• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ray March Syahadat lahir pada tanggal 4 Maret 1990. Merupakan anak pertama pasangan Edy Basri, SE dan Wa Ode Nursil. Penulis memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Departemen Agronomi dan Hortikultura dengan bidang keahlian pelengkap (minor) Komunikasi dari Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat di IPB pada tahun 2012. Pada tahun yang sama, penulis memutuskan untuk melanjutkan pendidikan magister dan memilih Program Studi Arsitektur Lanskap di universitas yang sama.

Sejak Maret 2012 hingga Oktober 2013 penulis bekerja di GreenTV sebagai

scriptwriter. Penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Interaksi Manusia dan Lanskap (ARL 521) serta Pelestarian Lanskap Sejarah dan Budaya (ARL 311) tahun ajaran 2012/2013. Pada tahun 2013 penulis mendapat kesempatan mengikuti program TWINCLE Summer Course di Chiba University, Jepang. Di penghujung tahun 2013, penulis bersama tim yang membawa nama Pascasarjana Arsitektur Lanskap 2012, berhasil mendapatkan posisi top 5 dalam Sayembara Desain Alun-Alun Kota Malang. Pada bulan Agustus 2014, artikel penulis menjadi salah satu pemenang dalam program Detikhealth – My Diet Experience yang diselenggarakan oleh portal berita online Detikcom.

Karya tulis yang dihasilkan selama menjadi mahasiswa Pascasarjana IPB antara lain: (1) Pengaruh Komposisi Media dan Fertigasi Pupuk Organik terhadap Kandungan Bioaktif Daun Tanaman Kemuning (Murraya paniculata (L.) Jack) di Pembibitan dalam Buletin Tanaman Rempah dan Obat Volume 23, Nomor 2, Desember 2012; (2) Tanaman Obat Tradisional Indonesia, Potensi Lain yang Belum Dioptimalkan dari Sudut Pandang Arsitektur Lanskap dalam buku Wacana Untuk Negeri Bunga Rampai Pemikiran Mahasiswa Pascasarjana; (3) Pertanian Organik Labalawa, sebuah Kearifan Lokal Berusia Ratusan Tahun di Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara dalam Seminar Nasional Pertanian Organik 18-19 Juni 2014 di Bogor; dan (4) Boat Pattern on Landscape of Baubau City, a Phylosophy Design by Ancestor dalam 2014 Asian Cultural Landscape Association (ACLA) Symposium di Seoul – Korea Selatan 7-9 Oktober 2014. Selain itu karya tulis yang dihasilkan penulis dengan judul Historical Landscape Quality Assessment of Baubau Heritage City, Southeast Sulawesi mendapatkan status diterima dan akan dipresentasikan pada International Conference on Urban Heritage and Sustainable Infrastructure Development (UHSID) 2014 – Managing the Social Capital and Infrastucture in Promoting the Heritage Site, pada bulan November 2014 di Semarang.

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Buton merupakan sebuah pulau di selatan semenanjung Provinsi Sulawesi Tenggara. Setidaknya ada empat pengertian mengenai nama Buton yaitu: (1) nama yang diberikan untuk sebuah pulau, (2) nama kerajaan atau kesultanan, (3) nama sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara, (4) nama untuk menyebut orang Buton (Zuhdi 2010). Buton yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu Buton dalam makna untuk menyebut orang Buton yang terdiri dari 30 etnis, yang dulunya merupakan bagian dari Kerajaan dan Kesultanan Buton.

Nama Buton sebagai kerajaan diperkirakan telah berdiri sebelum Majapahit menyebutnya sebagai salah satu daerah kekuasaannya. Hal tersebut dapat dilihat dalam Negarakertagama karya Prapanca yang mengungkapkan nama Buton. Dikatakan bahwa Buton merupakan negeri keresian, terbentang taman, lingga, terdapat saluran air, dan pemimpinnya bergelar Yang Mulia Mahaguru (Adji 2013). Melalui catatan tersebut dapat diperkirakan bahwa, saat naskah tersebut ditulis pada tahun 1365 tentunya Buton telah berpenghuni dan memiliki tatanan sosial maupun politik.

Jejak-jejak kejayaan Kerajaan dan Kesultanan Buton kini masih dapat ditemukan di Kota Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara yang dulunya merupakan Ibukota Kerajaan dan Kesultanan Buton. Melihat hal tersebut, maka sebenarnya Kota Baubau terbentuk melalui proses perjalanan sejarah yang begitu panjang. Meskipun UU No. 13 Tahun 2001 tentang terbentuknya kota administratif ini secara resmi baru dikeluarkan pada tahun 2001, tetapi secara sosial budaya kota ini tumbuh dan dipersiapkan sejak masa lampau.

Lahirnya Kota Baubau tidak bisa dilepaskan dari kota lama yang mendahuluinya. Baubau berasal dari kata bhau yang dalam bahasa setempat (Bahasa Wolio) berarti baru (Rabani 2012). Seperti yang diketahui, dahulu pusat kota merupakan kawasan Benteng Keraton Buton yang berada di bukit. Seiring berkembangnya perdagangan dan pusat aktivitas ekonomi, maka perluasan kota terjadi ke arah pantai dan kawasan inilah yang dikatakan Baubau yang artinya kota baru.

Kini Baubau menjadi salah satu dari sepuluh kota pusaka yang ada di Indonesia untuk dipersiapkan menjadi World Heritage City oleh Kementrian Pekerjaan Umum melalui Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP). Seperti yang dilansir dalam situs Kota Pusaka (2013), pengertian kota pusaka adalah kota yang memiliki kekentalan sejarah yang bernilai dan memiliki pusaka alam, pusaka budaya berwujud, dan pusaka budaya tidak berwujud, serta rajutan berbagai pusaka tersebut secara utuh sebagai aset pusaka dalam wilayah/kota atau bagian dari wilayah/kota yang hidup, berkembang, dan dikelola secara efektif.

Tujuan dari kota pusaka ini yakni terwujudnya ruang kota yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berbasis rencana tata ruang, bercirikan nilai- nilai pusaka, melalui transformasi upaya-upaya pelestarian menuju sustainable urban (heritage) development dengan dukungan dan pengelolaan yang handal serta penyediaan infrastruktur yang tepat menuju Kota Pusaka Dunia. Hal ini

2

didasarkan melalui UU Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010 dan UU Penataan Ruang nomor 26 tahun 2007.

Sebagai kota pusaka yang memiliki perkembangan sejarah yang panjang, seharusnya Baubau menjadi cerminan untuk melihat budaya dan sejarah Buton secara umum. Bukan hanya pusaka milik etnis Wolio yang merupakan etnis mayoritas di kota ini tapi juga pusaka dari etnis-etnis lain yang berada di wilayah bekas Kerajaan dan Kesultanan Buton yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan (Coppenger 2011). Setiap wilayah bekas Kerajaan dan Kesultanan Buton yang didiami oleh etnis tertentu, memiliki pembagian peran untuk saling melengkapi (Zuhdi 2010). Secara tidak langsung pembagian ruang di Kota Baubau saat ini serupa dengan riwayat-riwayat terdahulu tentang pembagian peran pada masing- masing perkampungan zaman dulu (Rudyansjah 2008). Hal ini tidak lepas dari falsafah yang diwarisi pada masa Sultan Laelangi yang berisi anjuran untuk saling menyegani, saling mengayomi, saling menyayangi, dan saling menghormati (Ramadhan 2012a).

Pusaka peninggalan bangsa lain yang pernah turut mengambil andil dalam perkembangan Kota Baubau pada masa lalu juga belum mendapatkan perhatian khusus. Data dari Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar menunjukkan hingga saat ini hanya ada 14 benda cagar budaya di Kota Baubau yang semuanya mewakili etnis Wolio. Hasil penelitian Rudyansjah (2008) juga menyatakan hingga saat ini dominansi etnis Wolio di pemerintahan masih menunjukkan eksistensinya. Hal ini tentu dapat menjadi ancaman dalam sudut pandang kebudayaan, bila atas dasar kekuasaan dimanfaatkan untuk melindungi kebudayaan etnis mayoritas.

Fenomena dominasi etnis tertentu menimbulkan perasaan termajinalkan pada sebagian etnis minoritas yang juga masih merupakan bagian dari Buton, meskipun sejauh ini tidak ada yang mengindikasikan hal tersebut sebagai sumber konflik (Tahara 2011; Ramadhan 2012a). Untuk itu perlu dilakukan kajian pelestarian lanskap sejarah Kota Baubau sebagai kota pusaka di Indonesia, untuk melihat apakah kota ini sudah mantap dalam melindungi pusaka peninggalan sejarahnya secara menyeluruh dan mewakili seluruh kelompok etnis di dalamnya. Mengingat Kota Baubau memiliki keragaman budaya yang tinggi dan menunjukkan kekayaan yang tidak dimiliki daerah lain. Bila pelestarian tidak dilakukan menyeluruh akan menimbulkan kerugian yang sangat berarti di masa yang akan datang

Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini mencakup hal-hal yang dituliskan di bawah ini:

1. Seperti apa karakteristik lanskap sejarah di Kota Baubau?

2. Apakah masyarakat terlibat dalam pelestarian dan adakah manfaatnya bagi masyarakat?

3. Bagaimana pelestarian lanskap sejarah Kota Baubau sejak ditetapkan sebagai kota pusaka?

3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Menginventarisasi peninggalan sejarah serta menganalisis karakter lanskap Kota Baubau.

2. Mengkaji partisipasi masyarakat dalam mendukung Kota Baubau sebagai kota pusaka.

3. Menyusun strategi pelestarian lanskap sejarah di Kota Baubau. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai berikut: 1. Untuk kepentingan ilmu pengetahuan menganai lanskap sejarah. 2. Untuk melestarikan lanskap sejarah di Kota Baubau.

3. Upaya untuk mendukung Kota Baubau sebagai kota pusaka untuk menjadi

World Heritage City.

Ruang Lingkup

Lingkup penelitian ini dibatasi pada kajian lanskap sejarah di Kota Baubau dan dipertimbangkan pula wilayah lain yang memiliki hubungan erat. Konten bukan hanya pusaka tangible tetapi juga intangible baik peninggalan kebudayaan Buton, peninggalan zaman prakerajaan, kolonial, dan pascakemerdekaan yang memiliki keunikan tersendiri. Buton yang dimaksud ialah Buton dalam makna untuk menyebut orang Buton yang terdiri dari enam kelompok etnis utama, yang dulunya merupakan bagian dari Kerajaan dan Kesultanan Buton yang mengacu pada Zuhdi (2012). Pusaka yang dimaksud mengacu pada pengertian pusaka pada Kota Pusaka (2013).

Kerangka pikir dari penelitian ini yakni, Kota Baubau sebagai kota pusaka di Indonesia memiliki beberapa lanskap sejarah. Kawasan Keraton Buton merupakan lanskap yang difokuskan dalam P3KP dan telah dirumuskan ke dalam

heritage map dan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) Kota Baubau karena memiliki banyak peninggalan sejarah. Keadaan ini menimbulkan dampak positif sebab lanskap sejarah di Keraton Buton dapat terlindungi.

Selanjutnya, lanskap sejarah lainnya di Kota Baubau belum mendapatkan perhatian khusus. Hal ini dapat menimbulkan dampak negatif berupa ancaman rusak atau hilangnya sebagian atau seluruh lanskap sejarah tersebut. Untuk itu dilakukan kajian pelestarian lanskap sejarah di Kota Baubau dengan melakukan analisis kualitas dan signifikansi sehingga diperoleh prioritas pelestarian. Selanjutnya, survei kepada masyarakat juga dilakukan untuk melihat parsepsi dan partisipasi dalam pelestarian. Kedua hasil tersebut kemudian disintesis untuk untuk membantu dalam penyusunan strategi pelestarian lanskap sejarah di Kota Baubau (Gambar 1).

4

Gambar 1 Kerangka pemikiran

2

TINJAUAN PUSTAKA

Lanskap Sejarah

Lanskap merupakan bentang alam yang memiliki karakteristik tertentu dan keberadaannya dinikmati oleh panca indera manusia (Simonds dan Starke 2006). Lanskap sejarah secara sederhana dapat dinyatakan sebagai bentukan lanskap tempo dulu dan merupakan bentuk fisik dari keberadaan manusia di atas bumi ini (Harris dan Dines 1988).

Lanskap sejarah merupakan bagian dari peninggalan kebudayaan dalam periode waktu tertentu. Manusia menciptakan pola fisik yang merupakan hasil kebudayaan yang diekspresikan melalui nilai dan sikap dalam bentuk peninggalan

5 artefak. Bentuk peninggalan ini menjadi suatu bukti yang membantu memahami suatu motif kesejarahan (Lennon dan Mathews 1996).

Lanskap sejarah adalah sebuah makna. Makna tersebut dapat digolongkan menjadi dua yaitu makna individual dan makna komunitas. Makna individual yaitu makna berupa memori, hasrat, kebahagian, ataupun melankolis seseorang pada suatu tempat pada periode waktu tertentu. Sedangkan makna komunitas sama seperti dengan makna individual tetapi diyakini sama oleh suatu kelompok atau komunitas. Keunikan lanskap sejarah yaitu pemaknaannya dapat secara individu, kelompok, ataupun individu dan kelompok (Melnick 2008).

Pusaka dan Warisan

Terdapat dua istilah yang sering didengar bahkan menimbulkan kebingungan dalam memproteksi peninggalan bersejarah di Indonesia, yaitu pusaka dan warisan. Pusaka dan warisan jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, keduanya mengacu pada kata heritage. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2013), pusaka adalah harta benda peninggalan orang yang telah meninggal, warisan, barang yang diturunkan dari nenek moyang. Selanjutnya, warisan berasal dari kata waris yang artinya sesuatu diwariskan, seperti harta, nama baik, dan harta pusaka.

Pusaka menurut Piagam Pelestarian dan Pengelolaan Pusaka Indonesia Tahun 2003 meliputi pusaka alam, pusaka budaya, dan pusaka saujana. Pusaka alam adalah bentukan alam yang istimewa. Pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari lebih 500 suku bangsa di tanah air Indonesia, secara sendiri-sendiri, sebagai kesatuan bangsa Indonesia dan dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah keberadaannya. Pusaka budaya mencakup pusaka berwujud (tangible) dan pusaka tidak berwujud (intangible). Pusaka saujana adalah gabungan pusaka alam dan pusaka budaya dalam kesatuan ruang dan waktu (Kota Pusaka 2013).

Penggunaan kata pusaka dalam kegiatan konservasi dimaksudkan untuk benar-benar memproteksi peninggalan-peninggalan bersejarah. Istilah warisan juga sesungguhnya memiliki kesamaan tetapi terdapat pemikiran bahwa warisan itu dapat dibagi dan dapat dijual sehingga menjadi kecil dan dapat habis sedangkan pusaka, akan dijaga sebaik-baiknya bahkan terus diturunkan ke generasi selanjutnya.

Baik pusaka maupun warisan sesungguhnya hanyalah sebuah istilah. Meskipun berbeda dalam penyebutan dan makna filosofis yang tergantung di dalamnya, namun penyebutan pusaka maupun warisan mempunya tujuan yang sama yakni melindungi kebudayaan baik benda maupun tak benda, agar dapat memantapkan jatidiri bangsa.

Pelestarian Lanskap

Menurut UU Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010, pelestarian ialah upaya untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Pelestarian berasal dari kata lestari yang artinya tetap seperti keadaan semula, tidak berubah, kekal. Menurut Mimura, pelestarian adalah perlindungan dari kemusnaan atau kerusakan,

6

pengawetan, konservasi. Pelestarian adalah memperhatikan bangunan yang dimiliki nilai sejarah dan juga mempersoalkan berbagai nilai kemasyarakatan seperti benteng kota yang akrab dikatakan tata perumahan tradisional, maupun kerakyatan, kegiatan masyarakat, dan memelihara kebersihan lingkungan, pesta adat, keagamaan, dan budaya (Antonius 2013).

Tindakan pelestarian dibedakan menjadi enam yaitu preservasi, konservasi, rehabilitasi, restorasi, rekonstruksi, dan rekonstitusi. Preservasi ialah kegiatan mempertahankan suatu lanskap tanpa menambah maupun mengurangi bagiannya. Konservasi ialah kegiatan pencegahan bertambahnya kerusakan yang biasanya terdapat penggantian maupun penambahan. Rehabilitasi merupakan tindakan meningkatkan suatu standar yang bersifat lebih modern dengan tujuan memperkenalkan dan mempertahankan karakter sejarah. Restorasi merupakan pengembalian sebagaimana kondisi awal apabila terjadi sedikit kerusakan. Rekonstruksi yaitu kegiatan menciptakan kembali seperti kondisi awal karena kondisi eksisting sudah tidak ada lagi. Terakhir, rekonstitusi yaitu kegiatan menempatkan atau mengembalikan suatu kawasan sejarah yang sesuai dengan kondisi saat ini (Harris dan Dines 1988).

World Heritage

World heritage dapat dibedakan menjadi menjadi cultural heritage, natural heritage, dan mixed cultural and natural heritage (World Heritage Centre 2005). Cultural heritage dapat berupa:

1. Monumen: karya arsitektur, karya patung monumental, dan lukisan, elemen atau struktur yang bersifat arkeologis, prasasti, gua tempat tinggal dan kombinasi fitur, yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni, atau ilmu pengetahuan.

2. Kelompok bangunan: kelompok bangunan yang terpisah atau terhubung, karena arsitekturnya, homogenitas atau tempat dalam lanskap, yang memilki nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni, atau ilmu pengetahuan.

3. Situs: karya manusia atau karya gabungan alam dan manusia, dan daerah termasuk situs arkeologi yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sejarah, estetika, poin etnologis, atau pandangan antropologi.

Selanjutnya, natural heritage dapat berupa:

1. Fitur alam yang terdiri dari formasi fisik dan biologis atau kelompok formasi tersebut, yang memiliki nilai universal luar biasa dari titik pandang estetika atau sains.

2. Formasi geologi dan fisiografi yang merupakan habitat spesies terancam hewan dan tumbuhan nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang ilmu pengetahuan, atau konservasi.

3. Situs alam atau daerah alam yang digambarkan nilai universal luar biasa dari sudut pandang ilmu pengetahuan, konservasi, atau keindahan alam. Untuk properti dianggap sebagai mixed cultural and natural heritage jika memenuhi sebagian atau seluruh definisi dari kedua warisan budaya dan alam. Dalam penetapannya sebagai world heritage, minimal terdapat satu dari sepuluh kriteria yang dirangkum dalam World Heritage Convention.

7 Pada kasus perkotaan, World Heritage Centre (2005) menyatakan bahwa kelompok perkotaan yang memenuhi syarat menjadi prasasti di World Heritage List dikelompokkan ke dalam tiga utama kategori. Kategori pertama yaitu kota- kota yang tidak lagi dihuni, tetapi menyediakan perubahan arkeologi sebagai bukti dari masa lalu. Umumnya pada kategori ini kota tersebut memenuhi kriteria keaslian dan konservasi oleh negara dapat relatif mudah dikontrol. Kategori kedua yaitu kota-kota bersejarah yang masih dihuni dan sifatnya dapat dikembangkan dan akan terus berkembang di bawah pengaruh sosial-ekonomi dan perubahan budaya. Situasi yang membuat penilaian keaslian kota pada kategori ini lebih sulit dan setiap kebijakan konservasi lebih problematis. Kategori terakhir yaitu kota- kota baru dari abad kedua puluh yang memiliki kesamaan dengan kedua kategori sebelumnya. Organisasi perkotaan jelas dikenali dan keaslian mereka bisa dipungkiri, namun masa depan kota ini cenderung tidak jelas karena perkembangan mereka sebagian besar tak terkendali.

Kota Pusaka

Kota merupakan salah satu lingkungan kehidupan manusia. Kota sebagai ruang hidup yang dapat dikatakan paling kompleks karena perkembangannya dipengaruhi oleh aktivitas pengguna perkotaan yang dinamis karena dipengaruhi oleh tuntutan zaman dan tuntutan hidup. Perkembangan kota cenderung menekankan pada segi ekonomi (Mulyandari 2011).

Sebagaimana dilansir dari Kota Pusaka (2013), kota pusaka bermakna kota yang memiliki kekentalan sejarah yang bernilai dan memiliki pusaka alam, pusaka budaya berwujud dan pusaka budaya tidak berwujud, serta rajutan berbagai pusaka tersebut secara utuh sebagai aset pusaka dalam wilayah/kota atau bagian dari wilayah/kota yang hidup, berkembang, dan dikelola secara efektif.

Maksud dari dicanangkannya kota pusaka yakni untuk mewujudkan reformasi di bidang perencanaan dari tataran perencanaan RTRW ke arah aksi implementasi konkrit yang berbasis kekuatan ruang kota dengan nilai-nilai pusaka di dalamnya sebagai tema utama. Program ini juga dimaksudkan untuk mendorong diakuinya Kota Pusaka Indonesia sebagai Kota Pusaka Dunia oleh UNESCO.

Kota Pusaka memilki tujuan untuk mewujudkan ruang kota yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berbasis rencana tata ruang, bercirikan nilai- nilai pusaka, melalui transformasi upaya-upaya pelestarian menuju sustainable urban (heritage) development dengan dukungan dan pengelolaan yang handal serta penyediaan infrastruktur yang tepat menuju Kota Pusaka Dunia.

Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) diprioritaskan kepada kota/kabupaten anggota Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) mengingat kota/kabupaten tersebut sekurang-kurangnya telah memiliki komitmen dan kepedulian dalam melindungi kekayaan pusaka alam, budaya, dan saujana yang dimilikinya yang ditunjukkan disusunnya RTRW dan heritage map.

Di dalam jaringan inilah, para anggota JKPI secara bersama-sama berupaya mencari jalan dan langkah-langkah nyata dalam mendaya-upayakan kekayaan pusaka bangsa menjadi aset yang bernilai jual tinggi, baik dimata bangsa Indonesia maupun di mata bangsa-bangsa lain di dunia. Tujuan didirikannya jaringan ini adalah untuk menjaga kelestarian benda cagar budaya peninggalan

8

sejarah di Indonesia dan memiliki peran penting didalam melindungi, menata dan melestarikan aset-aset pusaka Indonesia.

Dari puluhan kabupaten/kota yang tergabung dalam JKPI, terpilih 26 kabupaten/kota yang menyatakan komitmennya dalam mendukung P3KP. Sebanyak 26 kabupaten/kota tersebut kemudian dibagi menjadi tiga kelompok yakni kelompok A, B, dan C yang pada intinya disesuaikan dengan tingkat pemahaman pusaka, kelengkapan dan kedalaman substansi proposal, kesiapan dan keseriusan daerah di dalam melaksanakan program P3KP (yang telah dan akan dilaksanakan), dan kompetensi SDM daerah terkait. Penjabaran ketiga kelompok tersebut sebagai berikut:

1. Kota dan kabupaten kelompok A yang telah memiliki kesiapan dan pengalaman dalam pengelolaan kawasan pusaka dan kepadanya akan diberikan fasilitasi penyusunan Rencana Manajemen Kota Pusaka (Heritage City Management Plan), fasilitasi awal dukungan pemangku kepentingan, dan fasilitasi kampanye publik.

2. Kota dan kabupaten kelompok B yang sudah memiliki identifikasi kawasan pusaka namun pengelolaannya masih terbatas dan kepadanya akan diberikan pendampingan capacity building tingkat lanjut agar pada tahun berikutnya siap menerima fasilitasi penyusunan Rencana Manajemen Kota Pusaka (Heritage City Management Plan).

3. Kota dan kabupaten kelompok C yang masih pada tahap persiapan dan kepadanya akan diberikan pendampingan capacity building tingkat dasar dan kemudian dipersiapkan untuk memperoleh fasilitasi capacity building

tingkat lanjutan.

Kota Baubau

Kota Baubau merupakan salah satu kota yang berada di Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebagai salah satu kota pusaka, Baubau masuk dalam kelompok A. Secara legal, Kota Baubau terbentuk menjadi daerah otonom dan mandiri lepas dari kabupaten induk (Kabupaten Buton) berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2001. Meskipun terbilang masih muda, Kota Baubau sesungguhnya memiliki catatan sejarah yang panjang, yang tidak bisa dipisahkan dengan kota lama yang mendahuluinya.

Sejarah Kota Baubau dimulai pada periode tahun 1226-1246 dengan dibangunnya pemukiman awal berupa dua buah kampung di daerah yang kini dikenal dengan kawasan Benteng Keraton Buton. Pada periode selanjutnya, permukiman berkembang dan akhirnya menjadi empat buah kampung. Pada periode tahun 1332-1511 ditandai dengan terbentuknya Kerajaan Buton dan empat perkampungan tersebut menjadi ibukota kerajaan (Azizu et al.2010). Hal tersebut didukung melalui salah satu kalimat dalam Negarakertagama pada tahun 1365 yang menyebut Butun (atau Buton) sebagai salah satu bagian wilayah Majapahit. Pada periode waktu tersebut hingga tahun 1900an, yang dikenal bukanlah Kota Baubau melainkan Negeri Butuni (Butun, Butung, atau Buton) (Adji 2013).

Pada periode tahun 1511-1634 ditandai dengan berubahnya sistem pemerintahan dari kerajaan menjadi kesultanan. Perkembangan empat kampung tersebut selanjutnya menjadi sembilan kampung. Periode tahun 1634-1928 dibangun benteng yang mengelilingi Keraton Buton (Azizu et al. 2010). Kawasan

9 Benteng Keraton sebagai pusat pemerintahan kesultanan tidak berubah pada masa pemerintahan Hindia Belanda, namun terjadi pergeseran center of network yang terletak di sekitar pantai yang merupakan pusat pemerintahan dan administrasi pemerintah Hindia Belanda dijalankan. Pergerseran pusat kota dari wilayah Benteng Keraton Buton dari atas bukit menuju pantai berjarak sekitar 2 km. Inilah asal muasal penyebutan Kota Baubau yang dalam bahasa daerah setempat berarti

Dokumen terkait