• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERENCANAAN LANSKAP JALUR INTERPRETASI WISATA SEJARAH BUDAYA JALAN SLAMET RIYADI KOTA SURAKARTA MUHAMMAD IQBAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERENCANAAN LANSKAP JALUR INTERPRETASI WISATA SEJARAH BUDAYA JALAN SLAMET RIYADI KOTA SURAKARTA MUHAMMAD IQBAL"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

WISATA SEJARAH BUDAYA

JALAN SLAMET RIYADI KOTA SURAKARTA

MUHAMMAD IQBAL

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Perencanaan Lanskap Jalur Interpretasi Wisata Sejarah Budaya Jalan Slamet Riyadi Kota Surakarta adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2010

Muhammad Iqbal

(3)

Sejarah Budaya Jalan Slamet Riyadi Kota Surakarta. Dibimbing oleh AFRA D.N. MAKALEW dan VERA DIAN DAMAYANTI.

Kota Surakarta terletak di Provinsi Jawa Tengah dan dibatasi oleh empat Kabupaten di sekitarnya, yaitu Sukoharjo, Karanganyar, Boyolali, dan Sragen. Secara geografis, Kota Surakarta terletak di koordinat 110 45’ 15” – 110 45’ 35” BT dan 70’ 36” -70’ 56 ” LS. Secara administratif, Kota Surakarta yang memiliki luas 4400 Ha ini, terdiri dari lima kecamatan, yaitu Jebres, Banjarsari, Laweyan, Serengan, dan Pasarkliwon.

Lanskap Kota Surakarta (Solo) awalnya berkembang di tepian Sungai Bengawan Solo pada saat Kota Surakarta sebagai ibukota Kerajaan Mataram. Invasi koloni Belanda di Nusantara telah banyak merubah karakter asli kota ini yang sebelumnya menggunakan transportasi air sebagai moda transportasi utama. Pemerintah kolonial mulai membangun Kota Surakarta pada tahun 1740 M dengan berbagai infrastruktur termasuk jalan-jalan yang membentuk pola kotak (grid). Untuk membuka akses menuju Kota Semarang, sebuah jalan dibangun memanjang dari timur ke barat bernama Wihelminaan, yang kini bernama Jalan Slamet Riyadi.

Agar nilai-nilai sejarah dan budaya yang ada di jalur tersebut tetap lestari dan dapat dimanfaatkan potensinya untuk tujuan wisata, maka rencana pengembangan jalan ini perlu didukung dengan perencanaan lanskap jalur interpretasi yang baik serta searah dengan program pemerintah setempat. Oleh karena itu, perencanaan lanskap jalur interpretasi Jalan Slamet Riyadi Kota Surakarta sebagai jalur wisata sejarah budaya perlu dilakukan dengan harapan agar dapat memberikan pengalaman wisata yang menarik dan menyenangkan bagi pengunjung, serta secara tidak langsung menjaga kelestarian nilai sejarah dan budaya kawasan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelusuran sejarah yang terdiri dari studi literatur, wawancara dengan narasumber, dan pengamatan lapang (survey). Adapun tahapan kerjanya didasarkan pada tahapan perencanaan menurut Gold (1980).Tahapan-tahapan perencanaan tersebut adalah: persiapan, inventarisasi, analisis, sintesis, perencanaan, dan perancangan. Penelitian ini hanya dilaksanakan hingga tahap perencanaan dengan penambahan tahap penyusunan konsep sebelum tahap perencanaan.

Dalam perencanaan lanskap ini, ada empat aspek yang digunakan, yaitu aspek biofisik, aspek sejarah, aspek budaya, dan aspek wisata. Selain keempat aspek tersebut juga digunakan data kondisi umum. Dari hasil identifikasi sumberdaya wisata sejarah budaya didapatkan obyek-obyek wisata potensial beserta atraksinya. Selanjutnya hasil analisis merupakan gabungan dari analisis keempat aspek di atas yang menghasilkan sebuah peta komposit. Untuk menghasilkan peta komposit digunakan pembobotan, yaitu: aspek sejarah (30%), aspek budaya (30%), sub aspek obyek wisata (20%), dan sub aspek atraksi wisata (20%). Kemudian digolongkan ke dalam tiga zona potensi wisata, yaitu potensi tinggi, potensi sedang, dan potensi rendah. Selanjutnya dalam tahap sintesis dibuat peruntukan ruang untuk masing-masing potensi tersebut.

(4)

Konsep dasar perencanaan dalam studi ini adalah menjaga kelestarian nilai sejarah budaya asli Kota Solo dan memperkenalkan nilai-nilai tersebut melalui jalur interpretasi yang merupakan integrasi dari keberadaan obyek, atraksi, fasilitas, dan informasi interpretasi. Langkah perencanaan lanskap yang diambil adalah dengan membagi kawasan perencanaan ke dalam zona wisata sejarah budaya primer, sejarah budaya sekunder, dan pendukung. Selanjutnya dengan membagi jalur interpretasi ke dalam segmen-segmen zona interpretasi sesuai dengan konteks sejarah dan budaya yang dimilikinya.

Perencanaan jalur interpretasi kawasan Slamet Riyadi ini bertujuan agar wisatawan mendapatkan pengalaman dan pemahaman tentang Kota Solo sesuai dengan waktu yang dimiliki. Untuk memenuhi tujuan interpretasi tersebut, maka jalur interpretasi dibagi ke dalam segmen-segmen zona interpretasi sesuai dengan karakter sejarah dan budayanya. Tema segmen jalur interpretasi terdiri dari: sejarah perjuangan kemerdekaan, budaya Sriwedari, sejarah budaya Keraton Mangkunegaran, budaya Singosaren, sejarah kolonial, dan sejarah budaya Keraton Kasunanan Surakarta. Pada zona potensi tinggi, rencana jalur interpretasinya

direncanakan memiliki lebih banyak stops/pemberhentian dan fasilitas

dibandingkan zona potensi sedang dan rendah. Pada rencana lanskapnya, zona potensi tinggi dipertahankan dengan perubahan karakter kawasan yang minimal, sehingga pengembangan yang dilakukan hanya bersifat melengkapi yang telah ada sebelumnya.

Hasil akhir dari studi ini adalah rencana lanskap jalur interpretasi sejarah budaya Jalan Slamet Riyadi Kota Surakarta yang terdiri dari rencana ruang, rencana sirkulasi, dan rencana aktivitas dan fasilitas. Ruang dibagi menjadi empat bagian yaitu Ruang Penerimaan, Ruang Wisata Pendukung, Ruang Wisata Sejarah Budaya Sekunder, dan Ruang Wisata Sejarah Budaya Primer. Rencana sirkulasi dibagi menjadi dua, yaitu interpretasi dan non-interpretasi. Rencana aktivitas juga dibagi menjadi dua, yaitu aktivitas interpretasi, dan non-interpretasi, sedangkan rencana fasilitas dibagi menjadi tiga, yaitu: fasilitas wisata, media interpretasi, dan sirkulasi interpretasi. Rencana fasilitas adalah penyediaan fasilitas bagi aktivitas interpretasi wisata, yang diusulkan antara lain: Pedestrian line, pusat informasi, papan penunjuk, signboard, signage, penyewaan dan parkir sepeda, halte kereta wisata, shelter, plaza, food court, pocket park, tempat duduk, dan tempat sampah.

Strategi perencanaan yang diterapkan adalah optimalisasi aktivitas wisata pada obyek-obyek bersejarah sebagai ruang publik yang dapat diakses penuh oleh wisatawan dan masyarakat. Berdasarkan tema yang telah dibuat pada rencana jalur interpretasi, maka perencanaan lanskap yang berada di dalam zona tersebut disesuaikan dengan tema jalur interpretasinya.

Kata kunci: perencanaan lanskap, interpretasi, jalur interpretasi, sejarah, budaya, Surakarta, Solo.

(5)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2010

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya

(6)

PERENCANAAN LANSKAP JALUR INTERPRETASI

WISATA SEJARAH BUDAYA JALAN SLAMET RIYADI

KOTA SURAKARTA

MUHAMMAD IQBAL

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(7)

Nama : Muhammad Iqbal

NRP : A44052606

Departemen : Arsitektur Lanskap

Disetujui, Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Afra D. N. Makalew, M.Sc. NIP. 19650119 198903 2 001

Dosen Pembimbing II

Vera Dian Damayanti, SP, MLA NIP. 19740716 200604 2 004

Diketahui,

Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA NIP. 19480912 197412 2 001

(8)

Alhamdulillahi Robbil ‘Alamiin...

Wujud Syukur kepada Allah SWT, Tuhan Semesta Alam, yang telah menganugerahi akal dan nurani, yang tidak pernah berhenti berfikir dan memilah…

Bukti Bakti kepada kedua orangtua, Bapak Sutadi dan Ibu Masruroh,

yang menghargai hak anaknya untuk menjadi apa yang diinginkannya…

Tanda Cinta kepada tanah kelahiran, tanah kembang tumbuh dan pembentukan karakter,

(9)

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, hidayah, serta karunia

-

Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Perencanaan Lanskap Jalur Interpretasi Wisata Sejarah Budaya Jalan Slamet Riyadi Kota Surakarta. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Orangtua, Drs. H. Sutadi, M.Ag. dan Masruroh, S. Pgi., dan saudara: Mas Arief, Mbak Etik, si kembar Erna dan Erni yang telah memberikan dukungan moral dan doa selama ini kepada penulis.

2. Dr. Afra D. N. Makalew, M.Sc. dan Vera Dian Damayanti, SP, MLA selaku Dosen Pembimbing Skripsi atas bimbingan dan pengarahan dalam pembuatan skripsi ini.

3. Dr. Tati Budiarti, M, Sc. selaku pembimbing akademik, terima kasih atas perhatian yang telah diberikan.

4. Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA selaku Ketua Departemen Arsitektur Lanskap. 5. Dr. Ir. Nurhayati H.S. Arifin, M.Sc. selaku dosen penguji dan responden

ahli atas masukannya untuk perbaikan skripsi ini.

6. Dinas Tata Kota Surakarta, Ir Arif Nurhadi dan Ir. Joko Susilo atas bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian dari awal sampai akhir masa penelitian.

7. Bapeda Kota Surakarta.

8. Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surakarta, khususnya kepada Ir. Tri Suryo Kuncoro atas sharing dan bantuan data Kota Solo.

9. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Bu Enni, Pak Budi, Bu Wiwik, dan Pak

Hendi Murdiyanto.

10. Dinas Pekerjaan Umum Kota Surakarta, Ir. Budi Santosa, Eddy Harpanto,

dan Hariyoko atas bantuan peta dan datanya.

11. Dinas Perhubungan, yaitu Pak Baskoro atas bantuan data mengenai kondisi lalu lintas Jalan Slamet Riyadi.

12. Bapak Soedarmono, selaku dosen sejarah Universitas Sebelas Maret (UNS) dan sebagai ahli sejarah Kota Surakarta.

(10)

13. Teman-teman seperjuangan di ARL 42, terima kasih atas segala bantuan dan kerjasamanya selama menuntut ilmu di IPB.

14. Adik-adik dan kakak-kakak angkatan di ARL 37, 38, 39, 40, 41, 43, 44, 45, dan 46, terima kasih atas atas inspirasi yang telah diberikan.

15. Teman-teman Kos Retno 2 Leuwikopo baik yang lama maupun yang baru,

terima kasih telah menemani dalam pembuatan skripsi.

16. Seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuan yang telah diberikan, semoga amalnya mendapat balasan dari Allah SWT.

Penulis terbuka dan menyambut dengan baik atas segala kritik dan saran demi kelancaran dan kesempurnaan penyelesaian penelitian ini.

Bogor, Agustus 2010

(11)

Penulis dilahirkan di Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 25 Januari 1988. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara yang dilahirkan oleh pasangan Bapak Sutadi dan Ibu Masruroh. Penulis memulai jenjang pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Tuban IV pada tahun 1993. Kemudian pada tahun 1999 melanjutkan jenjang pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah PPMI Assalaam di Kabupaten Sukoharjo. Tiga tahun kemudian penulis melanjutkan jenjang pendidikan menengah atas masih di yayasan yang sama, yaitu Sekolah Menengah Umum (SMU) Assalaam di Kabupaten Sukoharjo.

Pada tahun 2005 setelah lulus dari SMU, penulis berhasil memasuki Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Setelah menyelesaikan tahap Tingkat Persiapan Bersama (TPB) di tahun pertama, penulis diterima di Departemen Arsitektur Lanskap. Di departemen ini penulis aktif di kegiatan keorganisasian Himpunan Profesi (HIMPRO) Himpunan

Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP). Dalam kepengurusan

HIMASKAP, penulis tercatat pernah menjadi anggota Bagian Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) HIMASKAP 2007 dan Ketua Bagian PSDM HIMASKAP 2008. Selain itu penulis juga pernah menjadi Ketua Panitia dalam

acara L’arch Day Temu Alumni Departemen Arsitektur Lanskap IPB pada tahun

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Tujuan ... 2

1.3.Manfaat ... 3

1.4.Kerangka Pikir ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kota Surakarta ... 5

2.1.1. Sejarah ... 5

2.1.2. Perkembangan Kota ... 6

2.1.3. Lanskap Sejarah dan Budaya Kota ... 7

2.2.Jalan Slamet Riyadi ... 11

2.2.1. Karakteristik ... 11 2.2.2. Rencana Pengembangan ... 11 2.3.Wisata ... 12 2.3.1. Pengertian Wisata ... 12 2.3.2. Wisata Sejarah ... 13 2.3.3. Wisata Budaya ... 14 2.4.Jalur Interpretasi ... 14 2.4.1. Pengertian Interpretasi ... 14

2.4.2. Teknik dalam Pengembangan Jalur Interpretasi ... 14

2.5.Perencanaan Lanskap Wisata ... 16

III. METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu ... 17

3.2. Bahan dan Alat ... 17

3.3. Batasan Studi ... 18 3.4. Metode Studi ... 18 3.5. Tahapan Studi ... 20 3.5.1. Persiapan ... 20 3.5.2. Pengumpulan Data/Inventarisasi ... 20 3.5.3. Analisis ... 21 3.5.4. Sintesis ... 25 3.5.5. Penyusunan Konsep ... 25

3.5.6. Perencanaan Jalur Interpretasi ... 25

3.5.7. Perencanaan Lanskap ... 26

IV. KONDISI UMUM KAWASAN PERENCANAAN 4.1. Letak Administrasi Kota Surakarta ... 27

4.2. Demografi Kota Surakarta ... 27

4.3. Program Wisata Pemerintah Kota Surakarta ... 28

(13)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Data dan Analisis ... 36

5.1.1. Aspek Biofisik ... 36 5.1.2. Aspek Sejarah ... 48 5.1.3. Aspek Budaya ... 53 5.1.4. Aspek Wisata ... 56 5.1.5. Hasil Analisis ... 65 5.2. Sintesis ... 67 5.3. Konsep Perencanaan ... 69

5.3.1. Konsep Dasar Perencanaan ... 69

5.3.2. Konsep Pengembangan ... 70

5.4. Perencanaan Jalur Interpretasi ... 75

5.5. Perencanaan Lanskap ... 80

5.5.1. Rencana Ruang ... 80

5.5.2. Rencana Sirkulasi ... 88

5.5.3. Rencana Aktivitas dan Fasilitas ... 89

5.5.4. Arahan Desain ... 91

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 92

6.2. Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 94

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Bangunan-Bangunan Kuno Bersejarah di Kota Surakarta ... 8

2. Kriteria Penelitian Wisata ... 16

3. Alat, Kegunaan, dan Keluaran ... 18

4. Jenis, Sumber, Cara Pengambilan Data, dan Bentuk Data ... 21

5. Kriteria Pembobotan dalam Analisis Daya Tarik Obyek Wisata ... 23

6. Pertumbuhan Penduduk Kota Surakarta Tahun 1990 – 2007 ... 28

7. Kebijakan Tata Kota Pemerintah Kota Surakarta 2009-2010 di Wilayah Perencanaan ... 28

8. Kunjungan Wisatawan ke Berbagai Obyek Wisata ... 32

9. RTRW Kota Surakarta ... 41

10. Kemiringan Tanah di Setiap Kecamatan di Kota Surakarta. ... 43

11. Banyaknya Curah Hujan dan Hari Hujan Rata-Rata Tahun 2004-2007 ... 44

12. Rata-Rata Suhu Udara, Kelembaban, dan Kecepatan Angin Tahun 2007 ... 45

13. Keterangan Tipologi Jalan Slamet Riyadi ... 47

14. Bentuk Kebudayaan Tradisional di Kota Surakarta ... 53

15. Hasil Identifikasi Obyek-Obyek Sejarah Budaya Jalan Slamet Riyadi ... 57

16. Skoring Obyek-Obyek Sejarah Budaya di Jalan Slamet Riyadi ... 60

17. Hasil Identifikasi Atraksi Wisata di Kawasan Jalan Slamet Riyadi ... 62

18. Kriteria Penilaian Hasil Overlay Data Penelitian ... 65

19. Pembagian Zona pada Sintesis ... 67

20. Aspek dalam Pembuatan Jalur Interpretasi ... 73

21. Tema Jalur Interpretasi, Obyek, dan Atraksi Wisata ... 75

22. Waktu Tempuh Jalur Interpretasi ... 76

23. Stops pada Masing-Masing Tema Jalur Interpretasi ... 78

(15)

Halaman

1. Diagram Alir Kerangka Pikir Penelitian ... 4

2. Historical Linkage ... 10

3. Lokasi Penelitian ... 17

4. Tahapan Proses Penelitian (Modifikasi Gold 1980) ... 19

5. Overlay Data Peta Komposit ... 22

6. Peta Administrasi Kota Surakarta ... 27

7. Program Pemerintah Kota Surakarta Tahun 2009 ... 30

8. Bentuk Promosi Wisata Kota Surakarta ... 31

9. Minat Responden Terhadap Keberadaan Obyek Wisata di Jalan Slamet Riyadi. ... 31

10. Pandangan Terhadap Jalan Slamet Riyadi ... 33

11. Suasana Jalan Slamet Riyadi ... 34

12. Pendapat Terhadap Pengembangan Jalan Slamet Riyadi ... 35

13. Peta Batas Kawasan Perencanaan ... 37

14. Peta Aksebilitas dan Sirkulasi ... 39

15. Analisis Aksebilitas dan Sirkulasi ... 40

16. Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Perencanaan dan Sekitarnya ... 42

17. Pohon Asam Jawa ... 45

18. Vegetasi Sejarah ... 45

19. Tipologi Jalan Slamet Riyadi... 46

20. Contoh Fasilitas Wisata Eksisting ... 47

21. Fasilitas Interpretasi yang Diinginkan Oleh Responden. ... 48

22. Perubahan Karakter Lanskap Kota Surakarta ... 50

23. Sejarah Perkembangan Kota ... 51

24. Analisis Sejarah Perkembangan Kota ... 52

25. Identifikasi Bentuk Kebudayaan ... 54

26. Analisis Spasial Berdasarkan Bentuk Kebudayaan ... 55

27. Obyek Sejarah dan Budaya Kawasan Perencanaan ... 59

28. Analisis Obyek Wisata ... 61

(16)

30. Analisis Intensitas Atraksi Wisata ... 64

31. Peta Komposit Potensi Wisata ... 66

32. Block Plan ... 68

33. Konsep Ruang ... 71

34. Konsep Sirkulasi ... 72

35. Pembagian Tema Segmen Jalur Interpretasi ... 74

36. Peta Jalur Interpretasi Wisata ... 77

37. Rencana Lanskap ... 81

38. Rencana Lanskap Segmen 1 ... 82

39. Detail Plan Segmen 1 ... 83

40. Rencana Lanskap Segmen 2 ... 84

41. Detail Plan Segmen 2 ... 85

42. Rencana Lanskap Segmen 3 ... 86

(17)

Halaman

1. Form Kuisioner Penelitian ... 97

2. RTH di Jalan Slamet Riyadi (Sumber ; Dinas Pertamanan) ... 99

3. Peta Kota Solo (Sumber : Dinas PU Kota Solo) ... 100

4. Nama-Nama Kampung di Kawasan Perencanaan ... 101

5. Wisata Kuliner yang Potensial di Kota Solo ... 103

6. Daftar Benda Cagar Budaya (BCB) Kota Surakarta ... 104

7. Design Guidelines ... 107

8. Contoh Peta Jalur Interpretasi Singapura ... 108

(18)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lanskap Kota Surakarta (Solo)1 awalnya berkembang di tepian Sungai Bengawan Solo pada saat Kota Surakarta sebagai ibukota Kerajaan Mataram. Invasi koloni Belanda di Nusantara telah banyak merubah karakter asli kota ini yang sebelumnya menggunakan transportasi air sebagai moda transportasi utama. Pemerintah kolonial mulai membangun Kota Surakarta pada tahun 1740 M dengan berbagai infrastruktur termasuk jalan-jalan yang mempunyai pola kotak (grid). Sebuah jalan dibangun memanjang dari timur ke barat bernama

Wihelminaan untuk membuka akses menuju Kota Semarang. Jalan yang sekarang bernama Jalan Slamet Riyadi ini membagi Kota Surakarta menjadi dua, sebelah utara menjadi komplek Belanda dan selatan menjadi komplek keraton.

Sebagai kota yang pernah mengalami masa kejayaan kerajaan, Kota Surakarta masih memiliki banyak peninggalan yang bersejarah. Peninggalan sejarah tersebut terdiri dari bangunan yang asli peninggalan dari zaman Kerajaan Mataram dan sebagian merupakan warisan peninggalan Kolonial Belanda. Selain bangunan bersejarah yang terpencar di berbagai lokasi, ada juga yang terkumpul di sebuah lokasi sehingga membentuk kawasan kota tua, dengan latar belakang sejarah, sosial, dan budayanya masing-masing.

Salah satu kawasan yang masih terdapat bangunan-bangunan bersejarah adalah jalur Jalan Slamet Riyadi. Selain aspek sejarah yang menonjol, jalan ini juga mempunyai aspek budaya yang menarik, salah satunya ditandai dengan adanya Taman Budaya Sriwedari. Jalan Slamet Riyadi ini merupakan jalan utama (arteri) di Kota Surakarta dan menjadi Central Bussiness District (CBD) yang banyak dibangun toko, mal, perbankan, dan berbagai jenis usaha lainnya. Pengembangan jalur ini, dengan aktivitas ekonominya yang dominan, lambat laun dikhawatirkan dapat menggerus nilai-nilai sejarah dan budaya yang terkandung di dalamnya jika tidak mempertimbangkan nilai-nilai tersebut.

1

Nama Solo diambil dari nama suatu desa, yaitu desa Sala. Pada jaman dahulu kala, ketika keraton Kartasura hancur, PB II memindahkan tahtanya ke suatu desa bernama Sala. Kemudian PB II memberi nama Surakarta pada kerajaan barunya. Dalam penggunaan sehari-hari oleh masyarakat Solo lebih banyak digunakan untuk pariwisata dan perdagangan, sedangkan Surakarta digunakan untuk administrasi dan pendidikan (Minerva 2009).

(19)

Letak Kota Surakarta yang berada di tengah jalur antara Kota Semarang dan Kota Yogyakarta menjadikan kota ini cukup ramai dan berkembang. Hal ini merupakan potensi bagi Kota Surakarta dalam pengembangan kepariwisataannya. Pemerintah Kota Surakarta bahkan telah mencanangkan slogan Solo ‘The Spirit of Java’ sebagai salah satu strategi dalam menarik wisatawan untuk datang berkunjung. Saat ini pemerintah Kota Surakarta juga berupaya meningkatkan potensi wisata Jalan Slamet Riyadi dengan mengembangkan konsep Solo City Walk di sepanjang jalur ini.

Agar nilai-nilai sejarah dan budaya yang ada di jalur ini tetap lestari dan dapat dimanfaatkan potensinya untuk tujuan wisata sejalan dengan program pemerintah tersebut, maka rencana pengembangan jalan ini perlu didukung dengan perencanaan lanskap jalur interpretasi yang baik. Oleh karena itu, perencanaan lanskap jalur interpretasi Jalan Slamet Riyadi Kota Surakarta sebagai jalur wisata sejarah budaya perlu dilakukan dengan harapan agar dapat memberikan pengalaman wisata yang menarik dan menyenangkan bagi pengunjung, serta secara tidak langsung menjaga kelestarian nilai sejarah dan budaya kawasan.

1.2. Tujuan

Tujuan dari studi tentang perencanaan lanskap jalur interpretasi wisata sejarah budaya jalan Slamet Riyadi, Kota Surakarta ini adalah sebagai berikut:

1. mendeskripsikan aspek kesejarahan dan kebudayaan kawasan Jalan Slamet Riyadi,

2. mengidentifikasi dan menganalisis sumber daya wisata sejarah dan budaya potensial dalam kawasan Jalan Slamet Riyadi,

3. menentukan jalur interpretasi wisata sejarah budaya berdasarkan keberadaan obyek dan atraksi wisata serta aspek budaya yang terdapat di kawasan Jalan Slamet Riyadi,

4. merencanakan lanskap jalur interpretasi wisata sejarah budaya kawasan Jalan Slamet Riyadi.

(20)

3

1.3. Manfaat

Hasil studi yang diharapkan adalah sebagai berikut:

1. menjadi masukan bagi pemerintah daerah Kota Surakarta dalam

pengembangan wisata Kota Surakarta,

2. mendukung upaya pelestarian sejarah dan budaya, khususnya pada kawasan Jalan Slamet Riyadi,

3. memudahkan wisatawan dalam pengenalan karakter Kota Surakarta,

4. memenuhi kebutuhan ruang terbuka bagi masyarakat Kota Surakarta dan wisatawan.

1.4. Kerangka Pikir

Studi tentang perencanaan jalur interpretasi dan lanskap wisata sejarah dan budaya ini berawal dari keunikan sejarah terbentuknya Jalan Slamet Riyadi. Sejarah Kota Solo dimulai dari statusnya sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Mataram. Pada saat itu, Kota Solo merupakan kota yang menggunakan sungai sebagai jalur transportasi utama. Pemerintahan Kolonial Belanda kemudian ikut mempengaruhi perkembangan kota menjadi berpola grid. Salah satu pengaruhnya adalah alih fungsi sebuah sungai menjadi jalan utama. Sungai tersebut bernama Sungai Bathangan, sebuah sungai lurus yang berada di tengah kota.

Perkembangan selanjutnya, jalan utama yang kini bernama jalan Slamet Riyadi tersebut memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi. Hal ini karena di kawasan jalan tersebut menjadi pusat aktivitas masyarakat serta pemerintahan dalam periode waktu yang berbeda-beda. Pemerintah Kota Surakarta juga berupaya untuk meningkatkan citra Jalan Slamet Riyadi dengan mengembangkan Solo City Walk, yaitu program pedestrianisasi sepanjang jalur Jalan Slamet Riyadi. Nilai sejarah budaya yang tinggi dan program pemerintah dalam mengembangkan kawasan jalan tersebut merupakan potensi wisata yang apabila dikelola dengan baik maka akan menciptakan kawasan wisata sejarah budata yang tertata dengan baik.

Perencanaan lanskap jalur interpretasi wisata sejarah budaya Jalan Slamet Riyadi perlu untuk dilakukan demi menjaga kelestarian nilai sejarah budaya kawasan Jalan Slamet Riyadi. Selain itu, manfaat lain yang didapatkan adalah menjadikan kawasan ini sebagai kesatuan wisata yang atraktif, terpadu, serta

(21)

nyaman bagi wisatawan dalam melakukan kegiatan interpretasi. Pendekatan yang digunakan adalah dengan merencanakan jalur interpretasi terlebih dahulu agar meningkatkan nilai sejarah dan budaya yang telah ada. Perencanaan jalur interpretasi ini juga dimaksudkan untuk mendukung program pemerintah yang telah ada sebelumnya. Gambar 1 berikut adalah diagram alir kerangka pemikiran dalam studi ini.

Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pikir Penelitian. Kota Surakarta/Solo Pengaruh Kolonial Belanda Kota Kerajaan Jawa Potensi Wisata Sejarah dan Budaya

Koridor Jalan Slamet Riyadi Nilai-Nilai Sejarah

dan Budaya

Jalur Wisata

(Solo City Walk)

Interpretasi Sejarah Budaya sebagai Atraksi

bagi Wisatawan

Perencanaan Lanskap Jalur Interpretasi Wisata Sejarah Budaya Jalan Slamet Riyadi Kota Surakarta

Alih Fungsi Sungai Bathangan Menjadi Jalan Berbasiskan Transportasi Sungai Perkembangan Kota Berpola Grid

Kelestarian Nilai Sejarah dan Budaya

(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kota Surakarta

2.1.1. Sejarah

Pada abad XVIII, Kota Solo memanfaatkan sungai terpanjang di Pulau Jawa, yaitu Sungai Bengawan Solo sebagai jalur transportasi utama yang menghubungkan Solo dengan Bandar Surabaya. Kota Solo mendapat julukan Kota Bengawan karena site-nya berada di tepian Sungai Bengawan Solo. Wilayah ini merupakan dataran rendah di antara vulkan-vulkan (intermountain-plain) Merapi dan Merbabu di sebelah barat dan Lawu di sebelah timur (Hadi 2001).

Kota Solo atau Surakarta pada awalnya merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram. Melalui Perjanjian Gianti pada tahun 1755, Kerajaan Mataram pecah menjadi Kerajaan Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat. Perjanjian Salatiga tahun 1757 menyebabkan Kerajaan Surakarta pecah menjadi dua, Kasunanan dan Mangkunegaran. Kota Surakarta tetap menjadi tempat kedudukan kedua kerajaan tersebut sampai saat ini. Pemerintahan Kota Surakarta dimulai sejak ditetapkan sebagai ibukota karesidenan pada tahun 1946, dan kemudian pada tahun 1965 ditetapkan sebagai Ibukota Daerah Tingkat II Kotapraja Surakarta dan sekarang berstatus kotamadya (Hadi 2001).

Lebih lanjut, Hadi (2001) mengambil kesimpulan bahwa “Solo Lama” adalah pusat pemerintahan Kerajaan Surakarta Hadiningrat. Solo Lama merupakan kawasan deliniasi antara Keraton Surakarta dan Keraton Mangkunegaran. Pada kawasan ini sampai sekarang masih terdapat nama-nama pasar tempat penduduk melakukan transaksi, lekat dengan fungsinya sebagai pasar musiman dalam nama-nama hari Jawa. Pola penyebaran pasar-pasar ini membentuk konfigurasi kota yang cenderung berkembang mengikuti pola grid bentukan pengaruh kolonial. Pasar-pasar tradisional yang tumbuh saat Solo sebagai pusat Kerajaan Surakarta, antara lain Pasar Kliwon, Pasar Pon, Pasar Legi, Pasar Gedhe, Pasar Slompretan (sekarang Klewer), Pasar Kembang, dan Pasar Ngapeman.

(23)

2.1.2. Perkembangan Kota

a. Perkembangan Tata Ruang

Luas administrasi Kota Surakarta adalah 4.404 hektar terdiri dari 5 wilayah kecamatan dan 51 kelurahan (Hadi 2001). Sebuah jalan yang lurus dan lebar memanjang dari barat ke timur, yaitu Jalan Slamet Riyadi, membagi Kota Surakarta menjadi dua bagian, yaitu bagian utara yang bersifat profane/tercemar dan bagian selatan yang bersifat sakral. Kompleks Keraton dan kedua alun-alun jelas termasuk ke bagian Kota Selatan yang sakral. Pemukiman orang asing yang beragama lain dan daerah bekas teritorial seperti Mangkunegaran dan Kota Eropa terdapat di bagian utara kota (Santoso 2008).

Selanjutnya, Hadi (2001) menyampaikan bahwa pengembangan kota ke arah barat dan selatan cenderung didominasi oleh industri dan komersial tanah di wilayah tersebut dikembangkan dari endapan alluvial vulkanik muda yang subur dan merupakan aquifer yang baik. Potensi air tanah memungkinkan untuk penyediaan air baku industri. Masalah yang mungkin timbul adalah tejadinya konflik kepentingan antara kebutuhan tanah untuk industri dan tanah untuk pertanian. Demikian juga eksploitasi air tanah untuk industri dan limbah industri yang akan mencemari sungai-sungai sebagai badan air yang menerima limbah antara lain Kali Pepe dan Kali Wingko karena industri-industri tersebut letaknya di hulu.

Pengaruh regulasi makro yang menetapkan Kota Surakarta sebagai pusat pengembangan Jawa Tengah bagian selatan dan timur (Pusat Pertumbuhan Wilayah IV) dan pusat zona industri Solo-Yogya telah membawa perkembangan tata ruang kota sesuai dengan fungsi baru yang harus didukung atau pengembangan fungsi lamanya (Hadi 2001).

Di dalam wilayah kota, Hadi (2001) melihat bahwa pusat kota berkembang di sekitar kedua keraton yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran yang pada awalnya pusat pemerintahan, berkembang menjadi daerah perdagangan, jasa perkantoran, hiburan, dan wisata. Beberapa perumahan di pemukiman ini menjadi tinggi intensitasnya dan beralih fungsi menjadi kawasan komersial dan dunia usaha. Pusat-pusat kegiatan lain di luar pusat kota berkembang secara linier maupun terpusat, menggeser fungsi pemukiman/perumahan termasuk perumahan tipe vila

(24)

7

(perumahan besar) di jalan-jalan utama yang berkembang menjadi daerah komersial, niaga, dan jasa. Berbagai kegiatan industri, manufaktur, jasa, juga berkembang di pinggiran kota di luar wilayah admisnistratif Kota Surakarta karena memerlukan tanah yang luas dan harga tanah yang relatif murah. Pertumbuhan ke luar kotamadya ini didukung oleh prasarana dan sarana transportasi yang memadai.

b. Karakteristik Transportasi

Menurut Hadi (2001) perkembangan kota secara fisik pada arah barat-timur dipengaruhi oleh perkembangan jalur transportasi (jalan raya) Solo-Yogya dan Solo-Semarang, juga oleh berkembangnya pangkalan udara Adi Sumarmo menjadi Bandara Internasional di sektor barat; sedangkan ke arah timur dipengaruhi oleh perkembangan jalur transportasi darat (jalan raya) Solo-Surabaya dan perkembangan kawasan industri Palur. Perkembangan tata ruang kota dan perluasannya ke wilayah-wilayah kabupaten di sekitarnya melahirkan wilayah perkembangan terpadu Subosuka (Surakarta-Boyolali-Sukoharjo-Karanganyar). Letak Solo yang berada di tengah jalur antara Semarang dan Yogya menjadikan Solo menjadi kota yang cukup ramai dan berkembang.

Subosuka terletak pada jalur lintas selatan sistem transportasi regional Pulau Jawa yang terdiri dari beberapa rute moda transportasi, yaitu;

a. Lintas utama KA dari Jakarta, Bandung, Yogya, Semarang menuju Surabaya. Sebuah cabang dari jalur ini menuju ke Purwodadi di bagian utara. Jalur lain yang berasal dari Solo adalah ke Wonogiri di bagian selatan.

b. Jalan Arteri Primer yang menghubungkan bagian timur dan barat Subosuka dengan jalan utama di pusat Kota Solo yaitu Jalan Slamet Riyadi menghubungkan jalan menuju Semarang, Yogya, dan Surabaya.

c. Sistem transportasi darat ini mendukung sistem transportasi iregional

dengan wilayah lain, yaitu Bandara Adi Sumarmo (Hadi 2001).

2.1.3. Lanskap Sejarah dan Budaya

Menurut Santoso (2008), hanya kota-kota (peninggalan sejarah kerajaan Mataram) seperti Solo dan Yogya yang masih bisa mempertahankan bentuk asli mereka sampai batas-batas tertentu. Peran sejarah Kota Solo sejak jaman

(25)

pra-kerajaan hingga jaman kemerdekaan tidak dapat diabaikan. Hal tersebut terlihat dari banyaknya peninggalan bersejarah di Kota Solo. Tabel 1 merupakan hasil identifikasi bangunan-bangunan kuno berdasarkan studi Zaida (2004).

Tabel 1. Bangunan-Bangunan Kuno Bersejarah di Kota Solo No Bangunan Bersejarah Tahun Dibangun Keterangan 1 Keraton Surakarta Hadiningrat

1745 Merupakan cikal bakal pembentukan Kota Surakarta dengan ciri arsitektur tradisional Jawa. Namun keraton saat ini hanya menjadi sebuah situs bersejarah seperti layaknya candi.

2 Benteng Vastenberg

1745 Berfungsi sebagai titik pertahanan kolonial di Jawa Tengah dengan bangunan bergaya kolonial. Namun kondisinya saat ini lebih menyerupai puing-puing, beberapa bagian atap di bangunan utama sudah tidak bergenting.

3 Pura

Mangkunegaran

1757 Menggambarkan percampuran antara arsitektur tradisional dengan arsitektur barat.

4 Masjid Agung 1777 Dibangun dengan arsitektur tradisional Jawa. Kondisi saat ini masih cukup terawat namun di sekitar bangunan ini banyak berdiri bangunan-bangunan modern yang bersifat komersial.

5 Stasiun Balapan - Merupakan bangunan gaya kolonial yang berfungsi sebagai sarana transportasi yaitu kereta api. Kondisi cukup terawat hingga saat ini.

6 Stasiun Purwosari 1875 Sebagai pendukung Stasiun Balapan. Bangunan berarsitektur barat ini masih berfungsi sebagai stasiun kereta api namun kondisinya kurang terawat.

7 Loji Gandrung - Bangunan berarsitektur kolonial ini sekarang digunakan sebagai rumah dinas Walikota Surakarta dan masih utuh kondisinya. 8 Vihara

Avalokiteswaru

- Merupakan rona arsitektur yang berbeda dengan lingkungannya karena pengaruh Cina mendominasi. Kondisi cukup terawat dan masih berfungsi sebagai tempat ibadah agama Budha.

9 Vihara Po-An-Kiong

1881 Ciri arsitektur Cina sangat tercermin dari bentuk maupun ornamen-ornamennya. Kondisi saat ini masih cukup terawat. 10 Pasar Gede

Hardjonagoro

1893 Bangunan ini merupakan persenyawaan antara bentuk kolonial (dinding tebal / kolom yang besar / tegas) dengan konsep tradisional (bentuk atap bentuk joglo atau limasan). Pada tahun 1927 pernah dilakukan perbaikan, kondisi saat ini masih cukup baik.

11 Taman Sriwedari 1899 Taman ini telah mengalami perubahan sebagai taman yang memiliki unsur budaya menjadi kawasan bernilai ekonomi dan wisata.

12 Stasiun Jebres 1900 Bangunan bergaya kolonial ini tetap seperti aslinya, belum pernah ditambah atau dikurangi meskipun saat ini telah berkembang sebagai stasiun peti kemas.

13 Gereja St. Antonius

1905 Bangunan yang didirikan dengan gaya arsitektur barat ini belum pernah mengalami perubahan bentuk maupun fungsinya.

14 Javache Bank 1908 Merupakan kantor bank pertama kali di Surakarta dengan arsitektur kolonial. Sekarang menjadi gedung Bank Indonesia, kondisinya baik.

15 Taman Balekambang

1916 Sebagai bekas taman dan pemandian putri pemerintahan Mangkunegaran.

Berdasarkan letak-letak bangunan kuno bersejarah di Kota Solo, Zaida (2004) mengidentifikasi kawasan “Solo Lama”. Terdapat beberapa area yang mempunyai nilai sejarah di Kota Solo yang dapat menjadi linkage area untuk

(26)

9

dikembangkan sebagai motor penggerak aktivitas kota dan perlu dibenahi untuk meningkatkan karakter Kota Solo. Linkage area terdiri dari tapak bersejarah dan ruang terbuka bersejarah (Gambar 2).

Kawasan Berikat Tapak Bersejarah (Integrated Linkage of Historical Area) Kawasan- kawasan yang tercakup di dalamnya adalah kawasan Keraton Kasunanan Surakarta, kawasan Pura Mangkunegaran, kawasan Balaikota-Pasar Gedhe, serta kawasan benteng Vastenberg yang berada di pusat kota dan sebagai kawasan perdagangan dan pemerintahan. Zaida (2004) menganalisis bahwa di sekitar kawasan ini sering terjadi perbenturan nilai tradisional dengan nilai-nilai yang timbul kemudian. Untuk itu pada kawasan ini perlu didesain sebuah kawasan perdagangan yang tetap mengacu kepada kedudukan Keraton dan Mangkunegaran. Sesuai dengan konsep manca-pat2, kawasan inti Keraton (istana, alun-alun, masjid, dan pasar) dan Mangkunegaran harus steril dari kegiatan perdagangan. Pusat-pusat pertokoan dan pedagang kaki lima (PKL) tidak seharusnya berada di sekitar kawasan keraton ataupun alun-alun, karena jika mengacu konsep manca-pat telah dibangun Pasar Gedhe di luar keraton.

Kawasan Berikat Ruang Terbuka Bersejarah (Integrated Linkage of Historical Open Space)

Kawasan yang tercakup di dalamnya adalah Taman Sriwedari, kawasan Taman Balekambang, dan Kawasan Taman Jurug. Ketiga kawasan ini merupakan bagian dari sejarah perkembangan Kota Solo dimana fungsinya adalah sebagai ruang terbuka publik dan sarana rekreasi bagi warga kota. Selain berfungsi sebagai sarana rekreasi dan hiburan, dapat pula sebagai kegiatan industri wisata seperti pameran pembangunan serta kegiatan promosi wisata dan kebudayaan yang menarik minat wisatawan. Dalam perencanaan kawasan ini, dapat dihadirkan elemen-elemen lanskap baik elemen keras seperti jalur pedestrian, plasa, jalan, pagar, gedung kesenian, dan lain-lain ataupun elemen lunak seperti vegetasi dan air, bernuansa masa lalu sehingga warga kota ataupun pengunjung dapat merasakan bentuk kota tradisional pada masa lampau (Zaida 2004).

2

Manca-pat diartikan oleh Santoso (2008) sebagai sebuah satuan ruang yang disucikan dengan membaginya menjadi empat bagian (pat ) yang berpusat di tengah (alun-alun utara), yaitu sebelah barat melambangkan ukhrowi ditandai dengan Masjid Agung (1), selatan melambangkan istana raja ditandai dengan istana (2), timur melambangkan duniawi ditandai dengan Pasar Gedhe Hardjonagoro (3), dan utara melambangkan pemerintahan ditandai dengan adanya kepatihan (4).

(27)

b. Linkage of Historical Open Space

a.Linkage of Historical Area

Sumber : Zaida 2004

Gambar 2. Historical Linkage

Perencanaan kota harus tetap mempertahankan nilai-nilai sejarah dan budaya yang telah ada sebelumnya. Dalam merencanakan sebuah kawasan kota yang terdapat banyak obyek sejarah, harus dipertimbangkan keberadaan obyek-obyek sejarah tersebut. Menurut Zaida (2004) alasan tentang pemberian perhatian pada bangunan kuno bersejarah sebagai pertimbangan dalam perencanaan dan pembangunan kota adalah sebagai berikut:

1. lingkungan dan bangunan kuno bersejarah dengan ragam arsitekturnya yang khas merupakan asset yang sangat berharga dalam bidang pariwisata;

2. peninggalan karya arsitektur kuno, baik tradisional maupun peninggalan kolonial, merupakan rekaman sejarah dalam bentuk visual yang menyiratkan kesinambungan peri kehidupan masyarakat dari waktu ke waktu;

3. pada masa-masa yang penuh perubahan cepat, lingkungan dan bangunan kuno bersejarah memberikan suasana tersendiri yang unik, segar akrab serta dapat menjadi “tengeran” atau landmark untuk orientasi;

4. generasi mendatang membutuhkan rasa aman dan kebanggaan, yang akan diperoleh melalui peluang untuk melihat, menyentuh, dan merasakan bukti fisik sejarah serta kekayaan budaya nenek moyang;

5. dengan dilestarikannya bangunan kuno bersejarah di segenap tempat, khasanah wajah lingkungan akan menjadi lebih kaya;

6. keberhasilan perencanaan dan perancangan lingkungan binaan akan menjadi bekal dan pelajaran berharga bagi kegiatan serupa di masa depan.

(28)

11

2.2. Jalan Slamet Riyadi

2.2.1. Karakteristik

Menurut Malik (2007), pada abad ke-19 tepat berhadapan dengan benteng Vastenberg, menjadi pusat pemukiman Belanda yang dinamakan Kampung Baru. Di pusat pemukiman Belanda terdapat jalan ke arah barat menuju Kartasura dan ke Semarang. Santoso (2008) mengemukakan jalan yang lurus dan lebar tersebut memanjang dari barat ke timur membagi Solo menjadi dua bagian, yaitu bagian utara yang telah tercemar (profane) dan bagian selatan yang sakral. Kompleks Keraton dan kedua alun-alun termasuk ke dalam bagian Kota Selatan yang sakral (Santoso 2008). Dengan dibukanya jalan menuju Semarang, terjadi pertumbuhan ekonomi dan kultural pada masyarakat Solo. Sejak itu keberagaman etnis, tradisi dan kesenian tumbuh di masyarakat wilayah utara dan selatan kota (Malik 2007).

Jalan yang pada mulanya dinamakan Wihelminaan ini sekarang bernama Jalan Slamet Riyadi (Malik 2007). Jalan ini merupakan jalan utama/arteri di pusat Kota Surakarta yang menghubungkan bagian timur dan barat Subosuka dan juga menghubungkan Surakarta dengan Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya (Hadi 2001). Selain itu, di Jalan Slamet Riyadi terdapat sebuah rel kereta api yang menyatu dengan jalan dan berada di sebelah selatan jalan. Rel kereta api yang merentang di Jalan Slamet Riyadi ini, adalah rel jurusan Solo-Wonogiri (Primartantyo 2008).

Jalan Slamet Riyadi memiliki nilai-nilai sejarah dan budaya yang sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan obyek-obyek sejarah kolonial dan budaya Jawa yang masih terlihat hingga saat ini, termasuk kedua keraton, yaitu. Kasunanan dan Mangkunegaran. Menurut Hadi (2001), pusat kota berkembang di sekitar kedua keraton, yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran, menjadi daerah perdagangan, jasa perkantoran, hiburan, dan wisata yang pada awalnya merupakan pusat pemerintahan. Jalan Slamet Riyadi, juga ikut berkembang menjadi daerah komersial, niaga, dan jasa.

2.2.2. Rencana Pengembangan

Zaida (2004) memaparkan bahwa di sepanjang Jalan Slamet Riyadi yang diperuntukkan sebagai perkantoran, pertokoan, dan jasa pelayanan, dalam perencanaanya dapat dikembangkan dengan desain bangunan atau perabot jalan

(29)

(street furniture) yang mengacu pada arsitektur tradisional, sehingga tercipta kesatuan ruang. Dari hasil perencanan kawasan ini, dapat dikembangkan kegiatan wisata budaya yang dipadukan dengan wisata belanja. Rejeki (2006) menyatakan bahwa bangunan-bangunan di sepanjang Jalan Slamet Riyadi juga menampilkan bangunan bercorak kolonial-jawa sebagai ciri khas Kota Surakarta.

Lebih lanjut Rejeki (2006) menyampaikan bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Solo saat ini telah mengembangkan konsep city walk di sepanjang Jalan Slamet Riyadi sehingga bisa digunakan untuk berjalan dan menarik para wisatawan. Pada tahap awal pengembangan city walk, Pemkot Surakarta telah menata pedagang kaki lima (PKL) dengan menertibkan dan membangun shelter PKL. Solo City Walk dibangun di sebelah selatan Jalan Slamet Riyadi, mulai dari Purwosari hingga ke Bundaran Gladak dan Pasar Gede. Jalur pedestrian dilebarkan dengan cara menghilangkan jalur lambat dan menggabungkannya dengan trotoar yang sudah ada sehingga terbentuk jalur pedestrian baru selebar lima meter. Jalur pedestrian ini dilengkapi dengan kursi-kursi bagi pejalan kaki, taman, dan penambahan pepohonan.

Selanjutnya Primartantyo (2008) menyebutkan bahwa PT Kereta Api telah mempertimbangkan untuk mengoperasikan trem di jalur kereta api yang merentang sepanjang jalan utama Kota Surakarta ini. Trem beroperasi di sejumlah kota Indonesia sejak zaman Belanda. Setelah zaman merdeka, perlahan trem-trem ini dihentikan operasinya dan diganti bus kota sebagai angkutan massal. Selain sebagai angkutan, trem juga bisa diarahkan untuk paket wisata, sepanjang jalur kereta di pinggir Jalan Slamet Riyadi banyak bangunan bersejarah seperti Museum Radya Pustaka, Keraton, dan lainnya.

2.3. Wisata

2.3.1. Pengertian Wisata

Menurut Gunn (1993), wisata merupakan perjalanan sementara yang dilakukan orang menuju sebuah tujuan selain tempat asal mereka bekerja dan tinggal, mereka melakukan aktivitas selama di tujuan tersebut dan fasilitas-fasilitas dibuat untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Menurut Pendit (2002), wisata sebagai istilah bahasa Indonesia adalah padanan istilah bahasa Inggris tourism yang dipakai oleh Negara-negara Eropa

(30)

13

Barat dan travel oleh orang Amerika Utara, yang mengandung makna ‘kepergian orang-orang, dalam jangka waktu pendek, sementara, ke tempat-tempat tujuan diluar tempat tinggal dan bekerja sehari-harinya serta kegiatan-kegiatan mereka selama berada ditempat-tempat tujuan tersebut untuk berbagai motivasi asal usaha mereka tidak untuk mencari nafkah. Wisata adalah salah satu jenis industri baru yang mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup serta menstimulasi sektor-sektor produktif lainnya.

2.3.2. Wisata Sejarah

Untuk sumber-sumber sejarah, tipe pengembangan dapat dilakukan pada obyek-obyek seperti: tempat yang bersejarah, arsitektur bersejarah, tempat yang suci, museum yang menggambarkan berbagai era sejarah, pusat budaya, pawai sejarah, festival, landmark, dan taman bersejarah. Untuk keperluan wisata, tapak, stuktur, serta kegiatan yang berkaitan dengan tempat tersebut merupakan dasar atraksi wisata (Gunn 1993).

Menurut Gunn (1993), perlu usaha lebih agar pemilik situs-situs sejarah yang vital terdorong agar mempercayakan wewenang perlindungan dan pengelolaan kepada pihak negara. Dibutuhkan sebuah program untuk meningkatkan dorongan guna pelestarian kembali sumber-sumber sejarah. Hal ini dapat diantisipasi dengan pembuatan zona baru yang berhubungan dengan aspek sejarah guna identifikasi sumber-sumber sejarah selama proses perencanaan keseluruhan.

Suatu daerah tertentu sedikit banyaknya memiliki ciri sejarah berupa benda acuan (landmark). Pengetahuan terhadap letak dan kegunaan benda acuan ini sangat berharga untuk suatu penafsiran terhadap daerah yang akan dikelola secara menyeluruh, juga dalam hal meletakkan tampilan khusus dan menjadikannya sebagai pusat perhatian. Beberapa aspek pada tapak yang merupakan ciri sejarah: rute bersejarah, bangunan bersejarah, tapak bersejarah (Chiara dan Koppelmen 1994).

(31)

2.3.3. Wisata Budaya

Lanskap wisata sejarah juga sangat berkaitan erat dengan budaya masyarakat lokal karena hasil interaksi serta persepsi masyarakat lokal terhadap warisan sejarah merupakan kebudayaan yang tidak ternilai harganya. Menurut Marbun (1994), kota Indonesia masa kini dan masa depan tidak perlu menjiplak model dari dunia luar, tetapi harus menggali nilai-nilai/budaya Indonesia dan memadukan secara harmonis sesuai dengan kemajuan teknologi.

Wisata budaya adalah wisata yang dilakukan atas dasar keinginan, untuk memperluas pandangan hidup seseorang dengan jalan mengadakan kunjungan atau peninjauan ke tempat lain atau keluar negeri, mempelajari keadaan rakyat, kebiasaan, dan adat istiadat mereka, cara hidup mereka, budaya dan seni mereka. Perjalanan ini sering disatukan dengan kesempatan-kesempatan mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan budaya, seperti eksplorasi seni, atau kegiatan yang bermotif kesejarahan dan sebagainya (Pendit 2002).

2.4. Jalur Interpretasi 2.4.1. Pengertian Interpretasi

Tilden dalam Sharpe (1982) mengemukakan bahwa interpretasi adalah aktivitas pendidikan yang bertujuan untuk mengungkapkan makna dan asal-usul sebuah obyek bersejarah dengan berbagai media ilustrasi. Selanjutnya Sharpe (1982) menyimpulkan bahwa interpretasi merupakan hubungan komunikasi antara pengunjung dengan obyek yang dikunjunginya.

Knudson dalam Damayanti (2003) menyatakan bahwa interpretasi adalah mengkomunikasikan arti sebuah tempat dan kejadian, serta memunculkan makna-makna yang tersembunyi. Secara umum, interpretasi adalah penerjemahan dari fenomena sejarah, budaya, dan alam sehingga para pengunjung dapat memahami dengan baik dan menikmati apa yang disampaikan.

2.4.2. Teknik dalam Pengembangan Jalur Interpretasi

Peter Howard dalam Riyanto (2008) mengulas tentang interpretation in practice danbeberapa butir penting menyangkut hal ini antara lain adalah:

1) interpretasi merupakan salah satu dari tiga bagian utama heritage selain

(32)

15

2) interpretasi memiliki berbagai makna berkaitan dengan

mengkomunikasikan heritage kepada masyarakat yang meliputi interpretasi langsung dan kemasan (design);

3) persoalan dalam interpretasi antara lain adalah menyangkut apa yang

harus disampaikan, bagaimana caranya, dan untuk siapa;

4) interpretasi dengan kemasan (design) akan menyangkut beberapa hal

seperti:

a) diperlukan keahlian dalam mengemas (mendesain),

b) sasarannya adalah kelima panca indra pengunjung,

c) bentuknya meliputi: pameran, leaflet, label, audio-video, sistem

teknologi informasi (multi media), tata suara, musik, replika, contoh/peniruan,

d) prosesnya meliputi tiga tahapan: strategi, taktis, pelaksanaan.

Ham dalam Damayanti (2003) menyebutkan beberapa teknik presentasi interpretasi yaitu: (1) penyampaian lisan, tulisan; (2) pemandu perjalanan wisata; (3) brosur dan publikasi; (4) pameran; (5) penanda; (6) self-guided trails. Untuk mendukung pelaksanaan teknik interpretasi dibutuhkan kelengkapan interpretasi seperti tempat pameran, penanda, bangku, jalur, kelengkapan sepanjang jalur, dan amphitheater.

Gunn (1993) berpendapat bahwa untuk pengembangan wisata yang berkelanjutan dibutuhkan kontrol oleh pengelola, dalam hal ini pemerintah, dan pihak pengunjung demi kenyamanan mereka sendiri. Beberapa kontrol yang berpengaruh untuk menyeimbangkan penggunaan wisata dengan perlindungan situs-situs bersejarah yaitu pos masuk, pusat pengunjung, pelaksanaan peraturan yang santun dan efektif, pengelolaan sumber-sumber sejarah, pengenalan dan interpretasi lingkungan.

Salah satu kontrol yang paling penting adalah pusat interpretasi. Pusat interpretasi pengunjung adalah sebuah fasilitas dan program yang didesain untuk melengkapi pengetahuan dan wawasan pengunjung terhadap sumber-sumber wisata alami maupun budaya. Alokasi ruang untuk fasilitas pusat interpretasi terbukti telah membuat pengalaman wisatawan lebih mengenang dan tidak terlupakan (Gunn 1993). Hal ini karena pengunjung lebih mengetahui tempat mana saja yang harus dikunjungi sesuai dengan waktu yang dimiliki.

(33)

2.5. Perencanaan Lanskap Wisata

Menurut Hall (2000), perencanaan wisata tidak hanya mengarah kepada spesifikasi pengembangan wisata dan promosi walaupun hal tersebut memang penting. Wisata harus terintegrasi dengan proses perencanaan secara menyeluruh agar tujuan utama dari pengembangan ekonomi, sosial, dan lingkungan dapat sesuai dengan pengembangan wisata.

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam mengembangkan kawasan wisata adalah ketersediaan obyek dan atraksi wisata, pelayanan wisata, dan transportasi pendukung. Obyek dan atraksi wisata merupakan andalan utama untuk mengembangkan kawasan wisata. Wisata harus direncanakan untuk memastikan bahwa wisatawan dapat dengan bebas memperkaya diri dengan mendapatkan sesuatu yang baru, petualangan, dan penghargaan terhadap diri sendiri dengan mencapai obyek yang diinginkan (Gunn 1993).

Berikut ini adalah pertimbangan dalam penelitian daya tarik wisata sejarah dan budaya.

Tabel 2. Kriteria Penelitian Daya Tarik Wisata Sejarah dan Budaya (Pendit 2002)

Aspek Jenis Obyek/Atraksi Wisata

Sejarah Peninggalan Purbakala Bekas istana, tempat peribadatan , kota tua dan bangunan-bangunan purbakala, peninggalan sejarah, dongeng atau legenda.

Budaya Adat Istiadat Pakaian, makanan dan tatacara hidup daerah, pesta rakyat, kerajinan tangan dan produk-produk lokal lainnya.

Seni Bangunan Arsitektur setempat seperti candi, pura, masjid, gereja, industri, bangunan adat, dan sebagainya. Pentas dan Pagelaran Gamelan, musik, seni tari, pekan olahraga,

kompetisi, pertandingan dan sebagainya.

Pameran Pekan Raya Pekan raya-pekan raya bersifat industri komersial.

(34)

III. METODOLOGI

3.1. Tempat dan Waktu

Studi mengenai perencanaan lanskap jalur interpretasi wisata sejarah budaya ini dilakukan di Kota Surakarta, tepatnya di kawasan Jalan Slamet Riyadi. Studi ini dilaksanakan selama 6 bulan, yaitu dari Februari 2009 – Juli 2009.

Jalan Slamet Riyadi mempunyai panjang sekitar 4,6 km. Kawasan Jalan Slamet Riyadi ini termasuk ke dalam administrasi 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Laweyan, Kecamatan Banjarsari, Kecamatan Serengan, dan Kecamatan Pasar Kliwon. Gambar 3 berikut merupakan peta lokasi studi.

Gambar 3. Lokasi Penelitian 3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang dimaksud yaitu data yang digunakan untuk melengkapi studi ini. Data yang digunakan dibagi menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang langsung diambil di lapangan berupa letak koordinat, foto, kuesioner tentang keinginan penduduk serta pengunjung, dan

(35)

informasi yang didapat dari wawancara. Adapun data sekunder didapatkan dari berbagai pustaka dan informasi dari pihak-pihak terkait.

Tabel 3 berikut ini menjelaskan alat-alat yang digunakan untuk pengambilan data di lapang dan pengolahan data di studio.

Tabel 3. Alat Pengambilan Data, beserta Kegunaan, dan Keluarannya

Alat Kegunaan Keluaran

Kegiatan Lapang Global Positioning System (GPS)

Menandai serta menentukan koordinat beberapa tempat di lokasi penelitian.

Peta Kamera digital Mendokumentasikan obyek yang diamati di lapang. Foto

Kegiatan Studio

Kertas dan alat gambar Mengolah draft perencanaan. Peta

Komputer Grafis Dan Berbagai Aplikasinya :

 Microsoft Word Mengolah data tulisan (text) berupa deskripsi dan seluruh pelaporan tulisan.

Laporan tertulis

 AutoCAD Land i Koreksi geometris pada peta yang digunakan dan pengolah data awal dari GPS.

Peta

 AutoCAD Membuat gambar rencana lanskap, potongan, dan berbagai gambar yang berhubungan dengan spasial.

Peta

 SketchUp Membuat ilustrasi dari rencana dibuat. Gambar

perspektif

 CorelPhotoPaint dan Adobe Pothoshop

Membuat ilustrasi gambar dan memperhalus tampilan gambar yang telah dibuat dengan AutoCAD dan Sketch Up.

Peta Gambar

 CorelDraw Layout hasil akhir gambar. Peta

Gambar 3.3. Batasan Studi

Studi ini dilaksanakan sampai pada tahap perencanaan yang hasilnya berupa tulisan dan gambar. Rencana yang dihasilkan berupa rencana jalur interpretasi dan rencana lanskap jalur interpretasi wisata sejarah budaya Jalan Slamet Riyadi, Kota Surakarta.

3.4. Metode Studi

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelusuran sejarah yang terdiri dari studi literatur, wawancara dengan narasumber, dan pengamatan lapang (survey). Adapun tahapan kerjanya didasarkan pada tahapan perencanaan menurut Gold (1980). Tahapan-tahapan perencanaan tersebut adalah: persiapan, inventarisasi, analisis, sintesis, perencanaan, dan perancangan. Penelitian ini hanya akan dilaksanakan hingga tahap perencanaan dengan

(36)

19

penambahan tahap penyusunan konsep sebelum tahap perencanaan. Gambar tahapan proses studi yang akan dilaksanakan dapat dilihat pada Gambar 4.

Kondisi Umum Persiapan Pengumpulan Data/ Inventarisasi Penyusunan Konsep Perencanaan Lanskap  Tujuan penelitian  Usulan penelitian  Informasi sementara

Penentuan batas tapak

Data primer dan data sekunder

Aspek Biofisik Aspek Budaya

Rencana blok/ Block plan

Konsep Dasar Rencana Lanskap Konsep Dasar Jalur Interpretasi

Rencana Lanskap Jalur Interpretasi Wisata Sejarah Budaya Jalan Slamet Riyadi Kota Surakarta

Gambar 4. Tahapan Proses Penelitian (Modifikasi Gold 1980) Analisis

Sintesis

Aspek Sejarah Aspek Wisata

Deskripsi

Menentukan Jalur Intrepretasi dan Rencana Lanskap

Konsep Pengembangan Pra penelitian Identifikasi dan Analisis Peta Komposit Rencana Ruang`

Rencana Jalur Interpretasi

Rencana Sirkulasi Rencana Aktivitas dan Fasilitas

(37)

3.5. Tahapan Studi 3.5.1. Persiapan

Tahap persiapan mencakup kegiatan penetapan tujuan perencanaan, penyusunan rencana kerja dan biaya yang terangkum dalam usulan penelitian, dan pengumpulan infomasi sementara tentang lokasi yang akan diteliti.

3.5.2. Pengumpulan Data/Inventarisasi

Tahap inventarisasi merupakan tahap pengumpulan data dan semua informasi yang berkenaan dengan kondisi lokasi studi. Tahap inventarisasi ini bertujuan memenuhi salah satu tujuan penelitian yaitu untuk mendeskripsikan aspek sejarah dan budaya kawasan perencanaan. Data berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui survei lapang (pengamatan dan pengukuran), wawancara, dan kuesioner. Penyebaran kuesioner dilakukan secara acak di sepanjang Jalan Slamet Riyadi dengan jumlah responden empat puluh orang (Lampiran1). Sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi literatur dari buku acuan, data dari dinas terkait, serta pustaka lainnya yang dapat mendukung ruang lingkup studi.

Data yang diambil adalah meliputi data aspek biofisik, aspek sejarah, aspek budaya, dan aspek wisata. Selain keempat aspek tersebut juga digunakan data kondisi umum. Data pada kondisi umum digunakan untuk mengenali kawasan yang akan dipelajari. Data yang digunakan dalam studi ini ditampilkan pada Tabel 4.

Wawancara3 dilakukan dengan berbagai pihak sesuai dengan bidang keahlian dan profesi yang dimiliki. Data aspek sejarah dilakukan dengan menggunakan metode wawancara. Sumber yang diwawancara adalah Drs. Soedarmono, beliau adalah ahli sejarah Kota Solo dan juga merupakan dosen sejarah di Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3

Sumber wawancara:

(1) Ir Arif Nurhadi sebagai Kepala Bidang Cagar Budaya Dinas Tata Kota Surakarta,

(2) Drs. Soedarmono sebagai Pakar Sejarah Kota Solo dan Dosen Sejarah Uiversitas Sebelas Maret (UNS), dan

(3) Ir. Tri Suryo Kuncoro dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surakarta, dan juga sebagai pengamat sejarah Kota Solo.

(4) Pak Budi dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Surakarta.

(38)

21

Tabel 4. Jenis, Sumber, Cara Pengambilan Data, dan Bentuk Data

No Jenis Data Sumber Cara Pengambilan

Data

Bentuk Data KONDISI UMUM

1. Jumlah dan Kepadatan Penduduk (Demografi)

BPS Studi Pustaka Tabel, Deskripsi 2. PromosiWisata Disparbud Wawancara,

Studi Pustaka

Gambar, Deskripsi 3. Program dan Rencana

Pemerintah Kota

Dinas Tata Kota, Dishub Wawancara, Studi Pustaka Gambar, Deskripsi 4. Tingkat Kunjungan Wisatawan

Disparbud Studi Pustaka Tabel, Deskripsi 5. Persepsi serta keinginan

pengunjung

Lapangan Kuesioner Diagram,

Deskripsi 6. Lalu Lintas Jalan Slamet

Riyadi

Dishub Studi Pustaka Deskripsi

ASPEK BIOFISIK

7. Batas wilayah perencanaan Dinas Tata Kota, Lapangan

Observasi Peta, Deskripsi 8. Aksesibilitas dan Sirkulasi Lapangan Observasi Peta, Deskripsi 9. RTRW Kota Surakarta Dinas Tata Kota Studi Pustaka Peta, Deskripsi 10. Kemiringan Tanah Dinas PU Studi Pustaka Tabel, Deskripsi 11. Iklim dan Kenyamanan BMG Studi Pustaka Deskripsi 12. Vegetasi Dinas Pertamanan, Studi Pustaka,

Wawancara, Pengamatan

Foto, Tabel, Deskripsi 13. Struktur Perkerasan

dan Utilitas Jalan Slamet Riyadi.

Dinas Tata Kota Dinas PU, Lapangan,

Pengamatan, Wawancara,

Gambar, Deskripsi 14. Fasilitas Wisata Lapangan, Dinas Tata

Kota

Pengamatan, Wawancara

Foto, Deskripsi

ASPEK SEJARAH

15. Perubahan Karakter Lanskap Responden Ahli Wawancara, Studi Pustaka

Gambar, Deskripsi. ASPEK BUDAYA

16. Hasil Kebudayaan Disparbud Wawancara, Studi Pustaka

Tabel, Deskripsi

ASPEK WISATA

17. Obyek Wisata Responden Ahli, Disparbud, Lapangan Studi Pustaka, Wawancara, Pengamatan Peta, Foto, Deskripsi 18. Atraksi Wisata Disparbud, Lapangan Studi Pustaka,

Wawancara,

Peta, Foto, Deskripsi

3.5.3. Analisis

Tahap analisis dilakukan untuk memenuhi tujuan identifikasi dan analisis terhadap sumbar daya wisata sejarah dan budaya. Analisis yang dilakukan berupa analisis deskriptif dan analisis spasial. Analisis dilakukan pada aspek berikut: aspek biofisik, aspek sejarah, aspek budaya, dan aspek wisata. Penggabungan

(39)

analisis dari berbagai aspek tersebut merupakan peta komposit yang merupakan hasil akhir dari analisis. Adapun peta komposit merupakan overlay dari analisis aspek sejarah, aspek budaya, sub aspek obyek dan sub aspek atraksi wisata (Gambar 5). Hasil analisis kemudian digunakan sebagai dasar tahap selanjutnya yaitu tahap sintesis.

Gambar 5. Overlay Data Peta Komposit

Aspek biofisik dilakukan untuk mengetahui karakteristik kawasan yang direncanakan. Analisis dilakukan terhadap seluruh sub aspek, baik secara deskriptif maupun analisis spasial. Analisis spasial dilakukan pada sub aspek sirkulasi karena sub aspek ini sangat berhubungan aktivitas wisata yang direncanakan. Selanjutnya pada sub aspek iklim dan kenyamanan, untuk mendapatkan gambaran mengenai derajat kenyamanannya digunakan rumus

Thermal Humidity Index/THI (Fandelli dan Muhammad 2009):

Analisis aspek sejarah dilakukan dengan metode penelusuran sejarah, yaitu analisis sejarah perkembangan kota. Dari analisis yang dilakukan didapatkan zonasi umum perkembangan kota pada masa lampau.

Pada aspek budaya, analisis yang dilakukan adalah analisis bentuk kebudayaan. Analisis yang dilakukan menghasilkan zonasi kawasan modern, moderat, dan tradisional. Pembagian kawasan ke dalam tiga zona tersebut perlu

Dengan ; T = suhu udara (ºC),

RH = kelembaban nisbi udara (%). THI = 0,8 T + (RH x T)

(40)

23

dilakukan untuk mempertahankan karakter zona yang masih bersifat tradisional dan meningkatkan citra zona modern dan moderat agar mendukung kegiatan wisata zona tradisional.

Analisis aspek wisata dilakukan pada sub aspek obyek wisata dan atraksi wisata. Pada analisis obyek wisata, analisis yang digunakan adalah analisis daya tarik wisata andalan. Sedangkan pada analisis atraksi wisata digunakan analisis persebaran atraksi wisata.

Tabel 5 menerangkan kriteria pembobotan dalam analisis sumber daya wisata dengan pendekatan kualitas obyek wisata pada obyek-obyek wisata sejarah dan budaya. Kriteria yang digunakan merupakan modifikasi dari Pedoman dan Daya Tarik Wisata Andalan oleh Depbudpar (2001), sedangkan pembobotan menggunakan metode wawancara dengan tiga responden ahli4. Ketiga proporsi bobot dari masing-masing pakar kemudian diambil rata-rata dan digunakan sebagai dasar pembobotan (Tabel 5).

Tabel 5. Kriteria Pembobotan dalam Analisis Daya Tarik Obyek Wisata

Aspek Bobot* Kriteria Nilai

Nilai Historis 35%

Internasional 30

Nasional 20

Lokal 10

Keaslian Arsitektural

dan Tata Ruang 33,3%

Tinggi 30

Sedang 20

Rendah 10

Lingkungan sekitar

18,3%

Asli dan Mendukung 30

Tidak Asli tapi Mendukung 20

Tidak Mendukung 10

Nilai Edukasi 13,3%

Tinggi 30

Sedang 20

Rendah 10

Ket : *) Hasil penilaian respondenr ahli (expert judgement). Sumber : Depbudpar 2001 (Modifikasi)

4

Responden ahli yang diwawancara:

(1) Ir Arif Nurhadi sebagai Kepala Bidang Cagar Budaya Dinas Tata Kota Surakarta,

(2) Drs. Soedarmono sebagai Pakar Sejarah Kota Solo dan Dosen Sejarah Uiversitas Sebelas Maret (UNS), dan

(3) Dr. Ir. Nurhayati H.S. Arifin, M.Sc. sebagai Dosen M.K. Pelestarian Sejarah Budaya Lanskap Institut Pertanian Bogor.

(41)

Aspek sejarah mempunyai tiga kriteria, yaitu: internasional, nasional, dan lokal. Obyek wisata dengan kriteria internasional merupakan obyek sejarah budaya yang mempunyai hubungan langsung dengan pemerintahan bangsa lain dan juga mempunyai aspek wisata yang menarik dan unik hanya terdapat di Kota Solo yang bertaraf internasional. Sedangkan kriteria nasional diperuntukkan bagi obyek yang memiliki peranan penting bagi perkembangan sejarah budaya bangsa Indonesia. Adapun kriteria lokal ditujukan untuk obyek yang menjadi sentra aktivitas kebudayaan bagi masyarakat setempat.

Aspek keaslian arsitektural dan tata ruang dibagi ke dalam tiga kriteria, yaitu: tinggi, sedang, dan rendah. Kriteria tinggi adalah untuk obyek wisata yang berupa area dengan keaslian arsitektural lebih dari 50%. Sedangkan kategori sedang obyek wisata berupa area dengan keaslian di bawah 50% atau obyek wisata berupa node dengan keaslian arsitektural di atas 50%. Adapun kategori tinggi adalah obyek berupa node dengan perubahaan di bawah 50% atau obyek yang dari awalnya memang sengaja dibangun sebagai sentra budaya tetapi tidak mempunyai sejarah khusus.

Aspek lingkungan sekitar dibagi ke dalam tiga kriteria, yaitu: asli dan mendukung, tidak asli tapi mendukung, dan tidak mendukung. Kriteria asli dan mendukung adalah kriteria bagi obyek yang lingkungan sekitarnya dari dulu mempunyai peruntukan yang sama dengan saat ini dan mendukung untuk kegiatan wisata, contohnya adalah pasar tradisional dan pemukiman. Sedangkan contoh dari kriteria tidak asli tapi mendukung adalah lingkungan berupa hotel, restoran, dan gallery. Adapun kriteria tidak mendukung adalah bagi obyek yang lingkungan sekitarnya tidak mendukung kegiatan wisata sejarah budaya, seperti diskotik.

Aspek edukasi dibagi ke dalam tiga kriteria, yaitu: tinggi, sedang, dan rendah. Kriteria tinggi diberikan untuk obyek yang mempunyai nilai tinggi dalam memberikan edukasi kepada masyarakat dan wisatawan, contohnya adalah: museum, gallery, obyek yang mempunyai atraksi wisata reguler, dan lain-lain. Sedangkan nilai sedang diberikan kepada obyek yang juga mempunyai nilai edukatif, tapi lebih bersifat pasif, contohnya: bangunan, tugu, monumen, patung, obyek wisata yang mempunyai atraksi wisata temporal, dan lain-lain. Adapun

(42)

25

kriteria rendah diberikan pada obyek-obyek yang nilai edukatifnya sangat rendah, contohnya: obyek sejarah yang beralih fungsi atau kurang bersifat publik.

Selanjutnya hasil dari skoring penilaian daya tarik wisata dispasialkan ke dalam tiga kelas zona obyek, yaitu kualitas rendah, sedang, dan tinggi. Untuk mendapatkan selang interval tiga kelas tersebut adalah dengan menggunakan rumus statistik Sturges (Tentua 2010):

Rumus di atas juga bisa digunakan untuk mencari selang interval pada skoring yang lain. Variabel K bisa dirubah sesuai dengan jumlah kelas yang diinginkan. Dalam penelitian, rumus ini akan digunakan dua kali, yaitu penentuan selang interval pada analisis obyek wisata dan peta komposit.

3.5.4. Sintesis

Dari hasil analisis seluruh data dan overlay peta, maka dihasilkan solusi berupa alternatif terbaik pengembangan ruang yang direncanakan dalam bentuk

block plan/rencana blok. 3.5.5. Penyusunan Konsep

Tahap konsep merupakan dasar sebelum tahap perencanaan. Pada tahap ini ditentukan konsep dasar perencanaan yang terdiri dari konsep dasar rencana lanskap dan konsep dasar jalur interpretasi. Konsep dasar kemudian dikembangan, terdiri dari konsep ruang, konsep sirkulasi , konsep jalur interpretasi, dan konsep aktivitas dan fasilitas.

3.5.6. Perencanaan Jalur Interpretasi

Pada rencana jalur interpretasi, kawasan dibagi ke dalam beberapa segmen jalur interpretasi berdasarkan analisis pada tahap sebelumnya. Tiap segmen tersebut ditentukan tema yang sesuai berdasarkan karakter dominan zona tersebut. Selanjutnya perencanaan jalur interpretasi ini dilanjutkan sampai tahap perencanaan lanskapnya.

Dimana ; IK = Interval Kelas Range = selisih nilai antar kelas

(nilai tertinggi - nilai terendah) K = Jumlah kelas yang diinginkan

IK = Range

Referensi

Dokumen terkait

Di daerah kauman pada bulan puasa seperti ini muncul pasar yang menjual berbagai macam jajanan pasar// munculnya pedagang jajanan ini pada bulan puasa yang ada di daerah kauman

Saat ini di Indonesia telah ada sekitar 20 perusahaan Asuransi Umum yang memiliki unit syariah (takaful window) dan 2 perusahaan Asuransi Umum yang telah menjadi

Kalus tebu klon PS 862, PS 864, PS 881, dan VMC 86-550 pada media MS+1,5 mg/l 2,4-D dimulai dari perlakuan I (induksi kalus tebu selama 3 minggu); S1 (pemeliharaan kalus

Sebelum adanya program FEWS atau saat terjadinya banjir bandang tahun 2010, masyarakat belum memiliki sistem peringatan dini (wawancara KSB Wates, Beringin,)

Keraton berikutnya adalah keraton Lamo (kini menjadi lokasi.. Diseminarkan pada Seminar Kenaikan Jabatan dari Lektor ke Lektor Kepala pada tingkat fakultas, FKIP Unsri pada

 Inflasi Kota Bengkulu bulan Agustus 2017 terjadi pada empat kelompok pengeluaran, di mana kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga mengalami Inflasi tertinggi sebesar

Ngunjung adalah upacara tahunan yang diadakan di makam keramat. Tujuannya untuk meminta berkah agar masyarakat bisa menjaga dan meningkatkan kehidupan yang lebih

Skripsi oleh Tri (2014) yang berasal dari Universitas Jember berjudul “Analisis Diksi dan Stilistika Genetis pada Lirik Lagu Ebiet G. Penelitian ini membahas tentang