• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelestarian Lanskap Sejarah Kota Baubau Sebagai Kota Pusaka Indonesia Di Provinsi Sulawesi Tenggara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelestarian Lanskap Sejarah Kota Baubau Sebagai Kota Pusaka Indonesia Di Provinsi Sulawesi Tenggara"

Copied!
175
0
0

Teks penuh

(1)

PELESTARIAN LANSKAP SEJARAH KOTA BAUBAU

SEBAGAI KOTA PUSAKA INDONESIA

DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA

RAY MARCH SYAHADAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa usulan penelitian berjudul Pelestarian Lanskap Sejarah Kota Baubau sebagai Kota Pusaka Indonesia di Provinsi Sulawesi Tenggara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2014

Ray March Syahadat

(4)

RINGKASAN

RAY MARCH SYAHADAT. Pelestarian Lanskap Sejarah Kota Baubau sebagai Kota Pusaka Indonesia di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh NURHAYATI HS ARIFIN dan HADI SUSILO ARIFIN.

Kota Baubau, di Pulau Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan salah satu kota prioritas dalam program kota pusaka Indonesia. Salah satu alasan ditetapkannya Baubau sebagai satu dari sepuluh kota prioritas dalam program tersebut yaitu kota ini memiliki kekayaan budaya dan sejarah yang tinggi, baik yang wujud maupun tak wujud. Tim kota pusaka telah melakukan inventarisasi aset pusaka makro dan juga membuat zonasi namun belum menyeluruh. Tujuan dari penelitian ini adalah menginventarisasi dan menganalisis karakter lanskap sejarah di Kota Baubau, mengkaji partisipasi masyarakat dalam mendukung Kota Baubau sebagai kota pusaka, dan menyusun strategi pelestarian lanskap sejarah di Kota Baubau. Metode yang digunakan antara lain penelusuran dan penilaian lanskap sejarah, survei kepada masyarakat, dan analytical hierarchy process.

Hasil yang diperoleh terdapat 17 lanskap sejarah yang merepresentasikan empat periode yaitu prakerajaan, kerajaan dan kesultanan, kolonial, dan pascakemerdekaan. Hasil analytical hierarchy process, menunjukkan bahwa komponen keunikan merupakan komponen prioritas dalam upaya pelestarian lanskap sejarah sedangkan alternatif prioritasnya yaitu peninggalan dengan karakter lanskap kerajaan dan kesultanan. Lanskap sejarah yang memiliki nilai prioritas yang tinggi antara lain lanskap Benteng Sorawolio, Keraton Buton, serta Baadia dan sambali. Zona yang ditetapkan oleh tim kota pusaka dengan perluasan berdasarkan hasil kajian pada penelitian ini, dapat memenuhi kriteria outstanding universal value of world heritage pada kriteria (i), (ii), (iii), dan (iv).

Berdasarkan hasil survei kepada 359 responden, sebanyak 61% masyarakat tidak mengetahui bahwa Baubau telah ditetapkan sebagai salah satu kota pusaka di Indonesia, namun mereka mengganggap bahwa seluruh lanskap sejarah harus dilestarikan. Pengetahuan mengenai kota pusaka, sejarah, dan objek sejarah di Baubau oleh masyarakat yang tinggal di pinggir kota lebih rendah dibandingkan masyarakat yang tinggal di tengah kota. Masyarakat umumnya ingin terlibat sebagai pengontrol pelestarian lanskap sejarah di Baubau. Masyarakat juga ingin melestarikan kebudayaan-kebudayaan yang rentan hilang, asalkan memiliki manfaat ekonomi. Strategi pelesetarian yang diberikan antara lain kebijakan perlindungan, peningkatan keterlibatan masyarakat, dan penataan lanskap sejarah. Kata kunci: analytical hierarchy process, karakteristik lanskap, outstanding

(5)

SUMMARY

RAY MARCH SYAHADAT. Historical Landscape Preservation of Baubau City as Indonesian Heritage City at Southeast Sulawesi Province. Supervised by NURHAYATI HS ARIFIN and HADI SUSILO ARIFIN.

Baubau City, on Buton Island, Southeast Sulawesi Province is one of the priorities in the program city heritage city of Indonesia. The reason for the adoption Baubau as one of the ten cities in the priorities of the program is that the city has a rich culture and history, both tangible and intangible. The heritage city team has conducted an inventory of heritage assets and also zoned the priority area but not comprehensive. The objectives of this study to inventory and analyze historical heritage landscape character of Baubau, assess public participation in support of Baubau as heritage city, and historical landscape preservation strategy. Methods used are historical landscape assessment, public participatory survey, and the analytical hierarchy process.

The result of this study there were 17 historical landscapes type were divide into four characters that are representation pre of kingdom era, kingdom, colonial, and post independence. The results of analytical hierarchy process, uniqueness component was the priority compenent and the kingdom landscape was the alternative priority to preserve. Historical landscape that have a high priority value among other landscape are Sorawolio Fortress, Buton Kraton, and Baadia and sambali. Extension zone based on results of this study may meet the criteria of outstanding universal value of world heritage criteria (i), (ii), (iii), and (iv).

Based on the results survey of 359 respondents, 61% of people didn’t know Baubau as Indonesian heritage city but they consider the whole historical landscapes should be preserved. Knowledge of heritage city, history, and historical objects of Baubau by people who live in the suburbs is lower than people who live in the center of the city. The public generally want to be involved as controller in the historical landscape preservation. The public also wants to preserve the cultures were susceptible lost, as long as it has economic benefits. Preservation strategy provided include protection policies, increased community involvement, and arrangement of historical landscape.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

PELESTARIAN LANSKAP SEJARAH KOTA BAUBAU

SEBAGAI KOTA PUSAKA INDONESIA

DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala yang telah memberi kekuatan dan hidayah sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Penelitian dengan judul Pelestarian Lanskap Sejarah Kota Baubau sebagai Kota Pusaka Indonesia di Provinsi Sulawesi Tenggara dipilih karena terdorong oleh keinginan penulis untuk dapat memberikan kontribusi kepada Kota Baubau yang akan dipersiapkan oleh Kementrian Pekerjaan Umum melalui Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) menjadi World Heritage City yang diakui oleh UNESCO.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr Ir Nurhayati HS Arifin, MSc dan Prof Dr Hadi Susilo Arifin, MS yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama kegiatan penyusunan tesis ini. Kepada Dr Ir Aris Munandar, MS dan Dr Ir Alinda F.M. Zain, MSi sebagai dosen penguji yang memberikan banyak masukan untuk tesis ini. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Kementrian Kordinasi Kesejahteraan Rakyat atas dukungan yang diberikan dalam keterkaitannya dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Pusaka. Selanjutnya, kepada rekan-rekan Pascasarjana Arsitektur Lanskap 2012 dan seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Kepada keluarga yang telah memberikan dorongan yang tulus baik moril maupun materil, penulis juga tak lupa mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya.

Bogor, November 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Lanskap Sejarah 4

Pusaka dan Warisan 5

Pelestarian Lanskap 5

World Heritage 6

Kota Pusaka 7

Kota Baubau 8

3 METODE 10

Lokasi dan Waktu Penelitian 10

Metode Pengumpulan Data dan Informasi 10

Analisis 10

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 18

Analisis Situasional 18

Konsep Ruang 19

Karakter Lanskap Sejarah 21

Analisis Kualitas Lanskap Sejarah 57

Analisis Prioritas Pelestarian 59

Survei Masyarakat 61

Signifikansi Kawasan Prioritas Kota Pusaka Baubau 66 Strategi Pelestarian Lanskap Sejarah Kota Baubau 68

5 SIMPULAN DAN SARAN 73

Simpulan 73

Saran 73

DAFTAR PUSTAKA 74

(12)

DAFTAR TABEL

1 Daftar nama narasumber 11

2 Sepuluh kriteria Outstanding Universal Value World of Heritage 12

3 Kriteria penilaian kualitas lanskap 13

4 Daftar peserta focus group discussion 16

5 Penyusun karakter masing-masing lanskap sejarah Kota Baubau 23 6 Hasil penilaian lanskap sejarah prioritas Kota Baubau 60

7 Pengetahuan masyarakat mengenai kota pusaka 61

8 Persepsi masyarakat perihal pelestarian lanskap sejarah Kota Baubau 62 9 Hasil uji chi-square berdasarkan latar belakang responden 64

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran 4

2 Lokasi penelitian Provinsi Sulawesi Tenggara (kiri) dan Kota Baubau

(kanan) 10

3 Rancangan struktur hierarki menunjukkan komponen dan variabel

yang diperbandingkan 17

4 Rencana tata ruang wilayah Kota Baubau tahun 2011-2030 18

5 Peta zonasi kota pusaka Baubau 19

6 Pola perkembangan Kota Baubau yang mengikuti pola perahu 20 7 Pola wilayah Kesultanan Buton yang mengikuti pola perahu 21

8 Peta sebaran lanskap sejarah Kota Baubau 22

9 Lanskap pesisir tua dan Labalawa 24

10 Benteng Kalampa 25

11 Lanskap Keraton Buton 26

12 Benteng Keraton Buton 27

13 Kamali Kara (kiri) dan Kamali Bata (Kanan) 29

14 Lanskap Baadia dan Sambali 30

15 Benteng Baadia 31

16 Kamali Baadia Bau (kiri) dan Kamali Baadia Masae (kanan) 31

17 Lanskap Benteng Sorawolio 33

18 Benteng Sorawolio 1 (kiri), Mesjid Sorawolio (tengah), dan Benteng

Sorawolio 2 (kanan) 34

19 Lanskap Waborobo 35

20 Air Matapu 36

21 Lanskap Lowu-Lowu dan Kolese 36

22 Benteng Lowu-Lowu 37

23 Lanskap Liwuto Makasu serta Perairan Selat dan Teluk Buton 38 24 Perairan Selat dan Teluk Buton dari Liwuto Makasu 38

25 Lanskap Lipu Katobengke dan sekitarnya 39

26 Pengrajin gerabah (kiri), permukiman tradisional (tengah), dan situs

megalitik Batu Ajara (kanan) 40

27 Lanskap Wajo 41

28 Rumah bonto ogena (kiri) dan Gedung SKOPMA (kanan) 41

(13)

30 Tiga buah rumah tua di Loji 43

31 Lanskap Ciacia dan Kaisabu 44

32 Papan nama jalan menggunakan aksara hangeul 45

33 Lanskap Kolonial dan Awal Kemerdekaan 46

34 Rumah asisten residence 47

35 Letter Buton tahun 1932 (kiri), Letter Buton tahun 1950an (tengah),

dan Letter Buton kini (kanan) 47

36 Kawasan Lingkar Jalan Balai Kota dan Jalan Letter Buton dari laut

(1920-1940) 48

37 Kamali Baubau 48

38 Kamali Batulo (kiri) dan Malige (kanan) 49

39 Rumah kenepulu yang dipasangi spanduk bahwa rumah tersebut

dijual 50

40 Lanskap Pecinan 51

41 Kawasan pecinan dulu (kiri) dan kini (kanan) 52

42 Lanskap Palabusa 53

43 Lanskap Wakonti 53

44 Lanskap Ngkaring-Ngkaring 54

45 Sawah Ngkaring-Ngkaring 55

46 Permukiman Ngkaring-Ngkaring (kiri), wantilan dan bale kul-kul

(tengah), serta Pura Ngkaring-Ngkaring (kanan) 55

47 Lanskap Waliabuku 56

48 Baruga Waliabuku (kiri), rumah etnis Liabuku (tengah), dan rumah

etnis Bugis (kanan) 57

49 Hasil skoring penilaian komponen keaslian 58

50 Hasil skoring penilaian komponen keunikan 58

51 Hasil skoring penilaian komponen nilai penting 59

52 Hasil skoring penilaian komponen kenyamanan 59

53 Komponen dan alternatif prioritas pelestarian lanskap sejarah Kota

Baubau 60

54 Pihak yang harus berperan dalam pelestarian lanskap sejarah Kota

Baubau 62

55 Pilihan masyarakat terhadap lanskap sejarah Kota Baubau yang harus

dilestarikan 62

56 Grafik hubungan pekerjaan dan pengetahuan mengenai Baubau sebagai kota pusaka (a) dan hubungan pekerjaan terhadap

pengetahuan mengenai kota pusaka (b) 63

57 Grafik hubungan tingkat pendidikan dan pengetahuan mengenai Baubau sebagai kota pusaka (a) dan hubungan etnis terhadap

pengetahuan mengenai kota pusaka (b) 65

58 Grafik hubungan kecamatan dan pengetahuan mengenai sejarah Buton di Baubau (a) dan hubungan kecamatan terhadap peninggalan

pusaka di Baubau (b) 65

59 Grafik hubungan kecamatan terhadap lanskap Palabusa sebagai lanskap yang harus dilestarikan (a) dan hubungan kecamatan terhadap lanskap Ngkaring-Ngkaring sebagai lanskap yang harus

dilestarikan (b) 66

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Buton merupakan sebuah pulau di selatan semenanjung Provinsi Sulawesi Tenggara. Setidaknya ada empat pengertian mengenai nama Buton yaitu: (1) nama yang diberikan untuk sebuah pulau, (2) nama kerajaan atau kesultanan, (3) nama sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara, (4) nama untuk menyebut orang Buton (Zuhdi 2010). Buton yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu Buton dalam makna untuk menyebut orang Buton yang terdiri dari 30 etnis, yang dulunya merupakan bagian dari Kerajaan dan Kesultanan Buton.

Nama Buton sebagai kerajaan diperkirakan telah berdiri sebelum Majapahit menyebutnya sebagai salah satu daerah kekuasaannya. Hal tersebut dapat dilihat dalam Negarakertagama karya Prapanca yang mengungkapkan nama Buton. Dikatakan bahwa Buton merupakan negeri keresian, terbentang taman, lingga, terdapat saluran air, dan pemimpinnya bergelar Yang Mulia Mahaguru (Adji 2013). Melalui catatan tersebut dapat diperkirakan bahwa, saat naskah tersebut ditulis pada tahun 1365 tentunya Buton telah berpenghuni dan memiliki tatanan sosial maupun politik.

Jejak-jejak kejayaan Kerajaan dan Kesultanan Buton kini masih dapat ditemukan di Kota Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara yang dulunya merupakan Ibukota Kerajaan dan Kesultanan Buton. Melihat hal tersebut, maka sebenarnya Kota Baubau terbentuk melalui proses perjalanan sejarah yang begitu panjang. Meskipun UU No. 13 Tahun 2001 tentang terbentuknya kota administratif ini secara resmi baru dikeluarkan pada tahun 2001, tetapi secara sosial budaya kota ini tumbuh dan dipersiapkan sejak masa lampau.

Lahirnya Kota Baubau tidak bisa dilepaskan dari kota lama yang mendahuluinya. Baubau berasal dari kata bhau yang dalam bahasa setempat (Bahasa Wolio) berarti baru (Rabani 2012). Seperti yang diketahui, dahulu pusat kota merupakan kawasan Benteng Keraton Buton yang berada di bukit. Seiring berkembangnya perdagangan dan pusat aktivitas ekonomi, maka perluasan kota terjadi ke arah pantai dan kawasan inilah yang dikatakan Baubau yang artinya kota baru.

Kini Baubau menjadi salah satu dari sepuluh kota pusaka yang ada di Indonesia untuk dipersiapkan menjadi World Heritage City oleh Kementrian Pekerjaan Umum melalui Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP). Seperti yang dilansir dalam situs Kota Pusaka (2013), pengertian kota pusaka adalah kota yang memiliki kekentalan sejarah yang bernilai dan memiliki pusaka alam, pusaka budaya berwujud, dan pusaka budaya tidak berwujud, serta rajutan berbagai pusaka tersebut secara utuh sebagai aset pusaka dalam wilayah/kota atau bagian dari wilayah/kota yang hidup, berkembang, dan dikelola secara efektif.

(16)

2

didasarkan melalui UU Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010 dan UU Penataan Ruang nomor 26 tahun 2007.

Sebagai kota pusaka yang memiliki perkembangan sejarah yang panjang, seharusnya Baubau menjadi cerminan untuk melihat budaya dan sejarah Buton secara umum. Bukan hanya pusaka milik etnis Wolio yang merupakan etnis mayoritas di kota ini tapi juga pusaka dari etnis-etnis lain yang berada di wilayah bekas Kerajaan dan Kesultanan Buton yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan (Coppenger 2011). Setiap wilayah bekas Kerajaan dan Kesultanan Buton yang didiami oleh etnis tertentu, memiliki pembagian peran untuk saling melengkapi (Zuhdi 2010). Secara tidak langsung pembagian ruang di Kota Baubau saat ini serupa dengan riwayat-riwayat terdahulu tentang pembagian peran pada masing-masing perkampungan zaman dulu (Rudyansjah 2008). Hal ini tidak lepas dari falsafah yang diwarisi pada masa Sultan Laelangi yang berisi anjuran untuk saling menyegani, saling mengayomi, saling menyayangi, dan saling menghormati (Ramadhan 2012a).

Pusaka peninggalan bangsa lain yang pernah turut mengambil andil dalam perkembangan Kota Baubau pada masa lalu juga belum mendapatkan perhatian khusus. Data dari Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar menunjukkan hingga saat ini hanya ada 14 benda cagar budaya di Kota Baubau yang semuanya mewakili etnis Wolio. Hasil penelitian Rudyansjah (2008) juga menyatakan hingga saat ini dominansi etnis Wolio di pemerintahan masih menunjukkan eksistensinya. Hal ini tentu dapat menjadi ancaman dalam sudut pandang kebudayaan, bila atas dasar kekuasaan dimanfaatkan untuk melindungi kebudayaan etnis mayoritas.

Fenomena dominasi etnis tertentu menimbulkan perasaan termajinalkan pada sebagian etnis minoritas yang juga masih merupakan bagian dari Buton, meskipun sejauh ini tidak ada yang mengindikasikan hal tersebut sebagai sumber konflik (Tahara 2011; Ramadhan 2012a). Untuk itu perlu dilakukan kajian pelestarian lanskap sejarah Kota Baubau sebagai kota pusaka di Indonesia, untuk melihat apakah kota ini sudah mantap dalam melindungi pusaka peninggalan sejarahnya secara menyeluruh dan mewakili seluruh kelompok etnis di dalamnya. Mengingat Kota Baubau memiliki keragaman budaya yang tinggi dan menunjukkan kekayaan yang tidak dimiliki daerah lain. Bila pelestarian tidak dilakukan menyeluruh akan menimbulkan kerugian yang sangat berarti di masa yang akan datang

Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini mencakup hal-hal yang dituliskan di bawah ini:

1. Seperti apa karakteristik lanskap sejarah di Kota Baubau?

2. Apakah masyarakat terlibat dalam pelestarian dan adakah manfaatnya bagi masyarakat?

(17)

3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Menginventarisasi peninggalan sejarah serta menganalisis karakter lanskap Kota Baubau.

2. Mengkaji partisipasi masyarakat dalam mendukung Kota Baubau sebagai kota pusaka.

3. Menyusun strategi pelestarian lanskap sejarah di Kota Baubau.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai berikut: 1. Untuk kepentingan ilmu pengetahuan menganai lanskap sejarah. 2. Untuk melestarikan lanskap sejarah di Kota Baubau.

3. Upaya untuk mendukung Kota Baubau sebagai kota pusaka untuk menjadi

World Heritage City.

Ruang Lingkup

Lingkup penelitian ini dibatasi pada kajian lanskap sejarah di Kota Baubau dan dipertimbangkan pula wilayah lain yang memiliki hubungan erat. Konten bukan hanya pusaka tangible tetapi juga intangible baik peninggalan kebudayaan Buton, peninggalan zaman prakerajaan, kolonial, dan pascakemerdekaan yang memiliki keunikan tersendiri. Buton yang dimaksud ialah Buton dalam makna untuk menyebut orang Buton yang terdiri dari enam kelompok etnis utama, yang dulunya merupakan bagian dari Kerajaan dan Kesultanan Buton yang mengacu pada Zuhdi (2012). Pusaka yang dimaksud mengacu pada pengertian pusaka pada Kota Pusaka (2013).

Kerangka pikir dari penelitian ini yakni, Kota Baubau sebagai kota pusaka di Indonesia memiliki beberapa lanskap sejarah. Kawasan Keraton Buton merupakan lanskap yang difokuskan dalam P3KP dan telah dirumuskan ke dalam

heritage map dan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) Kota Baubau karena memiliki banyak peninggalan sejarah. Keadaan ini menimbulkan dampak positif sebab lanskap sejarah di Keraton Buton dapat terlindungi.

(18)

4

Gambar 1 Kerangka pemikiran

2

TINJAUAN PUSTAKA

Lanskap Sejarah

Lanskap merupakan bentang alam yang memiliki karakteristik tertentu dan keberadaannya dinikmati oleh panca indera manusia (Simonds dan Starke 2006). Lanskap sejarah secara sederhana dapat dinyatakan sebagai bentukan lanskap tempo dulu dan merupakan bentuk fisik dari keberadaan manusia di atas bumi ini (Harris dan Dines 1988).

(19)

5 artefak. Bentuk peninggalan ini menjadi suatu bukti yang membantu memahami suatu motif kesejarahan (Lennon dan Mathews 1996).

Lanskap sejarah adalah sebuah makna. Makna tersebut dapat digolongkan menjadi dua yaitu makna individual dan makna komunitas. Makna individual yaitu makna berupa memori, hasrat, kebahagian, ataupun melankolis seseorang pada suatu tempat pada periode waktu tertentu. Sedangkan makna komunitas sama seperti dengan makna individual tetapi diyakini sama oleh suatu kelompok atau komunitas. Keunikan lanskap sejarah yaitu pemaknaannya dapat secara individu, kelompok, ataupun individu dan kelompok (Melnick 2008).

Pusaka dan Warisan

Terdapat dua istilah yang sering didengar bahkan menimbulkan kebingungan dalam memproteksi peninggalan bersejarah di Indonesia, yaitu pusaka dan warisan. Pusaka dan warisan jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, keduanya mengacu pada kata heritage. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2013), pusaka adalah harta benda peninggalan orang yang telah meninggal, warisan, barang yang diturunkan dari nenek moyang. Selanjutnya, warisan berasal dari kata waris yang artinya sesuatu diwariskan, seperti harta, nama baik, dan harta pusaka.

Pusaka menurut Piagam Pelestarian dan Pengelolaan Pusaka Indonesia Tahun 2003 meliputi pusaka alam, pusaka budaya, dan pusaka saujana. Pusaka alam adalah bentukan alam yang istimewa. Pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari lebih 500 suku bangsa di tanah air Indonesia, secara sendiri-sendiri, sebagai kesatuan bangsa Indonesia dan dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah keberadaannya. Pusaka budaya mencakup pusaka berwujud (tangible) dan pusaka tidak berwujud (intangible). Pusaka saujana adalah gabungan pusaka alam dan pusaka budaya dalam kesatuan ruang dan waktu (Kota Pusaka 2013).

Penggunaan kata pusaka dalam kegiatan konservasi dimaksudkan untuk benar-benar memproteksi peninggalan-peninggalan bersejarah. Istilah warisan juga sesungguhnya memiliki kesamaan tetapi terdapat pemikiran bahwa warisan itu dapat dibagi dan dapat dijual sehingga menjadi kecil dan dapat habis sedangkan pusaka, akan dijaga sebaik-baiknya bahkan terus diturunkan ke generasi selanjutnya.

Baik pusaka maupun warisan sesungguhnya hanyalah sebuah istilah. Meskipun berbeda dalam penyebutan dan makna filosofis yang tergantung di dalamnya, namun penyebutan pusaka maupun warisan mempunya tujuan yang sama yakni melindungi kebudayaan baik benda maupun tak benda, agar dapat memantapkan jatidiri bangsa.

Pelestarian Lanskap

(20)

6

pengawetan, konservasi. Pelestarian adalah memperhatikan bangunan yang dimiliki nilai sejarah dan juga mempersoalkan berbagai nilai kemasyarakatan seperti benteng kota yang akrab dikatakan tata perumahan tradisional, maupun kerakyatan, kegiatan masyarakat, dan memelihara kebersihan lingkungan, pesta adat, keagamaan, dan budaya (Antonius 2013).

Tindakan pelestarian dibedakan menjadi enam yaitu preservasi, konservasi, rehabilitasi, restorasi, rekonstruksi, dan rekonstitusi. Preservasi ialah kegiatan mempertahankan suatu lanskap tanpa menambah maupun mengurangi bagiannya. Konservasi ialah kegiatan pencegahan bertambahnya kerusakan yang biasanya terdapat penggantian maupun penambahan. Rehabilitasi merupakan tindakan meningkatkan suatu standar yang bersifat lebih modern dengan tujuan memperkenalkan dan mempertahankan karakter sejarah. Restorasi merupakan pengembalian sebagaimana kondisi awal apabila terjadi sedikit kerusakan. Rekonstruksi yaitu kegiatan menciptakan kembali seperti kondisi awal karena kondisi eksisting sudah tidak ada lagi. Terakhir, rekonstitusi yaitu kegiatan menempatkan atau mengembalikan suatu kawasan sejarah yang sesuai dengan kondisi saat ini (Harris dan Dines 1988).

World Heritage

World heritage dapat dibedakan menjadi menjadi cultural heritage, natural heritage, dan mixed cultural and natural heritage (World Heritage Centre 2005). Cultural heritage dapat berupa:

1. Monumen: karya arsitektur, karya patung monumental, dan lukisan, elemen atau struktur yang bersifat arkeologis, prasasti, gua tempat tinggal dan kombinasi fitur, yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni, atau ilmu pengetahuan.

2. Kelompok bangunan: kelompok bangunan yang terpisah atau terhubung, karena arsitekturnya, homogenitas atau tempat dalam lanskap, yang memilki nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni, atau ilmu pengetahuan.

3. Situs: karya manusia atau karya gabungan alam dan manusia, dan daerah termasuk situs arkeologi yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sejarah, estetika, poin etnologis, atau pandangan antropologi.

Selanjutnya, natural heritage dapat berupa:

1. Fitur alam yang terdiri dari formasi fisik dan biologis atau kelompok formasi tersebut, yang memiliki nilai universal luar biasa dari titik pandang estetika atau sains.

2. Formasi geologi dan fisiografi yang merupakan habitat spesies terancam hewan dan tumbuhan nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang ilmu pengetahuan, atau konservasi.

(21)

7 Pada kasus perkotaan, World Heritage Centre (2005) menyatakan bahwa kelompok perkotaan yang memenuhi syarat menjadi prasasti di World Heritage List dikelompokkan ke dalam tiga utama kategori. Kategori pertama yaitu kota-kota yang tidak lagi dihuni, tetapi menyediakan perubahan arkeologi sebagai bukti dari masa lalu. Umumnya pada kategori ini kota tersebut memenuhi kriteria keaslian dan konservasi oleh negara dapat relatif mudah dikontrol. Kategori kedua yaitu kota-kota bersejarah yang masih dihuni dan sifatnya dapat dikembangkan dan akan terus berkembang di bawah pengaruh sosial-ekonomi dan perubahan budaya. Situasi yang membuat penilaian keaslian kota pada kategori ini lebih sulit dan setiap kebijakan konservasi lebih problematis. Kategori terakhir yaitu kota-kota baru dari abad kedua puluh yang memiliki kesamaan dengan kedua kategori sebelumnya. Organisasi perkotaan jelas dikenali dan keaslian mereka bisa dipungkiri, namun masa depan kota ini cenderung tidak jelas karena perkembangan mereka sebagian besar tak terkendali.

Kota Pusaka

Kota merupakan salah satu lingkungan kehidupan manusia. Kota sebagai ruang hidup yang dapat dikatakan paling kompleks karena perkembangannya dipengaruhi oleh aktivitas pengguna perkotaan yang dinamis karena dipengaruhi oleh tuntutan zaman dan tuntutan hidup. Perkembangan kota cenderung menekankan pada segi ekonomi (Mulyandari 2011).

Sebagaimana dilansir dari Kota Pusaka (2013), kota pusaka bermakna kota yang memiliki kekentalan sejarah yang bernilai dan memiliki pusaka alam, pusaka budaya berwujud dan pusaka budaya tidak berwujud, serta rajutan berbagai pusaka tersebut secara utuh sebagai aset pusaka dalam wilayah/kota atau bagian dari wilayah/kota yang hidup, berkembang, dan dikelola secara efektif.

Maksud dari dicanangkannya kota pusaka yakni untuk mewujudkan reformasi di bidang perencanaan dari tataran perencanaan RTRW ke arah aksi implementasi konkrit yang berbasis kekuatan ruang kota dengan nilai-nilai pusaka di dalamnya sebagai tema utama. Program ini juga dimaksudkan untuk mendorong diakuinya Kota Pusaka Indonesia sebagai Kota Pusaka Dunia oleh UNESCO.

Kota Pusaka memilki tujuan untuk mewujudkan ruang kota yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berbasis rencana tata ruang, bercirikan nilai-nilai pusaka, melalui transformasi upaya-upaya pelestarian menuju sustainable urban (heritage) development dengan dukungan dan pengelolaan yang handal serta penyediaan infrastruktur yang tepat menuju Kota Pusaka Dunia.

Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) diprioritaskan kepada kota/kabupaten anggota Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) mengingat kota/kabupaten tersebut sekurang-kurangnya telah memiliki komitmen dan kepedulian dalam melindungi kekayaan pusaka alam, budaya, dan saujana yang dimilikinya yang ditunjukkan disusunnya RTRW dan heritage map.

(22)

8

sejarah di Indonesia dan memiliki peran penting didalam melindungi, menata dan melestarikan aset-aset pusaka Indonesia.

Dari puluhan kabupaten/kota yang tergabung dalam JKPI, terpilih 26 kabupaten/kota yang menyatakan komitmennya dalam mendukung P3KP. Sebanyak 26 kabupaten/kota tersebut kemudian dibagi menjadi tiga kelompok yakni kelompok A, B, dan C yang pada intinya disesuaikan dengan tingkat pemahaman pusaka, kelengkapan dan kedalaman substansi proposal, kesiapan dan keseriusan daerah di dalam melaksanakan program P3KP (yang telah dan akan dilaksanakan), dan kompetensi SDM daerah terkait. Penjabaran ketiga kelompok tersebut sebagai berikut:

1. Kota dan kabupaten kelompok A yang telah memiliki kesiapan dan pengalaman dalam pengelolaan kawasan pusaka dan kepadanya akan diberikan fasilitasi penyusunan Rencana Manajemen Kota Pusaka (Heritage City Management Plan), fasilitasi awal dukungan pemangku kepentingan, dan fasilitasi kampanye publik.

2. Kota dan kabupaten kelompok B yang sudah memiliki identifikasi kawasan pusaka namun pengelolaannya masih terbatas dan kepadanya akan diberikan pendampingan capacity building tingkat lanjut agar pada tahun berikutnya siap menerima fasilitasi penyusunan Rencana Manajemen Kota Pusaka (Heritage City Management Plan).

3. Kota dan kabupaten kelompok C yang masih pada tahap persiapan dan kepadanya akan diberikan pendampingan capacity building tingkat dasar dan kemudian dipersiapkan untuk memperoleh fasilitasi capacity building

tingkat lanjutan.

Kota Baubau

Kota Baubau merupakan salah satu kota yang berada di Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebagai salah satu kota pusaka, Baubau masuk dalam kelompok A. Secara legal, Kota Baubau terbentuk menjadi daerah otonom dan mandiri lepas dari kabupaten induk (Kabupaten Buton) berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2001. Meskipun terbilang masih muda, Kota Baubau sesungguhnya memiliki catatan sejarah yang panjang, yang tidak bisa dipisahkan dengan kota lama yang mendahuluinya.

Sejarah Kota Baubau dimulai pada periode tahun 1226-1246 dengan dibangunnya pemukiman awal berupa dua buah kampung di daerah yang kini dikenal dengan kawasan Benteng Keraton Buton. Pada periode selanjutnya, permukiman berkembang dan akhirnya menjadi empat buah kampung. Pada periode tahun 1332-1511 ditandai dengan terbentuknya Kerajaan Buton dan empat perkampungan tersebut menjadi ibukota kerajaan (Azizu et al.2010). Hal tersebut didukung melalui salah satu kalimat dalam Negarakertagama pada tahun 1365 yang menyebut Butun (atau Buton) sebagai salah satu bagian wilayah Majapahit. Pada periode waktu tersebut hingga tahun 1900an, yang dikenal bukanlah Kota Baubau melainkan Negeri Butuni (Butun, Butung, atau Buton) (Adji 2013).

(23)

9 Benteng Keraton sebagai pusat pemerintahan kesultanan tidak berubah pada masa pemerintahan Hindia Belanda, namun terjadi pergeseran center of network yang terletak di sekitar pantai yang merupakan pusat pemerintahan dan administrasi pemerintah Hindia Belanda dijalankan. Pergerseran pusat kota dari wilayah Benteng Keraton Buton dari atas bukit menuju pantai berjarak sekitar 2 km. Inilah asal muasal penyebutan Kota Baubau yang dalam bahasa daerah setempat berarti kota baru (Rabani 2012).

Pada perkembangan selanjutnya, wilayah administrasi Buton yang berpusat di Baubau ditetapkan sebagai ibukota Afdeling Sulawesi Timur pada tanggal 11 September 1911. Penetapan ini dimuat dalam Lembaran Negara (Staatblad) tahun 1911 Nomor 606. Penetapan ini kian memperlancar dinamika ekonomi dan perubahan fisik ekologis kota Baubau. Secara fisik, kondisi ini ditandai dengan dibangunnya infrastruktur dan fasilitas kota oleh Belanda (Fahimuddin 2011).

Pada tahun 1952, terbentuk Kabupaten Sulawesi Tenggara di Provinsi Sulawesi Selatan Tenggara. Ibukota Kabupaten ini berada di Kota Baubau (Fahimuddin 2011). Pada periode tahun 1950an ini, terjadi gejolak dari daerah-daerah di Sulawesi untuk memekarkan diri atas dasar tuntutan sejarah kerajaan masa lalu. melalui UU No. 29 tahun 1959 Kabupaten Sulawesi Tenggara mekar menjadi empat kabupaten salah satunya Kabupaten Buton yang beribukota di Kota Baubau (Said 2011).

Pembentukan Kota Baubau sebagai daerah otonom yang memisahkan diri dari Kabupaten Buton terjadi pada tahun 2001. Pada awalnya Kota Baubau terdiri atas empat kecamatan yakni Kecamatan Wolio, Kecamatan Betoambari, Kecamatan Sorawolio, dan Kecamatan Bungi (Baja 2012). Dalam perkembangannya, terbentuk lagi empat kecamatan yakni Kecamatan Murhum, Kecamatan Kokalukuna, Kecamatan Lea-Lea, dan Kecamatan Batupoaro. Luas wilayah Kota Baubau adalah 221.00 km2. Luas wilayah tersebut terbagi ke dalam 8 kecamatan, yaitu Kecamatan Betoambari 27,89 km2, Kecamatan Murhum 4.90 km2, Kecamatan Batupoaro 1.55 km², Kecamatan Wolio 17.33 km2, Kecamatan Kokalukuna 9.44 km2, Kecamatan Sorawolio 83.25 km2, Kecamatan Bungi 47.71 km2, dan Kecamatan Lea-Lea 28.93 km2. Luas wilayah Kota Baubau yakni 0.221 km2 dengan panjang garis pantai sebesar 42 km (BPS Kota Baubau 2013).

Batas wilayah Kota Baubau adalah: (1) sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kapontori, Kabupaten Buton; (2) sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton; (3) sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pasarwajo, Kabupaten Buton; dan (4) sebelah barat berbatasan dengan Selat Buton. Kondisi topografi Daerah Kota Baubau pada umumnya memiliki permukaan yang bergunung, bergelombang dan berbukit-bukit. Kota Baubau memiliki pula sungai yang besar yaitu sungai Baubau yang membatasi Kecamatan Wolio dengan Kecamatan Murhum dan Kecamatan Batupoaro (BPS Kota Baubau 2013).

(24)

10

memiliki kepadatan penduduk terkecil yaitu sebesar 89 orang per km2 (BPS Kota Baubau 2013)

.

3

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara (Gambar 2). Secara geografis terletak di bagian selatan garis khatulistiwa di antara 5O21’ – 5O30’ Lintang Selatan dan di antara 122O30’ – 122O45’ Bujur Timur. Pelaksanaan penelitian dilakukan sejak Desember 2013 hingga Mei 2014.

Gambar 2 Lokasi penelitian Provinsi Sulawesi Tenggara (kiri) dan Kota Baubau (kanan)

Metode Pengumpulan Data dan Informasi

Data yang dikumpulkan mencakup data-data lanskap baik secara tangible

maupun intangible, aspek legal, dan pengelolaan terutama terkait dengan program kota pusaka, aspek kesejarahan, maupun persepsi masyarakat. Metode pegumpulan data melalui observasi lapang, wawancara dengan narasumber, studi literatur, serta survei dan wawancara mengenai persepsi masyarakat.

Analisis

Analisis Situasional dan Sejarah Kota Baubau

Informasi dari wawancara dan studi literatur, dilakukan ground check di lapang untuk melihat kesesuaian informasi yang diperoleh dengan fakta yang ada. Apabila terdapat ketidaksesuaian, maka informasi ditanyakan ulang. Bila tidak ditemukan kesepakatan, maka informasi yang diperoleh tidak digunakan. Teknik yang digunakan dalam menggali informasi dari narasumber mengikuti teknik yang digunakan Rosyida dan Nasdian (2011) yaitu dengan teknik snowball. Prinsip pada teknik ini yaitu seusai menggali informasi dari satu narasumber, turut ditanyakan rekomendasi narasumber lainnya hingga informasi jenuh. Informasi dikatakan jenuh diasumsikan jika tiga narasumber memberikan informasi yang cenderung sama dengan narasumber sebelumnya (Tabel 1).

(25)

11 Tabel 1 Daftar nama narasumber

No Nama Usia

(Tahun)

Keterangan

1 Al Mujaazi Mulku 57 Pengelola naskah kesultanan dan Pusat Kebudayaan Wolio dan putra bonto ogena 2 La Ode M. Saidu 84 Putra Lakina Kaledupa dan masyarakat sekitar

lanskap kolonial

3 Suluhu 73 Mantan perangkat Mesjid Agung Keraton Buton 4 Safarudin, SPd 43 Guru, pemerhati budaya, dan sejarah Labalawa 5 Asri 41 Pengrajin dan pewaris keahlian pande kau

Kesultanan Buton

6 Saim 39 Pengrain dan pewaris keahlian pande kau Kesultanan Buton

7 Wa Ode Nirwati 52 Masyarakat Keraton Buton

8 Wa Ode Anzila 74 Putri Kepala Distrik Bungi, masyarakat sekitar lanskap kolonial

9 Rajimin 50 Pangalasa (kepala adat) Waborobo 10 Sarifudin Awal SPd 29 Pemuda Waborobo

11 Sumardi, SMn 44 Guru dan pemerhati budaya dan sejarah Waborobo

12 Mustafa, SPd 31 Guru dan masyarakat Lowu-Lowu 13 La Zade 26 Wiraswasta dan pemuda Katobengke 14 Sarmin 40 Pengrajin dan pewaris keahlian kuningan

kesultanan

15 L.M. Razinuddin, Msi 50 Kabid nilai budaya, kesenian, sejarah, dan purbakala Disbudpar Kota Baubau 16 Zainudin 42 Ketua RW 2 Kel. Gonda, Kec. Sorawolio 17 La Baitu 60 Petani dan masyarakat Ciacia

18 Syamsuddin 40 Ketua RT 08 RW 04 Kel. Kaisabu Baru, Kec Sorawolio

19 Nyoman Sukardi 40 Petani dan masyarakat Bali di Ngkaring-Ngkaring

20 La Hiji 80 Parabela (ketua adat) Waliabuku

21 Andi Syarifuddin 44 Wiraswasta dan masyarakat etnis Bugis di Waliabuku

22 A. Kadir Eba, SP 44 Wartawan MNC TV wilayah Baubau

23 Imran Kudus, MSc 31 Fasilitator Kota Pusaka Baubau, dan pemerhati budaya Yayasan Kasambure

Assessment Lanskap Sejarah Kota Baubau

Setelah didapatkan informasi situasional dan sejarah, maka dilakukan

assessment yang mengacu pada Shamsuddin et al. (2012) pada penelitiannya terhadap George Town di Penang, Malaysia yang terbagi atas tiga tahap yaitu karakter dan identitas sejarah, lanskap dan ruang terbuka, serta block pattern and movement. Untuk memperdalam analisis maka dikombinasikan pula dengan

assessment keaslian dan keunikan berdasarkan Harris dan Dines (1988), nilai penting (Supriadi 2010), dan aspek kenyamanan. Luaran dari tahapan ini yaitu didapatkan karakter pada masing-masing lanskap sejarah di Kota Baubau, beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

(26)

12

Hasil penelusuran sejarah digunakan untuk memperdalam penilaian signifikansi yang akan dijabarkan secara deskriptif. Penilaian signifikansi ini akan menentukan kriteria apa saja pada lanskap Kota Baubau yang mewakili sepuluh kriteria Outstanding Universal Value (OUV) (Tabel 2).

Tabel 2 Sepuluh kriteria Outstanding Universal Value of World Heritage

Kriteria Deskripsi

(i) Mewakili sebuah karya jenius kreatif manusia.

(ii) Menunjukkan pentingnya pertukaran nilai-nilai kemanusiaan, selama rentang waktu atau dalam wilayah budaya dunia, pada perkembangan arsitektur atau teknologi, seni yang monumental, perencanaan kota, atau desain lanskap.

(iii) Menanggung kesaksian yang unik atau setidaknya luar biasa untuk tradisi budaya atau peradaban yang hidup atau yang telah hilang.

(iv) Menjadi sebuah contoh luar biasa dari jenis bangunan, ensemble atau lanskap yang menggambarkan signifikansi dalam sejarah manusia arsitektur atau teknologi. (v) Menjadi sebuah contoh luar biasa dari permukiman tradisional manusia, penggunaan

lahan, atau laut yang merupakan perwakilan dari budaya, atau interaksi manusia dengan lingkungan terutama ketika telah menjadi rentan di bawah dampak perubahan yang tidak dapat pulih.

(vi) Akan secara langsung atau nyata terkait dengan peristiwa atau tradisi yang hidup, ide-ide, keyakinan, karya seni, dan sastra yang memiliki signifikansi universal yang luar biasa. (Komite menganggap bahwa kriteria ini sebaiknya digunakan dalam

hubungannya dengan kriteria lain).

(vii) Mengandung fenomena alam superlatif atau daerah keindahan alam yang luar biasa dan estetis.

(viii) Menjadi contoh luar biasa yang mewakili tahap utama dari sejarah bumi, termasuk rekaman kehidupan, berlangsung proses geologi yang signifikan dalam

pengembangan bentang alam, geomorfik, atau fitur fisiografi.

(ix) Menjadi contoh luar biasa yang mewakili berlangsungnya proses ekologi dan biologi yang signifikan dalam evolusi dan pengembangan darat, air tawar, ekosistem dan komunitas tumbuhan, serta hewan pesisir dan laut.

(x) Mengandung nilai penting dan signifikan terhadap habitat alami untuk konservasi in-situ keanekaragaman hayati, termasuk spesies yang terancam mengandung nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang ilmu pengetahuan atau konservasi.

Lanskap dan ruang terbuka

Tahapan ini yaitu menggolongkan pusaka berdasarkan gaya khasnya masing-masing baik tangible maupun intangible. Pada tahap ini juga akan dikumpulkan informasi mengenai panorama.

Block pattern and movement

Setelah digolongkannya pusaka berdasarkan gaya khas, fungsi, dan nilai-nilai yang disepakati oleh masyarakat setempat, maka dibuat batas-batas lanskap sejarah sehingga membentuk suatu kesatuan. Cara penentuan batas-batas ini dengan melakukan deliniasi pada peta dengan menggunakan perangkat lunak Adobe Photoshop 7.0 dan CorelDRAW X4.

Penilaian kualitas lanskap

(27)

13 Tabel 3 Kriteria penilaian kualitas lanskap

No Kriteria Derajat 3 Pola sirkulasi Jaringan jalan

mengalami 2 Integritas Elemen lanskap

sejarah tersebar 4 Kualitas estetik Elemen lanskap

(28)

14

Tabel 3 Kriteria penilaian kualitas lanskap (lanjutan)

No Kriteria Derajat

(29)

15 Untuk menjamin ketepatan dan konsistensi kuesioner penelitian yang disusun maka sebelumnya dilakukan uji validitas instrumen dengan menggunakan validitas konstruksi dan pengujian reliabilitas dengan metode belah dua kepada 33 responden (Rianse dan Abdi 2009). Guna memperdalam hasil jawaban para responden melaui hasil survei, maka turut dilakukan focus group discussion

(FGD) yang melibatkan sembilan perwakilan masyarakat dari latar belakang yang berbeda (Tabel 4). Perangkat lunak yang digunakan dalam menggolah data survei antara lain Microsoft Excel 2007 dan SPSS 17.0. Adapun formulasinya sebagai berikut:

Chi-square

= ∑ [ − � ]

Keterangan:

X2 = Chi-square

O = Frekuensi hasil observasi E = Frekuensi yang diharapkan

Pengujian validitas instrumen 1. Pearson product moment

�ℎ� �� = � ∑ − ∑ . ∑

√{�. ∑ − ∑ . �. ∑ − ∑ }

Keterangan:

rhitung = Koefisien korelasi

∑Xi = Jumlah skor item

∑Yi = Jumlah skor total

n = Jumlah responden 2. Uji-t

�ℎ� �� =�√� −

√ − �

Keterangan:

thitung = Nilai thitung

(30)

16

Pengujian reliabilitas dengan metode belah dua

� = + �. �� �

Keterangan:

r11 = Koefisien korelasi internal seluruh item

rb = Koefisien product moment antara belahan

Tabel 4 Daftar peserta focus group discussion

No. Nama Usia (tahun) Perwakilan

1 L.M. Kamal Taufan, SPd 38 Guru

2 Imran Kudus, MSc 31 Pemerhati Budaya

3 L.M. Razinuddin, Msi 49 Birokrat

4 Yani 16 Pelajar

5 Syarifah Ratnawati, SSos 25 Wisatawan

6 Sairun 21 Pendatang

7 Aci 31 Wiraswasta

8 Wawan Iswanto 23 Pemuda

9 Arfan B 20 Mahasiswa

Analisis Komponen Prioritas Pelestarian Lanskap Sejarah

Metode yang digunakan dalam analsis ini yaitu analytical hierarchy process

(AHP). AHP adalah alat yang digunakan untuk mengorganisasikan informasi dan

judgment dalam memilih alternatif. Dengan menggunakan AHP persoalan yang akan dipecahkan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga memungkinkan dapat diekspresikan untuk pengambilan keputusan yang efektif dalam persoalan tersebut (Marimin 2004). Rancangan struktur hierarki disusun dengan menentukan komponen dan variabel guna mencapai tujuan pelestarian lanskap sejarah Kota Baubau (Gambar 3). Pakar yang dimintai partisipasinya antara lain: (1) Dani B Soedjalmo, MLA sebagai pakar kota pusaka dari Tim Pengelola Lanskap Budaya Kota Pusaka Platform Nasional P3KP; (2) L.A. Sufi Hisanuddin, MSi sebagai pakar bidang pemerintahan dari Bappeda Kota Baubau; serta (3) La Ode Abdul Munafi, MSi sebagai sejarawan dan budayawan Buton dari DPRD Kota Baubau. Informasi yang telah dikumpulkan dari para pakar ini kemudian diolah dengan menggunakan perangkat lunak Expert Choice 11.

Setelah diperoleh nilai komponen dan alternatif dari AHP dan skor kualitas lanskap sejarah, maka dilakukan penilaian lanjutan. Penilaian lanjutan dilakukan guna mengetahui lanskap yang akan menjadi prioritas pelestarian. Adapun formulasinya sebagai berikut: KNP = Komponen nilai penting SN = Skor kenyamanan KN = Komponen kenyamanan

(31)
(32)

18

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Situasional

Objek sejarah di Kota Baubau yang telah didata oleh BPCB Makassar, tercatat sebanyak 14 objek. Objek-objek tersebut terdiri atas makam, struktur benteng, istana/rumah adat, dan mesjid. Pergantian undang-undang mengenai cagar budaya membuat objek-objek tersebut masuk ke dalam kategori sedang dalam proses. Untuk itu harus dilakukan penetapan ulang oleh pemerintah setempat dengan mengeluarkan surat keputusan. Berdasarkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Baubau 2011-2030, terdapat dua kawasan yang menjadi kawasan cagar budaya. Kedua kawasan tersebut yaitu lanskap Keraton Buton dan Baadia menjadi kawasan cagar budaya (Gambar 4).

Gambar 4 Rencana tata ruang wilayah Kota Baubau tahun 2011-2030 Setelah ditetapkan menjadi kota pusaka tahun 2012, hal yang telah dilakukan di Kota Baubau yaitu inventarisasi aset pusaka mikro dan juga zonasi kawasan prioritas kota pusaka (Gambar 5). Zona tersebut dibuat berdasarkan pola sebaran aset pusaka makro yang ada di Kota Baubau yang berhubungan dengan keberadaan lanskap Keraton Buton sebagai masterpiece Kota Pusaka Baubau.

(33)

19 Namun dari pola zona yang terbentuk terlihat batas-batas yang dibentuk berdasarkan objek terluar bukan berdasarkan batas kultural objek. Terlebih belum semua aset pusaka makro terinventarisasi oleh tim kota pusaka.

Kawasan Benteng Keraton Buton menjadi kawasan inti karena memiliki nilai sakral yang tinggi. Selain menetapkan kawasan inti, ditetapkan pula lima kawasan penyangga yaitu pelabuhan lama, Lipu Katobengke, Wajo, Baadia, dan Sorawolio (Dirjen Penataan Ruang 2013).

Konsep Ruang

Bagian tubuh manusia mampu menjabarkan mikro dan makro kosmos di Kota Baubau. Malihu (2011) telah menggambarkan hubungan manusia di Buton dengan rumah dan perahu namun gambaran tersebut tidak dapat menjelaskan lebih banyak mengenai pola spasial dan orientasi Kota Baubau secara mikro dan makro kosmos. Perwujudan manusia sangat kental pada kosmologi rumah yang terdiri atas kepala, badan/perut, dan kaki. Pada rumah, bagian kepala disebut

bhoba, bagian perut disebut tonga, dan bagian kaki disebut tamb(e)i. Posisi dinding dan rangka juga tidak boleh terbalik karena diibaratkan akan menimbulkan kecacatan apabila hal ini diabaikan. Dinding diibaratkan sebagai kulit dan rangka sebagai tulang. Begitupun pada halaman rumah. Bagian depan rumah merupakan perwujudan tubuh bagian depan dan halaman belakang merupakan perwujudan tubuh bagian belakang.

Perahu juga memiliki kesamaan dengan manusia yang terdiri atas rope

(labuan), puse (tengah/pusat), dan wana (buritan) yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang hidup. Perahu dipandang sebagai rumah kedua yang berkedudukan setara tetapi berbeda fungsi dengan rumah tinggal. Hubungan rumah dan perahu

(34)

20

dianggap sebagai suami dan istri yang saling melengkapi serta menyeimbangkan kehidupan (Malihu 2011). Sebagaimana halnya rumah, kayu penyusun bagian perahu juga tidak boleh terbalik (Maula et al. 2011).

Bagi masyarakat Buton, daratan dan lautan sama penting sebagaimana dua sisi perahu (Malihu 2011). Kesetaraan tersebut sudah tercermin sejak masa pemerintahan Raja Buton ke-4 terhadap ketetapan mengenai penghasilan raja (Zahari 1977a). Perahu menggambarkan keseimbangan bagian rope dan wana

yang dihubungkan oleh puse. Bila mengabaikan salah satunya, maka perahu tidak mampu mencapai tujuannya. Perkembangan kota di Baubau terlihat mengikuti pola perahu. Bagian utara merupakan perairan selat dan teluk Buton, bagian tengah merupakan keraton sebagai pusat pemerintahan, dan bagian selatan merupakan ruang terbuka hijau dan lahan pertanian (Gambar 6). Rumah yang berada di dalam lanskap kota Baubau menggambarkan isi perahu dalam hal ini manusia.

Gambar 6 Pola perkembangan Kota Baubau yang mengikuti pola perahu Jika melihat posisi Kota Baubau terhadap wilayah bekas Kesultanan Buton, polanya juga serupa. Barata Muna, Barata Tiworo, dan Moronene berada di rope.

(35)

21 Masyarakat Buton menganggap kepala, depan, dan atas bukanlah lebih baik dari kaki, belakang, dan bawah sebab sebagaimana tubuh manusia, semua bagian tubuh memiliki fungsi masing-masing dan tidak dapat bekerja sendiri-sendiri. Prinsip keseimbangan ini tercermin dari seluruh aspek kehidupan di Buton seperti sistem pemeritahan lahiriyah dan batiniyah, pembagian peran masyarakat, pembagian tata ruang, serta hak dan kewajiban daerah bagian kesultanan. Semua itu terangkum sebagaimana falsafah yang dipegang masyarakat untuk saling menyegani, mengayomi, menyayangi, dan menghormati.

Karakter Lanskap Sejarah

Berdasarkan data yang diperoleh melalui penelusuran sejarah dan observasi lapang, lanskap sejarah di Kota Baubau, terdapat 17 lanskap sejarah berdasarkan keterikatan sebaran objek dan batas kulturalnya (Gambar 8). Ke-17 lanskap sejarah tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok berdasarkan karakter periode terbentuknya yaitu peninggalan prakerajaan, peninggalan kerajaan dan kesultanan, peninggalan kolonial, dan pascakemerdekaan.

Lanskap prakerajaan diwakili oleh lanskap pesisir tua dan Labalawa. Lanskap kerajaan dan kesultanan antara lain lanskap Keraton Buton, Waborobo, Lowu-Lowu dan Kolese, Lipu Katobengke dan sekitarnya, serta Benteng Sorawolio. Selanjutnya Baadia dan Sambali, Wajo, Loji-Kotamara dan sekitarnya, Liwuto Makasu serta perairan Selat dan Teluk Buton, dan juga Ciacia dan Kaisabu. Lanskap kolonial antara lain lanskap kolonial dan awal kemerdekaan,

(36)

22

pecinan, Wakonti, dan Palabusa. Sedangkan lanskap pascakemerdekaan yang unik yaitu lanskap Waliabuku dan Ngkaring-Ngkaring (Tabel 5). Lanskap-lanskap tersebut terbentuk menjadi satu kesatuan karena kesamaan gaya, fungsi, dan nilai yang disepakati oleh masyarakat setempat (Shamsuddin et al. 2012).

Gambar 8 Peta sebaran lanskap sejarah Kota Baubau

Prakerajaan

Zona prakerajaan berada pada Lanskap Pesisir Tua dan Labalawa (Gambar 9). Lanskap ini berisi peninggalan-peninggalan zaman sebelum Kerajaan Buton terbentuk. Objek sejarah sulana tombi merupakan bekas lubang tiang bendera yang hingga saat ini, bendera tersebut menjadi lambang kebesaran raja-raja di Buton dan dinamakan Tombi Pagi. Diriwayatkan rombongan Sipanjonga dan rekannya Simalui mendarat di Kalampa dan mengibarkan bendera kebesarannya tersebut. Sipanjonga dan Simalui kemudian bertemu dengan Sitamanajo dan Sijawangkati yang mendarat di tempat lain hingga akhirnya tinggal bersama di Kalampa dan menjadi perkampungan yang besar dan ramai. Mereka berempat inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Mia Patamiana atau si empat orang dari Johor. Keempat orang ini pula yang secara turun-temurun menjadi pemuka adat siolimbona di masa Kerajaan dan Kesultanan Buton (Zahari 1977a).

(37)

23 bermufakat untuk hidup bersama (Zahari 1977a). Bekas peninggalan Kerajaan Tobe-Tobe dapat dijumpai di sebelah barat perkampungan Labalawa. Peninggalanya antara lain Benteng Tobe-Tobe yang dulunya merupakan istana Dungkucangia. Di benteng ini dulu ditemukan topi kebesaran Dungkucangia yang kini telah dipindahkan oleh pemerintah untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti pencurian ataupun pengrusakan.

Tabel 5 Penyusun karakter masing-masing lanskap sejarah Kota Baubau No Lanskap Karakter penyusun

Prakerajaan

1 Pesisir tua dan Labalawa Situs-situs peninggalan kerajaan Tobe-Tobe dan peninggalan awal Kerajaan Buton

Kerajaan dan kesultanan

2 Keraton Buton Struktur benteng, mesjid, rumah adat Buton, lembaga adat Buton

3 Waborobo Pemukiman tradisional, bahasa, dan hutan adat 4 Lowu-Lowu dan Kolese Struktur benteng dan goa

5 Lipu Katobengke dan sekitarnya

Bekas permukiman tua, permukiman tradisional, situs megalitik, dan kebudayaan etnis Katobengke 6 Benteng Sorawolio Struktur benteng dan mesjid

7 Baadia dan Sambali Struktur benteng, rumah adat Buton, dan kebudayaan Buton

8 Wajo Bangunan tradisional 9 Loji-Kotamara dan

Makam sultan Buton ke-6, perairan, dan kebudayaan Liwuto Makasu

11 Ciacia dan Kaisabu Lembaga adat dan Bahasa Ciacia serta Kaisabu Kolonial

12 Kolonial dan awal kemerdekaan

Bangunan bergaya arsitektur art deco

13 Pecinan Pertokoan tua Tionghoa

14 Wakonti Bak air kolonial dan tanah katampai Wa Ode Wau 15 Palabusa Bangunan bergaya arsitektur art deco

Pascakemerdakaan

16 Waliabuku Lembaga adat dan permukiman bergaya Bugis dan Waliabuku

17 Ngkaring-Ngkaring Lembaga adat, persawahan, dan permukiman bergaya Bali

(38)

24

bahwa situs tersebut dulunya merupakan jam untuk melihat arah bayangan matahari guna menentukan waktu shalat sebab saat mengunjungi situs terlihat adanya bayangan yang dihasilkan oleh situs. Di belakang mesjid, terdapat makam imam terakhir mesjid Tobe-Tobe yang hingga akhir hayatnya menolak untuk berpindah tempat.

Perkampungan Labalawa juga memiliki mesjid. Di dalam mesjid terdapat sebuah batu pipih yang berasal dari Mesjid Tobe-Tobe. Batu pipih tersebut memiliki nilai sakral bagi masyarakat Labalawa. Setidaknya terdapat tiga buah batu yang bermakna bagi masayarakat Labalawa selain batu dari Mesjid Tobe-Tobe, yaitu Batu Wamunante dan juga batu di Mata Air Kampebuni. Batu di Mata Air Kampebuni telah tertimbun longsor. Batu tersebut berwarna hitam, mengkilat, licin, dan tidak ditumbuhi lumut. Mata air Kampebuni digunakan sebagai salah satu air yang digunakan untuk memandikan sultan saat dilantik yang terletak di dekat hutan kaombo (hutan larangan) di Labalawa (Safarudin 9 Maret 2014, komunikasi pribadi).

Gambar 9 Lanskap pesisir tua dan Labalawa

Permukiman Labalawa tergolong sangat baik karena arsitektur tradisionalnya terpelihara dengan baik dibandingkan dengan permukiman-permukiman lain di Kota Baubau. Situs sejarah di Labalawa cukup banyak seperti makam Dungkucangia dan makam Sipanjonga yang terletak di Benteng Labalawa yang memiliki kaitan dengan ritual-ritual pertanian di Labalawa. Benteng Labalawa bukan benteng yang tersusun atas batu tetapi merupakan tempat dilaksanakan upacara-upacara adat seperti upacara kagasiano liwu yang berlanggsung selama 40 hari 40 malam dan ritual-ritual yang berhubungan dengan pertanian. Di Benteng tersebut juga terdapat Batu Wolio Labalawa sebagai perlambang pertemuan Dungkucangia dan Sipanjonga. Selain itu terdapat pula

(39)

25 Sejauh 33.5 m dari makam Dungkucangia, terdapat katingkaa sebagai tempat dilaksanakan pertemuan untuk menetapkan tanggal dimulainya aktivitas bertani. Masyarakat setempat melakukan budidaya organik sesuai tradisi mereka selama ratusan tahun. Masyarakat juga membudidayakan tanaman dengan benih lokal dari nenek moyang mereka namun belum ada upaya dari pemerintah untuk mendaftarkannya benih lokal tersebut menjadi varietas lokal sebagai warisan kekayaan sumberdaya genetis dan kebanggan daerah. Setidaknya terdapat 6 jenis jagung dan 4 jenis kacang panjang lokal yang dibudidayakan petani setempat.

Budaya intangible lainnya di Labalawa antara lain: (1) sistem pemerintahan adat yang dipimpin oleh pangasa dan dua orang wati; (2) kesenian lokal seperti tarian kanaga-naga dan tarian lingge-lingge; (3) profesi petani sekaligus nelayan tradisional, dan (4) dua buah bahasa lokal yaitu Bahasa Labalawa dan Bahasa Tobe-Tobe. Bahasa Tobe-Tobe keberadaanya memprihatinkan karena penuturnya tersisa 3 orang dan telah memasuki usia sepuh.

Lanskap Pesisir Tua dan Labalawa juga termasuk Perkampungan Sulaa yang dikenal dengan Kampung Tenun Buton karena mayoritas wanita di sana berprofesi sebagai penenun tradisional. Perkampungan Sulaa sendiri tidak dapat dipisahkan dengan komunitas Labalawa sebab batas kultural Labalawa memang sampai dipesisir. Itulah sebabnya di perkampungan ini ditemukan banyak etnis Labalawa. Di perkampungan ini terdapat makam sapati Manjawari. Beliau adalah

sapati (perdana menteri) pertama dalam sistem Kerajaan Buton pada masa pemerintahan Raja Buton ke-3 (Disbudpar Kota Baubau 2013). Namun, riwayat lain menyebutkan bahwa Manjawari dimakamkan bukan di Sulaa melainkan di Kabaena tepatnya di pegunungan Enano (Zahari 1977a).

Tidak jauh dari Sulaa terdapat Benteng Kalampa (Gambar 10). Benteng tersebut memiliki ukuran 25 x 15.30 m dengan tinggi 1-2 m dan ketebalan dinding 30-130 m. Elemen utama benteng yaitu dinding benteng dan 3 buah bastion di arah barat, timur, dan selatan (Disbudpar Kota Baubau). Berbeda dengan benteng-benteng lain di Kota Baubau, Benteng Kalampa tidak direkatkan. Keberadaanya tidak terawat bahkan pernah dijual belikan untuk dijadikan resort namun setelah dipertentangkan oleh masyarakat adat, keberadaan benteng zaman prakerajaan ini bisa terselamatkan (Pratama et al. 2013).

Makam Betoambari terletak di Kelurahan Katobengke tidak jauh dari Benteng Kalampa. Betoambari merupakan anak Sipanjonga dengan pernikahannya dengan adik Simalui yang bernama Sibaana. Betoambari semasa hidupnya menemukan Kerajaan Kamaru dan menikahi putri Raja Kamaru bernama Waguntu. Pernikahan Betoambari dengan Waguntu membawa pengaruh yang sangat besar bagi Wolio (saat itu kerajaan Buton belum lahir) karena dua buah negeri yang besar yaitu Tobe-Tobe dan Kamaru bersatu (Zahari 1977a).

(40)

26

Goa Moko terletak di Pantai Nirwana. Goa berair payau ini masih menyimpan misteri sejak ditemukannya ratusan keramik yang berasal dari Tiongkok di dalamnya beberapa tahun silam (Coppenger 2011). Belum ada jawaban mengapa keramik tersebut berada di dasar goa tersebut. Saat ini Goa Moko menjadi objek wisata andalan bagi pengunjung Pantai Nirwana namun pengawasannya belum terlalu baik yang dilihat dari adanya beberapa sampah yang mengambang di permukaannya.

Kerajaan dan kesultanan

Zona kerajaan dan kesultanan meliputi Keraton Buton, Baadia dan Sambali, Benteng Sorawolio,Waborobo, Lowu-Lowu dan Kolese, Liwuto Makasu dan Perairan Selat Buton, Lipu Katobengke dan sekitarnya, Wajo, Loji-Kotamara dan sekitarnya, serta Ciacia dan Kaisabu. Wilayah-wilayah ini terbentuk pada saat pemerintahan kerajaan dan kesultanan didirikan.

Keraton Buton

Keraton bagi masyarakat Buton bermakna sebagai ibukota sebagai pusat pemerintahan. Berbeda halnya dengan keraton-keraton di Jawa yang berupa kompleks istana raja, Keraton Buton memiliki beberapa elemen penting di dalamnya. Hal ini didasari karena adanya perbedaan sistem pemerintahan pada Kerajaan dan Kesultanan Buton. Keraton dalam pengertiannya di Buton ialah kotaraja atau kompleks permukiman perangkat pemerintahan kerajaan/kesultanan yang bersifat spesial, yang di dalamnya terdiri atas beberapa elemen penting baik wujud maupun tak wujud, serta dikelilingi oleh benteng pertahanan (Gambar 11). Pada dasarnya sistem pemerintahan kerajaan terbentuk sebelum Islam masuk ke Buton dan kesultanan setelah Islam masuk. Penyebutan kawasan Benteng Keraton Buton sebagai sebuah kota, disebutkan dalam naskah tradisional Buton yakni

kabanti yang berjudul Ajonga Inda Molusa.

(41)

27 Pada masa kesultanan yang diperkirakan mulai pada tahun 1542, pemerintahan di Buton memiliki dua kelembagaan berbeda yaitu kelembagaan

lahiriyah dan kelembagaan batiniyah. Hal ini didasari atas pemikiran bahwa suatu negara diibaratkan oleh tubuh manusia yang akan sempurna bila memiliki jasad dan roh. Kelembagaan lahiriyah (sara ogena) dipimpin oleh sapati sedangkan kelembagaan batiniyah (sara kidina) dipimpin oleh imam mesjid. Kedua sara ini bertanggung jawab kepada sultan. Sultan sendiri mendapat mandat dari

siolimbona, semacam dewan legislatif pada sistem pemerintahan kesultanan Buton (Addin et al. 2011a; Addin et al. 2011b; Addin et al. 2011c; Zahari 1977a).

Keraton Buton terdiri atas sembilan kampung utama yang memiliki peran penting terhadap kelangsungan pemerintahan. Kampung-kampung tersebut antara lain Barangkatopa, Baluwu, Gundu-Gundu, Dete, Rakia, Melai, Peropa, Gama, dan Siompu (Azizu et al.2011). Perkampungan ini dikelilingi oleh benteng yang disusun dengan menggunakan batu kapur dan direkatkan dengan larutan kapur serta pasir. Benteng tersebut merupakan buah karya masyarakat Buton yang dibangun pada masa Sultan Buton ke-3 bernama La Sangaji dengan gelar Sultan Kaimuddin yang kemudian dijadikan permanen pada masa Sultan Buton ke-4 bernama La Elangi atau Sultan Dayanu Ikhsanuddin. Benteng Keraton Buton memiliki enam elemen penting yaitu dinding benteng, lawa (gerbang), baluara

(bastion), badili (meriam), lubang pengintaian pada dinding benteng, serta parit pertahanan pada topografi yang datar dan dahulu ditanami tumbuhan beracun, berduri, menimbulkan efek gatal, serta ditempatkan pula hewan-hewan berbisa (Gambar 12).

Panjang benteng 2 740 m dengan tinggi berkisar antara 3-5 m dan luas 23.375 hektar yang menjadikan Benteng Keraton Buton sebagai benteng terluas di dunia. Jumlah gerbang sebanyak 12 dan dan bastion sebanyak 16. Jumlah meriam yang terdapat di sepanjang keliling benteng sebanyak 31 buah dan yang berada di dalam benteng sebanyak 5 buah (Disbudpar Kota Baubau 2013). Rahman et al.

(1994) sebelumnya melaporkan bahwa jumlah meriam di sepanjang keliling benteng ada 32 buah yang artinya saat ini terdapat satu lagi meriam yang saat ini berpindah dalam kurun 20 tahun terakhir. Sebelumnya, jumlah meriam di Benteng Keraton Buton dilaporkan sebanyak 46 buah dan bahkan lebih dari 100 tetapi dipindahkan ke beberapa gedung pemerintahan. Keberadaan lubang pengintaian dan parit sebagai salah satu elemen penting benteng sering terlupakan. Beberapa bagian benteng yang pernah dipugar, terlihat mengabaikan keberadaan lubang pengintaian. Untuk parit sendiri, beberapa diantaranya terlihat ditimbun untuk dijadikan jalur sirkulasi manusia.

(42)

28

Di dalam benteng terdapat sebuah gundukan bukit berongga yang disebut Bukit Turisina. Di bukit ini beridiri sebuah mesjid yang dikenal dengan nama Mesjid Agung Keraton Buton (Masigi Ogena) yang didirikan tahun 1712 pada masa Sultan Buton ke 19 (Addin et al. 2011d). Dinding mesjid berbahan batu kapur, atap berbentuk jurai, dan puncak berbentuk pelana. Kapasitas mesjid dapat menampung 677 jamaah. Elemen-elemen penting dari mesjid ini antara lain adanya tempayan, bedug, lampu lilin, serambi dan bak penampungan air, 10 buah pintu darurat, pintu imam dan pintu utama, 12 buah jendela, tempat tongkat perangkat mesjid, mihrab, dan dua buah meriam di depan mesjid. Dilihat dari bentuk dan elemennya, ada indikasi bahwa Mesjid Agung Keraton Buton mengalami pengaruh budaya Tiongkok dan Jawa sebab serupa dengan bentuk awal mesjid-mesjid kuno di Jawa pada abad 15-16 akibat pengaruh pertukangan Tiongkok (Handinoto dan Hartono 2007). Selain sebagai tempat shalat, Mesjid Agung Keraton Buton juga berfungsi sebagai tempat pengangkatan sultan, perundingan/musyawarah, perayaan hari-hari besar islam, mengumumkan masalah penting negeri, tempat menginap musafir, tempat pengajaran islamiah, tempat menyembayangkan jenazah, pemakaman pembesar negeri, dan juga ziarah (Rahman et al. 1994).

Di sebelah mesjid, terdapat tiang bendera kesultanan yang disebut kasulana tombi. Tiang bendera ini digunakan untuk mengibarkan bendera Kesultanan Buton, longa-longa. Kayu yang digunakan berasal dari Negeri Siam, dengan tinggi 21 m dan diameter 25-70 cm. Tiang bendera ini pernah rusak pada masa pemerintahan Sultan Buton ke-30 dan diperbaiki pada masa Sultan Buton ke-31 (Pratama et al. 2013; Rahman et al. 1994).

Perbedaan Kesultanan Buton dengan kesultanan lainnya ialah bahwa setiap sultan memiliki istananya masing-masing karena istana tidak diwariskan secara turun temurun. Disebut kamali jika kediaman sultan tersebut didiami oleh permaisuri yang juga turut dilantik ketika sang suami dilantik sebagai sultan (Mulku AM 13 Februari 2014, komunikasi pribadi). Di dalam Benteng Keraton terdapat dua buah kamali yaitu Kamali Bata, Istana Sultan Buton ke-32 dan Kamali Kara, Istana Sultan Buton ke-37 (Gambar 13). Perlu diluruskan pula bahwa Kamali Kara merupakan istana Sultan Muhammad Umar dengan gelar Sultan Kaimuddin IV. Tamburaka (2010) mereproduksi gambar Kamali Bata dari buku Die Sunda–Expedition des Vereins für Geographie und Statistik zu Frankfurt am Main karya Elbert. Tamburaka menyatakan bahwa Kamali Bata adalah istana Sultan Murhum dengan gelar Sultan Kaimuddin. Kesalahpahaman ini kemungkinan muncul karena adanya kemiripan gelar. Dalam bukunya, Elbert (1911) melakukan perjalanan ke Buton pada tahun 1909. Tahun 1909 sangat dekat dengan periode jabatan Sultan Muhammad Umar menjabat yakni pada tahun 1885-1904, bukan pada saat masa pemerintahan Sultan Murhum 1491-1537.

(43)

29 pengrajin pakaian adat, penenun tradisional, Bahasa Wolio, kuliner tradisional, seni, serta adat dan nilai-nilai luhur. Selain itu di lingkungan keraton sampai saat ini hari-hari resmi zaman kesultanan yang diadatkan juga masih terpelihara seperti

pakandeana anana maelu pada 10 Muharram, gorana oputa pada 12 malam Raubiul Awal hingga malam ke 30, haroa rajabu pada jumat awal bulan Rajab,

sisifu-sya-a-bani pada 14 atau 15 bulan Sya’ban, Ramadhan, rara-e-ya mpu 1 Syawal, dan rara-e-ya mpu 10 Dzulhidjah (Zahari 1977c).

Gambar 13 Kamali Kara (kiri) dan Kamali Bata (Kanan) Baadia dan Sambali

Adanya permukiman Baadia tidak dapat dipisahkan dengan Sultan Buton ke-29, La Ode Muhammad Idrus Kaimuddin. Baadia berasal dari bahasa arab yang berarti hutan, karena pada awal pembukaanya masih merupakan hutan. (Zahari 1977c). Baadia merupakan kompleks permukiman para pembesar (Gambar 14). Sebelumnya, permukiman pembesar bersifat sementara (Rahman et al. 1994). Informasi lainnya pada masa pemerintahan Sultan Buton ke-29, terjadi kebakaran besar dalam Benteng Keraton sehingga keluarga keraton ada yang menetap di luar kawasan keraton salah satunya Baadia (Sudjiton et al. 2012). Riwayat lain menyebutkan permukiman Baadia dibuka akibat perkembangan penduduk di dalam keraton dan sekitarnya semakin meningkat (Zahari 1977c).

Gambar

Gambar 4 Rencana tata ruang wilayah Kota Baubau tahun 2011-2030
Gambar 5  Peta zonasi kota pusaka Baubau
Gambar 6 Pola perkembangan Kota Baubau yang mengikuti pola perahu
Gambar 7 Pola wilayah Kesultanan Buton yang mengikuti pola perahu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Informan Bagus termasuk ke dalam kategori Negotiated Position dimana ia merasa secara keseluruhan Iklan Fair n Lovely Versi Nikah atau S2 sudah bagus, dari segi cerita, pesan

Struktur Organisasi, Tugas dan Fungsi masing-masing unit terkait dengan Pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya.. 6.1.1.1 Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang

Dalam perencanaan struktur ganda gedung ini secara khusus menggunakan sistem rangka pemikul momen khusus dan dinding geser khusus yang memiliki syarat sistem

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji secara empiris pengaruh EPS, DPR, struktur modal, profitabilitas, inflasi, suku bunga dan kurs terhadap return saham perusahaan

Apakah instansi Bapak/Ibu pernah menjalin kerjasama yang berbasis kemitraan di luar kemitraan dalam upaya penanggulangan virus flu burung..

Kita ketahui bahwa dua buah vektor dapat dijumlahkan dan menghasilkan sebuah vektor baru yang disebut vektor resultan. Secara logika kita dapat menganggap setiap vektor

Indomobil Sukses Internasional Tbk Lampiran 8: Model ARMA Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Lampiran 9: Correlogram ARMA. Lampiran 10:

Masyarakat di Desa Karang Tengah selain menjadi petani mempunyai pekerjaan lain sebagai pengrajin olahan pangan (agroindustri pangan) dengan bahan baku dari