• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dasar-dasar Aksioma Filosofis

Dalam dokumen Islamic Politics Economic Politics For W (Halaman 48-57)

Setelah menetapkan bahwa ekonomi Islam adalah ekonomi systemic politik di belahan dunia kususnya di Indonesia. Epistemologi institusi dan fungsi semuanya saling terkait melalui yang terungkap melalui pengetahuan, untuk menilai sifat sistemiknya, juga penting untuk dicari aksioma dasar atau fondasi filosofisnya, yang mana tidak mungkin dilakukan untuk berbicara tentang sistem ekonomi. "Inilah fondasi yang menghasilkan perilaku agen ekonomi serta institusi dalam system; dan karenanya efektif menentukan micfoundations ekonomi islam itu. "(Arif, 1989: 84).

Ekonomi Islam terkemuka oleh Chapra (1994 dan 2000), Siddiqi (1991), Naqvi (1981 dan 1994), Ahmad (1980, 1994 dan 2003) dan Sirageldin (2002) telah mengembangkan sebuah pendekatan aksiomatis untuk mengembangkan fondasi konseptual ekonomi Islam dengan menerapkannya Ekonomi moral Islam atau etika sebagai ideal yang melaluinya ekonomi dan sosial kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi, serta setiap aspek kehidupan manusia, dinilai. Perlu dicatat bahwa fondasi filosofis ekonomi Islam sepenuhnya berbeda dengan system lainnya, seperti kapitalisme dan sosialisme, seperti dalam hal ini Pendekatan Islam dipandang sebagai system etika. Ini memang memberikan pilar penting melalui mana sifat sistemiknya akan terbentuk. (translate penulis).102

101

Ibid

102

Mehmet Asutay, A Political Economy Approach to Islamic Economics: Systemic Understanding for an Alternative Economic System, Kyoto Bulletin of Islamic Area Studies 2007, Vol. 1, No. 2, hlm. 4.

Dalam teori pembuktian relasi politik ekonomi, politik Islam dengan negara untuk mensejahterakan ummat, merupakan bagian dari perintah agama Islam, para ulama biasanya menempuh dengan dua metode pendekatan: Pertama; perdekatan

normatif Islam. Metode ini menekankan pada pelacakan nash-nash Al-Qur‟an dan sunnah Nabi yang mengisyaratkan adanya praktek pemerintahan yang dilakukan oleh Nabi dalam rangka siyasah syar‟iyyah. Kedua; pendekatan Deskriptif Historis. Metode ini berupaya mengidentikkan tugas-tugas yang dilakukan oleh nabi dibidang muamalah sebagai tugas-tugas negara dan pemerintahan. Diantaranya Al Maqāsid Al Syar‟iyyah

yang utama adalah merealisir “kemashlahatan” manusia dalam kehidupan ini, menarik keuntungan bagi manusia serta melenyapkan bahaya dari mereka. Kemashlahatan manusia dalam kehidupan ini terdiri dari beberapa hal yang bersifat dharūriyah

(kebutuhan primer), hājiah (kebutuhan sekunder), dan tahsīniyah (kebutuhan pelengkap).103 Setiap hukum yang disyari‟atkan Allah, tidak mungkin lepas tujuannya dari tiga unsur diatas.

Dalam konteks Dharuriyah, khususnya “menjaga negara”, Islam mewajibkan

kepada kaum muslimin agar mereka mempunyai negara yang memerintah mereka dengan hukum yang telah diturunkan Allah dan mengembangkan risalah Islam kepada umat manusia, dengan kata lain memiliki negara yang mengurusi urusannya dengan Islam yang diimaninya sebagai akidah dan sistem kehidupannya. Sesungguhnya Islam telah menjamin haknya ini sehingga Islam telah mendirikan negara khilafah sebagai fardhu kifayah dan merupakan salah satu kewajiban yang paling agung dan paling besar diantara fardhu-fardhu lainnya sebagaimana yang telah ditunjukkan dalam nash-nash

syara‟.104

Maqashid al-syariah adalah tujuan atau maksud dari pada syariah. Mengutip pendapat Qomaruddin dalam Maqosidus Syariah : Maslahah Sebagai Metode Pengembangan Ekonomi Islam,105 diuraikan bahwa para Ulama memiliki tiga pendapat yang berbeda.

Yang pertama pendapat dari Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa tujuan dari pada turun nya wahyu Allah SWT mengenai sebuah system di dalam Hukum Islam atau Syariah adalah dalam rangka mencapai keadilan (al-adl). Pendapat yang kedua menyatakan bahwa tujuan daripada syariah adalah untuk mencapai kebahagiaan yang abadi (Sa‟adah haqiqiyah). Pendapat yang ketiga yaitu pendapat dari Imam al-Ghazali yang mengatakan bahwa tujuan dari pada syariah itu untuk mencapai dan merealisasikan manfaat dan semua kepentingan (maslahah) yang begitu banyak untuk semua ummat manusia di dunia ini.

Hubungan antara Maqashid Syariah dengan mashlahah kaitannya sangat erat sekali. karena tujuan daripada maqashid syariah itu sendiri adalah untuk mencapai mashlahah. Bahkan para Ulama‟ seperti Imam Al-Ghazzali, Asy-Syathibi dan lain-

103 Abdul Wahhāb Khallāf, Kaedah-kaedah Hukum Islam, terjemahan dari Ilmu Ushūl al Fiqh oleh

Noer Iskandar dan Moh. Tolchah Mansoer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo), cet. VI, thn.1996, hlm. 331

104 Ismah Tita Ruslin, Eksistensi Negara Dalam Islam (Tinjauan Normatif dan Historis), Jurnal

Politik Profetik Volume 6 Nomor 2 Tahun 2015, hlm. 8

105

Qomaruddin, 2015, artikel Maslahah Sebagai Metode Pengembangan Ekonomi Islam

lainya, telah merumuskan bahwa tujuan Syariah Islam itu sendiri adalah mewujudkan dan memelihara kemaslahatan, disamping menolak kemafsadatan. Dengan itu jelas akan kepentingan soal Maslahah dalam agama Islam itu sendiri.

Maslahah itu sendiri, secara umumnya dapat ditakrifkan sebagai kebaikan dan

“kesejahteraan”. Walau bagaimanapun, para ahli Ushul Fiqh mendefinisikan Maslahah itu

merangkumi segala perkara yang mengandungi manfaat, kegunaan dan kebaikan, disamping menjauhi mudharat, kerusakan dan kemafsadatan. Imam Al-Ghazzali pula, dalam kitabnya Al-Mustasfa, mengatakan:

مهلسنو مهلقعو مهسفنو مه يد مهيلع ظفح ناو و ةسم قلخا نم عرشلادوصقمو عرشلا دوصقم ىلع ةظفاحا : ةحلصما يعن

تي ام لكف مهامو

ةحلصم اهعفدو ةدسفم وهف لوصاا ذ توفي ام لكو ةحلصم وهف ةسمخا لوصاا ذ ظفح نمض

“Kami maksudkan dengan Maslahah itu ialah menjaga akan tujuan atau maksud syara‟,

dan maksud syara‟ daripada penciptaan itu ada lima perkara. Yakni, hendaklah

memelihara ke atas mereka (daripada segi) agama, diri, akal, keturunan dan harta mereka. Jadi, setiap perkara yang mengandungi perlindungan terhadap lima perkara tersebut, maka itu adalah Maslahah, manakala segala perkara yang keluar daripada lima perkara tersebut, maka itu adalah Mafsadah, dan menolak kemaslahatan.”

[Al-Ghazzali, Al-Mustasfa, 2/482]106

Tujuan-tujuan syariat dalam Maqashid al-Syariah menurut al-Syatibi ditinjau dari dua bagian. Pertama, berdasar pada tujuan Tuhan selaku pembuat syariat. Kedua,

berdasar pada tujuan manusia yang dibebani syariat. Pada tujuan awal, yang berkenaan dengan segi tujuan Tuhan dalam menetapkan prinsip ajaran syariat, dan dari segi ini Tuhan bertujuan menetapkannya untuk dipahami, juga agar manusia yang dibebani syariat dapat melaksanakan, kedua, agar mereka memahami esensi hikmah syariat tersebut.

Al-Syatibi ketika berbicara mengenai maslahat dalam konteks al-maqasid

mengatakan bahwa tujuan pokok pembuat undang-undang (Syari‟) adalah tahqiq masalih al-khalqi (merealisasikan kemaslahatan makhluk), bahwa kewajiban-kewajiban syari‟at dimaksudkan untuk memelihara al-maqasid. Allah SWT menurunkan syariat (aturan hukum) tiada lain untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemudaratan (jalbul

mashalih wa dar‟u al-mafasid). Aturan-aturan hukum yang Allah tentukan hanyalah untuk

kemaslahatan manusia.107

Syariat Islam diturunkan oleh Allah adalah untuk mewujudkan kesejahteraan manusia secara keseluruhan.108 Maqasid Syariah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya

dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Kemaslahatan yang akan diwujudkan itu

106

Shofiyullah Muzammil, Praktek Demokrasi Di Indonesia Kontemporer Dalam Kritik Maqashid al-Syariah, TAJDID Vol. XIV, No. 2, Juli-Desember 2015, hlm. 224.

107

Yusuf Qardawi menjelaskan bahwa di antara hukum-hukum hasil ijtihad terdapat hukum yang landasannya kemaslahatan temporal, yang bisa berubah menurut perubahan waktu dan keadaan, berarti harus ada perubahan hukum yang menyertainya, lihat, Yusuf al-Qardawi, Pedoman Bernegara Dalam Perspektif Islam, (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 1999), h. 256-260.

menurut al-Syatibi terbagi kepada tiga tingkatan, yaitu kebutuhan dharuriyat, kebutuhan

hajiyat, dan kebutuhan tahsiniyat.109

Jasser Auda berusaha menawarkan konsep fiqh modern berdasarkan Maqasid al- Syariah. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan memberikan solusi untuk kehidupan manusia agar selaras dan seimbang. Hal inilahyang berusaha diangkat oleh Jasser bagaimana sebuah konsep sistem dapat mengatur kehidupan umat Islam agar berjalan sesuai aturan dan memberi manfaat bagi manusia. Dalam Maqasid al-Shari‟ah as Philosophy of Law: A syistem Approach Jasser Auda mengartikan Maqasid pada empat arti, pertama, Hikmah dibalik suatu Hukum. Kedua, tujuan akhir yang baik yang hendak dicapai oleh Hukum. Ketiga, kelompok tujuan ilahiyah dan konsep Moral yang menjadi basis dari hukum. Keempat, Mashalih. Dalam konsep Maqasid yang ditawarkan oleh Jasser Auda, nilai dan Prinsip kemanusian menjadi pokok paling utama.110

Dalam istilah Politik Ekonomi Islam memiliki makna yang sama, seperti pengertian dari Masudul Alam Choudhury yang dikutif oleh Nevi Hasnitamenyebutkan dengan istilah politik ekonomi, yang juga bermaksud sebagai tujuan yang akan dicapai oleh kaedah-kaedah hukum yang dipakai untuk berlakunya suatu mekanisme pengaturan kehidupan masyarakat. Menurut beliau, politik ekonomi Islam adalah

essentially a study of the endogenous role of ethico-economic relationships between polity and the deep ecological system. Dalam redaksi yang lain beliau mendefinisikan sebagai the study of interactive relationships between polity (Shura) and the ecologicalorder (with market subsystem).111

Umar Chapra dalam bukunya The Future of Economic: An Islamic Perspective

mendefinisikan ekonomi Islam dengan ilmu yang memberikan konstribusi langsung atau tidak langsung terhadap realisasi kesejahteraan manusia, tetap berkonsentrasi pada aspek alokasi dan distribusi sumber-sumber daya dengan tujuan utama merealisasi maqâshid alsyarîah. Sejalan dengan pendapat di atas, Syed Nawab Haider Naqvi dalam bukunya

Islam, Economy, and Society mengemukakan bahwa ekonomi Islam merupakan system buatan manusia sebagaimana system ekonomi lainnya. Pandangan ini lebih menekankan pada aspek empiris dari ekonomi Islam yang dapat diuji baik secara teoritik apalagi sisi praktisnya.112

Oleh karenanya sangat tepat jika dikatakan bahwa antara sistem hukum dan system ekonomi senantiasa terdapat interaksi dan hubungan saling pengaruh- mempengaruhi. Interaksi ini akan menjadi positif jika hukum ditegakkan dengan sungguh-sungguh, tetapi juga dapat bersifat negatif, karena hukum hanya sebagai alat

109

Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat, (Beirut: Darul Ma‟rifah, 1997), jilid 1-2, hlm. 324.

110

Galuh Nashrullah Kartika Mayangsari R dan H. Hasni Noor, Konsep Maqashid Al-Syariah Dalam Menentukan Hukum Islam (Perspektif Al-Syatibi dan Jasser Auda), AL-IQTISHADIYAH, Jurnal Ekonomi Syariah Dan Hukum Ekonomi Syariah, ISSN, ELEKTRONIC: 2112-2282, Volume I: Issue I: Desember 2014, hlm. 56.

111 Nevi Hasnita, Poltik Hukum Ekonomi Syari‟ah Di Indonesia, LEGITIMASI, Vol.1 No. 2,

Januari-Juni 2012, hlm. 110.

112

H. M. Arfin Hamid, Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia (Perspektif Sosio-Yuridis), (Jakarta: Elsas, 2006), hlm. 92.

pembangunan semata bahkan hukum diabaikan/tidak ditetapkan sebagaimana mestinya.113

Wagar Ahmad Husami menamakan “siyásah diniyyah” atau nomokrasi Islam

dengan istilah “Negara Syari‟ah”. Dan nomokrasi Islam bertujuan untuk mewujudkan

“kesejahteraan” masyarakat universal baik di dunia maupun di akhirat (al-Mashãbh al-

Kfiffah) (Husaini, S. Waqar Ahmad. 1983: 217)114

Menurut Muhammad Tahir Azhary, nomokrasi Islam adalah suatu negara hukum yang memiliki prinsip-prinsip umum yaitu: (1) prinsip kekuasaan sebagai amanah; (2) prinsip musyawarah; (3) prinsip keadilan; (4) prinsip persamaan; (5) prinsip pengakuan dan perlindungan setiap hak-hak asasi manusia; (6) prinsip peradilan bebas; (7) prinsip perdamaian; (8) prinsip kesejahteraan; dan (9) prinsip ketaatan rakyat (Azhary, 2007: 105-106).115

Dilihat dari konsep Maqashid al-Syariah, terlihat jelas bahwa korelasi antara politik ekonomi, politik islam memiliki tujuan dan prinsip yang sama untuk tujuan menciptakan kesejahteraan. Seperti syariah menginginkan setiap individu memperhatikan kesejahteraan mereka. Dengan kata lain, manusia senantiasa dituntut untuk mencari kemaslahatan. aktivitas ekonomi produksi, konsumsi, dan pertukaran yang menyertakan kemaslahatan seperti didefinisikan syari‟ah harus diikuti sebagai kewajiban agama untuk memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat. Dengan demikian seluruh aktivitas ekonomi yang mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut sebagai kebutuhan (needs).

Kesejahteraan material dan spiritual merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam proses pembangunan (Harry Hikmat, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan haruslah dicapai tidak saja dalam aspek material, tetapi juga dalam aspek spiritual. Ketika sebuah proses pembangunan hanya diarahkan untuk mencapai keberhasilan material maka bisa dipastikan kesejahteraan masyarakat yang diinginkan tidak akan bisa tercapai. Masyarakat akan merasakan kehidupan yang hampa dan tanpa makna meskipun semua fasilitas tersedia.116

Kesejahteraan oleh sebagian masyarakat selalu dikaitkan dengan konsep kualitas hidup. Konsep kualitas hidup merupakan gambaran tentang keadaan kehidupan yang baik. World Health Organization mengartikan kualitas hidup sebagai sebuah persepsi individu terhadap kehidupannya di masyarakat dalam konteks budaya dan sistem nilai yang ada yang terkait dengan tujuan, harapan, standar, dan juga perhatian terhadap kehidupan. Konsep ini memberikan makna yang lebih luas karena dipengaruhi oleh kondisi fisik individu, psikologis, tingkat kemandirian, dan hubungan sosial individu dengan lingkungannya.117

113

Ermiyati Arifah, Hubungan Timbal Balik Antara Ekonomi dan Hukum dalam Penegakan Hukum dilihat Dari Perspektif Sosiologi Hukum, Diakses dari http//www. Lbh-makassar.org, dipostkan pada tanggal 26 Juli 2011.

114

Yusuf Faisal Ali, Konsep Negara Hukum Dalam Islam Dan Relevansinya Di Indonesia, Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 Agustus 2014, hlm. 109.

115

Ibid

116

Almizan, Distribusi Pendapatan: Kesejahteraan Meenurut Konsep Ekonomi Islam, Maqdis (Jurnal Kajian Ekonomi Islam)-Volume 1, No.1, Januari-Juni 2016, hlm. 72

117

Bila dikaitkan dengan konsep Maqashid al-Syariah, jelas bahwa dalam pandangan Islam, motivasi manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhan dalam arti memperoleh kemaslahatan dunia akhirat. Al-Syatibi menempatkan agama sebagai faktor utama dalam elemen kebutuhan dasar manusia, karena agama adalah fitrah manusia yang menjadi penentu dalam mengarahkan kehidupan manusia di dunia ini. Ketika kebutuhan dasar manusia telah terpenuhi, maka kebutuhan-kebutuhan yang lain akan menyusul. “Sejahtera” atau “maslahah” akan tercapai jika semua kebutuhan yang dipenuhi merupakan jalan untuk mencapai maslahah dunia akhirat.118

Di sejumlah negara modern konsep suatu negara yang sejahtera berangsur-angsur memperoleh kemajuan. Konsep ini didasarkan atas penafsiran Marxisme tentang sejarah, atau prinsip ekonomi kesajahteraan Profesor Pigou. Dalam kedua hal itu, penekanan diberikan pada kesejahteraan material rakyat dengan mengabaikan kesejahteraan spritual dan moral. Tetapi konsep Islam tentang negara sejahtera pada dasarnya berbeda dari gagasan yang disebut sebelumnya. Karena konsepnya begitu komprehensif. Negara sejahtera dalam Islam bertujuan mencapai kesejahteraan umat manusia secara menyeluruh, sedangkan kesejahteraan ekonomi hanya merupakan sebagian daripadanya. Tekanan yang sama pada Zakat dan Shalat dalam Al-Qur’an sangat penting artinya untuk memahami dengan tepat sifat sesungguhnya dari negara dalam Islam. H.G Wells berkata: “Islam telah menciptakan suatu masyarakat yang lebih bebas dari kekejaman yang tersebar luas, dan penindasan sosial yang tersebar luas

daripada masyarakat mana pun yang pernah terdapat di dunia.” Sesungguhnya, konsep

Islam tentang negara sejahtera bukan hanya berdasarkan manifestasi nilai ekonomi,

tetapi juga pada nilai spiritual, sosial, dan politik Islami”.119

Dasar etik ekonomi Islam, yang berusaha menempuh jalan tengah yang ditunjukkan dengan prinsip keseimbangan kesejajaran , menunjuk arah yang sama bahkan dengan kekuatan lebih besar karena Islam berusaha menggabungkan paksaan negara dengan kekuatan dorongan pada diri manusia secara suka rela. Misalnya, dalam membelanjakan kekayaan, Islam menganjurkan agar “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara orang yang demikian.”(QS.25:26). Pendekatan

Islam mengizinkan sejumlah perbedaan pendapatan tetapi membatasi pembelanjaan, selisih antara pendapatan dan pembelanjaan akan lari pada orang miskin. Sekali lagi

tujuannya adalah “bahwa kekayaan tidak boleh berputar hanya ditangan orang-orang kaya diantara kamu (QS. Al-Hasyr:7).

Perbedaan antara ekonomi Islam dan doktrin welfare state tersebut sangat

fundamental tidak hanya dalam hal prinsip perilaku “rasional” melainkan mencakup

keseluruhan spektrum aktivitas ekonomin yakni, konsumsi, produksi, serta distribusi.

Memang, “karakter” fungsi kesejahteraan sosial mengalami perubahan besar . Maka, jika ada pilihan, negara Islam tidak akan mengurangi pengeluaran sosial tetapi

118 Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2010), hlm. 287.

119

Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, diterjemahkan oleh M. Nastangin (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), hlm. 357.

meningkatkan jenis-jenis pengeluaran yang lain. Dengan kata lain, posisi keseimbangan

akan ditandai dengan tanda “konsumsi” tertentu, dengan mengeluarkan komoditi- komoditi yang dilarang dikonsumsi dalam Islam, sementara memasukkan lebih banyak barang-barang yang dikonsumsi orang miskin yakni, barang-barang kebutuhan pokok, agar terjadi peningkatan kebutuhan barang-barang pokok, struktur produksi ini juga harus diorientasikan secara lain. Perbedaan-perbedaan ini akan tetap bahkan jika distribusi pendapatan dan kekayaan adalah sama dibawah kedua sistem egaliter ini, meskipun keduanya menekankan kebebasan manusia dan tanggung jawab.120

Dalam frame-work Islam, perilaku egoistik digabung dengan komitmen, prinsip kepemilikan absolut digantikan dengan prinsip amanah, dan kebutuhan kalangan yang tak beruntung mendapat perhatian pertama dari sumber-sumber negara. Lebih jauh, ayat Al-Qur‟an, “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan

orang miskin yang tidak mendapat bagian” (QS.Adz-Dzariyat:19), menggariskan

“pemisahan” konsumsi dari kemampuan individu untuk mendapatkan pengahasilan . untuk menjembatani jurang pemisah ini, harus ada kebijakan redistribusi yang seksama, dengan menciptakan keseimbangan antara baik pendapatan dan kekayaan marjinal maupun intra marjinal.

Negara sejahtera dalam Islam ialah jika memegang teguh nilai moral dan spiritual. Al-Qur’an menetapkan petunjuk yang terinci untuk memupuk nilai-nilai moral dan spiritual. Tujuannya untuk mengembangkan semua kecakapan secara terkoordinasi dan bermanfaat. Islam mengajarkan bahwa naluri alami dan kecenderungan alami dapat diubah menjadi sifat-sifat moral melalui pengaturan dan penyesuaian yang tepat dengan menggunakan pertimbangan. Konsep Islam tentang negara sejahtera juga memperhatikan pemupukan nilai sosial yang bersifat komprehensif. Ia mengatur perilaku, kehidupan keluarga seseorang, pembantu, dan tetangga seseorang.121

System ekonomi Islam, misalnya, memiliki dua tujuan: memerangi kemiskinan dan menciptakan distribusi kekayaan yang adil secara ekonomi dan sosial. Implisit dalam pengertian ini adalah adanya pengakuan bahwa umat Islam akan dapat beribadah kepada Allah secara fokus dan total jika kebutuhan dasarnya terpenuhi dengan baik. Negara melakukan hal ini melalui berbagai mekanisme sukarela maupun wajib. Sebagai contoh, zakat merupakan salah satu alat pendistribusian kekayaan yang bermakna, karena mampu mentransfer uang dari orang kaya ke orang miskin. Selain itu, penghapusan riba mencegah eksploitasi ekonomi yang merugikan kelompok lemah.

Sebagaimana sejarah menyaksikan, Islam mengajarkan keseimbangan antara kebebasan ekonomi individu dengan keadilan dan kesejahteraan bersama. Dalam konteks ini, kehadiran negara diperlukan untuk menjamin setiap warganya mampu memenuhi kebutuhan hidup standar. Sebagaimana dipesankan Nabi Muhammad SAW,

”Setiap penguasa yang bertanggungjawab mengatur urusan-urusan Muslim, tetapi tidak berjuang

120

Syed Nawab Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, alih bahasa M. Saiful Anam dan M.Ufuqul Mubin (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 116.

121

Agus Purnomo, Islam Dan Konsep Welfare State Dalam Ekonomi Islam, AL-IQTISHADIYAH

Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah, ISSN Elektronik: 2442-2282 Volume: II, Nomor II. Juni 2015, hlm. 107.

dengan keras dan amanah bagi kesejahteraan mereka, tidak akan masuk surge bersama mereka.”

(Hamid, 2007).122

Ciri terpenting negara sejahtera terletak pada nilai politiknya. Berbeda dengan demokrasi barat modern, kekuasaan dalam negara Islam adalah milik Allah Yang Maha Kuasa. Dan persamaan dalam pandanganNya, membedakan sistem pemerintahan dari negara-negara Islam ke kekuasaan negeri-negeri Barat. Dalam demokrasi barat, kekuasaan adalah milik rakyat. Istilah yang digunakan untuk kekuasaan pemerintahan atau politik dalam Islam ialah Khilafah atau wakil Tuhan . ini menyatakan kekhalifahan manusia. Manusia bukan penguasa mutlak, ia adalah seorang wakil yang bekerja dengan otoritas majikannya. Berbeda dengan Aristoteles dan Plato, atau Hegel dan Green, Islam tidak menganggap negara merupakan tujuan itu sendiri. Ia juga tidak menganggap bahwa negara adalah tempat peletakan kekuasaan secara mutlak. Doktrin kekuasaan terbatas ini adalah hal pertama yang harus diingat guna memahami konsep Islam tentang negara. Dalam Islam, negara adalah alat untuk mencapai tujuan, tujuannya ialah untuk “menyuruh kepada yang ma‟ruf dan mencegah dari yang munkar”.

Nilai yang terakhir, ialah nilai-nilai ekonomi. Manifestasinya yang tepat merupakan salah satu tujuan pokok negara kesejahteraan dalam Islam. Nilai ekonomi Islam yang pokok berangkat dari suatu kenyataan bahwa hak milik atas segala sesuatunya adalah pada Allah, sedangkan seluruh umat manusia adalah khalifah-Nya di bumi, dan setiap orang mempunyai bagian dalam sumber dayanya. Demikianlah setiap orang berhak untuk berperan serta dalam proses produksi, dan tidak ada satu bagian pun dari masyarakat yang diabaikan dalam proses distribusi.123

KESIMPULAN

Dari uraian diatas ada beberapa yang dapat ditarik kesimpulan sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang penulis wacanakan pada sub pendahuluan, diantaranya; pertama; term-term dalam Al-Qur‟an mengenai al- siyāsah al-syar‟iyyat

(politik keagamaan) dan kepemimpinan formal yang disebut khalīfah, sulṭān, imāmat, dan

uli al-amr, seperti: Q.S.: al-Nisa (4): 58-59, Q.S. : Hūd (11): 61, Q.S. al-Baqarah (2): 30, Q.S. ād (38): 26, dan Q.S. li ‟Imrān (3): 26. para pakar tata Negara Islam yang

mendukung adanya “konsep Negara Islam” dalam al-Quran sangat jelas dengan menyebutkan komponen ayat-ayat tersebut sebagai konsep dasar politik dalam Islam (al- siyāsah al-syar‟iyyat). Namun demikian pesan moralitas politik beberapa ayat tersebut, meniscayakan kepada pemerintah sebagai pelaku kekuasaan politik, untuk melaksanakan pembangunan yang berwawasan keadilan dan atau yang berorientasi pada kemaslahatan umum. Maka “pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah (khalīfah) harus mengacu dan berorientasi kepada kemaslahatan umum” (al-Taṣarruf al-

Imām „alā al-Ra‟iyyat manū thun bi al-Maṣlahat).

122

Edi Suharto, PhD, Islam dan Negara Kesejahteraan, Islam and Welfare State, pdf, tt, hlm. 8

123

Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, diterjemahkan oleh M. Nastangin (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), hlm. 357.

Kedua; Sebagai prasyarat bagi seorang pemimpin (kepala Negara) yang sangat ideal dalam pemikiran Ibn Khaldun adalah, pemimpin yang memiliki kepribadian filosof dan yang memiliki sisi kebijaksanaan yang maksimal. Pemikiran Ibn Khaldun tentang

Dalam dokumen Islamic Politics Economic Politics For W (Halaman 48-57)

Dokumen terkait