• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Sejarah Pusat Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Sejarah Pusat Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh"

Copied!
291
0
0

Teks penuh

(1)

SYARIFAH MAULIDYA A44070002

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

(2)

KOTA BANDA ACEH, PROVINSI ACEH

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka skripsi ini.

Bogor, Desember 2011

(3)

Pusat Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Dibimbing oleh NURHAYATI HS ARIFIN.

Kota Banda Aceh memiliki banyak situs sejarah pada masa lalu, mulai dari masa Kerajaan Aceh sampai masa Kemerdekaan RI. Situs- situs sejarah tersebut dapat dikembangkan menjadi suatu kawasan wisata sejarah di Pusat Kota Banda Aceh, agar situs tersebut dapat dijaga kelestariannya. Perencanaan kawasan wisata ini dapat memberikan pengalaman dan pengetahuan sejarah, terutama alur sejarah Pusat Kota Banda Aceh secara optimal. Tujuan dari penelitian ini adalah menyusun perencanaan lanskap kawasan wisata sejarah di Pusat Kota Banda Aceh untuk memberikan interpretasi dan kenyamanan wisata sejarah secara optimal. Berdasarkan tahapan penelitian, tujuan tersebut dijabarkan ke dalam tujuan-tujuan spesifik, yaitu mengidentifikasi dan menganalisis unit lanskap sejarah sesuai karakter dan periode sejarah, mengidentifikasi dan menganalisis potensi daya tarik wisata sejarah, mengidentifikasi dan menganalisis pendukung wisata sejarah, serta menentukan konsep lanskap wisata dan merencanakan jalur interpretasi lanskap kawasan wisata sejarah di Pusat Kota Banda Aceh.

Penelitian mengenai perencanaan lanskap kawasan wisata sejarah Pusat Kota Banda Aceh ini dilaksanakan pada wilayah Kampung Baru, Peuniti dan Sukaramai, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan Gold (1980) berdasarkan pendekatan aktivitas dan sumberdaya wisata sejarah. Tahapan perencanaan mencakup kegiatan inventarisasi melalui pengumpulan data, analisis data dengan metode skoring, analisis spasial dan analisis deskriptif, sintesis, penyusunan konsep dan perencanaan lanskap. Analisis data dengan metode skoring dan deskriptif mencakup potensi daya tarik wisata sejarah dan pendukung wisata yang akan menghasilkan kategori ruang potensi tinggi, sedang dan rendah. Analisis data secara spasial mencakup unit lanskap sejarah, potensi daya tarik wisata sejarah dan pendukung wisata, kemudian dilakukan overlay untuk menghasilkan kesesuaian ruang wisata sejarah.

Kawasan Pusat Kota Banda Aceh merupakan kawasan bersejarah yang penting karena terdapat elemen-elemen peninggalan periode sejarah sejak masa Kerajaan Aceh, masa Kolonial Belanda dan masa Kemerdekaan RI. Elemen lanskap sejarah yang ada pada kawasan ini mencakup Taman Putroe Phang, Pendopo, Makam Suktan Iskandar Muda, Museum Aceh, Mesjid Raya Baiturrahman, Lapangan Blang Padang, Pemakaman Belanda, Museum Tsunami Aceh, Taman Budaya, Pasar Aceh, Taman Sari, kawasan militer dan kawasan pemukiman penduduk. Kawasan yang ada pada Kecamatan Baiturrahman ini merupakan kawasan cagar budaya yang sebagian besar wilayahnya berupa kawasan peninggalan sejarah dan perkantoran (pusat pemerintahan).

(4)

Pendopo, Kompleks Makam Sultan Iskandar Muda, Museum Aceh, Mesjid Raya Baiturrahman, Monumen Pesawat RI 001 Seulawah, Tugu Peringatan Tsunami, Tugu Aceh Thanks The World, Pemakaman Belanda dan Museum Tsunami Aceh. Sedangkan atraksi seni dan budaya mencakup alat musik khas Aceh, musik, lagu dan tarian tradisional Aceh, makanan khas Aceh, pakaian tradisional Aceh, kerajinan tangan khas Aceh, ritual perkawinan adat Aceh, festival dan perayaan acara di Kota Banda Aceh, serta kebudayaan asli Kota Banda Aceh lainnya. Selain itu, berdasarkan penilaian pendukung wisata, kawasan ini memiliki pendukung wisata yang mencakup aksesibilitas dan sirkulasi, informasi dan promosi, fasilitas wisata, pelestarian/pengelolaan wisata, kebijakan pemerintah, serta fasilitas penunjang wisata lainnya. Analisis dari ketiga komponen tersebut dan overlay unit spasialnya menghasilkan kesesuaian ruang wisata yang terdiri dari kategori ruang tinggi, sedang dan rendah. Kategori ruang tinggi mencakup elemen lanskap sejarah Taman Putroe Phang, Pendopo, Makam Sultan Iskandar Muda, Museum Aceh, Mesjid Raya Baiturrahman, Lapangan Blang Padang, Pemakaman Belanda, Museum Tsunami Aceh, Pasar Aceh danTaman Sari. Kategori ruang sedang mencakup kawasan Taman Budaya, sedangkan kategori ruang rendah mencakup kawasan militer dan permukiman. Kesesuaian ruang wisata ini digunakan untuk menyusun tata ruang wisata sejarah pada pengembangan konsep.

Konsep dasar perencanaan adalah menelusuri alur sejarah Kota Banda Aceh untuk mengenal nilai sejarah kota dan budaya masyarakatnya yang penuh perjuangan dalam mencapai kejayaan. Aplikasi konsep dasar ini dalam perencanaan lanskap adalah kawasan wisata sejarah yang bersifat edukatif dengan pengaturan jalur sirkulasi dan interpretasi yang menghubungkan ruang-ruang objek wisata sejarah dan pendukung wisata, serta penataan fasilitas interpretasi, tata hijau dan fasilitas atau sarana wisata lainnya sebagai identitas, kenyamanan dan keindahan pasa kawasan tersebut. Berdasarkan konsep tersebut, maka pengembangan konsep pada perencanaan ini mencakup konsep ruang, aksesibilitas dan sirkulasi, jalur interpretasi, aktivitas dan fasilitas wisata, tata hijau, serta pelestarian kawasan.

Konsep ruang wisata pada kawasan ini terdiri dari empat ruang, yaitu ruang objek wisata, ruang transisi, ruang pelayanan dan ruang penerimaan. Pembagian ruang tersebut disesuaikan dengan kesesuaian ruang yang dihasilkan dari analisis unit lanskap sejarah, potensi daya tarik wisata sejarah dan pendukung wisata. Pada ruang objek wisata terdapat objek sejarah beserta atraksi yang dapat dinikmati oleh pengunjung. Ruang transisi pada kawasan ini berupa jalan yang berfungsi sebagai sirkulasi bagi pengunjung untuk menuju ke setiap ruang objek wisata. Ruang pelayanan merupakan ruang yang terdapat berbagai fasilitas penunjang wisata dan pengelolaan kawasan wisata. Ruang penerimaan merupakan ruang yang berfungsi untuk menyambut para pengunjung.

(5)

kepuasan kepada para pengunjung.

Konsep tata hijau dikembangkan menjadi rencana tata hijau yang dapat mendukung kegiatan atau aktivitas wisata sejarah. Tanaman yang digunakan sebagian besar tanaman endemik yang berfungsi sebagai penguat identitas, terutama tanaman yang sudah ada pada masa Kolonial Belanda. Selain itu, tanaman lain juga akan diaplikasikan pada kawasan ini yang memiliki fungsi estetika, pembatas, peneduh dan pengarah. Penataan tanaman pada kawasan ini disesuaikan antara fungsi ruang dengan fungsi setiap tanaman, sehingga dapat meningkatkan kenyamanan para pengunjung.

Rencana fasilitas yang terdapat pada tapak disesuaikan dengan aktivitas wisata yang dilakukan pada tiap ruang maupun pada keseluruhan tapak. Fasilitas wisata yang digunakan memperhatikan fungsi, letak dan kelestarian kawasan yang dapat menunjang aktivitas wisata terutama yang berkaitan dengan nilai sejarah kawasan, seperti kegiatan interpretasi sejarah. Selain itu, fasilitas wisata juga memperhatikan kenyamanan wisata sejarah pada kawasan ini, sehingga dapat meningkatkan kenyamanan dan kepuasan pengunjung dalam berwisata.

Rencana jalur interpretasi dikembangkan berdasarkan konsep interpretasi menurut periode perkembangan sejarah yang terdiri dari tiga periode, yaitu masa Kerajaan Aceh, masa Kolonial Belanda dan masa Kemerdekaan RI. Oleh karena itu, tema interpretasi pada kawasan wisata sejarah ini diangkat berdasarkan periode waktu sejarah yang pernah terjadi pada kawasan Pusat Kota Banda Aceh yang mempresentasikan perkembangan sejarah pada kawasan tersebut. Rencana lanskap wisata sejarah Pusat Kota Banda Aceh ini menghubungkan ruang-ruang wisata dengan jalur dan fasilitas interpretasi secara efisien dan efektif, di mana fasilitas wisata untuk kenyamanan wisata dan ruang terbuka hijau sebagai identitas, kenyamanan dan keindahan pada kawasan tersebut.

(6)

® Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB.

(7)

SYARIFAH MAULIDYA A44070002

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Peranian Bogor

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

(8)

Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh Nama Mahasiswa : Syarifah Maulidya

NRP : A44070002

Departemen : Arsitektur Lanskap

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Nurhayati HS Arifin, M.Sc NIP. 1962 0121 1986 01 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA NIP. 1948 0912 1974 12 2 001

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 2 Oktober 1989. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari keluarga Bapak Said Agustus dan Ibu Syarifah Radhiah. Pendidikan penulis diawali pada tahun 1993 di TK Pertiwi dan lulus di Taman Kanak-kanak (TK) tersebut pada tahun 1995. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya di SD Negeri 16 Banda Aceh pada tahun 2001. Kemudian pada tahun 2004, penulis menyelesaikan studi di SMP Negeri 3 Banda Aceh. Selanjutnya pada tahun 2007, penulis lulus di SMA Negeri 3 Banda Aceh. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut (USMI).

(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Sejarah Pusat Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh” disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian dengan Mayor Arsitektur Lanskap dari Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulisan skripsi ini didasari oleh keinginan untuk membantu upaya pelestarian kawasan sejarah Pusat Kota Banda Aceh. Selain itu, juga sebagai suatu alternatif untuk meningkatkan rasa kepedulian dan menghargai sejarah Kota Banda Aceh melalui kegiatan pariwisata. Penyusunan skripsi ini dibantu dan didukung oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Waled Said Agustus, Ummi Syarifah Radhiah dan keluarga besar atas doa, perhatian, dukungan dan bantuan yang telah memberikan kekuatan dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan studi ini.

2. Dr. Ir. Nurhayati HS Arifin, MSc. selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, masukan dan arahannya selama penyusunan skripsi ini.

3. Pihak Walikota Banda Aceh dan Badan KESBANGPOL LINMAS Kota Banda Aceh atas segala bantuan dan kemudahan selama penulis melakukan penelitian.

4. Pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Pekerjaan Umum, Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3), Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Banda Aceh, serta Dinas Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh Provinsi Aceh atas bantuannya dalam pengumpulan data selama penelitian.

5. Masyarakat Kampung Baru, Peuniti dan Sukaramai atas bantuan dan kesediaannya selama melakukan wawancara untuk pengumpulan data. 6. Fitriyah Nurul H.U, ST, MT selaku dosen pembimbing akademik atas

bimbingan dan arahannya selama perkuliahan.

(11)

8. Teman-teman Arsitektur Lanskap IPB angkatan 40, 41, 42, 43, 45 dan 46 atas dukungannya.

9. Keluarga besar Arsitektur Lanskap (staf pengajar dan staf penunjang) atas ilmu, bimbingan dan bantuannya selama perkuliahan.

10.Seluruh pihak yang telah memberikan motivasi, saran dan nasehat yang membantu penulis selama proses penyusunan skripsi ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi Kota Banda Aceh dan pihak yang terkait, serta dapat berguna sebagai referensi bagi penelitian lain yang dilaksanakan pada masa yang akan datang.

Bogor, Desember 2011

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

1.4 Kerangka Pikir ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Lanskap Sejarah ... 4

2.2 Pelestarian Lanskap Sejarah ... 5

2.3 Wisata Sejarah ... 6

2.4 Perencanaan Lanskap ... 7

2.5 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Sejarah ... 8

2.6 Sejarah Pusat Kota Banda Aceh ... 10

BAB III METODOLOGI ... 14

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 14

3.2 Bahan dan Alat ... 14

3.3 Batasan Penelitian ... 14

3.4 Metode dan Tahapan Penelitian ... 15

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

4.1 Kondisi Umum ... 23

4.1.1 Wilayah Kota Banda Aceh ... 23

4.1.2 Kawasan Wisata Sejarah Pusat Kota Banda Aceh ... 27

4.2 Data Tapak ... 30

4.2.1 Aspek Kesejarahan Kawasan ... 30

4.2.1.1 Sejarah Kota Banda Aceh ... 30

4.2.1.2 Elemen Lanskap Sejarah ... 33

4.2.2 Aspek Fisik Tapak ... 36

(13)

4.2.2.2 Batas Administrasi ... 38

4.2.2.3 Aksesibilitas dan Sirkulasi ... 38

4.2.2.4 Kondisi Iklim ... 40

4.2.2.5 Kondisi Vegetasi ... 41

4.2.2.6 Konsisi Hidrologi, Topografi dan Visual ... 41

4.2.3 Aspek Sosial dan Budaya Masyarakat ... 42

4.2.3.1 Kondisi Sosial dan Budaya ... 42

4.2.3.2 Persepsi dan Harapan Masyarakat ... 45

4.2.4 Aspek Kepariwisataan ... 47

4.2.4.1 Objek Wisata Sejarah ... 47

4.2.4.2 Atraksi Wisata ... 52

4.2.4.3 Aktivitas Wisata ... 55

4.2.4.4 Fasilitas Wisata ... 56

4.2.4.5 Karakteristik Pengunjung ... 58

4.2.4.6 Persepsi dan Harapan Pengunjung ... 59

4.2.5 Aspek Pengelolaan Kawasan Wisata ... 61

4.2.5.1 Pengelola Kawasan ... 61

4.2.5.2 Upaya Pelestarian ... 64

4.2.5.3 Kebijakan Pemerintah Kota Banda Aceh ... 66

4.2.5.4 Persepsi dan Harapan Pengelola ... 68

4.3 Analisis dan Sintesis ... 70

4.3.1 Unit Lanskap Sejarah ... 70

4.3.2 Potensi Daya Tarik Objek dan Atraksi Wisata Sejarah . 72 4.3.3 Pendukung Wisata ... 74

4.4 Konsep dan Pengembangan Konsep ... 89

4.4.1 Konsep Dasar Perencanaan ... 89

4.4.2 Pengembangan Konsep Perencanaan ... 89

4.4.2.1 Konsep Ruang Wisata ... 89

4.4.2.2 Konsep Aksesibilitas dan Sirkulasi ... 92

4.4.2.3 Konsep Jalur Interpretasi ... 93

4.4.2.4 Konsep Aktivitas Wisata ... 93

(14)

4.4.2.6 Konsep Tata Hijau ... 95

4.4.2.7 Konsep Pelestarian Kawasan ... 96

4.5 Perencanaan Kawasan Wisata Sejarah ... 99

4.5.1 Rencana Ruang Wisata ... 99

4.5.2 Rencana Sirkulasi ... 101

4.5.3 Rencana Fasilitas ... 102

4.5.4 Rencana Tata Hijau ... 108

4.5.7 Rencana Lanskap Wisata Sejarah Pusat Kota Banda Aceh ... 111

4.5.6 Rencana Jalur Interpretasi ... 115

4.5.5 Rencana Wisata (Touring Plan) ... 121

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 127

5.1. Kesimpulan ... 127

5.2. Saran ... 127

DAFTAR PUSTAKA ... 129

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Jadwal pelaksanaan penelitian ... 14

2 Jenis, cara dan sumber perolehan data ... 18

3 Kriteria penilaian potensi daya tarik objek dan atraksi wisata sejarah ... 20

4 Kriteria penilaian pendukung wisata sejarah ... 21

5 Luas dan persentase wilayah kecamatan di Kota Banda Aceh ... 23

6 Jumlah penduduk Kota Banda Aceh per kecamatan ... 26

7 Elemen sejarah pada kawasan Pusat Kota Banda Aceh ... 34

8 Persentase pendapat masyarakat mengenai fasilitas, akses dan informasi ... 46

9 Objek wisata sejarah pada tapak ... 48

10 Atraksi seni dan budaya Aceh dalam program Visit Banda Aceh 2011 .. 52

11 Aktivitas wisata pada setiap area sejarah di Pusat Kota Banda Aceh ... 55

12 Fasilitas wisata pada setiap area sejarah di Pusat Kota Banda Aceh ... 57

13 Jumlah pengunjung pada kawasan Pusat Kota Banda Aceh ... 59

14 Frekuensi pengunjung yang mengunjungi objek-objek wisata ... 60

15 Persentase pendapat pengunjung mengenai fasilitas, akses dan Informasi ... 60

16 Upaya pelestarian setiap area sejarah di Pusat Kota Banda Aceh ... 65

17 Persentase pendapat pengelola mengenai fasilitas, akses dan informasi 69

18 Analisis potensi daya tarik wisata sejarah dengan metode skoring ... 73

19 Analisis pendukung wisata dengan metode skoring ... 74

20 Kesesuaian ruang wisata sejarah ... 77

21 Analisis dan sintesis deskriptif pada fasilitas penunjang wisata ... 85

22 Hubungan ruang dan tanaman ... 96

23 Daya dukung dan total pengunjung setiap ruang ... 98

24 Luas area yang direncanakan pada tapak ... 99

25 Rencana ruang, aktivitas dan fasilitas wisata ... 108

26 Rencana ruang, jenis tanaman dan fungsi tanaman ... 110

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Kerangka pikir penelitian ... 3

2 Lokasi penelitian ... 15

3 Tahapan proses penelitian ... 16

4 Peta administrasi Kota Banda Aceh ... 24

5 Peta pembagian zona fisik Kota Banda Aceh ... 29

6 Gunongan pada tahun 1874 ... 30

7 Mesjid Raya Baiturrahman setelah dibangun kembali oleh Belanda... 31

8 Mesjid Raya Baiturrahman dan Monumen Pesawat RI 001 Seulawah setelah terjadi gelombang tsunami ... 33

9 Kondisi elemen lanskap sejarah di Pusat Kota Banda Aceh saat ini ... 35

10 Kondisi peruntukan lahan di kawasan Pusat Kota Banda Aceh ... 37

11 Peta aksesibilitas menuju kawasan Pusat Kota Banda Aceh ... 39

12 Diagram aksesibilitas dan waktu tempuh menuju tapak ... 40

13 Sumber informasi sejarah Kota Banda Aceh ... 45

14 Objek-objek wisata pada tapak ... 51

15 Aktivitas wisata pada beberapa area sejarah ... 56

16 Fasilitas wisata pada beberapa area sejarah ... 58

17 Sumber informasi sejarah Kota Banda Aceh ... 59

18 Bagan susunan organisasi dan tata kerja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh ... 63

19 Sumber informasi sejarah Kota Banda Aceh ... 68

20 Area bersejarah ... 70

21 Tata guna lahan ... 71

22 Periode sejarah ... 71

23 Aksesibilitas dan sirkulasi ... 72

24 Analisis spasial potensi daya tarik wisata sejarah ... 73

25 Analisis spasial pendukung wisata ... 75

26 Kesesuaian ruang wisata sejarah ... 76

27 Konsep pengembangan ruang wisata sejarah ... 90

(17)

29 Zonasi pelestarian kawasan ... 97

30 Contoh pusat informasi ... 103

31 Kendaraan umum tradisional Aceh (becak) ... 105

32 Contoh gerbang utama menuju kawasan wisata sejarah ... 106

33 Rencana lanskap ... 112

34 Perbesaran gambar dan tampak potongan ... 113

35 Ilustrasi suasana pada kawasan wisata sejarah Pusat Kota Banda Aceh . 114 36 Peta jalur interpretasi 1 (masa Kerajaan Aceh) ... 117

37 Peta jalur interpretasi 2 (masa Kolonial Belanda) ... 118

38 Peta jalur interpretasi 3 (masa Kemerdekaan RI) ... 119

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kota Banda Aceh merupakan ibukota dari provinsi Aceh. Dahulu kota ini bernama Kutaraja yang kemudian pada tanggal 28 Desember 1962, kota ini berubah nama menjadi Banda Aceh. Saat ini, Kota Banda Aceh telah berumur 805 tahun. Hal tersebut ditentukan berdasarkan tanggal keberadaan Kota Banda Aceh, yaitu 22 April 1205 yang tertera pada Perda Aceh No.5/1988 (Wikipedia, 2006). Sejak zaman Kerajaan Aceh, Kota Banda Aceh menjadi pusat segala kegiatan baik kegiatan politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Saat ini, Kota Banda Aceh selain sebagai pusat pemerintahan, juga menjadi pusat segala kegiatan ekonomi, politik, sosial, budaya dan pariwisata.

Pusat Kota Banda Aceh memiliki banyak situs sejarah, seperti Taman Putroe Phang, Makam Sultan Iskandar Muda, Museum Aceh, Pendopo, Pemakaman Belanda (Kerkhof Peutjoet), Mesjid Raya Baiturrahman, Monumen Pesawat RI 001 Seulawah, Museum Tsunami dan situs lainnya. Hal tersebut mengharuskan pemerintah kota untuk dapat menjaga situs peninggalan sejarah yang ada pada kota tersebut. Situs yang terpenting di Pusat Kota Banda Aceh adalah Mesjid Raya Baiturrahman yang telah ada pada masa Kerajaan Aceh. Mesjid Raya Baiturrahman ini merupakan pusatnya Kota Banda Aceh dari masa Kerajaan Aceh hingga saat ini.

(20)

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah menyusun perencanaan lanskap kawasan wisata sejarah di Pusat Kota Banda Aceh untuk memberikan interpretasi dan kenyamanan wisata sejarah secara optimal. Berdasarkan tahapan penelitian, tujuan tersebut dijabarkan ke dalam tujuan-tujuan spesifik, yaitu:

1. Mengidentifikasi dan menganalisis unit lanskap sejarah sesuai karakter dan periode sejarah.

2. Mengidentifikasi dan menganalisis potensi daya tarik wisata sejarah. 3. Mengidentifikasi dan menganalisis pendukung wisata sejarah.

4. Menentukan konsep lanskap wisata dan merencanakan jalur interpretasi lanskap kawasan wisata sejarah di Pusat Kota Banda Aceh.

1.3 Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Kota Banda Aceh dan pihak-pihak yang terkait dalam merencanakan dan mengembangkan lanskap kawasan wisata sejarah Pusat Kota Banda Aceh.

2. Sebagai wahana pendidikan yang dapat menambah wawasan mengenai sejarah Pusat Kota Banda Aceh, baik bagi masyarakat Aceh maupun bangsa Indonesia, serta bangsa-bangsa lain.

1.4 Kerangka Pikir

(21)

Keberadaan elemen-elemen tersebut serta atraksi seni dan budaya yang ditampilkan pada kawasan tersebut telah menarik kunjungan wisatawan, baik dalam negeri maupun mancanegara. Namun, terdapat permasalahan yang menjadi kendala dalam perencanaan lanskap kawasan ini, yaitu belum ada perencanaan wisata sejarah yang terintegrasi yang mencakup semua objek potensial yang dapat memberikan pengalaman dan interpretasi, serta kenyamanan wisata secara optimal. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka perlu dilakukan suatu perencanaan lanskap yang mencakup semua objek potensial dengan jalur dan fasilitas interpretasi yang efektif, serta elemen dan fasilitas pendukung lainnya yang memberikan kenyamanan wisata (Gambar 1).

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

Lanskap Sejarah Pusat Kota Banda Aceh

Permasalahan pada Tapak

Belum ada perencanaan wisata sejarah yang terintegrasi yang mencakup semua objek potensial yang dapat memberikan pengalaman dan interpretasi, serta kenyamanan wisata secara optimal

Perlu didukung dengan perencanaan lanskap yang mencakup semua objek potensial dengan jalur dan fasilitas interpretasi yang efektif, serta elemen dan

fasilitas pendukung lainnya yang memberikan kenyamanan wisata Monumen/Tugu

Pintoe Khop, Kandang, Gunongan, Menara/Tugu Modal,

Pesawat RI 001 Seulawah, Tugu Peringatan Tsunami dan Tugu Aceh Thanks The World

Situs

Taman Putroe Phang, Makam Sultan Iskandar Muda, Museum Aceh, Pendopo, Pemakaman

Belanda (Kerkhof Peutjoet), Mesjid Raya Baiturrahman dan Museum Tsunami

Masa Kerajaan Aceh Masa Penjajahan Kolonial Belanda Masa Kemerdekaan RI

(22)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lanskap Sejarah

Lanskap sejarah (historical landscape) menurut Harris dan Dines (1988), dapat dinyatakan sebagai suatu bentukan lanskap pada masa lalu yang terdiri dari bukti-bukti fisik tentang keberadaan manusia pada suatu tempat. Lanskap sejarah juga memiliki fokus kepada lanskap budaya di antara kontribusi manusia terhadap keadaan awal suatu tempat. Nurisjah dan Pramukanto (2009) menyebutkan bahwa lanskap sejarah penting dilestarikan untuk memberikan suatu makna simbolis bagi peristiwa terdahulu. Lingkungan fisik yang tertata merupakan suatu penghubung antara peristiwa masa lalu yang mempengaruhi kita dengan peristiwa yang menentukan masa depan. Tanpa suatu kesan konteks fisik, maka pengetahuan kita mengenai peristiwa sejarah terbatas pada catatan lisan dan gambar-gambar grafis.

Menurut Nurisjah dan Pramukanto (2001), lanskap sejarah merupakan suatu kawasan geografis yang merupakan obyek atau susunan (setting) atas suatu kejadian atau peristiwa interaksi yang bersejarah dalam keberadaan dan kehidupan manusia. Suatu bentukan lanskap dikatakan memiliki nilai sejarah jika memiliki minimal satu kriteria umum, yaitu:

1. Etnografis merupakan produk khas suatu sistem ekonomi dan sosial suatu kelompok/suku masyarakat (etnik). Dua bentuk utama dari lanskap ini, yaitu lanskap pedesaan (rural landscape) dan lanskap perkotaan (urban landscape). Lanskap pedesaan merupakan suatu bentuk lanskap yang dapat dinyatakan sebagai cerminan aspek ekonomi pedesaan dan berbagai kehidupan pedesaan. Lanskap perkotaan merupakan suatu bentuk lanskap yang berhubungan dengan pembangunan kota dan kehidupan perkotaan. 2. Associative merupakan suatu bentuk lanskap yang berasosiasi atau yang

dapat dihubungkan dengan suatu peristiwa, personal, masyarakat, legenda, pelukis, estetika dan sebagainya.

(23)

2.2 Pelestarian Lanskap Sejarah

Kegiatan pelestarian merupakan usaha manusia untuk memproteksi atau melindungi peninggalan atau sisa-sisa budaya dan sejarah terdahulu yang bernilai dari berbagai perubahan yang merusak keberadaannya atau nilai yang dimilikinya. Pelestarian tersebut tidak hanya memberikan manfaat terhadap objek yang dilestarikan, namun juga memberikan kualitas hidup masyarakat yang lebih baik berdasarkan kekuatan฀aset-aset budaya lama dan melakukan pencangkokan program-program yang menarik, kreatif, berkelanjutan serta merencanakan program partisipatif dengan memperhitungkan estimasi ekonomi (Nurisjah dan Pramukanto, 2001).

Menurut Nurisjah dan Pramukanto (2009), kawasan sejarah merupakan lokasi (situs) bagi peristiwa sejarah yang penting dilestarikan untuk memberikan suatu makna bagi peristiwa terdahulu. Tindakan pelestarian lanskap sejarah dapat dilakukan dengan suatu bentuk pendekatan atau kombinasi beberapa pendekatan. Pendekatan ini terutama diterapkan terhadap nilai-nilai, makna atau arti kesejarahan yang dimiliki oleh suatu tatanan lanskap (landscape fabric) dan bentang alam atau taman tersebut secara fisik. Pendekatan ini umumnya mempertimbangkan aspek-aspek yang berperan dalam dinamika perubahan lanskap tersebut yang meliputi aspek sejarah, aspek arkeologis, aspek etnografis, dan nilai-nilai desain yang dimilikinya (Nurisjah dan Pramukanto, 2001).

Tindakan pelestarian yang dapat dilakukan sangat beragam. Menurut Nurisjah dan Pramukanto (2001), dalam upaya pengelolaan untuk pelestarian lanskap tersebut, beberapa tindakan teknis yang umumnya digunakan adalah

adaptive use (penggunaan adaptif), rekonstruksi, rehabilitasi, restorasi, stabilisasi, konservasi, interpretasi, periode setting (replikasi imitasi), release dan

(24)

2.3 Wisata Sejarah

Menurut Nurisjah dan Pramukanto (2009), wisata merupakan rangkaian kegiatan yang terkait dengan pergerakan manusia yang melakukan perjalanan dan persinggahan sementara dari tempat tinggalnya ke satu atau beberapa tempat tujuan di luar dari lingkungan tempat tinggalnya, yang didorong oleh berbagai keperluan dan tanpa bermaksud untuk mencari nafkah tetap. Menurut Yoeti (1996), wisatawan adalah setiap orang yang berpergian dari tempat tinggalnya untuk berkunjung ke tempat lain dengan tujuan menikmati perjalanan dan kunjungannya itu. Sedangkan pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu dalam menikmati perjalanan dan kunjungan itu.

Untuk menunjang suatu kawasan wisata sejarah, maka perlu dipahami mengenai tentang suatu sistem rekreasi. Dalam suatu sistem rekreasi, terdapat hubungan erat antara sisi supply dan demand. Supply dalam rekreasi didefinisikan sebagai semua pengembangan fisik dan program yang memenuhi kebutuhan dan keinginan pengunjung. Kebutuhan dan keinginan pengunjung inilah yang disebut dengan demand. Elemen lanskap yang dirancang juga merupakan salah satu

supply rekreasi. Supply rekreasi ini terdiri dari attraction, services, transportation,

information, dan promotion (Gunn, 1997).

Menurut Gunn (1994), pengembangan suatu kawasan wisata, selain informasi dan promosi, maka terdapat faktor-faktor yang harus diperhatikan, yaitu ketersediaan dari objek wisata sejarah dan atraksi wisata, pelayanan wisata dan transportasi pendukung. Objek dan daya tarik wisata merupakan andalan utama untuk pengembangan kawasan wisata. keduanya didefinisikan sebagai suatu keadaan alam dan perwujudan dari ciptaan manusia, tata hidup, seni budaya, serta sejarah dan tempat yang memiliki daya tarik untuk dikunjungi wisatawan. Sedangkan atraksi wisata adalah segala perwujudan dan sajian alam serta kebudayaan yang secara nyata dapat dikunjungi, disaksikan dan dinikmati wisatawan di suatu kawasan wisata.

(25)

bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya, berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun atau mewakili masa gaya yang sekurang-kurangnya berumur 50 (lima puluh tahun), serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Wujud benda cagar budaya sesuai dengan UU No. 5 tahun 1992 terbagi dua, yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda bergerak adalah benda yang dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat yang lain, contohnya adalah patung, alat-alat upacara dan sebagainya. Benda cagar budaya yang tidak bergerak, yaitu benda yang tidak dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lainnya. Situs, monumen dan kawasan sejarah merupakan contoh-contoh benda cagar budaya yang tidak bergerak (Allindani, 2007).

2.4 Perencanaan Lanskap

Menurut Gold (1980), perencanaan merupakan suatu alat yang sistematis dan dapat digunakan untuk menentukan awal suatu keadaan dan merupakan cara terbaik untuk mencapai keadaan yang diharapkan tersebut. Perencanaaan lanskap merupakan suatu bentuk produk utama dari suatu kegiatan arsitektur lanskap. Perencanaan lanskap ini merupakan kegiatan penataan lahan berdasarkan pada lahan (land based planning) melalui kegiatan pemecahan masalah yang dijumpai. Selain itu, perencanaan merupakan proses untuk pengambilan keputusan berjangka panjang guna mendapatkan suatu model lanskap atau bentang alam yang fungsional, estetika dan lestari yang mendukung berbagai kebutuhan dan keinginan manusia dalam upaya meningkatkan kenyamanan dan kesejahteraan termasuk kesehatannya. Secara praktikal, kegiatan merencanakan suatu lanskap merupakan suatu proses pemikiran dari suatu ide, gagasan atau konsep kehidupan manusia/masyarakat ke arah suatu bentuk lanskap atau bentuk alam yang nyata dan berkelanjutan (Nurisjah dan Pramukanto, 2009).

(26)

mencapai keadaan yang diinginkan tersebut (Nurisjah dan Pramukanto, 2009). Simonds (1983) menyebutkan bahwa proses perencanaan merupakan suatu alat yang sistematik yang digunakan untuk menentukan saat awal keadaan yang diharapkan dan cara terbaik untuk mencapai keadaan tersebut. Hal-hal yang harus dilestarikan mencakup pemandangan dari suatu lanskap, ekosistem serta unsur-unsur langka untuk mencapai penggunaan terbaik dari suatu lanskap.

Menurut Nurisjah dan Pramukanto (2009), proses perencanaan lanskap terdiri dari enam tahapan. Tahapan-tahapan tersebut adalah persiapan, inventarisasi (pengumpulan data dan informasi), analisis, sintesis, perencanaan dan perancangan. Perancangan lanskap yang umum dikenal sebagai bentuk akhir dari rekayasa lanskap merupakan tahap lanjutan dari perencanaan lanskap. Perancangan lanskap merupakan tahap kegiatan atau kerja keenam. Bentuk hasil akhir dari kegiatan perencanaan lanskap bukanlah suatu pendugaan atau pra-konsep yang masih mentah, tetapi pra-konsep yang dihasilkan merupakan suatu kumpulan kebijakan atau kriteria yang dapat mewakili nilai, aspirasi dan keinginan dari masyarakat yang menggunakan lanskap tersebut.

2.5 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Sejarah

Merencanakan suatu kawasan wisata adalah upaya untuk menata dan mengembangkan suatu areal dan jalur pergerakan pendukung kegiatan wisata, sehingga kerusakan lingkungan akibat pembangunannya dapat diminimumkan, tetapi pada saat yang bersamaan kepuasaan wisatawan dapat terwujudkan. Dalam kegiatan perencanaan lanskap, proses perencanaan dinyatakan sebagai suatu proses yang dinamis, saling terkait dan saling mendukung satu dengan lainnya. Proses ini merupakan suatu alat terstruktur dan sistematis yang digunakan untuk menentukan keadaan awal dari suatu bentukan fisik dan fungsi lahan/tapak/bentangalam, keadaan yang diinginkan setelah dilakukan berbagai rencana perubahan, serta cara dan pendekatan yang sesuai dan terbaik untuk mencapai keadaan yang diinginkan tersebut (Nurisjah dan Pramukanto, 2009).

(27)

perencanaan fasilitas menjadi identitas kota dan perencanaan lingkungan, dalam konteks desain lingkungan. Komponen dari perencanaan rekreasi harus dapat disukai oleh populasi khusus. Perencanaan wisata juga dapat diklasifikasi melalui pengguna, area perencanaan atau level dari pelayanan pemerintah. Perbedaan ini dijelaskan melalui orientasi, skala analisis dan produk dari perencanaan wisata. Perencanaan lanskap dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, antara lain (Gold, 1980):

1. Pendekatan sumberdaya, yaitu penentuan tipe-tipe aktivitas berdasarkan pertimbangan kondisi dan situasi sumberdaya.

2. Pendekatan aktivitas, yaitu penentuan tipe-tipe aktivitas berdasarkan seleksi aktivitas terhadap masa lalu untuk memberikan kemungkinan apa yang dapat disediakan pada masa yang akan datang.

3. Pendekatan ekonomi, yaitu penentuan jumlah, tipe dan lokasi, serta kemungkinan-kemungkinan aktivitas berdasarkan pertimbangan ekonomi. 4. Pendekatan perilaku, yaitu penentuan kemungkinan-kemungkinan

aktivitas berdasarkan pertimbangan perilaku manusia.

Menurut Nurisjah dan Pramukanto (2009), perencanaan daerah kawasan bersejarah dan bangunan-bangunan arsitektural harus dilakukan secara menyeluruh dengan mempertimbangkan bagian-bagian lain dari kota atau lokasi dimana objek tersebut berada dan juga permasalahan fisik, ekonomi dan sosial dari daerah tersebut. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan kawasan bersejarah, yaitu:

1. Mempelajari hubungan antara daerah bersejarah ini dengan daerah dan lingkungan sekitarnya.

2. Memperhatikan keharmonisan antar daerah dengan tapak yang direncanakan.

3. Membuat objek menjadi menarik.

(28)

2.6 Sejarah Pusat Kota Banda Aceh

Pusat Kota Banda Aceh terdiri dari beberapa wisata sejarah yang sangat penting untuk dikenang. Beberapa wisata sejarah tersebut terdiri dari Taman Putroe Phang, Makam Sultan Iskandar Muda, Museum Aceh, Pendopo, Pemakaman Belanda (Kerkhof Peutjoet), Mesjid Raya Baiturrahman, Monumen Pesawat RI 001 Seulawah di Lapangan Blang Padang dan Museum Tsunami. Wisata sejarah pada kawasan ini merupakan peninggalan sejarah yang berbeda masanya, sehingga setiap tempat memiliki nilai historis tersendiri.

Sejarah Kota Banda Aceh dimulai dari masa Kerajaan Aceh yang meninggalkan situs sejarah berupa Taman Putroe Phang, Makam Sultan Iskandar Muda dan Museum Aceh. Pada masa itu, Taman Putroe Phang merupakan bagian dari wilayah kompleks Istana Sultan Aceh di Banda Aceh. Taman ini dibuat khusus untuk sang Permaisuri Sultan Iskandar Muda bernama Putroe Phang yang berarti Putri Pahang, yang berasal dari Pahang, Malaysia. Pada awalnya, area Taman Putroe Phang digunakan untuk kepentingan serdadu kerajaan. Namun seiring berjalan dengan waktu, Taman Putroe Phang menjadi bagian dari taman sultan (Lowres, 2007).

Pada Taman Putroe Phang juga terdapat sebuah monumen yang bernama Gunongan. Lokasi monumen ini dipisahkan oleh jalan raya dari Taman Putroe Phang, tetapi monumen ini tetap termasuk ke dalam lingkup area Taman Putroe Phang. Penamaan Gunongan dibuat oleh masyarakat setempat karena bangunan ini dibuat menyerupai bukit-bukit yang terletak di Pahang, Malaysia. Pembuatan bangunan ini didasari atas permintaan sang Permaisuri sendiri yang selalu rindu kampung halamannya. Selain itu, bersebelah dengan Gunongan terdapat Kandang (Makam) Sultan Iskandar Tsani yang merupakan putra dari Sultan Iskandar Muda (Lowres, 2007).

(29)

peninggalan milik Sultan Iskandar Muda terdapat pada Museum Aceh. Museum ini termasuk salah satu dari 18 museum terpenting yang ada di Indonesia karena memiliki koleksi yang langka dan lengkap. Salah satunya adalah manuskrip literatur kuno hasil karya penulis ulama nusantara dan Melayu kuno, koleksi etnis botani dan benda purbakal lainnya. Koleksi tersebut merupakan warisan dari perjalanan sejarah Kerajaan Aceh sejak dari Kerajaan Samudera Pasai, Sultan Iskandar Muda hingga Sultan Muhammad Daud Syah. Selain itu, pada museum ini juga terdapat Rumah Tradisional Aceh dan Cakra Donya yang merupakan salah satu simbol dari Kota Banda Aceh.

Pada abad ke-16, Belanda memasuki tanah Aceh. Kedatangan Belanda perlahan memudarkan kejayaan Kerajaan Aceh. Pada tahun 1880, salah satu situs sejarah pada masa penjajahan Belanda yang bernama Pendopo dibangun di bekas peninggalan Kerajaan Aceh. Pendopo merupakan salah satu pembangunan awal kolonial Belanda di Aceh. Pendopo juga merupakan bekas kediaman Gubernur Belanda dan sekarang menjadi rumah dinas Gubernur Aceh (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2011).

(30)

Selama masa penjajahan Belanda di Aceh banyak memakan korban, baik dari pihak masyarakat Aceh maupun dari pihak serdadu Belanda. Beberapa serdadu Belanda yang tewas dalam peperangan atau mati terkena wabah penyakit dimakamkan pada sebuah pemakaman umum Belanda. Pemakaman umum Belanda ini dinamakan dengan Kerkhof Peutjoet. Saat ini, pemakaman Belanda tersebut telah menjadi salah satu objek wisata di Kota Banda Aceh. Pada pemakaman ini terdapat kurang lebih sekitar 2.200 makam orang Belanda, mulai dari yang berpangkat serdadu sampai dengan yang berpangkat Jenderal. Makamnya mulai dari berbagai suku bangsa yang tergabung dalam tentara kolonial Belanda pada saat itu sampai kepada makam sekelompok orang Yahudi yang dulu pernah tinggal di Aceh. Bahkan, pada kuburan tersebut masih dapat dibaca nama-nama dan pangkat para tentara serta tahun-tahun dan tempat-tempat dimana mereka gugur.

Pada awal masa kemerdekaan Republik Indonesia (RI), masyarakat Aceh turut berpartisipasi dalam membantu Soekarno sebagai Presiden RI yang pertama pada masa itu untuk menjalankan tugas kenegaraan. Pesawat RI 001 Seulawah merupakan bukti nyata dukungan yang diberikan masyarakat Aceh dalam proses perjalanan Republik Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Pesawat ini merupakan angkutan udara pertama yang dimiliki Indonesia dan dibeli dengan sumbangan ikhlas Rakyat Aceh pada awal Kemerdekaan. Pesawat ini disumbangkan melalui pengumpulan harta pribadi masyarakat dan saudagar Aceh, sehingga Presiden Soekarno menyebut “Daerah Aceh adalah Daerah Modal bagi Republik Indonesia”. Untuk mengenang jasa masyarakat Aceh tersebut, maka dibuat replika Pesawat RI 001 Seulawah sebagai monumen yang berada di Lapangan Blang Padang, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh (Bagusriyanto, 2009).

(31)

dari museum ini adalah sebagai objek sejarah yang menjadi pusat penelitian dan pembelajaran tentang bencana tsunami. Selain itu, Museum Tsunami merupakan simbol kekuatan masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana tsunami. Selain museum, untuk memperingati bencana tsunami ini juga dibuatkan dua buah tugu di Lapangan Blang Padang yang berdekatan dengan Monumen Pesawat RI 001 Seulawah. Dua tugu tersebut adalah Tugu Peringatan Tsunami dan Tugu Aceh

(32)

BAB III METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilakukan di Pusat Kota Banda Aceh yang berada di Kecamatan Baiturrahman, tepatnya mencakup tiga kampung, yaitu Kampung Baru, Peuniti dan Sukaramai. Tapak ini terletak di bagian tengah Kota Banda Aceh. Luas Kecamatan Baiturrahman adalah 453,9 Ha, sedangkan luas tapak penelitian adalah 73,5 Ha (Gambar 2).

Penelitian dilakukan sejak pelaksanaan penelitian hingga penyusunan laporan akhir penelitian (skripsi) yang berlangsung dari bulan Februari 2011 hingga bulan Oktober 2011 (Tabel 1).

Tabel 1 Jadwal pelaksanaan penelitian

Jenis Kegiatan Alokasi Waktu Produk

Persiapan Penelitian Februari 2011 Usulan penelitian Pengumpulan Data Maret sampai April 2011 Data fisik, sosial dan

budaya, sejarah, wisata dan pengelolaan Pengolahan Data Mei sampai Juli 2011 Hasil analisis data Perencanaan Lanskap dan

Penyusunan Skripsi

Agustus sampai Oktober 2011 Rencana lanskap dan laporan hasil penelitian

3.2 Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam proses pengumpulan data adalah peta dasar, alat tulis, alat gambar, kamera digital, laptop, printer, scanner, catatan dan studi pustaka yang berhubungan dengan kegiatan penelitian ini. Bahan dan alat yang digunakan dalam proses pengolahan data adalah alat tulis, alat gambar, laptop, printer, scanner dan program komputer (AutoCAD 2006, CorelDraw X4,

Adobe Photoshop CS3, Google SketchUp, Microsoft Word 2007 dan Microsoft Excel 2007).

3.3 Batasan Penelitian

(33)

(Sumber Peta: RTRW Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029)

Gambar 2 Lokasi penelitian

3.4 Metode dan Tahapan Penelitian

(34)

pendekatan aktivitas dan sumberdaya wisata sejarah, dengan proses perencanaan melalui tahapan yang mencakup (Gambar 3):

Gambar 3 Tahapan proses penelitian

Data Sosial Data primer, data sekunder, dan

informasi pendukung

Data Fisik:

tata letak tapak (wilayah administrasi), batas

wilayah, luas dan status tapak, tata guna

lahan, aksesibilitas dan sirkulasi, kondisi

iklim, kondisi

daya tarik dan objek wisata, • Penetapan tujuan perencanaan

• Pengumpulan informasi awal • Penyusunan usulan penelitian • Penentuan batas tapak

• Perizinan melakukan penelitian Tahap Persiapan

Tahap Inventarisasi (Pengumpulan Data)

Tahap Analisis Dan Sintesis

Konsep Wisata Sejarah - Konsep dasar

- Pengembangan konsep (konsep ruang wisata, aksesibilitas dan sirkulasi, jalur interpretasi, aktivitas wisata, fasilitas wisata, tata hijau, pelestarian kawasan)

Rencana Lanskap Kawasan Wisata Sejarah Pusat Kota Banda Aceh Tahap

Perencanaan

Pengembangan tapak - Analisis unit lanskap sejarah

(35)

1. Tahap Persiapan

Pada tahap ini dilakukan penetapan tujuan sebagai langkah awal untuk mengarahkan suatu tindakan tertentu yang akan dilakukan dalam perencanaan lanskap kawasan wisata sejarah Pusat Kota Banda Aceh. Selanjutnya, dilakukan pengumpulan informasi awal yang digunakan sebagai bahan dalam penyusunan usulan penelitian. Selain itu, pada tahap ini juga dilakukan penentuan batas tapak dan permohonan izin melakukan penelitian pada instansi pemerintahan daerah dan pihak-pihak yang terkait untuk mempermudah kegiatan penelitian ini.

2. Tahap Inventarisasi

Inventarisasi merupakan tahap pengumpulan data dan semua informasi yang berhubungan dengan kondisi tapak dan faktor-faktor di luar tapak yang mempengaruhi perencanaan lanskap tersebut. Data yang diperoleh dari tahap ini berasal dari data primer, data sekunder dan informasi pendukung. Jenis data tersebut mencakup data fisik tapak, kesejarahan kawasan, sosial dan budaya masyarakat, kepariwisataan dan pengelolaan kawasan (Tabel 2). Metode pengambilan data yang dilakukan adalah metode survei lapang dan studi pustaka. Survei lapang dilakukan dengan pengamatan langsung, dokumentasi, wawancara dan penyebaran kuesioner terhadap pihak yang terkait. Studi pustaka diperoleh dari buku acuan, data informasi dan peta dari berbagai instansi pemerintah.

(36)

yang diajukan kepada para responden, yaitu mengenai aktivitas dan keinginan penduduk setempat, aktivitas dan keinginan pengunjung, ketersediaan fasilitas wisata, akses dan informasi mengenai objek sejarah yang ada, atraksi wisata yang diinginkan, serta pendapat dan harapan masyarakat terhadap rencana pengembangan kawasan wisata sejarah Pusat Kota Banda Aceh (Lampiran 1). Tabel 2 Jenis, cara dan sumber perolehan data

Aspek Jenis Data Cara Pengambilan

Data

Sumber

Aspek Fisik Tapak

Tata letak tapak (wilayah administrasi)

Studi pustaka Bappeda Kota Banda Aceh, Dinas Pekerjaan Umum Bidang Tata Kota Banda Aceh Batas wilayah Studi pustaka Bappeda Kota Banda Aceh,

Dinas Pekerjaan Umum Bidang Tata Kota Banda Aceh Luas dan status

tapak

Studi pustaka Bappeda Kota Banda Aceh, Dinas Pekerjaan Umum Bidang Tata Kota Banda Aceh, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh Tata guna lahan Studi pustaka dan

survei lapang (pengamatan langsung)

Bappeda Kota Banda Aceh, Dinas Pekerjaan Umum Bidang Tata Kota Banda Aceh, lapang

Aksesibilitas dan sirkulasi

Studi pustaka dan survei lapang (pengamatan langsung)

Bappeda Kota Banda Aceh, Dinas Pekerjaan Umum Bidang Tata Kota Banda Aceh, lapang

Kondisi iklim Studi pustaka dan survei lapang (pengamatan langsung)

Badan Meteorologi dan Geofisika Kota Banda Aceh, lapang

Lapang, Dinas Pekerjaan Umum Bidang Tata Kota Banda Aceh

Dinas Pekerjaan Umum Bidang Tata Kota Banda Aceh

Kondisi topografi

Survei lapang (pengamatan langsung)

Dinas Pekerjaan Umum Bidang Tata Kota Banda Aceh

Aspek Kesejarahan

Kawasan

Sejarah Kota Banda Aceh

Studi pustaka Dinas Informasi dan Dokumentasi Banda Aceh, Perpustakaan daerah, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh

Elemen lanskap sejarah

Studi pustaka Dinas Informasi dan Dokumentasi Banda Aceh, Perpustakaan daerah, BP3 (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala), Dinas

(37)

Aspek Jenis Data Cara Pengambilan Data

Sumber

Aspek Sosial dan Budaya Masyarakat

Kondisi sosial dan budaya

Studi pustaka Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh Persepsi dan

Lapang dan Kuesioner

Aspek Kepariwisataan

Daya tarik dan objek wisata

Studi pustaka BP3 (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh

Atraksi wisata Studi pustaka dan survei lapang

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh, lapang dan kuesioner

Aktivitas wisata

Studi pustaka dan survei lapang

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh, lapang dan kuesioner

Fasilitas wisata Studi pustaka dan survei lapang

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh, lapang dan kuesioner

Karakteristik pengunjung

Studi pustaka dan survei lapang (pengamatan langsung)

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh, kuesioner, lapang

Lapang dan Kuesioner

Aspek Pengelolaan

Kawasan

Pengelola objek dan kawasan

Studi pustaka Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh

Upaya pelestarian

Studi pustaka Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh Kebijakan

pemerintah

Studi pustaka Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh, Dinas Tata Kota Banda Aceh Persepsi dan

Lapang dan Kuesioner

(38)

3. Tahap Analisis dan Sintesis

Analisis akan dilakukan terhadap tapak berdasarkan data yang dikumpulkan untuk dapat menganalisis unit lanskap sejarah, potensi daya tarik wisata sejarah, serta pendukung wisata sejarah. Analisis unit lanskap sejarah berkaitan dengan elemen yang membentuk suatu lanskap sejarah. Analisis potensi daya tarik wisata sejarah berhubungan dengan daya tarik objek dan atraksi wisata yang terdapat pada kawasan tersebut. Analisis pendukung wisata sejarah sangat diperlukan untuk mendukung segala aktivitas wisata bagi wisatawan. Analisis yang dilakukan meliputi analisis dengan metode skoring, analisis spasial dan analisis deskriptif.

• Analisis dengan metode skoring dilakukan untuk mendapatkan lokasi dengan nilai tertinggi yang potensial sebagai kawasan perencanaan wisata sejarah. Analisis dengan metode skoring ini mencakup analisis potensi daya tarik objek dan atraksi wisata sejarah dan analisis pendukung wisata sejarah dengan kriteria penilaian tertentu yang dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 3 Kriteria penilaian potensi daya tarik objek dan atraksi wisata sejarah

Kriteria Penilaian

Skor 1 (kurang sesuai untuk

area wisata sejarah)

2 (cukup sesuai untuk area wisata

sejarah)

3 (sesuai untuk area wisata sejarah)

Nilai sejarah Terdapat elemen lanskap sejarah yang mendukung objek sejarah dan terkait dengan peristiwa sejarah

Terdapat elemen lanskap sejarah yang bukan BCB dengan nilai sejarah dalam skala lokal

Terdapat elemen lanskap sejarah yang merupakan BCB dan objek wisata sejarah dengan nilai sejarah dalam skala nasional dan internasional Keunikan objek

sejarah

Terdapat objek sejarah dengan nilai keunikan lokal

Terdapat objek sejarah yang memiliki keaslian kurang dari 30%

Terdapat objek

Objek sejarah memiliki keutuhan kurang dari 30%

Terdapat satu jenis atraksi seni dan budaya

Terdapat dua sampai lima jenis atraksi seni dan budaya

Terdapat lebih dari enam atraksi seni dan budaya

(39)

Tabel 4 Kriteria penilaian pendukung wisata sejarah

Kriteria Penilaian Skor

1 (kurang sesuai untuk area wisata

sejarah)

2 (cukup sesuai untuk area wisata

sejarah)

3 (sesuai untuk area wisata

Akses jalan kurang mendukung ( kondisi jalan yang sempit, beraspal, tetapi di beberapa tempat ada yang mengalami kerusakan dan tidak terdapat pedestrian), sehingga kurang mudah untuk menuju elemen lanskap sejarah

Akses jalan cukup mendukung (kondisi jalan yang lebar, beraspal, tidak rusak, tetapi tidak terdapat pedestrian) , sehingga cukup mudah untuk menuju elemen lanskap sejarah

Akses jalan sangat mendukung (jalan raya, kondisi jalan yang lebar,

Informasi dan promosi tentang elemen lanskap sejarah kurang jelas dan tidak mejadi program wisata

Informasi dan promosi tentang elemen lanskap sejarah cukup jelas, tetapi belum menjadi program wisata

Informasi dan promosi tentang elemen lanskap sejarah sangat jelas dan sudah menjadi program wisata Aktivitas wisata Terdapat satu jenis

variasi aktivitas wisata sejarah

Terdapat dua sampai lima jenis aktivitas wisata sejarah

Terdapat lebih dari enam jenis aktivitas wisata sejarah Kunjungan

wisatawan

Kunjungan wisatawan ke elemen lanskap sejarah sedikit

Kunjungan

wisatawan ke elemen lanskap sejarah (jalur dan media interpretasi)

Terdapat satu jenis fasilitas wisata untuk interpretasi

Terdapat dua sampai lima jenis fasilitas wisata untuk interpretasi

Terdapat lebih dari enam jenis fasilitas wisata untuk elemen lanskap sejarah

Terdapat perencanaan baik dan intensif terhadap elemen lanskap sejarah

Kebijakan pemerintah

Kawasan yang kurang mendukung kawasan cagar budaya

Kawasan yang sangat mendukung kawasan cagar budaya dalam upaya pelestarian yang ditetapkan oleh kebijakan pemerintah

Kawasan cagar

Sumber: Gunn, 1997

(40)

• Analisis spasial merupakan analisis yang dilakukan dengan spasialisasi hasil

skoring yang kemudian di-overlay terhadap peta-peta unit lanskap sejarah, sehingga mendapatkan tata ruang unit lanskap sejarah untuk pelestarian kawasan, serta tata ruang potensi daya tarik wisata sejarah dan pendukung wisata untuk kawasan wisata sejarah.

• Analisis deskriptif merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui unit lanskap sejarah, potensi daya tarik objek dan atraksi wisata sejarah, serta pendukung wisata yang mencakup fasilitas pendukung, kebijakan atau dukungan pemerintah mengenai pelestarian dan pengembangan wisata, potensi pengunjung, persepsi masyarakat dengan membuat penjelasan secara deskriptif, dimana kondisi fasilitas pendukung yang ada pada tapak mencakup akomodasi, transportasi, toko dan restaurant, hotel dan tempat penginapan, parkir kendaraan, serta fasilitas pendukung lainnya.

Hasil analisis yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk peta dan deskriptif. Hasil ini kemudian akan dilanjutkan ke tahap sintesis. Pada tahap sintesis akan diperoleh pengembangan tapak yang akan digunakan untuk menentukan konsep dasar dan pengembangan konsep. Pengembangan konsep mencakup konsep ruang wisata, aksesibilitas dan sirkulasi, jalur interpretasi, aktivitas wisata, fasilitas wisata, tata hijau dan pelestarian kawasan. Hasil dari pengembangan konsep tersebut berupa rencana blok (block plan). Penentuan konsep dasar dan pengembangan konsep ini akan dijadikan sebagai acuan dalam perencanaan kawasan tersebut, sehingga diharapkan dapat memberikan kenyamanan wisata dan kelestarian sejarah agar pengunjung mendapatkan pengalaman dan pengetahuan sejarah secara optimal.

4. Tahap Perencanaan

(41)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Umum

4.1.1 Wilayah Kota Banda Aceh

Kota Banda Aceh merupakan ibukota dari Provinsi Aceh yang terletak di pantai utara Pulau Sumatera. Kota Banda Aceh memiliki luas 61,36 km² yang terbagi atas 9 kecamatan (Tabel 5). Kota Banda Aceh juga terletak di antara dua patahan (sebelah timur-utara dan sebelah barat-selatan kota) atau berada pada pertemuan Plate Euroasia and Australia yang berjarak ± 130 km dari garis pantai barat, sehingga daerah ini sangat rawan terhadap bahaya gelombang tsunami. Kota ini juga berkedudukan sebagai pusat pemerintahan, pendidikan dan kebudayaan Provinsi Aceh (BAPEDDA Kota Banda Aceh, 2006).

Tabel 5 Luas dan persentase wilayah kecamatan di Kota Banda Aceh

Kecamatan Luas Wilayah (Km²) Persentase (%)

Meuraxa 7,258 11,83%

Baiturrahman 4,539 7,40%

Kuta Alam 10,047 16,37%

Syiah Kuala 14,244 23,21%

Ulee Kareng 6,150 10,02%

Banda Raya 4,789 7,80%

Kuta Raja 5,211 8,49%

Lueng Bata 5,341 8,70%

Jaya Baru 3,780 6,16%

Jumlah 61,359 100,00%

Sumber: RTRW Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029

(42)

24

(43)

Kota Banda Aceh merupakan pusat pengembangan wisata yang berbasis masyarakat dan budaya Islami yang meliputi wisata alam (wisata pantai, bahari, pemancingan, arena perkemahan, play ground dan sebagainya), wisata budaya dan spiritual, wisata tsunami, wisata kuliner, wisata pendidikan dan sebagainya. Secara administrasi, pemerintahan Kota Banda Aceh terdiri dari 9 kecamatan dengan 69 kampung. Akibat bencana gempa bumi dan tsunami, terdapat 3 kecamatan dari 9 kecamatan tersebut mengalami kerusakan yang cukup parah, yaitu Kecamatan Meuraxa, Kecamatan Jaya Baru dan Kecamatan Kuta Raja. Kecamatan yang mengalami kerusakan yang tidak cukup parah adalah Kecamatan Baiturrahman, Kecamatan Syiah Kuala dan Kecamatan Kuta Alam, sedangkan kecamatan yang relatif tidak terkena dampak tsunami adalah Kecamatan Ulee Kareng, Kecamatan Leung Bata dan Kecamatan Banda Raya (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh, 2008).

Kondisi topografi (ketinggian) Kota Banda Aceh berkisar antara -0,45 m sampai dengan +1,00 m di atas permukaan laut (dpl), dengan rata-rata ketinggian 0,80 meter dpl. Bentuk permukaan lahannya (fisiografi) relatif datar dengan kemiringan (lereng) antara 2-8%. Dalam lingkup makro, Kota Banda Aceh dan sekitarnya secara topografi merupakan dataran banjir Krueng Aceh dan 70% wilayahnya berada pada ketinggian kurang dari 5 meter dpl. Dataran ini diapit oleh perbukitan terjal di sebelah barat dan timur dengan ketinggian lebih dari 500 m, sehingga mirip kerucut dengan mulut menghadap ke laut. Kondisi topografi dan fisiografi lahan sangat berpengaruh terhadap sistem drainase. Kondisi drainase di Kota Banda Aceh cukup bervariasi, yaitu jarang tergenang seperti pada wilayah timur dan selatan kota, kadang-kadang tergenang dan tergenang terus-menerus seperti pada kawasan rawa-rawa atau genangan air asin, tambak dan atau pada lahan dengan ketinggian di bawah permukaan laut, baik pada saat pasang maupun surut air laut.

(44)

Krueng Titi Panjang (7,80 km²). Wilayah Kota Banda Aceh memiliki air tanah yang bersifat asin, payau dan tawar. Daerah dengan air tanah asin terdapat pada bagian utara dan timur kota sampai ke tengah kota. Air payau berada di bagian tengah kota membujur dari timur ke barat, sedangkan wilayah yang memiliki air tanah tawar berada di bagian selatan kota membentang dari Kecamatan Baiturrahman sampai Kecamatan Jaya Baru.

Berdasarkan kondisi klimatologi, Kota Banda Aceh termasuk kawasan yang beriklim tropis basah dengan curah hujan 1.065 mm. Daerah ini mengalami musim kemarau pada bulan Januari sampai Agustus, sedangkan musim hujan berlangsung dari bulan September sampai Desember. Berdasarkan data klimatologi wilayah Kota Banda Aceh yang diperoleh dari Stasiun Meteorologi Blang Bintang menunjukkan bahwa suhu udara di daerah ini berkisar antara 25,5˚C-27,8˚C dengan kelembaban udara rata-rata per bulan dalam satu tahun, yaitu 74,6% (Dinas Pekerjaan Umum Bidang Tata Kota Banda Aceh, 2009).

Jumlah penduduk Kota Banda Aceh sebelum bencana tsunami berjumlah 265.553 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 4,328 jiwa/km² yang terdiri dari laki-laki sejumlah 141.154 jiwa dan perempuan sejumlah 124.399 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk Kota Banda Aceh sebesar 2,3% per tahun. Pasca tsunami, jumlah penduduk Kota Banda Aceh sebanyak 178.380 jiwa dengan laki-laki berjumlah 84.046 jiwa dan perempuan berjumlah 94.334 jiwa (Tabel 6).

Tabel 6 Jumlah penduduk Kota Banda Aceh per kecamatan

Kecamatan

Penduduk

Sebelum Tsunami Setelah Tsunami

Jumlah %

Meuraxa 31.218 2.320 7,43

Baiturrahman 37.096 33.657 90,73

Kuta Alam 55.020 25.473 46,30

Syiah Kuala 43.245 35.088 81,14

Ulee Kareng 19.393 30.130 155,36

Banda Raya 18.165 24.276 133,64

Kuta Raja 21.035 22.823 108,39

Lueng Bata 18.376 19.339 105,24

Jaya Baru 22.005 12.395 56,33

Jumlah 265.553 205.501

Sumber: Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan Tahun 2009

(45)

besar, namun potensi ini belum dimanfaatkan secara maksimal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan sumber pendapatan daerah. Potensi yang sangat menonjol di Kota Banda Aceh terdiri dari jasa, perdagangan, perikanan dan kelautan, serta pariwisata.

Sektor pariwisata dan kebudayaan adalah salah satu sektor pembangunan yang telah membantu pemulihan ekonomi setelah dilanda krisis yang berkepanjangan. Sektor ini juga tidak terlepas dari pengaruh krisis tersebut, namun masih memberi secercah harapan untuk dapat mempercepat pemulihannya. Optimisme ini terlihat dari beberapa hal, yaitu:

• Sektor pariwisata dan kebudayaan merupakan sektor yang telah siap dari segi fasilitas, sarana, prasarana dan infrastrukturnya karena kepariwisataan lebih ke arah pariwisata alam, sejarah dan budaya.

• Sektor pariwisata dan kebudayaan merupakan sektor yang mempunyai

daya tarik khusus yang bersumber dari kekayaan alam, sejarah dan budaya.

• Adanya peristiwa gempa bumi dan gelombang tsunami menjadikan nama

Aceh, khususnya Kota Banda Aceh semakin terkenal di seluruh dunia, maka sektor pariwisata alam, sejarah dan budaya dapat dikembangkan menjadi salah satu daerah tujuan wisata (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh, 2008).

4.1.2 Kawasan Wisata Sejarah Pusat Kota Banda Aceh

(46)

Neusu Aceh, Ateuk Pahlawan, Ateuk Deah Tanoh, Ateuk Munjeng, Ateuk Jawo dan Seutui (Acehpedia, 2009).

Pada Pusat Kota Banda Aceh ini terdapat beberapa objek peninggalan sejarah yang dimulai dari masa Kerajaan Aceh sampai Kemerdekaan RI. Objek-objek peninggalan sejarah tersebut berada di tiga kampung pada Kecamatan Baiturrahman, yaitu Kampung Baru, Peuniti dan Sukaramai. Akan tetapi, sebagian besar objek peninggalan sejarah tersebut banyak terdapat di Kampung Baru. Selain itu, pada masa Kerajaan Aceh sampai saat ini, kawasan ini juga dijadikan sebagai pusat pemerintahan, perdagangan dan pariwisata Kota Banda Aceh, sehingga kawasan ini ditetapkan sebagai Pusat Kota Banda Aceh.

Kawasan sejarah Pusat Kota Banda Aceh ini merupakan salah satu kawasan cagar budaya. Kawasan ini dijadikan sebagai kawasan yang ditetapkan dalam rangka pelestarian atau konservasi terhadap lingkungan, bangunan dan benda-benda cagar budaya yang ada di dalamnya. Ketentuan tentang lingkungan bangunan dan benda benda cagar budaya mengacu pada Undang-Undang Cagar Budaya. Tujuan penetapan kawasan cagar budaya di Kota Banda Aceh adalah untuk menjaga kelestarian lingkungan, bangunan dan benda-benda cagar budaya yang memiliki nilai sejarah tinggi untuk kepentingan kehidupan di masa yang akan datang. Berdasarkan ketentuan di atas, kawasan cagar budaya di Kota Banda Aceh ditetapkan pada kawasan Mesjid Raya Baiturrahman, Kompleks Museum Aceh, Gunongan, Taman Putroe Phang, Pendopo, Kerkhof Peutjoet, Pintoe Khop, Kompleks Makam Sultan Iskandar Muda dan Kompleks Lapangan Blang Padang. Selain itu, ruang-ruang yang menjadi peringatan bencana tsunami juga ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya, seperti kawasan Museum Tsunami, Tsunami

Heritage Ulee Lheue, kawasan PLTD Apung, kapal di atas rumah di Lampulo dan Kuburan Massal. Perencanaan luas ruang yang ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya adalah 64,29 Ha (Dinas Pekerjaan Umum Bidang Tata Kota Banda Aceh, 2009).

(47)

jaringan jalan utama, serta relatif radial dengan Masjid Raya Baiturrahman dan sekitarnya sebagai pusat utama yang diperkuat oleh keberadaan Pasar Aceh dan Pasar Peunayong. Pusat utama dan sub pusat pelayanan ini menjadi daya tarik bagi sistem pergerakan atau perangkutan di Kota Banda Aceh karena pada pusat dan sub pusat tersebut didukung oleh kegiatan perdagangan dan jasa, perkantoran, restoran, pariwisata dan aktivitas lainnya dengan karakteristik yang berbeda. Selain itu, Kota Banda Aceh juga dibagi menjadi beberapa zona secara fisik, yaitu

coastal zone, eco-zone, traditional city center zone dan urban development zone

(Gambar 5). Berdasarkan pembagian zona fisik, maka sebagian besar dari Kecamatan Baiturrahman merupakan kawasan yang tergolong ke dalam

traditional city center zone yang terdapat penggunaan lahan sebagai kawasan kegiatan komersial, area fasilitas budaya, bangunan-bangunan untuk evakuasi, fasilitas transportasi darat, jalur-jalur evakuasi, pusat pelayanan pemerintahan, serta fasilitas pendidikan.

(48)

4.2 Data Tapak

4.2.1 Aspek Kesejarahan Kawasan 4.2.1.1 Sejarah Kota Banda Aceh

Kota Banda Aceh memiliki periode-periode sejarah. Pada periode-periode sejarah tersebut terdapat tiga periode sejarah Kota Banda Aceh yang paling menonjol karena periode tersebut merupakan periode yang menyebabkan terjadinya perubahan yang signifikan dalam sejarah Kota Banda Aceh. Empat periode tersebut adalah masa Kerajaan Aceh atau Tamaddun Islam (tahun 1205-1873), masa Kolonial Belanda (tahun 1873-1945), masa Pascakolonial atau Kemerdekaan RI (tahun 1945-sekarang).

Kota Banda Aceh memiliki hari jadi yang ditetapkan jatuh pada 1 Ramadhan 601 H atau 22 April 1205, bertepatan dengan didirikannya istana Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1205-1234 di Kampung Pande. Sebelum berdirinya Kerajaan Aceh, penduduk di wilayah Aceh telah beragama Islam semenjak abad ke-13. Kerajaan Aceh memiliki banyak raja-raja Aceh yang memerintah kerajaan tersebut. Salah satu raja yang terkenal dengan pemerintahannya adalah Sultan Iskandar Muda (tahun 1607-1636). Di bawah pemerintahannya, kekuasaan Kerajaan Aceh mencapai puncaknya yang cemerlang. Sultan Iskandar Muda juga banyak mendirikan bangunan dan taman, seperti Taman Putroe Phang, Gunongan (Gambar 6), serta Mesjid Raya Baiturrahman juga dibangun atas prakarsanya pada tahun 1612. Ia terkenal sangat peduli pada masalah pelestarian alam dan lingkungan. Sultan Iskandar Muda meninggal pada tahun 1636 dan digantikan oleh menantunya bernama Sultan Iskandar Tsani. Iskandar Tsani melanjutkan pembangunan taman tersebut yang telah dimulai sejak masa Sultan Iskandar Muda (Arif, 2008).

Gambar 6 Gunongan pada tahun 1874

(49)

Pada tanggal 5 April 1873, Belanda masuk ke Banda Aceh pertama kali yang dipimpin oleh Jendral Kohler lewat Pantai Ulee Lheue. Pada saat pertempuran tersebut, Belanda tidak dapat menembus pertahanan rakyat Aceh, sehingga Jendral Kohler memerintahkan untuk membakar mesjid tersebut dan mesjid ini berhasil diduduki oleh Belanda pada 14 April 1873. Setelah berhasil menguasai Aceh, Belanda melakukan perubahan-perubahan pada tata letak Banda Aceh. Daerah selatan Krueng Aceh dijadikan pusat daerah militer Belanda dengan menghilangkan keraton untuk menghapuskan kekuasaan kesultanan di Aceh. Satu-satunya posisi keraton yang dipertahankan adalah pendopo gubernur jenderal yang persis berada di lokasi istana sultan. Kawasan Kerkhof (Pemakaman Belanda) diperluas dan diperindah oleh Belanda sebagai penghormatan bagi para prajurit Belanda yang gugur dalam perang. Selain itu, Mesjid Raya Baiturrahman dibangun kembali oleh Belanda di area mesjid lama yang terbakar. Desain mesjid baru dirancang oleh arsitek Belanda bernama De Bruins. L. P. Luycks di bawah supervisi, M. J. Scram. Mesjid baru ini memiliki sebuah kubah dan banyak mengadopsi gaya arsitektur kolonial (Gambar 7). Pembangunan mesjid ini dimulai pada tanggal 9 Oktober 1879 dan selesai pada tanggal 27 Desember 1881. Kontraktornya adalah Lie A Sie, seorang letnan keturunan Cuba di pasukan Belanda. Luas lantai dalamnya 624 m², sekitar setengah dari luas mesjid yang lama dan mesjid ini memiliki sebuah kubah (Arif, 2008).

Gambar 7 Mesjid Raya Baiturrahman setelah dibangun kembali oleh Belanda (Sumber: Arif, 2008)

(50)

dari khazanah masa lalu kota ini. Pembangunan fisik mencurahkan kegiatannya pada pembangunan Mesjid Raya Baiturrahman. Akan tetapi, pada tahun 1948, Bung Karno datang ke Banda Aceh meminta bantuan rakyat Aceh membeli dua buah pesawat terbang yang diberi nama RI 001 Seulawah dan RI 002 Seulawah untuk misi diplomasi RI ke luar negeri, Bung Karno memberi gelar Aceh dengan sebutan “Aceh Daerah Modal”. Saat ini, Aceh telah dipimpin oleh 14 gubernur dan empat gubernur di antaranya memiliki peran penting dalam pembangunan Banda Aceh karena memberi andil cukup besar dalam penataan ruang kota dan pembangunan fisik di Banda Aceh. Keempat tokoh gubernur yang dimaksud adalah Ali Hasjmy (1956-1964), Ibrahim Hasan (1988-1993), Syamsuddin Mahmud (1993-2001) dan Abdullah Puteh (2001-2004). Pada masa kepemimpinan Ali Hasjmy, pengembangan pembangunan terjadi pada Mesjid Raya Baiturrahman. Mesjid Raya Baiturrahman ini diperluas dari tiga kubah menjadi lima kubah. Renovasi Mesjid Raya ini berlangsung sampai masa pemerintahan Ibrahim Hasan yang merupakan renovasi terakhir. Rancangan mesjid dibuat dengan tambahan sebuah menara di depan mesjid yang disebut dengan “Menara Daerah Modal/Tugu Modal” setinggi 45 m dengan hiasan Boh Rue Aceh di puncak menara. Luas tanah mesjid keseluruhan kini menjadi 31.000 m². Proyek renovasi ini kemudian diteruskan hingga selesai pada masa pemerintahan Syamsuddin Mahmud. Selain menara di depan mesjid, di sudut barat Lapangan Blang Padang juga dibangun monumen berupa pesawat RI 001 Seulawah. Pada masa pemerintahan Abdullah Puteh, pengembangannya ditujukan untuk konservasi dan revitalisasi Banda Aceh, yaitu area Pendopo (Keraton), Mesjid Raya Baiturrahman dan Ulee Lheue. Pengembangan ini lebih menekankan hubungan antar situs-situs tersebut, sehingga menjadi suatu landmark bagi Kota Banda Aceh (Arif, 2008).

(51)

adalah Kecamatan Baiturrahman. Sebagian kecamatan ini mengalami kerusakan yang cukup parah saat peristiwa ini. Situs-situs sejarah yang terkena gelombang tsunami adalah Mesjid Raya Baiturrahman dan Monumen Pesawat RI 001 Seulawah di lapangan Blang Padang (Gambar 8). Setelah peristiwa gempa bumi dan gelombang tsunami, pada Kecamatan Baiturrahman dilakukan perbaikan dan pengembangan terhadap bangunan-bangunan yang mengalami kerusakan, terutama situs-situs sejarah yang ada pada kawasan ini. Saat ini, sebagian besar kawasan ini tidak banyak mengalami perubahan ruang wilayah, tetapi hanya dilakukan proses perbaikan dan pengembangan pada bangunan yang mengalami kerusakan, seperti bangunan pemerintahan dan perdagangan. Proses pengembangan terhadap bangunan masih terjadi sampai sekarang, seperti pengembangan terhadap Museum Tsunami Aceh dan Pasar Aceh.

Gambar 8 Mesjid Raya Baiturrahman dan Monumen Pesawat RI 001 Seulawah saat terjadi gelombang tsunami (Sumber: Arif, 2008)

4.2.1.2 Elemen Lanskap Sejarah

(52)

Tabel 7 Elemen sejarah pada kawasan Pusat Kota Banda Aceh

Periode Peninggalan Sejarah Elemen Sejarah

Masa Kerajaan Aceh (tahun 1205-1873) Taman Putroe Phang

Makam Sultan Iskandar Muda Mesjid Raya Baiturrahman Pasar Aceh

Masa Kolonial Belanda (tahun 1873-1945) Pendopo

Museum Aceh

Mesjid Raya Baiturrahman Pemakaman Belanda Kawasan Militer

Masa Kemerdekaan RI (tahun 1945-sekarang) Mesjid Raya Baiturrahman

Lapangan Blang Padang Museum Tsunami Aceh Taman Sari

Taman Budaya

Kawasan Pemukiman Penduduk

(53)

(a) Pintoe Khop (b) Gunongan

(c) Kandang (Makam) (d) Pendopo

(e) Makam Sultan Iskandar Muda (f) Museum Aceh

(g) Mesjid Raya Baiturrahman (h) Monumen Pesawat RI 001 Seulawah

Gambar

Gambar 2  Lokasi penelitian
Gambar 3 Tahapan proses penelitian
Gambar 5 Peta pembagian zona fisik Kota Banda Aceh (Sumber: RTRW Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029)
Gambar 9 Kondisi elemen lanskap sejarah di Pusat Kota Banda Aceh saat ini
+7

Referensi

Dokumen terkait

Lanskap pantai atau tata ruang pantai rawan tsunami dikelompokan dalam beberapa ruang, yaitu (1) ruang wisata, merupakan ruang yang dimanfaatkan sebagai kegiatan wisata

Berdasarkan konsep sirkulasi wisata pada tapak, jalur sirkulasi bagi wisatawan pada ruang wisata budaya direncanakan membentuk suatu jalur interpretasi sehingga wisatawan

- budaya dan sejamh memiliki nilai yang tinggi apabila dipelihara.. Alasan ekonomi inilah yang rnendomng diadakannya wisata pada lanskap sejarah. Dalam peraturan ini

• Fasilitas pendukung wisata tinggi (3) = Desa yang memiliki aksesibilitas dan sirkulasi yang sangat mendukung menuju kawasan tersebut dengan adanya lebih dari 2 fasilitas wisata

Kawasan Wisata Sejarah Tembakau Deli dipilih untuk merevitalisasi kawasan ini karena, selain dapat menghidupkan kembali kawasan ini, pengunjung yang datang dapat berwisata

Dalam hal ini, direncanakan sebuah bangunan baru yaitu Pusat Kebudayaan Daerah Lampung yang berada pada kawasan tersebut guna memvitalkan kembali Kawasan Wisata

Kawasan Kampung Madras dan Kawasan Kota Lama Labuhan Deli memiliki nilai faktor pendukung wisata yang sedang karena pada kedua kawasan tersebut, ketersediaan fasilitas

1 Identifikasi karakteristik lanskap dan kearifan lokal di sekitar kawasan Danau Lut Tawar 2 Identifikasi bentuk objek, daya tarik dan fasilitas wisata yang ada di sekitar kawasan