di Banda Aceh mempengaruhi karakter Kota tersebut. Kemudian dilakukan pengkajian dengan melakukan penilaian kondisi laskap sejarah tersebut dan survei kepada masyarakat disekitar situs peninggalan sejarah atau kepada pengunjung maupun pengelola dan ahli sejarawan dan budayawan. Hasil kajian tersebut kemudian diolah dengan Analytical Hierarchy Process (AHP) sehingga dapat diambil kesimpulan secara efektif untuk menentukan strategi pelestarian lanskap sejarah Kota Banda Aceh sebagai Kota Pusaka.

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Pelestarian Lanskap Sejarah

Lanskap sejarah secara sederhana dapat dinyatakan sebagai bentukan lanskap tempo dulu dan merupakan bentuk fisik dari keberadaan manusia di atas bumi ini (Harris dan Dines 1988). Lanskap sejarah merupakan bagian dari peninggalan kebudayaan dalam periode waktu tertentu. Manusia menciptakan pola fisik yang merupakan hasil kebudayaan yang diekspresikan melalui nilai dan sikap dalam bentuk peninggalan artefak. Bentuk peninggalan ini menjadi suatu bukti yang membantu memahami suatu motif kesejarahan (Lennon dan Mathews 1996).

Lanskap sejarah merupakan sebuah makna. Makna tersebut dapat digolongkan menjadi dua yaitu makna individual dan makna komunitas. Makna individual yaitu makna berupa memori, hasrat, kebahagian, ataupun melankolis seseorang pada suatu tempat pada periode waktu tertentu, sedangkan makna komunitas sama seperti dengan makna individual tetapi diyakini sama oleh suatu kelompok atau komunitas. Keunikan lanskap sejarah yaitu pemaknaannya dapat secara individu, kelompok, ataupun individu dan kelompok (Melnick 2008).

Menurut UU Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010, pelestarian ialah upaya untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Pelestarian berasal dari kata lestari yang artinya tetap seperti keadaan semula, tidak berubah, kekal. Menurut Mimura, pelestarian adalah perlindungan dari kemusnaan atau kerusakan, pengawetan, konservasi. Pelestarian adalah memperhatikan bangunan yang dimiliki nilai sejarah dan juga mempersoalkan berbagai nilai kemasyarakatan seperti benteng kota yang akrab dikatakan tata perumahan tradisional, maupun kerakyatan, kegiatan masyarakat, dan memelihara kebersihan lingkungan, pesta adat, keagamaan dan budaya (Antonius 2013).

Tindakan pelestarian dibedakan menjadi enam yaitu preservasi, konservasi, rehabilitasi, restorasi, rekonstruksi, dan rekonstitusi. Preservasi ialah kegiatan mempertahankan suatu lanskap tanpa menambah maupun mengurangi bagiannya. Konservasi ialah kegiatan pencegahan bertambahnya kerusakan yang biasanya terdapat penggantian maupun penambahan. Rehabilitasi merupakan tindakan meningkatkan suatu standar yang bersifat lebih modern dengan tujuan memperkenalkan dan mempertahankan karakter sejarah. Restorasi merupakan pengembalian sebagaimana kondisi awal apabila terjadi sedikit kerusakan. Rekonstruksi yaitu kegiatan menciptakan kembali seperti kondisi awal karena kondisi eksisting sudah tidak ada lagi. Terakhir, rekonstitusi yaitu kegiatan menempatkan atau mengembalikan suatu kawasan sejarah yang sesuai dengan kondisi saat ini (Harris dan Dinnes 1988).

Kota Banda Aceh

(21)

meninggalkan situs sejarah berupa Taman Putroe Phang, Makam Sultan Iskandar Muda dan Museum Aceh. Pada masa itu, Taman Putroe Phang merupakan bagian dari wilayah kompleks Istana Sultan Aceh di Banda Aceh. Taman ini dibuat khusus untuk sang Permaisuri Sultan Iskandar Muda bernama Putroe Phang yang berarti Putri Pahang, yang berasal dari Pahang, Malaysia. Pada awalnya, area Taman Putroe Phang digunakan untuk kepentingan serdadu kerajaan. Namun seiring berjalan dengan waktu, Taman Putroe Phang menjadi bagian dari taman sultan (Lowres 2007).

Pada Taman Putroe Phang juga terdapat sebuah monumen yang bernama Gunongan. Lokasi monumen ini dipisahkan oleh jalan raya dari Taman Putroe Phang, tetapi monumen ini tetap termasuk ke dalam lingkup area Taman Putroe Phang. Penamaan Gunongan dibuat oleh masyarakat setempat karena bangunan ini dibuat menyerupai bukit-bukit yang terletak di Pahang, Malaysia. Pembuatan bangunan ini didasari atas permintaan sang Permaisuri sendiri yang selalu rindu kampung halamannya. Selain itu, bersebelah dengan Gunongan terdapat Kandang (Makam) Sultan Iskandar Tsani yang merupakan putra dari Sultan Iskandar Muda. Situs sejarah lain pada masa Kerajaan Aceh adalah Kompleks Makam Sultan Iskandar Muda dan Museum Aceh. Sultan Iskandar Muda merupakan tokoh penting dalam sejarah Aceh. Aceh pernah mengalami kejayaan saat Sultan memerintah Kerajaan Aceh pada tahun 1607-1636. Sultan Iskandar Muda mampu menempatkan Kerajaan Aceh pada peringkat kelima di antara kerajaan terbesar Islam di dunia pada abad ke-16. Beberapa peninggalan Kerajaan Aceh, termasuk peninggalan milik Sultan Iskandar Muda terdapat pada Museum Aceh. Museum ini termasuk salah satu dari 18 museum terpenting yang ada di Indonesia karena memiliki koleksi yang langka dan lengkap. Salah satunya adalah manuskrip literatur kuno hasil karya penulis ulama nusantara dan Melayu kuno, koleksi etnis botani dan benda purbakal lainnya. Koleksi tersebut merupakan warisan dari perjalanan sejarah Kerajaan Aceh sejak dari Kerajaan Samudera Pasai, Sultan Iskandar Muda hingga Sultan Muhammad Daud Syah. Selain itu, pada museum ini juga terdapat Rumah Tradisional Aceh dan Cakra Donya yang merupakan salah satu simbol dari Kota Banda Aceh.

Pada abad ke-16, Belanda memasuki tanah Aceh. Kedatangan Belanda perlahan memudarkan kejayaan Kerajaan Aceh. Pada tahun 1880, salah satu situs sejarah pada masa penjajahan Belanda yang bernama Pendopo dibangun di bekas peninggalan Kerajaan Aceh. Pendopo merupakan salah satu pembangunan awal kolonial Belanda di Aceh. Pendopo juga merupakan bekas kediaman Gubernur Belanda dan sekarang menjadi rumah dinas Gubernur Aceh (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata 2011).

(22)

bertambah dua kubah lagi dan dua buah menara sebelah utara dan selatan. Pada perluasan kedua ini, Masjid Raya Baiturrahman mempunyai lima kubah dan diselesaikan hingga tahun 1967 M. Selain itu, tahap pengembangan ini juga dibuat sebuah menara atau tugu yang disebut dengan Menara/Tugu Modal (Badrudin 2009).

Selama masa penjajahan Belanda di Aceh banyak memakan korban, baik dari pihak masyarakat Aceh maupun dari pihak serdadu Belanda. Beberapa serdadu Belanda yang tewas dalam peperangan atau mati terkena wabah penyakit dimakamkan pada sebuah pemakaman umum Belanda. Pemakaman umum Belanda ini dinamakan dengan Kerkhof Peutjoet. Saat ini, pemakaman Belanda tersebut telah menjadi salah satu objek wisata di Kota Banda Aceh. Pada pemakaman ini terdapat kurang lebih sekitar 2.200 makam orang Belanda, mulai dari yang berpangkat serdadu sampai dengan yang berpangkat Jenderal. Makamnya mulai dari berbagai suku bangsa yang tergabung dalam tentara kolonial Belanda pada saat itu sampai kepada makam sekelompok orang Yahudi yang dulu pernah tinggal di Aceh. Bahkan, pada kuburan tersebut masih dapat dibaca nama-nama dan pangkat para tentara serta tahun-tahun dan tempat-tempat dimana mereka gugur.

Pada awal masa kemerdekaan Republik Indonesia (RI), masyarakat Aceh turut berpartisipasi dalam membantu Soekarno sebagai Presiden RI yang pertama pada masa itu untuk menjalankan tugas kenegaraan. Pesawat RI 001 Seulawah merupakan bukti nyata dukungan yang diberikan masyarakat Aceh dalam proses perjalanan Republik Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Pesawat ini merupakan angkutan udara pertama yang dimiliki Indonesia dan dibeli dengan sumbangan ikhlas Rakyat Aceh pada awal Kemerdekaan. Pesawat ini disumbangkan melalui pengumpulan harta pribadi masyarakat dan saudagar Aceh, sehingga Presiden Soekarno menyebut “Daerah Aceh adalah Daerah Modal bagi Republik Indonesia”. Untuk mengenang jasa masyarakat Aceh tersebut, maka dibuat replika Pesawat RI 001 Seulawah sebagai monumen yang berada di Lapangan Blang Padang, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh (Bagusriyanto 2009).

Kota Pusaka

Pusaka menurut Piagam Pelestarian dan Pengelolaan Pusaka Indonesia Tahun 2003 meliputi pusaka alam, pusaka budaya dan pusaka saujana. Pusaka alam adalah bentukan alam yang istimewa. Pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari lebih 500 (lima ratus) suku bangsa di tanah air Indonesia, secara sendiri-sendiri, sebagai kesatuan bangsa Indonesia dan dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah keberadaannya. Pusaka budaya mencakup pusaka berwujud (tangible) dan pusaka tidak berwujud (intangible). Pusaka saujana adalah gabungan pusaka alam dan pusaka budaya dalam kesatuan ruang dan waktu (Kota Pusaka 2013).

(23)

generasi selanjutnya. Pelestarian (konservasi) pusaka bukanlah romantisme masa lalu, bukan pula hanya mengawetkan (preservasi). Pelestarian pusaka bertujuan membangun masa depan secara berkelanjutan yang menyinambungkan berbagai peninggalan yang bernilai dengan dinamika jaman secara terseleksi. Sekaligus menjadi alat dan modal untuk pengembangan budaya dan ekonomi. Upaya pelestarian Kota Pusaka adalah mengelola Kota Pusaka berdasar pada Rencana Pengelolaan yang disusun agar keunggulan nilai kota pusaka tetap terjaga keberlanjutannya, suatu proses terus menerus yang membutuhkan pelaku pelestarian yang berkompetensi.

Sebagaimana dilansir dari Kota Pusaka (2013), kota pusaka bermakna kota yang memiliki kekentalan sejarah yang bernilai dan memiliki pusaka alam, pusaka budaya berwujud dan pusaka budaya tidak berwujud, serta rajutan berbagai pusaka tersebut secara utuh sebagai aset pusaka dalam wilayah/kota atau bagian dari wilayah/kota yang hidup, berkembang, dan dikelola secara efektif. Maksud dari dicanangkannya kota pusaka yakni untuk mewujudkan reformasi di bidang perencanaan dari tataran perencanaan RTRW ke arah aksi implementasi konkrit yang berbasis kekuatan ruang kota dengan nilai-nilai pusaka di dalamnya sebagai tema utama. Program ini juga dimaksudkan untuk mendorong diakuinya Kota Pusaka Indonesia sebagai Kota Pusaka Dunia oleh UNESCO. Secara universal, pelestarian kota pusaka diantaranya mengacu pada Piagam Washington (Piagam Pelestarian Kota dan Kawasan Perkotaan Pusaka) yang diadopsi dari Sidang Umum International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) di Washington D.C., Oktober 1987, dan Pedoman Pengelolaan Kota Pusaka Dunia yang dikeluarkan oleh Organization of World Heritage Cities (Pedoman OWHC, 2003).

Kota Pusaka memilki tujuan untuk mewujudkan ruang kota yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berbasis rencana tata ruang, bercirikan nilai-nilai pusaka, melalui transformasi upaya-upaya pelestarian menuju sustainable urban (heritage) development dengan dukungan dan pengelolaan yang handal serta penyediaan infrastruktur yang tepat menuju Kota Pusaka Dunia.

Program Penataan dan Pelestarian kota Pusaka (P3KP) diprioritaskan kepada kota/kabupaten anggota Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) mengingat kota/kabupaten tersebut sekurang-kurangnya telah memiliki komitmen dan kepedulian dalam melindungi kekayaan pusaka alam, budaya, dan saujana yang dimilikinya yang ditunjukkan disusunnya RTRW dan heritage map.

Di dalam jaringan inilah, para anggota JKPI secara bersama-sama berupaya mencari jalan dan langkah-langkah nyata dalam mendaya-upayakan kekayaan pusaka bangsa menjadi aset yang bernilai jual tinggi, baik dimata bangsa Indonesia maupun di mata bangsa-bangsa lain di dunia. Tujuan didirikannya jaringan ini adalah untuk menjaga kelestarian benda cagar budaya peninggalan sejarah di Indonesia dan memiliki peran penting didalam melindungi, menata dan melestarikan aset-aset pusaka Indonesia.

(24)

dilaksanakan), dan kompetensi SDM daerah terkait. Penjabaran ketiga kelompok tersebut sebagai berikut:

1. Kota dan kabupaten kelompok A yang telah memiliki kesiapan dan pengalaman dalam pengelolaan kawasan pusaka dan kepadanya akan diberikan fasilitasi penyusunan Rencana Manajemen Kota Pusaka (Heritage City Management Plan), fasilitasi awal dukungan pemangku kepentingan, dan fasilitasi kampanye publik.

2. Kota dan kabupaten kelompok B yang sudah memiliki identifikasi kawasan pusaka namun pengelolaannya masih terbatas dan kepadanya akan diberikan pendampingan capacity building tingkat lanjut agar pada tahun berikutnya siap menerima fasilitasi penyusunan Rencana Manajemen Kota Pusaka (Heritage City Management Plan).

3. Kota dan kabupaten kelompok C yang masih pada tahap persiapan dan kepadanya akan diberikan pendampingan capacity building tingkat dasar dan kemudian dipersiapkan untuk memperoleh fasilitasi capacity building tingkat lanjutan.

Sebagai tahap awal, P3KP ditawarkan dan diprioritaskan kepada 48 kota/kabupaten yang tergabung dalam Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) serta telah menyelesaikan Peraturan Daerah RTRW atau sekurang-kurangnya telah mendapat Persetujuan Menteri Pekerjaan Umum.

Kemudian terhadap 48 Kabupaten Kota tersebut, terseleksi 10 kota/kabupaten yang kesiapannya sebagai kandidat Kota Pusaka Indonesia (Indonesia Heritage City) yang memiliki keunggulan nilai budaya Indonesia (Outstanding Indonesia Values), dan akan di deklarasikan pada tahun 2015, selanjutnya dipersiapkan untuk diusulkan sebagai World Heritage City pada 2020. Sepuluh kota/kabupaten yang telah ditetapkan sebagai pilot project Kota Pusaka Indonesia yaitu; Banda Aceh (Aceh), Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Bau Bau (Sulawesi Tenggara), Karangasem (Bali), Denpasar (Bali), Yogyakarta (DIY), Semarang (Jawa Tegah), Bogor (Jawa Barat), Palembang (Sumatera Selatan), dan Sawahlunto (Sumatera Barat). Para pimpinan dari 10 kota/kabupaten tersebut, telah menandatangani Piagam Komitmen Kota Pusaka untuk menjalankan Rencana Aksi Kota Pusaka. Kesepuluh kota ini akan dipersiapkan untuk menjadi World Heritage City (Kota Warisan Dunia) dan akan mendapat fasilitas untuk inventarisasi dan dokumentasi aset pusaka.

(25)

World Heritage

World heritage dapat dibedakan menjadi menjadi cultural heritage, natural heritage, dan mixed cultural and natural heritage (World Heritage Centre 2005).

Cultural heritage dapat berupa:

1 Monumen: karya arsitektur, karya patung monumental, dan lukisan, elemen atau struktur yang bersifat arkeologis, prasasti, gua tempat tinggal dan kombinasi fitur, yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau ilmu pengetahuan.

2 Kelompok bangunan: kelompok bangunan yang terpisah atau terhubung yang, karena arsitekturnya, homogenitas atau tempat dalam lanskap, yang memilki nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau ilmu pengetahuan.

3 Situs: karya manusia atau karya gabungan alam dan manusia, dan daerah termasuk situs arkeologi yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sejarah, estetika, poin etnologis, atau pandangan antropologi.

Selanjutnya, natural heritage dapat berupa:

1 Fitur alam yang terdiri dari formasi fisik dan biologis atau kelompok formasi tersebut, yang memiliki nilai universal luar biasa dari titik pandang estetika atau sains.

2 Formasi geologi dan fisiografi yang merupakan habitat spesies terancam hewan dan tumbuhan nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang ilmu pengetahuan, atau konservasi.

3 Situs alam atau daerah alam yang digambarkan nilai universal luar biasa dari sudut pandang ilmu pengetahuan, konservasi, atau keindahan alam. Untuk properti dianggap sebagai mixed cultural and natural heritage jika memenuhi sebagian atau seluruh definisi dari kedua warisan budaya dan alam. Dalam penetapannya sebagai world heritage, minimal terdapat satu dari sepuluh kriteria yang dirangkum dalam World Heritage Convention.

(26)

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Studi

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh (Gambar 2). Keberadaan wilayah geografis Kota Banda Aceh terletak antara 05˚16'15" - 05˚36'16" Lintang Utara dan 95˚16'15" - 95˚22'35" Bujur Timur. Kota Banda Aceh terdiri dari 9 Kecamatan dan 90 Desa. Luas wilayah administratif Kota Banda Aceh sebesar 61.359 ha atau kisaran 61.36 km2 dengan batas-batas sebagai berikut: sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka, batas Selatan dengan Samudera Hindia, batas Timur dengan Kabupaten Aceh Besar, dan batas Barat dengan Kabupaten Aceh Besar.

Sumber: BAPPEDA Kota Banda Aceh 2012

Gambar 2 Lokasi penelitian (Kota Banda Aceh)

(27)

Metode Penelitian

Penelitian ini diawali dengan pengkajian lanskap sejarah yang kemudian hasilnya digunakan dalam melakukan assesment guna mengetahui karakter lanskap sejarah Kota Banda Aceh. Selanjutnya dilakukan survei kepada masyarakat Kota Banda Aceh perihal persepsi mereka terhadap Kota Pusaka dan lanskap sejarah kota Banda Aceh. Komponen dari assesment lanskap sejarah, dan survei kepada pakar dijadikan sebagai dasar dalam menyusun kriteria Analytical Hierarchy Process (AHP).

Analisis Karakter dan Kualitas Lanskap Sejarah

Pengkajian karakter dan kualitas lanskap sejarah dilakukan dengan tahapan yaitu: Penentuan karakter lanskap sejarah, penilaian signifikansi, serta penilaian keaslian, keunikan dan kenyamanan (Syahadat 2015). Penilaian tersebut melalui assessment yang mengacu pada Shamsuddin et al. (2012), dikombinasikan dengan assessment keaslian dan keunikan berdasarkan Harris dan Dinnes (1988), nilai penting/signifikansi (Supriadi 2010), dan ditambahkan dengan aspek kenyamanan. Luaran dari tahapan ini yaitu didapatkan karakter dan kualitas pada lanskap sejarah di Kota Banda Aceh, beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Penilaian ini dilakukan untuk menyatakan derajat keaslian, keunikan, nilai penting dan kenyamanan pada masing-masing lanskap sejarah (Lampiran 1).

Historical character and identity

Hasil identifikasi nilai sejarah pada tahapan sebelumnya digunakan untuk penilaian signifikansi yang akan dijabarkan secara deskriptif. Penilaian signifikansi ini menentukan kriteria pada lanskap Kota Banda Aceh yang mewakili sepuluh kriteria Outstanding Universal Value (OUV) (Tabel 1).

Tabel 1 Sepuluh kriteria Outstanding Universal Value

Kriteria Deskripsi

i Mewakili sebuah karya jenius kreatif manusia.

ii Menunjukkan pentingnya pertukaran nilai-nilai kemanusiaan, selama

rentang waktu atau dalam wilayah budaya dunia, pada perkembangan arsitektur atau teknologi, seni yang monumental, perencanaan kota, atau desain lanskap.

iii Menanggung kesaksian yang unik atau setidaknya luar biasa untuk tradisi

budaya atau peradaban yang hidup atau yang telah hilang.

iv Menjadi sebuah contoh luar biasa dari jenis bangunan, ensemble atau

lanskap yang menggambarkan signifikansi dalam sejarah manusia arsitektur atau teknologi.

v Menjadi sebuah contoh luar biasa dari permukiman tradisional manusia,

(28)

Lanjutan Tabel 1 Sepuluh kriteria Outstanding Universal Value

vi Akan secara langsung atau nyata terkait dengan peristiwa atau tradisi yang

hidup, ide-ide, keyakinan, karya seni, dan sastra yang memiliki signifikansi universal yang luar biasa. (Komite menganggap bahwa kriteria ini sebaiknya digunakan dalam hubungannya dengan kriteria lain).

vii Mengandung fenomena alam superlatif atau daerah keindahan alam yang

luar biasa dan estetis.

viii Menjadi contoh luar biasa yang mewakili tahap utama dari sejarah bumi, termasuk rekaman kehidupan, berlangsung proses geologi yang signifikan dalam pengembangan bentang alam, geomorfik, atau fitur fisiografi.

ix Menjadi contoh luar biasa yang mewakili berlangsungnya proses ekologi

dan biologi yang signifikan dalam evolusi dan pengembangan darat, air tawar, ekosistem dan komunitas tumbuhan, serta hewan pesisir dan laut

x Mengandung nilai penting dan signifikan terhadap habitat alami untuk

konservasi in-situ keanekaragaman hayati, termasuk spesies yang terancam mengandung nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang ilmu pengetahuan atau konservasi.

Landscape and open space

Tahapan landscape and open space ini yaitu dengan menggolongkan pusaka berdasarkan gaya khasnya masing-masing baik tangible maupun intangible. Pada tahap ini juga dilakukan pengumpulan informasi mengenai panorama dan vista lokal pada masing-masing lanskap.

Penilaian keaslian dan keunikan

Penilaian ini dilakukan untuk menyatakan derajat keaslian dan keunikan pada masing-masing lanskap sejarah. Kriterianya disajikan pada Lampiran 1.

Analisis Persepsi Masyarakat

Analisis persepsi masyarakat dilakukan untuk mengetahui pengetahuan terhadap kota pusaka, persepsi masyarakat Kota Banda Aceh mengenai pelestarian lanskap sejarah yang perlu dilindungi serta aktor yang berperan untuk melestarikan pusaka di Kota Banda Aceh. Analisis menggunakan metode survei dengan menyebarkan kuisioner (Lampiran 2). Terdapat 20 pertanyaan pada kuisioner, kuisioner tersebut telah dinyatakan valid dengan nilai realibilitas sebesar 0.857 dan rtabel sebesar 0,291. Pengujian validitas instrumen dengan

melibatkan 10 orang di luar responden. Survei dilakukan pada 90 responden. Responden terdiri dari penduduk, pengunjung dan pemerintah daerah. Responden adalah laki-laki dan perempuan yang tersebar di sembilan kecamatan di Kota Banda Aceh. Profesi responden terbagi atas pelajar, mahasiswa, PNS, wiraswasta. Latar belakang pendidikan responden antara lain SMA, D3, S1 dan S2. Parameter populasi diasumsikan 50 persen dengan tingkat kepercayaan 95%.

(29)

validitas konstruksi dan pengujian reabilitas dengan metode belah dua (Rianse dan Abdi 2009). Perangkat lunak yang digunakan dalam menggolah data survei antara lain Microsoft Excel 2007, SPSS 16. Adapun formulasinya sebagai berikut: Chi-square

= ∑ [ � − � ] (1)

Keterangan:

X2 = Chi-square

O = Frekuensi hasil observasi E = Frekuensi yang diharapkan Pengujian validitas instrumen

1. Pearson product moment

�ℎ� �� = � ∑ − ∑ . ∑

√{�. ∑ − ∑ . �. ∑ − ∑ } (2)

Keterangan:

rhitung = Koefisien korelasi

Σxi = Jumlah skor item Σyi = Jumlah skor total N = Jumlah responden

2. Uji-t

�ℎ� �� = �√� −

√ − � (3)

Keterangan:

thitung = Nilai thitung

r = Koefisien korelasi n = Jumlah responden

Pengujian reabilitas dengan metode belah dua � = + �. ��

� (4)

Keterangan:

r11 = Koefisien korelasi internal seluruh item

(30)

Penyusunan Strategi pelestarian Lanskap Sejarah Kota Banda Aceh

Hasil penelusuran sejarah, assessment lanskap sejarah, dan survei kepada masyarakat menjadi dasar dalam menyusun kriteria dalam AHP (Gambar 3). AHP adalah alat yang digunakan untuk mengorganisasikan informasi dan judgment dalam memilih alternatif. Dengan menggunakan AHP suatu persoalan dapat dipecahkan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga memungkinkan untuk pengambilan keputusan yang efektif dalam persoalan tersebut (Marimin 2004).

Kriteria lanskap sejarah yang akan digunakan sebagai komponen pemilihan dalam rancangan struktur hierarki. Komponen-komponen tersebut adalah: 1) keaslian, 2) keunikan, 3) nilai penting, 4) kenyamanan. Setiap komponen terdiri atas beberapa variabel yang mendukung terciptanya lanskap sejarah. Alternatif pilihan yang ingin dicapai dalam menentukan strategi pengelolaan kota pusaka dibagi menjadi tiga, yaitu masa kerajaan-kesultanan, masa kolonial, dan masa kemerdekaan. Dengan menggunakan metode AHP, diharapkan dapat diketahui prioritas utama dari ketiga alternatif pembentuk lanskap sejarah tersebut untuk dapat menentukan arah strategi pengelolaan kota pusaka Banda Aceh. Hirarki tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.

Setelah kriteria disusun, maka langkah selanjutnya yaitu menyusun kuisioner yang kemudian diisi oleh pakar. Adapun pakar dimintai partisipasinya antara lain pakar kota pusaka, pemerintah Kota Banda Aceh, serta sejarawan dan budayawan Banda Aceh. Informasi yang telah dikumpulkan dari para pakar ini kemudian diolah dengan menggunakan perangkat lunak Expert Choise. Hasil dari AHP berupa strategi pelestarian lanskap sejarah Kota Banda Aceh sebagai kota pusaka.

(31)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Situasional

Kota Banda Aceh merupakan ibukota Provinsi Aceh. Berdasarkan data dari BPS Kota Banda Aceh (2014), secara astronomis Kota Banda Aceh terletak antara 05˚16'15"05˚36'16" Lintang Utara dan 95˚16'15"95˚22'35" Bujur Timur. Berdasarkan posisi geografisnya, Kota Banda Aceh memiliki batas-batas: (1) sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka; (2) sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Besar; (3) sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia; (4) sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Besar. Berdasarkan letak geografisnya, Kota Banda Aceh berada di ujung Utara Pulau Sumatera sekaligus menjadi wilayah paling Barat dari Pulau Sumatera.

Luas wilayah Kota Banda Aceh adalah 61.36 km2, luas wilayah tersebut

terbagi kedalam 9 (sembilan) kecamatan, yaitu Kecamatan Meuraksa 7.26 km2, Kecamtan Jaya Baru 3.78 km2, Kecamatan Banda Raya 4.79 km2, Kecamatan Baiturrahman 4.54 km2, Kecamatan Lueng Bata 5.34 km2, Kecamatan Kuta Alam 10.05 km2, Kecamatan Kuta Raja 5.21 km2, Kecamatan Syiah Kuala 14.24 km2,

Kecamatan Ulee Kareng 6.15 km2. Kota Banda Aceh terdiri atas 9 kecamatan 17 Kemukiman dan 90 gampong (setingkat desa, sesuai dengan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh).

Berdasarkan hasil sensus penduduk yang dilakukan BPS Kota Banda Aceh, jumlah penduduk Kota Banda Aceh pada pertengahan tahun 2013 adalah sebanyak 249.282 jiwa. Jumlah penduduk terbesar berada di Kecamatan Kuta Alam, namun kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Baiturrahman yakni 7.757 jiwa per km2.

Obyek wisata di Kota Banda Aceh yang tercatat di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Banda Aceh terbagi dalam 3 (tiga) kategori: (1) Obyek wisata Alam, terdapat 4 (empat) obyek berupa pantai; (2) Obyek wisata tsunami, terdapat 5 (lima) obyek; (3) Obyek wisata spiritual dan bersejarah, terdapat 30 obyek berupa mesjid, makam, dan situs-situs bersejarah. Benda, situs sejarah, dan kawasan cagar budaya terbanyak terdapat di Kecamatan Baiturrahman dengan jumlah 19 obyek. Kota Banda Aceh juga memiliki 23 jenis tarian khas Aceh.

Jumlah wisatawan nusantara dan mancanegara di Banda Aceh pada tahun 2013 (Januari-Oktober) adalah 188.035 wisatawan. Pada tahun 2013 juga telah tercatat Banda Aceh memiliki fasilitas untuk wisatawan berupa: 80 agen perjalanan dan pariwisata; 106 restoran, 170 kedai kopi, 92 warung kopi, 37 cafe; 30 toko souvenir; 50 hotel; dan 11 kawasan kuliner.

(32)

Diantara kekayaan budaya tersebut dapat kita jumpai dalam beberapa bidang kehidupan masyarakat Kota Banda Aceh, antara lain: (1) Prosesi adat pernikahan, cah rot (penjajakan), me tanda ranub (melamar), akad nikah, walimah; (2) Prosesi seumano pucok, siraman (mandi) bagi calon pengantin wanita; (3) Tradisi peutreun aneuk (turun tanah bayi); (4) Tradisi perayaan maulid Nabi Muhammad; (5) Tradisi hari meugang (makmeugang), acara menjelang bulan puasa, menjelang Hari Raya Idul Fitri dan menjelang Hari Raya Idul Adha; (6) Prosesi kenduri blang, pesta rakyat turun sawah; (7) Prosesi kenduri laot, tradisi nelayan aceh; (8) Peusijuk (penyejuk), pemanjatan doa yang digelar pada acara tertentu; (9) Hadih/nariet maja, ungkapan bijak warisan indatu tentang nilai-nilai dan filosofis kehidupan masyarakat Aceh; (10) Rencong, senjata pusata tradisional Aceh.

Peninggalan pusaka tak ragawi juga berupa makanan khas (kuliner) Aceh, makanan khas tersebut yakni; kanji rumbi, kue karah, kue timphan, kuah pliek u, eungkot keumamah (ikan kayu), gulai kambing, gulai bebek, gulai kepala ikan, dan mie aceh. Banda Aceh juga memiliki peninggalan sejarah dan budaya intangible (tak wujud) yaitu 23 jenis tarian; Tari Likok Pulo, Rapai Geleng, Ratoh Duek, Prang Sabil, Saman, Pemulia Jamee, Ranup Lampuan, Laweut, Didong Gayo, Seudati, Panyoet, Rateb Meuseukat, Cangklak, Rampak, Top Pade, Ek U Glee, Yum Wariyum, Guel, Geudumbak, Zapin, Phoe, Tarek Pukat, Debus.

Karakter Lanskap Sejarah

Banda Aceh memiliki karakter religi yang kuat. Masa Kerajaan dan Kesultanan merupakan masa peradaban Islam di Banda Aceh. Hingga masa kini kesejarahan dan kebudayaan Islam berpengaruh terhadap Kota Banda Aceh. Peninggalan sejarah di Banda Aceh bukan hanya berasal dari masa kejayaan Islam saja, namun peninggalan masa kolonialpun banyak dijumpai di sana, akan tetapi jumlahnya tidak sebanyak peninggalan Masa Kerajaan dan Kesultanan. Banda Aceh sebagai ibukota dan pusat pemerintahan tetap berlangsung hingga masa kolonial bahkan sampai sekarang ini. Gaya arsitektur kolonial mempengaruhi bentuk tata ruang Banda Aceh. Bentuk bangunan kuno juga banyak dipengaruhi oleh gaya kolonial. Beberapa situs kolonial masih tetap terjaga dan dikelola dengan baik, kecuali lanskap Stasiun Kereta Api yang hanya meninggalkan sebuah tugu dan sebuah gerbong lokomotif, selebihnya tidak terlihat lagi peninggalannya sehingga masyarakat sebagian besar tidak mengetahui keberadaannya.

(33)

Aceh masa lalu. Karakter pusaka dan sejarah perkembangan Kota Banda Aceh telah ditetapkan pada tujuan rencana aksi kota pusaka yaitu: “menjadikan Kota Banda Aceh sebagai kota indah penuh sejarah, kota tua pusaka raja yang memiliki keunggulan daya tarik wisata melalui penerapan nilai-nilai islami”. Sehingga dari analisis karakter tersebut maka karakter masa kerajaan-kesultanan dan budaya islami menjadi prioritas untuk dilestarikan.

Menurut Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Banda Aceh (2011), terdapat 37 situs/objek sejarah di Banda Aceh yang tersebar di 9 Kecamatan. Sebaran situs sejarah dan pengelompokannya secara spasial terdapat pada Tabel 2 dan Gambar 4 dan 5. Pengelompokkan situs sejarah menjadi 12 lanskap sejarah berdasarkan kesamaan peristiwa sejarah atau berlokasi pada satu kawasan tertentu. Seluruh situs sejarah tersebut dikelola oleh pemerintah, empat diantaranya dikelola oleh pemerintah kota/Dinas kebudayaan dan pariwisata, selebihnya oleh pemerintah provinsi dan BP3 (Badan Perencanaan Pelestarian Pusaka). Keempat situs tersebut yaitu: Taman Putroe Phang, Taman Sari, Monumen Pesawat RI-01 dan Tower Air Belanda. Keempat situs tersebut telah dikelola dengan baik, sehingga perlu adanya regulasi mengenai pembagian pengelolaan situs sejarah dari pemerintah provinsi kepada pemerintahan kota ataupun pihak swasta dan LSM, agar seluruh situs dapat dikelola dengan optimal. Tabel 2 Pengelompokan Lanskap Sejarah Kota Banda Aceh

Lanskap Sejarah Gambar Objek Keterangan

Masa Kerajaan dan Kesultanan

1.Gampong Pande

a. Gampong Pande

b. Mesjid Teungku Di Anjong

(34)

Lanjutan Tabel 2 Pengelompokan Lanskap Sejarah Kota Banda Aceh

8.Stasiun Kereta Api 1. Masa Kolonial

(35)

Ga

mbar

4 P

eta

s

eba

ra

n si

tus s

ejar

ah Kota

B

and

a A

ce

h

Su

m

b

er

:

B

APPEDA

Ko

ta

B

an

d

a

Ace

h

2

0

1

(36)

Ga

mbar

5 P

eta

Ka

ra

kter

La

nska

p S

ejar

ah Kota

B

anda

Ac

(37)

Masa Kerajaan dan Kesultanan

Kerajaan Islam pertama yang berkembang di Aceh adalah Peurelak. Namun Pasai merupakan sebuah kerajaan Islam yang mengalami perkembangan pesat baik dibidang politik maupun perdagangan. Pada masa itu bandar dagang telah ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing yang bermaksud untuk membina hubungan perdagangan dengan kerajaan tersebut.

Pada perkembangan selanjutnya muncullah Bandar Aceh Darussalam pada tahun 1205 Masehi sebagai ibukota Kerajaan Aceh Darussalam yang diproklamirkan oleh Sultan Alaudin Johan Syah yang terletak dekat kuala sungai (Krueng Aceh). Pada Masa pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah tahun 1267-1309 Masehi, pusat Kerajaan Aceh dipindahkan dari Kandang ke seberang Krueng Aceh dan dibangun pusat kerajaan dan istana dengan nama Kuta Dalam Darud Donya, bersamaan itu dibangunnya pula Mesjid Jamik Baiturrahman.

Pada masa-masa tahun 1465-1489 Masehi, Bandar Aceh Darussalam mengalami perubahan menjadi Banda Aceh Darussalam sebagai ibukota dari federasi yang dibentuk oleh Kerajaan aceh Darussalam, Kerajaan Daya dan Kerajaan Pidie, dibawah pemerintahan Sultan Husein Syah. Pada Abad ke-17 Kerajaan Aceh merupakan sebuah kerajaan besar dan jaya di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Banda Aceh yang kemudian digelari menjadi Bandar Aceh Darussalam sebagai ibukota Kerajaan Aceh Darussalam, sangat dikenal sebagai salah satu diantara Lima Besar Kerajaan Islam Dunia, yakni: Baghdad, Damaskus, Agra, Isfahan dan Aceh Darussalam. Banda Aceh berkembang menjadi pusat pemerintahan, pusat perkembangan kebudayaan, tamaddun, pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan arsitektur, hukum dan ketatanegaraan, perdagangan dan pertanian.

Memasuki Abad ke-18 Kerajaan Aceh secara berangsur-angsur mulai mengalami kemunduran. Pada tahun 1824 di masa Kesultanan Muhammad Daud Syah naik tahta, sebuah peristiwa penting yaitu ditandatanganinya Traktat London antara Inggris dengan Belanda. Isi perjanjian menyebutkan tentang pembagian wilayah jajahan Indonesia dan semenanjung Malaya. Berpijak dari perjanjian tersebut, maka untuk memperlancar penguasaan terhadap Aceh, Belanda mengikat perjanjian baru dengan Inggis yang disebut dengan Traktat Sumatera pada tahun 1871. Isi Traktat mengenai pemberian kekuasaan terhadap Belanda untuk melakukan perluasan wilayah di Aceh. Peperangan antara rakyat Aceh dan Belanda ini berlangsung selama 40 tahun, perang itu disebut juga “Perang Kaphee Beulanda” oleh rakyat Aceh.

(38)

Lanskap Gampong Pande

Gampong Pande

Pada tahun 1201 datang ke Aceh 500 orang rombongan dari Seljuk yang hendak menyebarkan Islam di Aceh. Diantara rombongan mubaligh ada yang bernama Abdurrauf As Saljuki yang tinggal di Kandang Aceh. Kelak ia dikenal sebagai Tuan Di Kandang. Abdurrauf As Saljuki mempunyai anak yang bernama Abdul Azis yang kelak menjadi Sultan Aceh pertama yang bergelar Sultan Johan Syah. Sultan Johan Syah mendirikan kerajaan Aceh pada 1205 M bertempat di Gampong Pande. Sultan Johan Syah menikahi anak Raja Lamuri yang bernama Maharani Putroe Ti Seuno. Pernikahan ini memperkuat posisi Sultan Johansyah yang kemudian menyebarkan Islam di seluruh Aceh Raya dan menaklukkannya pada 1215. Sultan memerintah di atas tahta selama 29 tahun dan wafat pada 1234.

Tugu titik nol Banda Aceh terdapat di Gampong pande. Pada tugu tersebut terdapat tulisan “Di sinoe asai muasai jadi Kuta Banda Aceh tempat geupeudong Keurajeun Aceh Darussalam le Soelthan Johansyah Bak Uroe Phon Ramadhan thon 601 Hijriah”. Artinya “Di sini cikal bakal kota Banda Aceh tempat awal mula Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Johansyah pada 1 Ramadhan 601 Hijriah atau 22 April 1205 M”.

Gambar 6 Tugu titik nol Banda Aceh (kiri), batu nisan masa kerajaan (tengah) dan makam sultan-sultan pada masa kerajaan Aceh (kanan)

Gampong Pande berlokasi di sisi barat Krueng Aceh, berdekatan dengan Kecamatan Meuraksa dan Pelabuhan Ulee Lheue. Kampung Pande diapit beberapa kampung tua lainnya. Ada Kampung Jawa di sebelah timur, Kampung Peulanggahan dan Keudah di sebelah selatan. Sementara sebelah utaranya berhadapan dengan pantai dan kuala Krueng Aceh. Dapat dikatakan bahwa Gampong Pande merupakan kota pelabuhan pada saat itu dan di kawasan inilah Istana Kerajaan Aceh berdiri. Menurut tulisan sejarah saat itu ketika Sultan Johansyah berhasil menaklukkan Kerajaan Hindu/Budha Indra Purba dengan ibukota di Kutaraja (sekarang Banda Aceh).

Pada akhir tahun 2014 lalu Gampong Pande tiba-tiba digegerkan dengan penemuan ribuan keping emas kuno di Muara Krueng Doy. Penemuan tersebut bermula ketika seseorang yang sedang mencari tiram menemukan koin emas yang diyakini sebagai mata uang Kerajaan Aceh Darussalam saat itu. Gampong Pande banyak tersimpan peninggalan sejarah, seperti Makam Putroe Ijo, Makam Raja-Raja Gampong Pande dan Makam Teungku di Kandang. Kompleks Makam tersebut terletak di tengah-tengah pemukiman penduduk. Terdapat lebih dari 50

(39)

batu nisan kuno dengan beragam hiasan di dalam komplek. Beberapa batu nisan tergeletak begitu saja dan tidak terawat.

Masjid Teungku Di Anjong

Masjid ini didirikan Sayyid Abu Bakar bin Husin Bafaqih tahun 1781-1795 pada masa Sultan Muhammad Syah. Ulama dari negeri Arab ini mengembara untuk mendakwahkan Islam. Sayyid Abu Bakar memiliki ilmu Islam yang sangat mendalam. Namun karena situasi perebutan kekuasaan di Aceh beliau tidak berhasil memajukan pendidkan. Masyarakat menganggap Sayyid Abu Bakar orang keramat dan mendapat gelar Teungku di Anjong.

Ketika Teuku Umar menyerah kepada Belanda tahun 1893, Snouck Hurgronje menasehati Gubernur Deijkerhoff untuk menguji kesungguhan Teuku Umar menyerah. Umar diminta bersumpah di Makam Teungku Di Anjong. Permintaan itu dituruti. Karena tidak terjadi apa-apa setelah sumpah diucapkan, Belanda yakin Teuku Umar telah menyerah. Namun pada 1896, Teuku Umar kembali ke barisan pejuang dan menjadi musuh paling dibenci Belanda.

Gambar 7 Mesjid (kiri) dan Makam Teungku Di Anjong (kanan)

Lanskap Baiturrahman

Mesjid Raya Baiturrahman

Masjid Baiturrahman didirikan masa Sultan Mahmud Syah pada tahun 1292. Selain tempat ibadah, masjid ini juga sebagai tempat pengembangan ilmu keislaman. Masjid Baiturrahman terbakar pertama kali masa Sultan Muda Ali Riayat Syah (1604-1607). Pada masa Sultan Iskandar Muda, masjid ini didirikan kembali dua kali lebih besar. Masa itu, mimbar Masjid Baiturrahman dibuat dari emas dan puncak mimbar dari suasa. Menurut utusan Turki yang datang ke Aceh, jamaahnya membludak, hampir menyamai jumlah jamaah salat di Masjidil Haram Mekkah masa itu. Sultan Turki bernama Sultan Ahmad yang mendengar laporan utusannya memuji Sultan Iskandar Muda dan memberi gelar sebagai Raja Timur sedangkan Sultan Turki Raja Barat.

Pada masa Sultanah Naqiatuddin, Masjid Baiturrahman dan Istana terbakar. Kemudian Masjid Baiturrahman didirikan ulang. Ketika Habib Abdurrahman Az Zahir datang, Masjid Baiturrahman kembali bergairah. Pada Perang Aceh masjid ini dibakar oleh Van Swieten pada 6 Januari 1874. Namun pada 27 Desember 1881 masa Gubernur Van Der Heijden mesjid ini dibangun kembali dengan satu kubah. Pada 1935, masjid diperluas menjadi 3 kubah. Tahun 1967 menjadi 5 kubah dilengkapi 2 menara. Perluasan kembali dilakukan pada 1992-1995 hingga memiliki 7 kubah dan 5 menara, mampu menampung 7000 jamaah. Saat tragedi

(40)

tsunami menerjang Aceh, masjid ini tidak mengalami kerusakan berarti. Gelombang tsunami tidak masuk ke dalam masjid. Itu sebabnya, warga menjadikannya sebagai tempat berlindung dan mengungsi. Di depan mesjid terdapat “Menara Modal” dengan ketinggian 45 meter.

Gambar 8 Mesjid Raya Baiturrahman, tampak depan (atas), tampak samping (kiri bawah) dan menara masjid (kanan bawah)

Masjid di pusat kota Banda Aceh mempunyai luas 3.30 hektar dengan lima pintu gerbang. Mampu menampung 10.000-13.000 jemaah di dalamnya. Tapi jika memakai halaman, dapat memuat jamaah hingga 25.000 orang. Sejarah perang tercatat panjang di Masjid Raya. Masuk dari dari pintu gerbang sebelah kanan, pengunjung akan sambut oleh sebuah prasasti. Bahwa di tempat tersebut Jenderal Kohler tewas tertembak pada April 1873 saat memimpin pasukan Belanda untuk penyerangan ke Aceh. Pemerhati sejarah Islam sekaligus penceramah Masjid Baiturrahman, Tgk Ameer Hamzah menjelaskan, bahwa dalam penyerangan oleh Belanda itulah, masjid kemudian dibakar.

Indonesia merdeka, masjid itu jadi saksi. Masyarakat berduyun ke sana berdoa menyambutnya. Saat berakhirnya konflik DI/TII, setelah Tgk Daud Beureueh turun gunung, masjid itu juga jadi saksi perdamaian itu. Tsunami melanda Aceh, 26 Desember 2004, Masjid Raya Baiturrahman tanpa kerusakan yang berarti dan banyak warga kota yang selamat di sini. Hanya menara depan yang miring dan kini telah diperbaiki. Sampai kemudian damai kembali hadir di Aceh, setelah Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sepakat hentikan perang. Saat MoU damai di Helsinki, Filandia, 15 Agustus 2005 silam, di Masjid Raya Baiturrahman ribuan masyarakat menggelar acara sambut damai dengan doa dan zikir-zikir. Di masjid kenangan Sultan dan Belanda itulah, zikir dan doa-doa damai kerap bersenandung hingga kini.

Taman Sari

Taman Sari pada era pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) termasuk bagian dari Taman Bustanussalatin (sekarang dikenal dengan nama Taman Putroe Phang) yang merupakan tempat bermainnya permaisuri dan putri raja. Ketika masa Sultan Iskandar Tsani, taman ini dilengkapi dengan berbagai

Mulya MR Mulya MR

(41)

jenis bunga dan buah-buahan. Di bagian tengah taman ini terdapat Tugu Proklamasi. Diujung jalan Taman Sari (sekarang Jl. Tgk. Abu Lam U) terdapat bangunan bungalow “rudi” yang merupakan bangunan peninggalan kolonial berlantai dua pertama di Aceh. Disekitar taman sari saat ini terdapat kantor-kantor pemerintahan dan kediaman pejabat diantaranya kantor Walikota (Balai Kota) Banda Aceh. Sekarang taman ini berfungsi sebagai tempat wisata dan bermain, pementasan kesenian, pagelaran pameran, kegiatan sosial dan juga terdapat ruang galeri.

Gambar 9 Taman Sari tampak samping (kiri) tampak depan (tengah) dan Tugu Proklamasi (kanan)

Lapangan Blang Padang

Pada Zaman Sultan Iskandar Muda Blang Padang adalah tempat perkumpulan para hulubalang dan Gajah sebelum perayaan Hari besar Islam seperti Hari Raya Idul Fitri ataupun Hari Raya Haji. Perjalanan Sultan Iskandar Muda dari Blang Padang ke Masjid Baiturrahman diiringi 20 barisan yang terdiri tokoh agama, hulubalang dan prajurit. Jumlahnya mencapai 35 ribu orang. Pada masa Iskandar Tsani jumlah yang mengiringi Sultan telah banyak berkurang. Ini lantaran 20 ribu prajurit Aceh gugur di Malaka.

Luas lapangan Blang Padang sekitar 8 hektar. Pada 1970, lapangan ini dibagi menjadi dua bagian, dipisahkan oleh jalan raya di tengah-tengah. Bagian sebelah timur digunakan untuk berbagai upacara, sedangkan sebelah barat adalah stadion olahraga. Pada 1981, stadion dibongkar untuk penyelenggaraan MTQ XII. Pada acara itu Blang Padang disebut Desah Arafah. Pasca tsunami Blang Padang menjadi salah satu Land Mark kota Banda Aceh. Di lapangan ini dilaksanakan penyerahan senjata sebagai bukti tanda perdamaian antara GAM dan RI pada tahun 2005. Pada tahun 2009 lapangan Blang Padang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Taman Internasional Aceh Thanks the World, yang dilengkapi dengan monumen peringatan tsunami, plakat 53 negara donor, dan jogging track.

Gambar 10 Gerbang Lapangan Blang Padang (kiri), Tugu Taman Aceh Thanks the World (tengah) dan jogging track (kanan)

Mulya MR Mulya MR Mulya MR

(42)

Lanskap Makam Raja

Makam Saidil Mukammil

Sultan Alaidin Saidil Mukammil (1589-1604) Ibnu Sultan Firman Syah Ibnu Sultan Inayat Syah adalah salah satu sultan terbesar di Aceh. Pada masanya perdagangan Aceh maju pesat. Sultan Saidil Mukammil merupakan kakek Sultan Iskandar Muda. Pada tahun 1599 beliau mendapat bintang kehormatan dari Sultan Turki Muhammad Khan yang mengirim banyak hadiah. Salah satunya Kuda Tizi yang sangat indah. Pada 21 Juni 1599, dua penjelajah Belanda bernama Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman datang ke Aceh. Cornelis terbunuh dalam pertempuran di atas geladak kapal oleh Laksamana Malahayati. Pada tahun 1601 Prins Maurits mengirim surat kepada Sultan memohon hubungan Aceh dan Belanda diperbaiki. Surat dibawa oleh Gerard de Roy dan Laksamana Laurens Bicker.

Sultan membalas surat serta mengirim utusan ke Belanda dipimpin Orang Kaya Abdul Hamid dan Laksamana Sri Muhammad. Abdul Hamid mangkat pada usia 72 tahun di Middelburg, Belanda, karena cuaca dingin. Pada tahun 1602 giliran Ratu Inggris Elizabeth mengirim surat yang dibawa oleh Laksamana Sir James Lancaster. Surat diterima dengan kehormatan dan izin berdagang diberikan kepada Inggris. Dalam suratnya Ratu memuji kehebatan Sultan Saidil Mukammil dan Laksamana Aceh yang mengalahkan Portugis. Sultan Saidil Mukammil dimakzulkan pada tahun 1604 oleh putranya Sultan Muda. Setahun kemudian beliau wafat dan dimakamkan di Merduati. Makam tersebut telah rusak akibat peristiwa tsunami pada Desember 2004 lalu, kini kondisinya tidak terawat.

Gambar 11 Kondisi makam sultan-sultan di merduati (kiri), papan cagar budaya (tengah), makam Sultan Saidil Mukammil (kanan)

Makam Teuku Di Bitay

Sultan Alaiddin Al Qahar (1539-1572) adalah musuh besar Portugis di Malaka. Pada tahun 1566 M Sultan mengirim utusan kepada Sultan Sulaiman Al Qanuni di Istanbul meminta bantuan. Namun utusan harus menunggu dua tahun karena Sultan Sulaiman telah wafat. Sultan Selim II yang menggantikan Sultan Sulaiman mengirim bantuan kepada Sultan Alaiddin Al Qahar. Ada 300 orang utusan Turki yang datang ke Aceh untuk membantu menyerang Malaka. Diantara yang datang adalah seorang ulama besar di Baitul Maqdis yang menurut riwayat kemudian berganti nama menjadi Teungku Di Bitay. Mereka menetap di Imperium yang oleh logat Aceh dibaca Emperom.

Di museum Bronbeek di Arnhem, Belanda tersimpan meriam “Lada Sicupak”. Meriam ini di rampas oleh kolonial Belanda dari kerajaan Aceh dan di bawa ke negerinya pada perang kolonial 1873. Meriam Lada sicupak adalah

(43)

pemberian Sultan Turki kepada Sultan Aceh pada abad ke-16. Sultan Aceh mengirim utusan ke Turki dengan membawa lada satu kapal untuk dipersembahkan kepada Sultan Turki. Karena lama menunggu, utusan terpaksa menjual lada itu untuk keperluan hidup, sehingga saat mendapat kesempatan di terima oleh Sultan, ladanya hanya tinggal “sicupak”. Namun Sultan Turki yang bersahabat dengan Aceh tetap memberikan meriam besar dan panjang kepada utusan untuk dibawa pulang ke Aceh.

Makam ini sekarang berfungsi sebagai peninggalan sejarah dan kuburan para ulama asal Turki dan keluarga Teungku Di Bitay. Elemen yang tersisa pasca tsunami 2004 berupa batu nisan dan relief pada pintu masuk. Sedangkan makam-makam lainnya sudah banyak mengalami perbaikan dari pemerintah Turki pada tahun 2006.

Komplek Makam Tengku Di Bitai dan Sultan Salahuddin ini sendiri terletak di tengah perkampungan desa Bitai dengan luas area 500 meter persegi. Desa Bitai dewasa ini sudah dibangun kembali dengan bantuan organisasi Palang Merah Turki yang membantu pembangunan rumah-rumah penduduk yang hancur diterpa oleh gelombang tsunami Desember 2004 lalu serta bantuan negara Turki yang di fasilitasi juga dari kedutaan besar Turki di Jakarta dan dibuat rumah sebanyak 350 buah bagi warga yang selamat dari Gempa Bumi dan Tsunami tersebut dan diresmikan langsung oleh Wakil Perdana Menteri Turki yang datang ke Bitai Banda Aceh

Gambar 12 Komplek makam Teungku Di Bitai tampak luar (kiri), tampak dalam (tengah) dan saat dikunjungi walikota dan dubes turki (kanan)

Makam Raja Jalil

Raja Jalil merupakan anak dari Sultan Alaiddin Al Qahar Ibnu Sultan Ali Mughayat Syah. Raja Jalil adalah kakek dari Sultan Iskandar Muda dari pihak ayahnya. Anak raja Jalil adalah Sultan Mansyur, ayah dari Sultan Iskandar Muda. Raja Jalil mempunyai peran besar menyatukan dua dinasti yang lama berseteru. Raja Jalil mengirim utusan kepada Sultan Saidil Mukammil untuk melamar anaknya bernama Putri Indra Bangsa. Setelah pernikahan ini Dinasti Meukuta Alam dan Dinasti Darul Kamal bersatu. Dari pernikahan dua dinasti ini lahirlah Iskandar Muda, sultan terkuat dari kerajaan Aceh.

Situs makam ini terdapat di Kecamatan Banda Raya, Lamlagang, Banda Aceh. Elemen fisik yang tampak dari situs ini adalah masih adanya sekitar 25 batu nisan. Situs ini sudah dipugar tahun 2009. Sekarang sudah ada atap yang menutupi, tetapi masih ada beberapa makam yang tanpa atap.

Makam Sultan Iskandar Muda

Sultan Saidil Mukammil turun tahta pada tahun 1604, diturunkan kepada anaknya Sultan Muda. Sedangkan anaknya yang lain Sultan Husin menjadi wakil

Gambar

Gambar 1 Kerangka Pikir
Gambar 2 Lokasi penelitian (Kota Banda Aceh)
Gambar 3 Rancangan struktur hierarki menunjukkan komponen
Tabel 2 Pengelompokan Lanskap Sejarah Kota Banda Aceh
+7

Referensi

Dokumen terkait

Melestarikan batik sebagai pusaka budaya dengan memproduksi dan mengembangkan kerajinan batik peninggalan nenek moyang agar dapat tergambar sejarah perkembangfanya dan

Untuk mengetahui bagaimana persepsi siswa serta untuk memperkenalkan kepada siswa SMA Negeri 16 Medan akan pentingnya situs dan peninggalan sejarah serta fungsinya

Sejarah Perkembangan Polonia di Kota Medan memiliki catatan sejarah yang penting yang di awali massa kolonial Belanda, dengan mendaratnya pesawat terbang pertama

Museum Negeri, merupakan museum terbesar di Kota Medan yang berbagai peninggalan Sejarah Budaya, Bangsa, Hasil Seni dari berbagai Suku di Sumatera Utara. Museum Rahmad Syah,

Melestarikan batik sebagai pusaka budaya dengan memproduksi dan mengembangkan kerajinan batik peninggalan nenek moyang agar dapat tergambar sejarah perkembangfanya dan

Hasil penelitian menunjukkan pemanfaatan situs sejarah peninggalan peradaban Islam di Kota Malang sebagai sumber belajar dan basis aktifitas pembelajaran merupakan

Pemanfaatan situs sejarah local, yang dalam tulisan ini adalah situs-situs sejarah peninggalan kolonialisme di kota batau, dengan pendekatan belajar outdoor

Sebagai contoh, ada kerangka kerja CRM yang bagus dari Pearson and Sullivan yang ditulis oleh Sulistyanto (2011) dalam Majalah Arkeologi. Kedua, diperlukan tindakan- tindakan