• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Situasional

Objek sejarah di Kota Baubau yang telah didata oleh BPCB Makassar, tercatat sebanyak 14 objek. Objek-objek tersebut terdiri atas makam, struktur benteng, istana/rumah adat, dan mesjid. Pergantian undang-undang mengenai cagar budaya membuat objek-objek tersebut masuk ke dalam kategori sedang dalam proses. Untuk itu harus dilakukan penetapan ulang oleh pemerintah setempat dengan mengeluarkan surat keputusan. Berdasarkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Baubau 2011-2030, terdapat dua kawasan yang menjadi kawasan cagar budaya. Kedua kawasan tersebut yaitu lanskap Keraton Buton dan Baadia menjadi kawasan cagar budaya (Gambar 4).

Gambar 4 Rencana tata ruang wilayah Kota Baubau tahun 2011-2030 Setelah ditetapkan menjadi kota pusaka tahun 2012, hal yang telah dilakukan di Kota Baubau yaitu inventarisasi aset pusaka mikro dan juga zonasi kawasan prioritas kota pusaka (Gambar 5). Zona tersebut dibuat berdasarkan pola sebaran aset pusaka makro yang ada di Kota Baubau yang berhubungan dengan keberadaan lanskap Keraton Buton sebagai masterpiece Kota Pusaka Baubau.

19 Namun dari pola zona yang terbentuk terlihat batas-batas yang dibentuk berdasarkan objek terluar bukan berdasarkan batas kultural objek. Terlebih belum semua aset pusaka makro terinventarisasi oleh tim kota pusaka.

Kawasan Benteng Keraton Buton menjadi kawasan inti karena memiliki nilai sakral yang tinggi. Selain menetapkan kawasan inti, ditetapkan pula lima kawasan penyangga yaitu pelabuhan lama, Lipu Katobengke, Wajo, Baadia, dan Sorawolio (Dirjen Penataan Ruang 2013).

Konsep Ruang

Bagian tubuh manusia mampu menjabarkan mikro dan makro kosmos di Kota Baubau. Malihu (2011) telah menggambarkan hubungan manusia di Buton dengan rumah dan perahu namun gambaran tersebut tidak dapat menjelaskan lebih banyak mengenai pola spasial dan orientasi Kota Baubau secara mikro dan makro kosmos. Perwujudan manusia sangat kental pada kosmologi rumah yang terdiri atas kepala, badan/perut, dan kaki. Pada rumah, bagian kepala disebut

bhoba, bagian perut disebut tonga, dan bagian kaki disebut tamb(e)i. Posisi dinding dan rangka juga tidak boleh terbalik karena diibaratkan akan menimbulkan kecacatan apabila hal ini diabaikan. Dinding diibaratkan sebagai kulit dan rangka sebagai tulang. Begitupun pada halaman rumah. Bagian depan rumah merupakan perwujudan tubuh bagian depan dan halaman belakang merupakan perwujudan tubuh bagian belakang.

Perahu juga memiliki kesamaan dengan manusia yang terdiri atas rope

(labuan), puse (tengah/pusat), dan wana (buritan) yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang hidup. Perahu dipandang sebagai rumah kedua yang berkedudukan setara tetapi berbeda fungsi dengan rumah tinggal. Hubungan rumah dan perahu

20

dianggap sebagai suami dan istri yang saling melengkapi serta menyeimbangkan kehidupan (Malihu 2011). Sebagaimana halnya rumah, kayu penyusun bagian perahu juga tidak boleh terbalik (Maula et al. 2011).

Bagi masyarakat Buton, daratan dan lautan sama penting sebagaimana dua sisi perahu (Malihu 2011). Kesetaraan tersebut sudah tercermin sejak masa pemerintahan Raja Buton ke-4 terhadap ketetapan mengenai penghasilan raja (Zahari 1977a). Perahu menggambarkan keseimbangan bagian rope dan wana

yang dihubungkan oleh puse. Bila mengabaikan salah satunya, maka perahu tidak mampu mencapai tujuannya. Perkembangan kota di Baubau terlihat mengikuti pola perahu. Bagian utara merupakan perairan selat dan teluk Buton, bagian tengah merupakan keraton sebagai pusat pemerintahan, dan bagian selatan merupakan ruang terbuka hijau dan lahan pertanian (Gambar 6). Rumah yang berada di dalam lanskap kota Baubau menggambarkan isi perahu dalam hal ini manusia.

Gambar 6 Pola perkembangan Kota Baubau yang mengikuti pola perahu Jika melihat posisi Kota Baubau terhadap wilayah bekas Kesultanan Buton, polanya juga serupa. Barata Muna, Barata Tiworo, dan Moronene berada di rope.

Barata Kulisusu dan Barata Kaledupa berada di wana. Kota Baubau (Keraton Buton) sebagai ibukota kesultanan terletak di puse atau bagian tengah yang menyatukan rope dan wana. Hal ini sejalan dengan naskah kabanti, sebuah naskah tradisional dalam kesultanan Buton yang menyebutkan Buton sebagai negeri perahu (Gambar 7).

21 Masyarakat Buton menganggap kepala, depan, dan atas bukanlah lebih baik dari kaki, belakang, dan bawah sebab sebagaimana tubuh manusia, semua bagian tubuh memiliki fungsi masing-masing dan tidak dapat bekerja sendiri-sendiri. Prinsip keseimbangan ini tercermin dari seluruh aspek kehidupan di Buton seperti sistem pemeritahan lahiriyah dan batiniyah, pembagian peran masyarakat, pembagian tata ruang, serta hak dan kewajiban daerah bagian kesultanan. Semua itu terangkum sebagaimana falsafah yang dipegang masyarakat untuk saling menyegani, mengayomi, menyayangi, dan menghormati.

Karakter Lanskap Sejarah

Berdasarkan data yang diperoleh melalui penelusuran sejarah dan observasi lapang, lanskap sejarah di Kota Baubau, terdapat 17 lanskap sejarah berdasarkan keterikatan sebaran objek dan batas kulturalnya (Gambar 8). Ke-17 lanskap sejarah tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok berdasarkan karakter periode terbentuknya yaitu peninggalan prakerajaan, peninggalan kerajaan dan kesultanan, peninggalan kolonial, dan pascakemerdekaan.

Lanskap prakerajaan diwakili oleh lanskap pesisir tua dan Labalawa. Lanskap kerajaan dan kesultanan antara lain lanskap Keraton Buton, Waborobo, Lowu-Lowu dan Kolese, Lipu Katobengke dan sekitarnya, serta Benteng Sorawolio. Selanjutnya Baadia dan Sambali, Wajo, Loji-Kotamara dan sekitarnya, Liwuto Makasu serta perairan Selat dan Teluk Buton, dan juga Ciacia dan Kaisabu. Lanskap kolonial antara lain lanskap kolonial dan awal kemerdekaan,

22

pecinan, Wakonti, dan Palabusa. Sedangkan lanskap pascakemerdekaan yang unik yaitu lanskap Waliabuku dan Ngkaring-Ngkaring (Tabel 5). Lanskap-lanskap tersebut terbentuk menjadi satu kesatuan karena kesamaan gaya, fungsi, dan nilai yang disepakati oleh masyarakat setempat (Shamsuddin et al. 2012).

Gambar 8 Peta sebaran lanskap sejarah Kota Baubau Prakerajaan

Zona prakerajaan berada pada Lanskap Pesisir Tua dan Labalawa (Gambar 9). Lanskap ini berisi peninggalan-peninggalan zaman sebelum Kerajaan Buton terbentuk. Objek sejarah sulana tombi merupakan bekas lubang tiang bendera yang hingga saat ini, bendera tersebut menjadi lambang kebesaran raja-raja di Buton dan dinamakan Tombi Pagi. Diriwayatkan rombongan Sipanjonga dan rekannya Simalui mendarat di Kalampa dan mengibarkan bendera kebesarannya tersebut. Sipanjonga dan Simalui kemudian bertemu dengan Sitamanajo dan Sijawangkati yang mendarat di tempat lain hingga akhirnya tinggal bersama di Kalampa dan menjadi perkampungan yang besar dan ramai. Mereka berempat inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Mia Patamiana atau si empat orang dari Johor. Keempat orang ini pula yang secara turun-temurun menjadi pemuka adat siolimbona di masa Kerajaan dan Kesultanan Buton (Zahari 1977a).

Lokasi yang sangat dekat dengan pantai, membuat Sipanjonga bersama pengikut-pengikutnya berpindah ke arah daerah yang lebih tinggi. Daerah yang mereka pilih ditumbuhi banyak semak belukar dan kemudian mereka menebasnya. Kegiatan menebas ini disebut welia dan merupakan cikal bakal penamaan Wolio sebagai pusat kebudayaan Buton. Sijawangkati mendapat enau, kemudian diam- diam mengambil enau tersebut dan ternyata enau tersebut ada pemiliknya yang artinya tempat tersebut telah ada penghuninya. Pemilik enau tersebut adalah Dungkucangia, Raja Tobe-Tobe yang berasal dari Tiongkok. Suatu waktu mereka bertemu dan berkelahi namun tidak ada yang kalah sehingga mereka berdamai dan

23 bermufakat untuk hidup bersama (Zahari 1977a). Bekas peninggalan Kerajaan Tobe-Tobe dapat dijumpai di sebelah barat perkampungan Labalawa. Peninggalanya antara lain Benteng Tobe-Tobe yang dulunya merupakan istana Dungkucangia. Di benteng ini dulu ditemukan topi kebesaran Dungkucangia yang kini telah dipindahkan oleh pemerintah untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti pencurian ataupun pengrusakan.

Tabel 5 Penyusun karakter masing-masing lanskap sejarah Kota Baubau No Lanskap Karakter penyusun

Prakerajaan

1 Pesisir tua dan Labalawa Situs-situs peninggalan kerajaan Tobe-Tobe dan peninggalan awal Kerajaan Buton

Kerajaan dan kesultanan

2 Keraton Buton Struktur benteng, mesjid, rumah adat Buton, lembaga adat Buton

3 Waborobo Pemukiman tradisional, bahasa, dan hutan adat 4 Lowu-Lowu dan Kolese Struktur benteng dan goa

5 Lipu Katobengke dan sekitarnya

Bekas permukiman tua, permukiman tradisional, situs megalitik, dan kebudayaan etnis Katobengke 6 Benteng Sorawolio Struktur benteng dan mesjid

7 Baadia dan Sambali Struktur benteng, rumah adat Buton, dan kebudayaan Buton

8 Wajo Bangunan tradisional 9 Loji-Kotamara dan

sekitarnya

Pemukiman tradisional dan kebudayaan Buton 10 Liwuto Makasu serta

perairan Selat dan Teluk Buton

Makam sultan Buton ke-6, perairan, dan kebudayaan Liwuto Makasu

11 Ciacia dan Kaisabu Lembaga adat dan Bahasa Ciacia serta Kaisabu Kolonial

12 Kolonial dan awal kemerdekaan

Bangunan bergaya arsitektur art deco 13 Pecinan Pertokoan tua Tionghoa

14 Wakonti Bak air kolonial dan tanah katampai Wa Ode Wau 15 Palabusa Bangunan bergaya arsitektur art deco

Pascakemerdakaan

16 Waliabuku Lembaga adat dan permukiman bergaya Bugis dan Waliabuku

17 Ngkaring-Ngkaring Lembaga adat, persawahan, dan permukiman bergaya Bali

Permukiman Tobe-Tobe eksis hingga tahun 1960an. Permukiman ini ditinggalkan karena adanya wabah penyakit. Masyarakat Tobe-Tobe kemudian berpindah di perkampungan Labalawa dan sebagian ke daerah Batauga, Kabupaten Buton. Sisa-sisa permukiman Tobe-Tobe dapat ditemukan tidak jauh dari Benteng Tobe-Tobe. Terdapat ratusan makam dengan nisan kuno yang terbuat dari batu. Dapat ditemukan pula bekas Mesjid Tobe-Tobe dan situs kaluku gadi didepannya. Kaluku gadi menurut masyarakat setempat merupakan lambang diplomasi (Safarudin 9 Maret 2014, komunikasi pribadi). Tetapi, ada indikasi

24

bahwa situs tersebut dulunya merupakan jam untuk melihat arah bayangan matahari guna menentukan waktu shalat sebab saat mengunjungi situs terlihat adanya bayangan yang dihasilkan oleh situs. Di belakang mesjid, terdapat makam imam terakhir mesjid Tobe-Tobe yang hingga akhir hayatnya menolak untuk berpindah tempat.

Perkampungan Labalawa juga memiliki mesjid. Di dalam mesjid terdapat sebuah batu pipih yang berasal dari Mesjid Tobe-Tobe. Batu pipih tersebut memiliki nilai sakral bagi masyarakat Labalawa. Setidaknya terdapat tiga buah batu yang bermakna bagi masayarakat Labalawa selain batu dari Mesjid Tobe- Tobe, yaitu Batu Wamunante dan juga batu di Mata Air Kampebuni. Batu di Mata Air Kampebuni telah tertimbun longsor. Batu tersebut berwarna hitam, mengkilat, licin, dan tidak ditumbuhi lumut. Mata air Kampebuni digunakan sebagai salah satu air yang digunakan untuk memandikan sultan saat dilantik yang terletak di dekat hutan kaombo (hutan larangan) di Labalawa (Safarudin 9 Maret 2014, komunikasi pribadi).

Gambar 9 Lanskap pesisir tua dan Labalawa

Permukiman Labalawa tergolong sangat baik karena arsitektur tradisionalnya terpelihara dengan baik dibandingkan dengan permukiman- permukiman lain di Kota Baubau. Situs sejarah di Labalawa cukup banyak seperti makam Dungkucangia dan makam Sipanjonga yang terletak di Benteng Labalawa yang memiliki kaitan dengan ritual-ritual pertanian di Labalawa. Benteng Labalawa bukan benteng yang tersusun atas batu tetapi merupakan tempat dilaksanakan upacara-upacara adat seperti upacara kagasiano liwu yang berlanggsung selama 40 hari 40 malam dan ritual-ritual yang berhubungan dengan pertanian. Di Benteng tersebut juga terdapat Batu Wolio Labalawa sebagai perlambang pertemuan Dungkucangia dan Sipanjonga. Selain itu terdapat pula

25 Sejauh 33.5 m dari makam Dungkucangia, terdapat katingkaa sebagai tempat dilaksanakan pertemuan untuk menetapkan tanggal dimulainya aktivitas bertani. Masyarakat setempat melakukan budidaya organik sesuai tradisi mereka selama ratusan tahun. Masyarakat juga membudidayakan tanaman dengan benih lokal dari nenek moyang mereka namun belum ada upaya dari pemerintah untuk mendaftarkannya benih lokal tersebut menjadi varietas lokal sebagai warisan kekayaan sumberdaya genetis dan kebanggan daerah. Setidaknya terdapat 6 jenis jagung dan 4 jenis kacang panjang lokal yang dibudidayakan petani setempat.

Budaya intangible lainnya di Labalawa antara lain: (1) sistem pemerintahan adat yang dipimpin oleh pangasa dan dua orang wati; (2) kesenian lokal seperti tarian kanaga-naga dan tarian lingge-lingge; (3) profesi petani sekaligus nelayan tradisional, dan (4) dua buah bahasa lokal yaitu Bahasa Labalawa dan Bahasa Tobe-Tobe. Bahasa Tobe-Tobe keberadaanya memprihatinkan karena penuturnya tersisa 3 orang dan telah memasuki usia sepuh.

Lanskap Pesisir Tua dan Labalawa juga termasuk Perkampungan Sulaa yang dikenal dengan Kampung Tenun Buton karena mayoritas wanita di sana berprofesi sebagai penenun tradisional. Perkampungan Sulaa sendiri tidak dapat dipisahkan dengan komunitas Labalawa sebab batas kultural Labalawa memang sampai dipesisir. Itulah sebabnya di perkampungan ini ditemukan banyak etnis Labalawa. Di perkampungan ini terdapat makam sapati Manjawari. Beliau adalah

sapati (perdana menteri) pertama dalam sistem Kerajaan Buton pada masa pemerintahan Raja Buton ke-3 (Disbudpar Kota Baubau 2013). Namun, riwayat lain menyebutkan bahwa Manjawari dimakamkan bukan di Sulaa melainkan di Kabaena tepatnya di pegunungan Enano (Zahari 1977a).

Tidak jauh dari Sulaa terdapat Benteng Kalampa (Gambar 10). Benteng tersebut memiliki ukuran 25 x 15.30 m dengan tinggi 1-2 m dan ketebalan dinding 30-130 m. Elemen utama benteng yaitu dinding benteng dan 3 buah bastion di arah barat, timur, dan selatan (Disbudpar Kota Baubau). Berbeda dengan benteng- benteng lain di Kota Baubau, Benteng Kalampa tidak direkatkan. Keberadaanya tidak terawat bahkan pernah dijual belikan untuk dijadikan resort namun setelah dipertentangkan oleh masyarakat adat, keberadaan benteng zaman prakerajaan ini bisa terselamatkan (Pratama et al. 2013).

Makam Betoambari terletak di Kelurahan Katobengke tidak jauh dari Benteng Kalampa. Betoambari merupakan anak Sipanjonga dengan pernikahannya dengan adik Simalui yang bernama Sibaana. Betoambari semasa hidupnya menemukan Kerajaan Kamaru dan menikahi putri Raja Kamaru bernama Waguntu. Pernikahan Betoambari dengan Waguntu membawa pengaruh yang sangat besar bagi Wolio (saat itu kerajaan Buton belum lahir) karena dua buah negeri yang besar yaitu Tobe-Tobe dan Kamaru bersatu (Zahari 1977a).

26

Goa Moko terletak di Pantai Nirwana. Goa berair payau ini masih menyimpan misteri sejak ditemukannya ratusan keramik yang berasal dari Tiongkok di dalamnya beberapa tahun silam (Coppenger 2011). Belum ada jawaban mengapa keramik tersebut berada di dasar goa tersebut. Saat ini Goa Moko menjadi objek wisata andalan bagi pengunjung Pantai Nirwana namun pengawasannya belum terlalu baik yang dilihat dari adanya beberapa sampah yang mengambang di permukaannya.

Kerajaan dan kesultanan

Zona kerajaan dan kesultanan meliputi Keraton Buton, Baadia dan Sambali, Benteng Sorawolio,Waborobo, Lowu-Lowu dan Kolese, Liwuto Makasu dan Perairan Selat Buton, Lipu Katobengke dan sekitarnya, Wajo, Loji-Kotamara dan sekitarnya, serta Ciacia dan Kaisabu. Wilayah-wilayah ini terbentuk pada saat pemerintahan kerajaan dan kesultanan didirikan.

Keraton Buton

Keraton bagi masyarakat Buton bermakna sebagai ibukota sebagai pusat pemerintahan. Berbeda halnya dengan keraton-keraton di Jawa yang berupa kompleks istana raja, Keraton Buton memiliki beberapa elemen penting di dalamnya. Hal ini didasari karena adanya perbedaan sistem pemerintahan pada Kerajaan dan Kesultanan Buton. Keraton dalam pengertiannya di Buton ialah kotaraja atau kompleks permukiman perangkat pemerintahan kerajaan/kesultanan yang bersifat spesial, yang di dalamnya terdiri atas beberapa elemen penting baik wujud maupun tak wujud, serta dikelilingi oleh benteng pertahanan (Gambar 11). Pada dasarnya sistem pemerintahan kerajaan terbentuk sebelum Islam masuk ke Buton dan kesultanan setelah Islam masuk. Penyebutan kawasan Benteng Keraton Buton sebagai sebuah kota, disebutkan dalam naskah tradisional Buton yakni

kabanti yang berjudul Ajonga Inda Molusa.

27 Pada masa kesultanan yang diperkirakan mulai pada tahun 1542, pemerintahan di Buton memiliki dua kelembagaan berbeda yaitu kelembagaan

lahiriyah dan kelembagaan batiniyah. Hal ini didasari atas pemikiran bahwa suatu negara diibaratkan oleh tubuh manusia yang akan sempurna bila memiliki jasad dan roh. Kelembagaan lahiriyah (sara ogena) dipimpin oleh sapati sedangkan kelembagaan batiniyah (sara kidina) dipimpin oleh imam mesjid. Kedua sara ini bertanggung jawab kepada sultan. Sultan sendiri mendapat mandat dari

siolimbona, semacam dewan legislatif pada sistem pemerintahan kesultanan Buton (Addin et al. 2011a; Addin et al. 2011b; Addin et al. 2011c; Zahari 1977a).

Keraton Buton terdiri atas sembilan kampung utama yang memiliki peran penting terhadap kelangsungan pemerintahan. Kampung-kampung tersebut antara lain Barangkatopa, Baluwu, Gundu-Gundu, Dete, Rakia, Melai, Peropa, Gama, dan Siompu (Azizu et al.2011). Perkampungan ini dikelilingi oleh benteng yang disusun dengan menggunakan batu kapur dan direkatkan dengan larutan kapur serta pasir. Benteng tersebut merupakan buah karya masyarakat Buton yang dibangun pada masa Sultan Buton ke-3 bernama La Sangaji dengan gelar Sultan Kaimuddin yang kemudian dijadikan permanen pada masa Sultan Buton ke-4 bernama La Elangi atau Sultan Dayanu Ikhsanuddin. Benteng Keraton Buton memiliki enam elemen penting yaitu dinding benteng, lawa (gerbang), baluara

(bastion), badili (meriam), lubang pengintaian pada dinding benteng, serta parit pertahanan pada topografi yang datar dan dahulu ditanami tumbuhan beracun, berduri, menimbulkan efek gatal, serta ditempatkan pula hewan-hewan berbisa (Gambar 12).

Panjang benteng 2 740 m dengan tinggi berkisar antara 3-5 m dan luas 23.375 hektar yang menjadikan Benteng Keraton Buton sebagai benteng terluas di dunia. Jumlah gerbang sebanyak 12 dan dan bastion sebanyak 16. Jumlah meriam yang terdapat di sepanjang keliling benteng sebanyak 31 buah dan yang berada di dalam benteng sebanyak 5 buah (Disbudpar Kota Baubau 2013). Rahman et al.

(1994) sebelumnya melaporkan bahwa jumlah meriam di sepanjang keliling benteng ada 32 buah yang artinya saat ini terdapat satu lagi meriam yang saat ini berpindah dalam kurun 20 tahun terakhir. Sebelumnya, jumlah meriam di Benteng Keraton Buton dilaporkan sebanyak 46 buah dan bahkan lebih dari 100 tetapi dipindahkan ke beberapa gedung pemerintahan. Keberadaan lubang pengintaian dan parit sebagai salah satu elemen penting benteng sering terlupakan. Beberapa bagian benteng yang pernah dipugar, terlihat mengabaikan keberadaan lubang pengintaian. Untuk parit sendiri, beberapa diantaranya terlihat ditimbun untuk dijadikan jalur sirkulasi manusia.

28

Di dalam benteng terdapat sebuah gundukan bukit berongga yang disebut Bukit Turisina. Di bukit ini beridiri sebuah mesjid yang dikenal dengan nama Mesjid Agung Keraton Buton (Masigi Ogena) yang didirikan tahun 1712 pada masa Sultan Buton ke 19 (Addin et al. 2011d). Dinding mesjid berbahan batu kapur, atap berbentuk jurai, dan puncak berbentuk pelana. Kapasitas mesjid dapat menampung 677 jamaah. Elemen-elemen penting dari mesjid ini antara lain adanya tempayan, bedug, lampu lilin, serambi dan bak penampungan air, 10 buah pintu darurat, pintu imam dan pintu utama, 12 buah jendela, tempat tongkat perangkat mesjid, mihrab, dan dua buah meriam di depan mesjid. Dilihat dari bentuk dan elemennya, ada indikasi bahwa Mesjid Agung Keraton Buton mengalami pengaruh budaya Tiongkok dan Jawa sebab serupa dengan bentuk awal mesjid-mesjid kuno di Jawa pada abad 15-16 akibat pengaruh pertukangan Tiongkok (Handinoto dan Hartono 2007). Selain sebagai tempat shalat, Mesjid Agung Keraton Buton juga berfungsi sebagai tempat pengangkatan sultan, perundingan/musyawarah, perayaan hari-hari besar islam, mengumumkan masalah penting negeri, tempat menginap musafir, tempat pengajaran islamiah, tempat menyembayangkan jenazah, pemakaman pembesar negeri, dan juga ziarah (Rahman et al. 1994).

Di sebelah mesjid, terdapat tiang bendera kesultanan yang disebut kasulana tombi. Tiang bendera ini digunakan untuk mengibarkan bendera Kesultanan Buton, longa-longa. Kayu yang digunakan berasal dari Negeri Siam, dengan tinggi 21 m dan diameter 25-70 cm. Tiang bendera ini pernah rusak pada masa pemerintahan Sultan Buton ke-30 dan diperbaiki pada masa Sultan Buton ke-31 (Pratama et al. 2013; Rahman et al. 1994).

Perbedaan Kesultanan Buton dengan kesultanan lainnya ialah bahwa setiap sultan memiliki istananya masing-masing karena istana tidak diwariskan secara turun temurun. Disebut kamali jika kediaman sultan tersebut didiami oleh permaisuri yang juga turut dilantik ketika sang suami dilantik sebagai sultan (Mulku AM 13 Februari 2014, komunikasi pribadi). Di dalam Benteng Keraton terdapat dua buah kamali yaitu Kamali Bata, Istana Sultan Buton ke-32 dan Kamali Kara, Istana Sultan Buton ke-37 (Gambar 13). Perlu diluruskan pula bahwa Kamali Kara merupakan istana Sultan Muhammad Umar dengan gelar Sultan Kaimuddin IV. Tamburaka (2010) mereproduksi gambar Kamali Bata dari buku Die Sunda–Expedition des Vereins für Geographie und Statistik zu Frankfurt am Main karya Elbert. Tamburaka menyatakan bahwa Kamali Bata adalah istana Sultan Murhum dengan gelar Sultan Kaimuddin. Kesalahpahaman ini kemungkinan muncul karena adanya kemiripan gelar. Dalam bukunya, Elbert (1911) melakukan perjalanan ke Buton pada tahun 1909. Tahun 1909 sangat dekat dengan periode jabatan Sultan Muhammad Umar menjabat yakni pada tahun 1885-1904, bukan pada saat masa pemerintahan Sultan Murhum 1491-1537.

Beberapa situs peninggalan Kerajaan dan Kesultanan Buton dalam lanskap Keraton Buton antara lain Batu Popaua (batu pelantikan/yoni), Batu Yigandangi (lingga), Batu Peropa, Batu Baluwu, Batu Kenia Sumpa, situs Pesantren Kenepulu Bula, Jangkar VOC, Baruga Wolio, galampa, Goa Arupalakka, beberapa makam raja, sultan, dan perangkatnya, serta rumah masyarakat dengan gaya arsitektur tradisional Buton. Kebudayaan intangible yang masih terpelihara dengan baik di lanskap Benteng Keraton antara lain ritual pengrajin emas dan perak yang menurut kisah didatangkan oleh Raja Buton ke-4 (Zahari 1977a; Rabani 2010),

29 pengrajin pakaian adat, penenun tradisional, Bahasa Wolio, kuliner tradisional, seni, serta adat dan nilai-nilai luhur. Selain itu di lingkungan keraton sampai saat ini hari-hari resmi zaman kesultanan yang diadatkan juga masih terpelihara seperti

pakandeana anana maelu pada 10 Muharram, gorana oputa pada 12 malam Raubiul Awal hingga malam ke 30, haroa rajabu pada jumat awal bulan Rajab,

sisifu-sya-a-bani pada 14 atau 15 bulan Sya’ban, Ramadhan, rara-e-ya mpu 1 Syawal, dan rara-e-ya mpu 10 Dzulhidjah (Zahari 1977c).

Dokumen terkait