• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Jalan Slamet Riyadi

2.2.1. Karakteristik

Menurut Malik (2007), pada abad ke-19 tepat berhadapan dengan benteng

Vastenberg, menjadi pusat pemukiman Belanda yang dinamakan Kampung Baru.

Di pusat pemukiman Belanda terdapat jalan ke arah barat menuju Kartasura dan ke Semarang. Santoso (2008) mengemukakan jalan yang lurus dan lebar tersebut memanjang dari barat ke timur membagi Solo menjadi dua bagian, yaitu bagian utara yang telah tercemar (profane) dan bagian selatan yang sakral. Kompleks Keraton dan kedua alun-alun termasuk ke dalam bagian Kota Selatan yang sakral (Santoso 2008). Dengan dibukanya jalan menuju Semarang, terjadi pertumbuhan ekonomi dan kultural pada masyarakat Solo. Sejak itu keberagaman etnis, tradisi dan kesenian tumbuh di masyarakat wilayah utara dan selatan kota (Malik 2007).

Jalan yang pada mulanya dinamakan Wihelminaan ini sekarang bernama Jalan Slamet Riyadi (Malik 2007). Jalan ini merupakan jalan utama/arteri di pusat Kota Surakarta yang menghubungkan bagian timur dan barat Subosuka dan juga menghubungkan Surakarta dengan Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya (Hadi 2001). Selain itu, di Jalan Slamet Riyadi terdapat sebuah rel kereta api yang menyatu dengan jalan dan berada di sebelah selatan jalan. Rel kereta api yang merentang di Jalan Slamet Riyadi ini, adalah rel jurusan Solo-Wonogiri (Primartantyo 2008).

Jalan Slamet Riyadi memiliki nilai-nilai sejarah dan budaya yang sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan obyek-obyek sejarah kolonial dan budaya Jawa yang masih terlihat hingga saat ini, termasuk kedua keraton, yaitu. Kasunanan dan Mangkunegaran. Menurut Hadi (2001), pusat kota berkembang di sekitar kedua keraton, yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran, menjadi daerah perdagangan, jasa perkantoran, hiburan, dan wisata yang pada awalnya merupakan pusat pemerintahan. Jalan Slamet Riyadi, juga ikut berkembang menjadi daerah komersial, niaga, dan jasa.

2.2.2. Rencana Pengembangan

Zaida (2004) memaparkan bahwa di sepanjang Jalan Slamet Riyadi yang diperuntukkan sebagai perkantoran, pertokoan, dan jasa pelayanan, dalam perencanaanya dapat dikembangkan dengan desain bangunan atau perabot jalan

(street furniture) yang mengacu pada arsitektur tradisional, sehingga tercipta kesatuan ruang. Dari hasil perencanan kawasan ini, dapat dikembangkan kegiatan wisata budaya yang dipadukan dengan wisata belanja. Rejeki (2006) menyatakan bahwa bangunan-bangunan di sepanjang Jalan Slamet Riyadi juga menampilkan bangunan bercorak kolonial-jawa sebagai ciri khas Kota Surakarta.

Lebih lanjut Rejeki (2006) menyampaikan bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Solo saat ini telah mengembangkan konsep city walk di sepanjang Jalan Slamet Riyadi sehingga bisa digunakan untuk berjalan dan menarik para wisatawan. Pada tahap awal pengembangan city walk, Pemkot Surakarta telah menata pedagang kaki lima (PKL) dengan menertibkan dan membangun shelter PKL. Solo City Walk dibangun di sebelah selatan Jalan Slamet Riyadi, mulai dari Purwosari hingga ke Bundaran Gladak dan Pasar Gede. Jalur pedestrian dilebarkan dengan cara menghilangkan jalur lambat dan menggabungkannya dengan trotoar yang sudah ada sehingga terbentuk jalur pedestrian baru selebar lima meter. Jalur pedestrian ini dilengkapi dengan kursi-kursi bagi pejalan kaki, taman, dan penambahan pepohonan.

Selanjutnya Primartantyo (2008) menyebutkan bahwa PT Kereta Api telah mempertimbangkan untuk mengoperasikan trem di jalur kereta api yang merentang sepanjang jalan utama Kota Surakarta ini. Trem beroperasi di sejumlah kota Indonesia sejak zaman Belanda. Setelah zaman merdeka, perlahan trem-trem ini dihentikan operasinya dan diganti bus kota sebagai angkutan massal. Selain sebagai angkutan, trem juga bisa diarahkan untuk paket wisata, sepanjang jalur kereta di pinggir Jalan Slamet Riyadi banyak bangunan bersejarah seperti Museum Radya Pustaka, Keraton, dan lainnya.

2.3. Wisata

2.3.1. Pengertian Wisata

Menurut Gunn (1993), wisata merupakan perjalanan sementara yang dilakukan orang menuju sebuah tujuan selain tempat asal mereka bekerja dan tinggal, mereka melakukan aktivitas selama di tujuan tersebut dan fasilitas-fasilitas dibuat untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Menurut Pendit (2002), wisata sebagai istilah bahasa Indonesia adalah padanan istilah bahasa Inggris tourism yang dipakai oleh Negara-negara Eropa

13

Barat dan travel oleh orang Amerika Utara, yang mengandung makna ‘kepergian orang-orang, dalam jangka waktu pendek, sementara, ke tempat-tempat tujuan diluar tempat tinggal dan bekerja sehari-harinya serta kegiatan-kegiatan mereka selama berada ditempat-tempat tujuan tersebut untuk berbagai motivasi asal usaha mereka tidak untuk mencari nafkah. Wisata adalah salah satu jenis industri baru yang mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup serta menstimulasi sektor-sektor produktif lainnya.

2.3.2. Wisata Sejarah

Untuk sumber-sumber sejarah, tipe pengembangan dapat dilakukan pada obyek-obyek seperti: tempat yang bersejarah, arsitektur bersejarah, tempat yang suci, museum yang menggambarkan berbagai era sejarah, pusat budaya, pawai sejarah, festival, landmark, dan taman bersejarah. Untuk keperluan wisata, tapak, stuktur, serta kegiatan yang berkaitan dengan tempat tersebut merupakan dasar atraksi wisata (Gunn 1993).

Menurut Gunn (1993), perlu usaha lebih agar pemilik situs-situs sejarah yang vital terdorong agar mempercayakan wewenang perlindungan dan pengelolaan kepada pihak negara. Dibutuhkan sebuah program untuk meningkatkan dorongan guna pelestarian kembali sumber-sumber sejarah. Hal ini dapat diantisipasi dengan pembuatan zona baru yang berhubungan dengan aspek sejarah guna identifikasi sumber-sumber sejarah selama proses perencanaan keseluruhan.

Suatu daerah tertentu sedikit banyaknya memiliki ciri sejarah berupa benda acuan (landmark). Pengetahuan terhadap letak dan kegunaan benda acuan ini sangat berharga untuk suatu penafsiran terhadap daerah yang akan dikelola secara menyeluruh, juga dalam hal meletakkan tampilan khusus dan menjadikannya sebagai pusat perhatian. Beberapa aspek pada tapak yang merupakan ciri sejarah: rute bersejarah, bangunan bersejarah, tapak bersejarah (Chiara dan Koppelmen 1994).

2.3.3. Wisata Budaya

Lanskap wisata sejarah juga sangat berkaitan erat dengan budaya masyarakat lokal karena hasil interaksi serta persepsi masyarakat lokal terhadap warisan sejarah merupakan kebudayaan yang tidak ternilai harganya. Menurut Marbun (1994), kota Indonesia masa kini dan masa depan tidak perlu menjiplak model dari dunia luar, tetapi harus menggali nilai-nilai/budaya Indonesia dan memadukan secara harmonis sesuai dengan kemajuan teknologi.

Wisata budaya adalah wisata yang dilakukan atas dasar keinginan, untuk memperluas pandangan hidup seseorang dengan jalan mengadakan kunjungan atau peninjauan ke tempat lain atau keluar negeri, mempelajari keadaan rakyat, kebiasaan, dan adat istiadat mereka, cara hidup mereka, budaya dan seni mereka. Perjalanan ini sering disatukan dengan kesempatan-kesempatan mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan budaya, seperti eksplorasi seni, atau kegiatan yang bermotif kesejarahan dan sebagainya (Pendit 2002).

2.4. Jalur Interpretasi 2.4.1. Pengertian Interpretasi

Tilden dalam Sharpe (1982) mengemukakan bahwa interpretasi adalah aktivitas pendidikan yang bertujuan untuk mengungkapkan makna dan asal-usul sebuah obyek bersejarah dengan berbagai media ilustrasi. Selanjutnya Sharpe (1982) menyimpulkan bahwa interpretasi merupakan hubungan komunikasi antara pengunjung dengan obyek yang dikunjunginya.

Knudson dalam Damayanti (2003) menyatakan bahwa interpretasi adalah mengkomunikasikan arti sebuah tempat dan kejadian, serta memunculkan makna-makna yang tersembunyi. Secara umum, interpretasi adalah penerjemahan dari fenomena sejarah, budaya, dan alam sehingga para pengunjung dapat memahami dengan baik dan menikmati apa yang disampaikan.

2.4.2. Teknik dalam Pengembangan Jalur Interpretasi

Peter Howard dalam Riyanto (2008) mengulas tentang interpretation in

practice dan beberapa butir penting menyangkut hal ini antara lain adalah:

1) interpretasi merupakan salah satu dari tiga bagian utama heritage selain konservasi dan manajemen;

15

2) interpretasi memiliki berbagai makna berkaitan dengan

mengkomunikasikan heritage kepada masyarakat yang meliputi interpretasi langsung dan kemasan (design);

3) persoalan dalam interpretasi antara lain adalah menyangkut apa yang harus disampaikan, bagaimana caranya, dan untuk siapa;

4) interpretasi dengan kemasan (design) akan menyangkut beberapa hal seperti:

a) diperlukan keahlian dalam mengemas (mendesain), b) sasarannya adalah kelima panca indra pengunjung,

c) bentuknya meliputi: pameran, leaflet, label, audio-video, sistem teknologi informasi (multi media), tata suara, musik, replika, contoh/peniruan,

d) prosesnya meliputi tiga tahapan: strategi, taktis, pelaksanaan.

Ham dalam Damayanti (2003) menyebutkan beberapa teknik presentasi interpretasi yaitu: (1) penyampaian lisan, tulisan; (2) pemandu perjalanan wisata; (3) brosur dan publikasi; (4) pameran; (5) penanda; (6) self-guided trails. Untuk mendukung pelaksanaan teknik interpretasi dibutuhkan kelengkapan interpretasi seperti tempat pameran, penanda, bangku, jalur, kelengkapan sepanjang jalur, dan amphitheater.

Gunn (1993) berpendapat bahwa untuk pengembangan wisata yang berkelanjutan dibutuhkan kontrol oleh pengelola, dalam hal ini pemerintah, dan pihak pengunjung demi kenyamanan mereka sendiri. Beberapa kontrol yang berpengaruh untuk menyeimbangkan penggunaan wisata dengan perlindungan situs-situs bersejarah yaitu pos masuk, pusat pengunjung, pelaksanaan peraturan yang santun dan efektif, pengelolaan sumber-sumber sejarah, pengenalan dan interpretasi lingkungan.

Salah satu kontrol yang paling penting adalah pusat interpretasi. Pusat interpretasi pengunjung adalah sebuah fasilitas dan program yang didesain untuk melengkapi pengetahuan dan wawasan pengunjung terhadap sumber-sumber wisata alami maupun budaya. Alokasi ruang untuk fasilitas pusat interpretasi terbukti telah membuat pengalaman wisatawan lebih mengenang dan tidak terlupakan (Gunn 1993). Hal ini karena pengunjung lebih mengetahui tempat mana saja yang harus dikunjungi sesuai dengan waktu yang dimiliki.

Dokumen terkait