• Tidak ada hasil yang ditemukan

Islamic Politics Economic Politics For W

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Islamic Politics Economic Politics For W"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

Islamic Politics, Economic Politics For World Welfare

In Perspective Maqasid Ash Shari'ah

Murtahani Arif

SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Januari 2018 Email: murtahani.arifsps@uinjkt.ac.id

Abstract

Islam is a plenary religion where in their view the political system and government are part of the religious teachings. Al Mawardi called the function of government is to replace the function of prophethood in order to maintain the religion and govern the affairs of the world. Imam Al Ghazali mentamsilkan religion as the foundation and sulthan (political power) as a guard. Something without foundation will collapse and An unattended base will be lost. So the existence of the government is obligatory according to Shariah law 'and there is no reason to leave it. Islam is believed to be holistic. As a tool for understanding life, Islam is often regarded as something more than a religion. Some see it as a "civil society". There are also those who regard it as a "whole civilization" system.

Ibn Khaldun's political thought of the state is in fact a reflection of the moral concept as shown in Islamic social history, especially during the reign of the Prophet. Ibn Khaldun's core idea of political and state concepts is an attempt to create a religious state order that guarantees the benefit of mankind. Sunni political thinkers have argued that leadership issues are a worldly matter. Therefore, the obligation to appoint political leaders is determined by the agreement of the Muslims (ijma '), based on the consideration of revelation (religion). Even Ibn Khaldun provides a prerequisite for a leader who is so strict as to require a leader to have a philosophical personality. With such personality, will be able to meet the criteria of ideal leaders, namely leaders who are able to create peace and prosperity of the world.

In the context of Dharuriyah, in particular "guarding the state," Islam obliges Muslims to have a state that governs them with laws that Allah has revealed and develops Islamic treatises to mankind, in other words having a state in charge of its affairs with Islam which it believes to be an aqeedah and life system. The relationship between Maqashid Shari'a and mashlahah is very closely related, since the purpose of the maqashid of shari'a itself is to achieve mashlahah (welfare). So it is evident from the concept of Maqashid al-Shariah, it is very clear that the correlation between economic politics, Islamic politics has the same goals and principles for the purpose of creating "prosperity".

(2)

Politik Islam, Politik Ekonomi Untuk Mensejahterakan Dunia

Dalam Perspektif Maqasid Asy Sy

ari’ah

Murtahani Arif

SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Januari 2018 Email: murtahani.arifsps@uinjkt.ac.id

Abstract

Islam adalah agama paripurna dimana dalam pandangan mereka sistem politik dan pemerintahan adalah bagian dari ajaran agama. Al Mawardi menyebut fungsi pemerintahan adalah untuk mengganti fungsi kenabian guna memelihara agama dan mengatur urusan dunia. Imam Al Ghazali mentamsilkan agama ibarat pondasi dan sulthan (kekuasaan politik) sebagai penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh dan Suatu dasar tanpa penjaga akan hilang. Jadi keberadaan

pemerintah wajib menurut hukum syari‟ah‟ dan tidak ada alasan untuk meninggalkannya. Islam

dipercaya yang bersifat holistik. Sebagai sebuah alat untuk memahami kehidupan, Islam sering dianggap sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar agama. Ada yang melihatnya sebagai suatu “masyarakat sipil”. Ada juga yang menilainya sebagai suatu sistem “peradaban yang menyeluruh”.

Pemikiran politik Ibn Khaldun tentang negara, sesungguhnya merupakan pantulan konsep moral sebagaimana yang diperlihatkan dalam sejarah sosial Islam, terutama pada masa kepemimpinan Rasulullah. Inti pemikiran Ibn Khaldun tentang konsep politik dan negara merupakan upaya menciptakan tatanan negara yang bernuansa religius yang menjamin kemashlahatan umat manusia. Para pemikir politik Sunni berpadangan bahwa masalah kepemimpinan merupakan masalah keduniawian. Oleh karena itu, kewajiban mengangkat pemimpin politik ditentukan oleh kesepakatan kaum Muslimin (ijma‟), berdasarkan pertimbangan wahyu (agama). Bahkan Ibn Khaldun memberikan prasyarat bagi seorang pemimpin yang begitu ketat dengan mempersyaratkan seorang pemimpin harus berkepribadian filosof. Dengan kepribadian tersebut, akan mampu memenuhi kriteria pemimpin ideal, yaitu pemimpin yang mampu menciptakan perdamaian dan kesejahteraan dunia.

Dalam konteks Dharuriyah, khususnya “menjaga negara”, Islam mewajibkan kepada kaum

muslimin agar mereka mempunyai negara yang memerintah mereka dengan hukum yang telah diturunkan Allah dan mengembangkan risalah Islam kepada umat manusia, dengan kata lain memiliki negara yang mengurusi urusannya dengan Islam yang diimaninya sebagai akidah dan sistem kehidupannya. Hubungan antara Maqashid Syariah dengan mashlahah kaitannya sangat erat sekali, karena tujuan daripada maqashid syariah itu sendiri adalah untuk mencapai mashlahah (kesejahteraan). Maka terlihat dari konsep Maqashid al-Syariah, sangat jelas bahwa korelasi antara politik ekonomi, politik islam memiliki tujuan dan prinsip yang sama untuk tujuan menciptakan “kesejahteraan”.

(3)

I. Pendahuluan

Pembicaraan tentang tema-tema yang terkait dengan Islam, negara, demokrasi, hukum dan politik sebenarnya bukanlah sebuah wacana yang dihembuskan pada abad mutakhir saat ini, melainkan tema yang berkembang sejak ribuan tahun yang silam. Namun, dalam rangka pengembangan dan memperkaya hasanah keilmuan, kajian seperti ini masih tetap eksis dan aktual. Analisis dari berbagai perspektif secara holistik dan progresif menyebabkan tema-tema tersebut senantiasa relevan dan kontekstual.1

Secara teologis, Islam adalah sistem nilai dan ajaran yang bersifat Ilahiah dan karena itu sekaligus bersifat transenden. Tetapi dari sudut sosiologis, ia merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial didalam kehidupan manusia. Islam dalam realitas sosial tidak sekedar sejumlah doktrin yang bersifat menzaman dan menjagatraya (universal), tetapi mengejawantahkan diri dalam institusi-instutsi sosial yang dipengaruhi oleh situasi dan dinamika ruang dan waktu. Islam mengandung doktrin atau ajaran yang bersifat universal tadi pada tingkat sosial tidak dapat menghindarkan diri dari kenyataan lain, yakni perubahan. Menurut ajaran Islam sendiri, perubahan sering dikatakan sebagai suatu sunnatullah, yang merupakan salah satu sifat asasi manusia dan alam raya secara keseluruhan. Semua manusia, kelompok masyarakat, dan lingkungan hidup mereka mengalami perubahan secara terus menerus.2

Agama diturunkan bukanlah merupakan pembatas dan penghalang manusia untuk berbuat kebaikan, saling mengenal dan saling menolong, melainkan sebagai khazanah dan rahmat agar kehidupan manusia dinamis dan tidak monoton. Oleh karena itu, memaksakan suatu agama dengan cara apa pun kepada orang lain selain bertentangan dengan misi dan ajaran agama itu sendiri, juga merupakan sumber konflik dan penderitaan manusia serta kerusakan di muka bumi.

Dengan demikian, komitmen seseorang terhadap suatu agama terletak pada sejauh mana seseorang dalam membangun, berkarya, berperadaban, menjaga dan menyelamatkan kehidupan umat manusia dan lingkungan hidup serta mengembangkan perdamaian di dunia. Agama juga tidak mentolerir bahkan berupaya mcncegah orang-orang yang berbuat kerusakan dan pertumpahan darah yang akan menjatuhkan harkat dan martabat kemanusiaan.

Doktrin yang tidak dapat dipertanggungjawabkan jika misi suatu agama memaksakan seseorang untuk mengikuti agama tertentu. Agama diturunkan bukan untuk mempolarisasi manusia atau untuk menghakimi, melainkan memberi arah pencarian kebenaran yang modelnya mungkin berbeda-beda. Sebaliknya, pemaksaan suatu agama justru dapat menimbulkan persoalan karena dengan cara itu agama bukannya sebagai rnoral atau aset pembangunan melainkan sebagai justifikasi sikap bermusuhan dan pelanggaran terhadap perikemanusiaan. Begitu pula adanya keyakinan terhadap berbagai agama di dunia menjadi bukti yang paling asasi bahwa secara kodrati manusia membutuhkan pedoman hidup yang berdimensi spiritual dan transendental, juga sekaligus membutuhkan tujuan hidup yang paling hakiki yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat (Tabroni dan Arifin,1994:1-2).

1

Zuhraini, Islam: Negara, Demokrasi, Hukum Dan Politik, ANALISIS: Jurnal Studi Keislaman, Volume 14, Nomor 1, Juni 2014, hlm. 30.

2

(4)

Dalam pandangan agama, menurut Watt sebagaimana dikutip Efendi (1996:95), hampir setiap muslim meyakini akan pentingnya prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan politik. Akan tetapi bagaimana pendapat ini dituangkan ke dalam bentuk kehidupan politik yang lebih riil masih terdapat perbedaan pendapat. Sejauh yang dapat ditangkap dari perjalanan pemikiran dan aktivitas politik Islam, tidak ada kata sepakat, khususnya menyangkut bentuk dan isi hubungan antara Islam dan sistem politik modern (demokrasi).

Negara dalam pengertian yang sangat sederhana ketika diperlukan untuk mencapai perkembangan manusia dalam peradabannya, terutama keinginan masyarakat untuk mengatur sendiri berbagai kepentingannya, baik politik, ekonomi, maupun social budaya berdasarkan aturan-aturan yang dibuat oleh masyarakat itu sendiri. Tampaknya, satu-satunya dasar pertimbangan yang digunakan adalah teori perjanjian masyarakat.

Adapun dalam pandangan Islam, negara adalah suatu kehidupan berkelompok, manusia yang mendirikannya bukan saja atas dasar perjanjian bermasyarakat (kontrak sosial), tetapi juga atas dasar fungsi manusia sebagai khalifah Allah di bumi yang mengemban kekuasaan sebagai amanah-Nya. Oleh karena itu, manusia dalam menjalani hidup ini harus sesuai dengan perintah-perintah-Nya dalam rangka mencapai kesejahteraan, baik di dunia maupun di akhirat (Azhari, 1992:12).

Pandangan tersebut mengisyaratkan pentingnya menegakkan sebuah masyarakat yang adil berdasarkan etika agar manusia dapat mencapai kesejahteraan sehingga dalam menjalankan amanah Allah di muka bumi sesuai dengan dasar dan petunjuk Islam.3

Ada tiga kelompok pemikiran yang mengemuka dalam dunia Islam terkait hubungan Agama dan Negara. Pertama, kelompok yang memandang bahwa agama dan negara adalah ibarat dua sisi dari satu keping mata uang, satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Mereka berpendapat bahwa negara adalah lembaga keagamaan sekaligus politik. Pendapat kelompok pertama merupakan pendapat jumhur ulama dan kebanyakan kelompok Islam, terutama yang beriktikad ahlus Sunnah wal Jama‟ah (Sunni).

Kelompok kedua menyatakan bahwa negara adalah lembaga keagamaan tapi memiliki fungsi politik. Karenanya seorang kepala negara memiliki kekuasaan agama yang berdimensi politik. Pendapat kedua ini didominasi oleh pemahaman kelompok

Syi‟ah dengan berbagai sektenya. Sama seperti pendapat kelompok sunni, bagi Syi‟ah

persolan kepemimpinan atau imamah adalah wajib hukumnya. Hanya saja wajib yang

mereka pahami sangat berbeda dengan wajib yang dipahami oleh sunni. Syi‟ah

menganggap wajibnya mendirikan imamah adalah bagi Allah swt bukan atas umat. Persoalan Imamah bukanlah urusan publik yang diserahkan kepada umat. Sebagaimana Tuhan wajib mengirim nabi, Tuhan juga berkewajiban mengirim pengganti nabi sesudahnya. Dan nabi wajib menentukan imam bagi umat sebelum ia wafat atas perintah Tuhan. Oleh karena itu para imam adalah sama ma‟shumnya dengan para nabi.

3

(5)

Bahkan persolan imamah dalam pandangan syi‟ah adalah bagian dari rukun agama dan

kaedah Islam.4

Kelompok ketiga menyatakan bahwa Negara adalah lembaga politik yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama. Kepala negara hanya memiliki kekuasaan politik, atau penguasa duniawi saja. Kelompok ini mulai muncul dalam dunia Islam sejak persentuhan Islam dengan kolonialisme dan sekularisme Barat. Terutama sekali sejak runtuhnya khilafah Islamiyah Turki Utsmani tahun 1924 atas prakarsa Mustafa kemal At-Tartuk. Sejak itu paham sekularisme terus bermunculan di berbagai belahan dunia Islam dengan tokoh semisal Ali Abdur Raziq, Faraj Fodah, Hasan Hanafi, Naser

Abu Zaid, Aminah abdul Wadud, Abdullahi an Na‟im dan lainnya. Dalam pandangan

kelompok ini ajaran Islam sama sekali tidak terkait dengan politik dan pemerintahan. Agama hanya berkisar tentang hubungan manusia dengan tuhannya (tauhid) dan pembinaan akhlak dan moral manusia dalam berbagai aspek kehidupan.5

Dalam kajian ini, penulis hanya akan fokus pada kerangka pemikiran kelompok pertama yang memandang bahwa agama Islam adalah agama paripurna dimana dalam pandangan mereka sistem politik dan pemerintahan adalah bagian dari ajaran agama. Al Mawardi menyebut fungsi pemerintahan adalah untuk mengganti fungsi kenabian guna memelihara agama dan mengatur urusan dunia.6 Imam Al Ghazali mentamsilkan

agama ibarat pondasi dan sulthan (kekuasaan politik) sebagai penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh dan Suatu dasar tanpa penjaga akan hilang. Jadi keberadaan

pemerintah wajib menurut hukum syara‟ dan tidak ada alasan untuk meninggalkannya.7 Dalam kaitan ini, perlu ditegaskan sebuah pengakuan dari seorang orientalis, Joseph Schacht sebagaimana dikutip Qardhawy menyatakan bahwa Islam adalah suatu sistem yang integral, yang mencakup agama dan negara sekaligus.8 Dalam bahasa

Qardhawy, Islam yang benar adalah akidah, ibadah, tanah air dan kebangsaan, toleransi

dan kekuatan, moril dan materiil, kebudayaan dan hukum. Meskipun Islam merupakan ajaran yang bersifat universal, menyangkut berbagai sistem kehidupan; sosial, politik, ekonomi, budaya maupun hukum, namun ketika nilai itu dikaitkan dengan suatu negara tertentu, maka ajaran yang bersifat universal tersebut berbenturan dengan budaya dalam masyarakat yang bersangkutan. Indonesia, misalnya, sebagai sebuah negara dimana penduduknya mayoritas beragama Islam, tapi di dalam praktek ideologi bernegara memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat muslim dunia lainnya.

Lazimnya, orang Islam percaya terhadap sifat Islam yang holistik. Sebagai sebuah alat untuk memahami kehidupan, Islam sering dianggap sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar agama. Ada yang melihatnya sebagai suatu “masyarakat sipil”. Ada juga yang menilainya sebagai suatu sistem “peradaban yang menyeluruh”. Bahkan, ada

pula yang mempercayainya sebagai “agama dan negara”. Lebih spesifik lagi, Islam tidak

4 Muhammad Abu Zuhrah, Tarikh al Mazahib al Islamiyah fis Siyasah wal „Aqidah, (Beirut: Dar al

Fikr al Arabi), tth, hlm. . 59-60

5 H. Mutiara Fahmi, Lc. MA, Prinsip Dasar Konstitusi Negara Dalam Perspektif Al-Qur‟an, pdf. hlm.

476.

6 Al Mawardi, al Ahkam al Sulthaniyah,(Beirut: Dar al Fikr) tth, hlm.3 7

Al Ghazali, al Iqtishad fil I‟tiqad, ( kairo: maktabah al Jund), thn 1972, hlm. 105-106

(6)

mengenal dinding pemisah antara yang bersifat spiritual dan temporal. Sebaliknya, Islam memberi panduan etis bagi setiap aspek kehidupan.9

Meskipun Islam diyakini memberi pedoman bagi segala aspek kehidupan, khususnya mengenai ketatanegaraan atau politik, ternyata hubungan antara agama dan negara dalam Islam sangat poly interpretable, kaya penafsiran. Dalam Islam, pemikiran politik mengenai hubungan agama dan negara ternyata masih menjadi perdebatan yang hangat di kalangan para ahli.10 Secara global, hingga kini setidaknya ada tiga paradigma pemikiran tentang hubungan agama dan Negara.11 Pertama, paradigma yang

mengatakan bahwa Islam tidak ada hubungannya dengan negara, karena Islam tidak mengatur kehidupan bernegara atau pemerintahan. Menurut paradigma ini, secara historis wilayah Nabi Muhammad terhadap kaum Mukmin adalah wilayah risalah yang tidak dicampuri oleh tendensi pemerintahan. Sebagian tokoh terkenal yang mendukung

konsep ini adalah „Ali Raziq dan Thaha Husein.

Paradigma kedua menganggap bahwa Islam adalah agama yang paripurna, yang mencakup segala-galanya, termasuk masalah negara atau sistem politik. Tokoh-tokoh utama dari paradigma ini adalah Hassan al-Banna, Sayyid Quthb, Rasyid Ridha dan tentu saja Abu al-A‟la al-Maududi.

Paradigma ketiga, menolak pendapat bahwa Islam mencakup segala-galanya dan juga menolak pandangan bahwa Islam hanya mengatur hubungan antara manusia dan Penciptanya semata. Paradigma ini berpendapat bahwa Islam memang tidak mencakup segala-galanya, tapi mencakup seperangkat prinsip dan tata nilai etika tentang kehidupan bermasyarakat termasuk bernegara. Tokoh yang termasyhur dalam

paradigma ini adalah Muhammad „Abduh dan Muhammad Husein Haikal.12

Namun dalam makalah ini penulis bukan terfokus pada pembahasan paradigm tersebut melainkan akan menguraikan bagaimana konsep Negara menurut Islam? Bagaimana hubungan negara dengan agama serta pengaruhnya dalam aspek kehidupan? Bagaimana “fotret karakteristik” sebuah Negara dan kepala negara yang idealis yang sudah mengakomodasi nilai-nilai Islam? Bagaimana konsep Islam mengatur kesejahteraan suatu Negara dan berkeadilan?

II. Pembahasan

Banyaknya upaya yang telah dilakukan para ulama dalam rangka pencarian format relasi agama dan negara, pada dasarnya mengandung dua maksud. Pertama, untuk menemukan idealitas Islam tentang negara (menekankan aspek teoritis dan

formal), yaitu dengan menjawab pertanyaan, “Bagaimana bentuk negara dalam Islam?”.

9

Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. 7-8.

10

Menurut Prof Azyumardi Azra perdebatan tersebut sampai dewasa ini belum juga tuntas, Lihat: Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 1.

11

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993), hlm. 1-2; Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002), hlm. x; Tim Puslit IAIN Syarif Hidayatullah, Pendidikan Kewarganagaraan, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Press, 2000), hlm. 127-128.

12

(7)

Pendekatan ini bertolak pada suatu asumsi bahwa Islam memiliki konsep tertentu tentang negara. Kedua, untuk melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara (menekankan aspek praktis dan substansial), yakni mencoba

menjawab pertanyaan, “Bagaimana isi negara menurut Islam?”.

Istilah relasi, diartikan sebagai “hubungan”; “perhubungan”, dan “pertalian”.13 Sedangkan “Agama” mengandung pengertian bahwa ia adalah suatu peraturan yang

mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau.14 Bila merujuk kedalam al-Qur‟an, pengertian agama secara redaksional memiliki banyak pengertian.15 Di dalam Al-Qur‟an

disebut dengan term al-dîn dan atau al-millah. Upaya pendefinisian al-dîn dan al-millah,

terlebih dahulu perlu ditelusuri aspek morfologisnya. Kata al-dîn, berasal dari kata

dayana, yadînu kemudian dibaca dâna, yadînu.16 Dâna ( ََنَاد ) yang arti dasarnya “hutang”

adalah sesuatu yang harus dipenuhi atau ditunaikan. Dari kata ini, kemudian jika

di-tashrîf melahirkan kata dîn (َنَ يد ) “agama” adalah sesuatu undang-undang atau hukum yang harus ditunaikan oleh manusia, dan mengabaikannya akan berarti “hutang” yang akan tetap dituntut untuk ditunaikan, serta akan mendapatkan hukuman atau balasan, jika tidak ditunaikan. Sedangkan kata al-millah, berasal kata milal yang menurut bahasa berarti sunnah (sistem) dan tharîqah (cara).17 Menurut al-Râghib al-Ashfâni, pengertian

millah dengan al-dîn adalah sama, walaupun ada juga perbedaannya. Dalam hal ini, ia menjelaskan secara komprehensif bahwa:

ه راوج ىا باولصويل ءايبناا ناسل ىلع دابعل ىاعت ه عرش ام مسا و و نيدلاك ةلما

مي اربا ةلم اوعبتاف" وح يلا د ست يذلا ماسلاو ةاصلا يلع ى لا ىااا فاضتا ةلما نا نيدلا نبو امه يب قرفلاو

ا ىا او ه ىا ةفاضم دجوت داكت او

و ى لا ةما دح

ىلم لاقي او ه ةلم لاقيا ا دحا نود عئارشلا ةلم ىاا لمعتست ا

ديز نيدز ه نيد لاقي امك ديز ىلمو

.

“Al-Millah sama dengan al-dîn, yaitu nama bagi apa yang disyariatkan oleh Allah terhadap hamba-hamba-Nya melalui para nabi guna mendekatkan mereka kepada Allah. Antara millah dan al-dîn masih dapat dibedakan. Millah tidak pernah dirangkaian dengan kata selain nama nabi, seperti ittabiû millata ibrâhîma (ikutilah agama Ibrahim). Kata millah juga tidak pernah dirangkaikan dengan Allah. Kata itu hanya digunakan untuk orangorang yang membawa syariat. Oleh karena itu, tidak pernah dikatakan millah Allah, millatî atau millah Zaid, sebagaimana dikatakan dînullâh (dîn Allah) dan dîn Zaid.”18

Istilah ad-din mengandung konsep yang mencakup dua aspek kehidupan manusia, yaitu aspek religius-spiritual dan aspek kemasyarakatan yang bertumpu pada

13 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Edisi II, hlm. 830

14 Berasal dari bahasa Sansekerta “a” berarti tidak, dan ”gama” berarti kacau. Liha

t Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hlm. 10

15 Mengenai makna agama dapat dibaca dalam Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai

Asapeknya, jilid I (Cet. V; Jakarta: UI-Press, 1985), hlm. 9. Lihat pula Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 445.

16 dilihat dalam Al-Sayyed Ahmad al-Hasyimiy, Jawâhir al-Balâgah fî al-Ma‟ânî wa al-Bayâni wa

al-Badî‟î (Mesir: Dâr al-Fikr, 1991), hlm. 7

17Louis Ma‟lûf,

al-Munjid fî al-Lughah (Bairût: Dâr al-Masyriq, 1977), hlm. 771

18

(8)

ajaran tauhid (unitas).19 Para sarjana muslim20 membagi ad-din al-Islami menjadi tiga

komponen yaitu „aqidah, syari‟ah dan akhlaq.21 Ketiga komponen suatu totalitas yang

tidak dapat dipisahkan. Dalam tiga komponen ini pula terlibat tiga faktor yang saling berkaitan, yaitu posisi Allah manusia, baik sebagai individu maupun sebagai suatu kelompok masyarakat dan alam lingkungan hidup manusia. Islam bukan hanya sekedar agama yang mengandung seperangkat doktrin ritual, tetapi ia merupakan suatu pandangan dunia yang holistik yang menyeluruh dan sistematis. Islam sebagai ad-din

mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.

Sebagai agama yang komprehensif, Islam menyatukan berbagai persoalan moril dan materil, serta mencakup berbagai kegiatan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat.22 Bahkan falsafah umum Islam menggabungkan antara dua persoalan tersebut,

dan tidak membedakan antara keduanya selain hanya perbedaan sisi pandang saja. Menurut Yusuf Qardhawi, Islam yang benar adalah akidah dan ibadah, tanah air dan kebangsaan, toleransi dan kekuatan, moril dan materiil, kebudayaan dan hukum. Karena itu, aspek-aspek negara, hukum, demokrasi dan politik hanyalah merupakan bagian-bagian dari ad-din al-Islami.

Sedangkan negara, secara terminologi melahirkan beberapa pengertian23 diantaranya dapat diartikan dengan organisasi tertinggi diantara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam daerah tertentu dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah negara yang meniscayakan adanya unsur dalam sebuah negara, yakni adanya sebuah masyarakat (rakyat), adanya wilayah (daerah), dan adanya pemerintah yang berdaulat.24 Dalam kajian Islam (Islamic studies), istilah negara bisa bermakna daulah.25 Daulah menjadi kosa-kata yang berlaku umum di dunia muslim untuk

menunjukkan pengertian negara. Dalam bahasa Arab modern daulah memang mengandung pengertian negara, sehingga negara Islam disebut ad-Daulah al-Islamiyyah,

19

Tauhid adalah konsep ketuhanan Yang Mahaesa yang dibawa oleh para Rasul dan Nabi sejak Nabi Adam as. sampai Nabi Muhammad saw. Cukup banyak ayat-ayat al-Qur‟an yang mengandung ajaran tauhid, antara lain QS. Al-Baqarah [2]: 163), Ali „Imran [3]:62, An-Nisa‟ [4]:171), an-Nahl [16]:22, Muhammad [47]:19, dan al-Ikhlas [112]:1.

20 Salah seorang diantara mereka adalah Syaikh Mahmud Syaltout yang menulis buku berjudul

Islam Sebagai Aqidah dan Syari‟ah, terj. Bustami A. Gani dkk (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), Jilid I s/d V.

21 Ahmad Sukardja & Mujar Ibnu Syarif, Tiga Kategori Hukum: Syariat, Fikih, & Kanun (Jakarta:

Sinar Grafika, 2012), hlm. 59.

22

Yusuf Qardhawy, Fiqh Negara, Ijtihad Baru Seputar System Demokrasi Multi Partai Keterlibatan Wanita Di Dewan Perwakilan Partisipasi Dalam Pemerintahan Sekuler, terj. Syafril Halim (Jakarta: Robbani Press, 1997), hlm. 23.

23

Para ahli memberikan definisi Negara dengan redaksi yang berbeda-beda. Uraian lebih mendalam lihat Edward, Paul. (Editor in Chief), The Encyclopedia of Philosophy, Vol. V (New York: Macmillan Publishing Co. Inc. & The Free Press 1997), hlm. 51. Lihat pula Encyclopedia Americana, Vol. VIII (Danbury: Glorier Incorporated, 2001), hlm. 21. Lihat pula Rahmat dan M. Halimi, Tata Negara (Cet. I; Bandung: Ganeca Exac, 1996), hlm. 10.

24 Ahmad A. Hafizar Hanafi, Tata Negara, hlm. 19 25

Berasal dari bahasa Arab, yakni dawlat, akar katanya berasal dari dalla-yadullu-dawlat yang

berarti “bergilir”, “beredar”, dan “berputar”. Dapat diartikan sebagai kelompok sosial yang menetap pada

suatu wilayah tertentu dan diorganisir oleh suatu pemerintahan yang mengatur kepentingan dan kemaslahatan. Lihat Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid I, hlm. 262, lihat pula: „Abd.

(9)

negara Arab disebut ad-Daulah al-„Arabiyah.26 Dalam Kamus Bahasa Arab, kata daulah

yang berasal dari akar kata dawala mempunyai arti pergantian, perputaran, perubahan, dinasti, kekuasaan dan negara. Sebagai padanan konsep negara atau pemerintahan, kata

daulah baru berkembang pada pertengahan abad ke-8 dalam pengertian yang masih bersifat netral, yaitu giliran.27 Pengertiannya selalu merujuk pada Al-Qur‟an yang

menggunakan term al-balad28 dan derivasinya.29 khilafah,30 imamah,31 hukumah,32 dan kesultanan.33

Dari pengertian-pengertian di atas, dapat dipahami bahwa al-dîn dan al-millah

adalah sama-sama bersumber dari Tuhan. Namun, kata al-dîn dalam Al-Qur‟an kelihatannya selalu merujuk pada pengertian Islam yang dianut oleh Nabi Muhammad saw, sementara al-millah adalah merujuk pada agama Islam yang dianut oleh nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad saw, yakni nabi Ibrahim as. Dari sini, dapat dipahami bahwa agama apa pun namanya, ketika ia bersumber dari Tuhan dan menyembah Tuhan satu, kemudian penganutnya mengerjakan amal shaleh maka diberi pahala dari Tuhan. Dalam QS. al-Baqarah (2): 62, disebutkan:

َ غلإ

َ

َمݚيل

َٱ

َ

َموَناݠكݜمݘام٨

َمݚيل

َٱ

َ

َموَناوكلܛمݞ

َٰىمٰܱ مص نٱ

ََمو

َلبٰ صݕٱ

لوَ

َمي

َ

َلܝَ مݚمݘام٨َ ۡݚمݘ

َل ّٱ

ََمو

َلعۡݠم

ۡٱ

ۡ

َ

َلܱلخٓٱ

َ

َكݟمݖمفَܛ ًحلݖٰ مصَ مݔلݙم݆مو

َۡݗكݞكܱۡج

م

أَۡݗ

َمغݠكݛمܲۡ مََۡݗكݞَ

َموَۡݗلݟۡيمݖمَ݆ ٌعۡݠمخَ مَموَۡݗلݟلمبم٤َمܯݜل݆

م

٢

َ

َ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang Yahudi, orang Nasrani dan

orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari

26

Said Agil Husin Al-Munawar, Fikih Siayasah dalam Konteks Perubahan Menuju Masyarakat

Madani”, Jurnal Ilmu Sosial Keagamaan, Vol. 1, No. 1, Juni 1999, hlm. 19

27

Zuhraini, Islam: Negara, Demokrasi, Hukum Dan Politik, ANALISIS: Jurnal Studi Keislaman, Volume 14, Nomor 1, Juni 2014, hlm. 41.

28

Kata al-balad secara leksikal berarti tinggal di suatu tempat, kota atau daerah, dan negeri. Kata al-balad yang berarti kota ditemukan dalam QS. al-Balad (90): 1-2, yakni : َل مَمۡٱَامٰܰ مهلܝَۢلحَ مܠݛۡ مأمو َل مَمۡٱَامٰܰ مهلܝَكݗلسۡݏۡ كأَهَم (Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Mekah), dan kamu (Muhammad) bertempat di kota Mekah ini). Sedangkan derivasi kata al-balad yang berarti negeri ditemukan dalam QS. al-Fajr (89):11, yakni ; (yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri ini). Pengertian yang sama, juga terdapat dalam QS. al-Furqân (25): 49, yakni ; (agar Kami menghidupkan dengan air itu negeri yang mati). Negeri yang juga dapat diartikan negara (al-bilâd), disebut dalam Al-Qur‟an dengan berbagai bentuknya sebanyak 19 kali dengan perincian: kata balada disebut sebanyak 8 kali, kata baladan 1 kali, kata bilâdi 5 kali, sedangkan kata baldatun disebut sebanyak 5 kali, yang kesemuanya berarti negara/negeri. (Lihat: Muhammad Fu‟ad „Abd. al-Bâqi, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâź al-Qur‟ân al-Karîm (Beirût: Dâr al-Fikr, 1992), hlm. 170.

29

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur‟ân al-Karîm; Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Turunnya Wahyu (Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), hlm. 785

30

Berasal dari kata khalf, yang berarti “wakil”, “pengganti”, atau “penguasa”. Istilah ini awalnya dipakai Abu Bakar saat menyebut dirinya sebagai khalifah (pengganti) Nabi Muhammad saw. Lihat Said Agil Husin al-Munawwar, “Fiqh Siyasah Dalam Konteks Perubahan Menuju Masyarakat Madani”, hlm. 21.

31

Pada dasarnya, teori imamahlebih berkembang di kelompok Shi‟ah. Dalam lingkungan Shi‟ah, imamah menekankan dua rukun, yaitu kekuasaan imam (wilayat) dan kesucian imam („ismah). Lihat Mustafa Hilmi, Nizam al-Khilafah Baina Ahl al-Sunnah wa al-Syiah, hlm. 149-155.

32 Jika khilafah dan imamah berkorelasi dengan format politik atau kekuasaan, maka hukumah.

berhubungan dengan sistem pemerintahan. Lihat John L. Esposito (ed.) The Oxford…, vol 4. jilid II, artikel

“hukumah.” oleh. Keith Lewinstein, hlm. 139.

33 Istilah ini diartikan wewenang. Muncul berkali-kali dalam al-Quran dengan arti “kekuasaan”,

(10)

kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.

Ayat ini secara jelas menyatakan bahwa kaum Shabi‟ûn, di samping Yahûdi dan

Nashrâni yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian serta melakukan amal shaleh, akan mendapat pahala di sisi Tuhan. Penafsiran lebih lanjut mengenai ayat tersebut, kebanyakan ulama menyatakan bahwa kedudukan agama yang dipeluk oleh kaum penganut Kristen, Hinduisme, Budhisme, Kon Fu Tse, Shinto dan Islam adalah sama.34 Pendapat senada, juga dikemukakan oleh Muhammad Rasyid Ridha.35

Berdasarkan pendapat-pendapat sebelumnya dapat dipahami, bahwa semua

agama yang menganggap bahwa “Tuhan itu Esa” adalah sama dengan Tuhannya agama

Islam. Tuhan yang disembah oleh Islam, itu pula Tuhan yang disembah oleh agama lain. Menurut penulis bahwa pendapat demikian, didasarkan pada kenyataan sejarah dan informasi Al-Qur‟an sendiri bahwa semua umat sebelum diutusnya Nabi saw telah diutus kepada mereka rasul-rasul. Akan tetapi, sebagian di antara mereka tidak diinformasikan oleh Al-Qur‟an. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa ajaran agama-agama yang ada sekarang, tidak semuanya bersumber pula dari Allah swt.

Agama diturunkan oleh Allah swt, berfungsi sebagai pembimbing dan pemberi petunjuk. Dengan fungsi seperti ini, maka agama memiliki tujuan untuk untuk memberi keselamatan dan kebahagiaan yang abadi kepada penganutnya, sehingga hidupnya menjadi tenteram (al-amn), baik di dunia maupun di akhirat kelak. Fungsi-fungsi agama tersebut, tentu pula mencakup untuk kesejahteraan dan kedamaian masayarakat dalam sebuah negara, bilamana penganutnya menjalankan ajaran agama dengan sebaik-baiknya. 36

Dalam diskursus dan perdebatan tentang terma pemerintahan, meniscayakan kita untuk berbicara tentang Negara, kekuasaan, dan politik serta hal-hal yang terkait dengannya. Sebab, ketiga terma ini, bersifat integral dalam sebuah sistem politik pemerintahan. Rogert H. Soltau menulis, “Berdasarkan pendekatan sosiologis ia mengemukakan bahwa kekuasaan itu adalah hubungan antara manusia yang sangat penting untuk mengatur kehidupan manusia. Pandangan Soltau di atas menunjukkan, bahwa pemerintahan dan kekuasaan sangat urgen dalam suatu komunitas bangsa, karena dengan begitu jaminan atas tata kehidupan yang tertib, bertindak berdasarkan hukum, sikap saling percaya sesama warga, dan cita-cita membangun keadilan untuk semua warga, akan terwujud. Dalam Bowling Alone: The Collape and Revival of American Community, Robert D. Putnam, menulis, Diantara modal sosial yang sangat penting bagi tegaknya sebuah pemerintahan yang demokratis, adalah sikap saling percaya antar

34 Muhammad Ali, The Religion of Islam diterjemahkan oleh R. Kaelan dan H.M. Bahrun, Islamologi

(Jakarta: Ikhtiar Baru: 1997), hlm. 412

35 Dalam Tafsîr al-Manârdikatakan bahwa Majusi dan Shabi‟in termasuk ahlul kitab selain Yahudi

dan Nasrani. Bahkan di luar dari itu, masih ada kelompok yang termasuk ahlulkitab, yaitu Hindu, Budha, Kong Fu Tse dan Shinto. Uraian lebih lanjut, lihat Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm, Juz IV (Bairût : Dâr al-Ma‟rifah, t.th), hlm. 188-199.

36

(11)

sesama warga (trust), di samping civil society sebagai satu jaringan keterlibatan warga dan norma hubungan timbal balik (reciprocity).37

Berdasarkan urgensi keniscayaan adanya sebuah organisasi sistem pemerintahan ini, maka dalam Islam dikenal term al- siyāsah al-syar‟iyyat (politik keagamaan) dan kepemimpinan formal yang disebut khalīfah, sulṭān, imāmat, dan uli al-amr. Term-term tersebut direkam oleh beberapa ayat Al-Qur‟an seperti: Q.S.: al-Nisa (4): 58-59, Q.S. : Hūd (11): 61, Q.S. al-Baqarah (2): 30, Q.S. ād (38): 26, dan Q.S. li ‟Imrān (3): 26.

Sementara para pakar tata Negara Islam yang mendukung adanya “konsep Negara Islam” menyebutkan komponen ayat-ayat ini sebagai konsep dasar politik dalam Islam

(al-siyāsah al-syar‟iyyat). Namun demikian pesan moralitas politik beberapa ayat tersebut, meniscayakan kepada pemerintah sebagai pelaku kekuasaan politik, untuk melaksanakan pembangunan yang berwawasan keadilan dan atau yang berorientasi pada kemaslahatan umum. Maka “pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah

(khalīfah) harus mengacu dan berorientasi kepada kemaslahatan umum” (al-Taṣarruf

al-Imām „alā al-Ra‟iyyat manū thun bi al-Maṣlahat).”38

Untuk mengetahui lebih mendalam hubungan antara negara dengan agama dalam perspektif Islam, perlu dikaji ayat-ayat Al-Qur‟an secara akurat dan mengaitkannya dengan sîrah Nabi saw dalam membangun negara Madani. Di samping itu, berbagai pandangan dan sikap-sikap tokoh-tokoh Islam atau ulama-ulama terkemuka, sangat perlu dicermati secara komprehensif. Dengan upaya seperti ini, di satu sisi akan dapat dirumuskan hubungan Negara dengan agama itu sendiri dalam berbagai aspeknya. Pada sisi lain, persoalan tentang hubungan negara dengan agama sangat penting untuk dibahas, karena persoalan tersebut kelihatannya masih menjadi perdebatan yang alot dalam pemikiran Islam sampai saat ini.

Dinamika para pemikir muslim mencari sintesa terbaik untuk merumuskan kembali konsep kenegaraan Islam, relasi antara agama dan negara, serta posisi agama dalam negara. Mengenai relasi agama dan negara, Islam sejak awal tidak memberikan ketentuan yang pasti tentang bagaimana konsep dan bentuk negara yang dikehendaki. Dalam konsep Islam, dengan mengacu pada al-Quran dan al-Hadith, ditemukan banyak rumusan tentang negara baik secara tekstual maupun kontekstual, bahkan secara eksplisit (inferencial), di dalam kedua sumber hukum Islam itu terdapat prinsip-prinsip dasar dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, di antaranya adalah;39

37

Untuk jelasnya, dapat dibaca dalam Robert D. Putnam, Bowling Alone: The Collape and Revival of American Community. (New: York: Simon & Schuster, 2000), h. 170. Hal ini berarti ketidakpercayaan warga (citizen distrust) terhadap otoritas atau pemerintahan merupakan hal yang sangat krusial dalam sebuahnegara yang berdaulat, guna memberi tekanan kepada pemerintahan tersebut, dan agar demokrasi dapat berjalan dengan baik. Ketidakpercayaan terhadap otoritas bahkan lebih krusial lagi dalam proses transformasi politik dariotoritarianisme menuju demokrasi. Sikap saling percaya sesama warga,sebagai bentuk dari budaya politik, telah menjadi faktor menentukan bagi stabilitas demokrasi. Sikap saling percaya antar sesama warga sangatdiperlukan untuk mengurangi tingkat ketidakpastian dalam interaksi di antara sesama, dan untuk mengurangi ongkos sebuah transaksi pelayanan Negara bagi rakyat.

38

Abd. Gani Jumat, Konsep Pemerintahan Dalam Al-Qur‟an: Analisis Makna Khalifah Dalam Perspektif Fiqh Politik, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol. 11, No. 1, Juni 2014, hlm. 174.

(12)

1. Keadilan (QS. 5:8).

Berlaku adillah kalian karena adil itu lebih dekat kepada ta-qwa.

2. Musyawarah (QS. 42:38). Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka.

3. Menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran (QS. 3:110) Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan berimanlah kepada Allah.

4. Perdamaian dan persaudaraan (QS. 49:10)

Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan ber-taqkwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.

5. Keamanan (QS. 2:126)

Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo'a, Ya Tuhanku jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa.

6. Persamaan (QS. 16:97 dan 40:40)

Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik

(QS. 16:97). 7. Kesejahteraan

”Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan zakat, orang-orang yang menpati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang yang benar, dan mereka itulah

orang-orang yang bertaqwa.” QS, Al-Baqarah: 177

Dalam konteks ini, negara memperlakukan penerapan kebijakan sosial sebagai

“penganugerahan hak-hak sosial” (the granting of social rights) kepada warganya (Triwibowo dan Bahagijo, 2006). Semua perlindungan sosial yang dibangun dan didukung negara tersebut sebenarnya dibiayai oleh masyarakatnya melalui produktifitas ekonomi yang semakin makmur dan merata, sistem perpajakan dan asuransi, serta investasi sumber daya manusia (human investment), zakat, wakaf, infaq dan shodaqoh yang terencana dan melembaga sesuai syari‟ah. (Edi Suharto, PhD, tt, 5).

8. Kejujuran 9. Kepedulian, dll

Sementara al-Mawardi menyebutkan setidaknya mengandung unsur-unsur dalam Negara sebagai berikut:

(13)

2. Di dalam negara, ada penguasa yang berwibawa. Dengan wibawanya dia dapat mempersatukan aspirasi-aspirasi yang berbeda, dan membina negara untuk mencapai sasaran-sasarannya yang luhur.

3. Di dalam negara, harus ada keadilan yang menyeluruh. Terwujudnya keadilan akan menciptakan persatuan, membangkitkan kesetiaan rakyat, memakmurkan negara yang akhirnya mengamankan kedudukan penguasa serta menjamin stabilitas dalam negeri.

4. Di dalam negara, harus tercipta keamanan yang merata. Dengan meratanya keamanan, rakyat dapat menikmati ketenangan batin, inisiatif dan daya kreasi akan berkembang di kalangan rakyat.

5. Di dalam negara, terwujud kesuburan tanah. Dengan kesuburan tanah, kebutuhan rakyat akan bahan makanan dan kebutuhan materi yang lain dapat terpenuhi, dan dengan demikian dapat dihindarkan perebutan dengan segala akibat buruknya. 6. Di dalam negara, ada generasi. Generasi sekarang punya kaitan erat dengan generasi

yang akan datang, maka generasi sekarang pewaris generasi yang lalu. Karenanya harus dipersiapkan generasi yang bersikap optimisme.40

Di sinilah muncul berbagai penafsiran terhadap doktrin agama yang berkaitan dengan relasinya dengan negara. Agama ini hanya meletakkan beberapa prinsip dasar yang bersifat umum tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu, dan memungkinkan dibangunnya suatu pemerintahan untuk kesejahteraan rakyat.41

Berdasarkan pengertian negara yang telah dikemukakan di atas, terungkap bahwa salah satu unsur terpenting dalam suatu negara adalah agama itu sendiri. Dengan adanya agama, maka tercipta keadilan dan suasana yang aman. Ajaran agama juga memotivasi penganutnya untuk menjadikan negara yang dihuninya menjadi subur, dan mereka yang ditugasi dalam pengelolaan negara adalah para generasi sekarang dan mendatang. Jadi, kelihatan bahwa agama merupakan unsur terpenting dalam sebuah negara menurut perspektif Islam.

III. Konsep Khalifah Dalam Al-Qur’an

Kata khalīfah dalam bentuk tunggal terulang dua kali dalam Al-Qur‟an. Pertama, pada Q.S. al-Baqarah (2): 30:

َۡ٣ِ

َ

َ لَِ ْݔل݆ܛمجَ لمّلإَلܟمݓلئٓ ملمݙۡݖلَمݑُبم٤َ مظܛمݏ

َ لضۡ

م ۡ

ۡٱ

َ

ًَۖܟمݍيلݖمخ

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi"….

Kedua, terdapat dalam Q.S. ād (38): 26:

َكلۥكوامܯٰ مي

َ

َ لًَِܟمݍيلݖمخَ مݑٰ منۡݖم݇مجَܛ ݛلإ

َ لضۡ

م ۡ

ۡٱ

ََمف

ݗك ۡحٱ

َ

َ م ۡيمب

َ لسܛ نٱ

ََلܝ

َلمݎم

ۡٱ

ۡ

َ

َل݅لܞ تمܡَ

َمو

م

َٰىمݠمݟ

ۡ

ٱ

َ

َلݔيلبمسَݚمَ݆ مݑ

ݖلܾكيم

َهل ّٱ

َ

“Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalīfah (penguasa) di muka bumi, Maka

berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa

nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah…..

40

Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Dîn (Kairo: Dar al-Syaibah, 1950), hlm. 122-123.

(14)

Sedangkan dalam bentuk plural (jamak) ditemukan beberapa kali digunakan oleh Al-Qur‟an, yaitu: pertama, dalam bentuk kata Khalāif yang terulang sebanyak empat kali, seperti pada surah al-An‟am ayat 165, Yunus ayat 14, 73, dan Fāṭir ayat 39. Kedua,

dalam bentuk Khulafā` terulang sebanyak tiga kali, masing-masing pada surah al-A‟raf ayat 69, 74 dan al-Naml ayat 62.42

Dalam bentuk khalaif (

َ مفلئٓ

ملمخ

), dapat ditemukan pada Q.S. al-An‟ām (6): 165:

َمݠكݞمو

َ

يل

َٱ

َ

َ مفلئٓ

ملمخَۡݗك مݖم݇مج

َ لضۡ

م ۡ

ۡٱ

َ

َكݖۡܞم ل

َۡ يܠٰ مجم٤ملَ يܼۡ݇مبَ مقۡݠمفَۡݗك مܾۡ݇مبَم݅م م٤مو

م

َ ۡݗك ٰىمܡام٨َهܛمݘَ لَِۡݗ

ككمݠ

َ

َك݅يل مََ مݑ بم٤َ غلإ

َلبܛمݐل݇

ۡݕٱ

َ

َكݝ ݛِ

ۥَ

َۢكݗيلح ٤َْ٤ݠكݍمغمݕ

٥

َ

“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan

sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Juga terdapat pada Q.S. Yunus (10): 14 , 73 dan Q.S. Fāṭir (35): 39:

َ ݗكَ

َ لَِ مفلئٓ

ملمخَۡݗك ٰ منۡݖم݇مج

َ لضۡ

م ۡ

ۡٱ

َ

َمغݠكݖمݙۡ݇م َ مفۡيمݒَمܱ ك݄ݜم لنَۡݗلݞلܯۡ݇مبَۢݚلݘ

٤

“Kemudiankami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka,

supaya kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.”َ(Qs. Yunus: 14)

َكػݠكܝ ܰمݓمف

َ

َكݝم݇ ݘَݚمݘموَكݝٰ منۡي جمݜم

ۥَ

َ لِ

َۡݖكݍۡݕٱ

َلݑ

َ

َܛمݜۡ مܱۡغ

م

أموَ مفلئٓ

ملمخَۡݗكݟٰمنۡݖم݇مجمو

َمݚيل

َٱ

َ

اَناݠكܝ ܰمݒ

َۖܛمݜلܢٰ مي

َمف

َܱۡ ك݄ݛٱ

َ

َكܟمܞلݐٰ معَمغ مََ مفۡيمݒ

َمݚيل٤

مܰݜكݙۡٱ

َ

َ

“Lalu mereka mendustakan Nuh, Maka kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya

di dalam bahtera, dan kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan dan kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu”. (Qs. Yunus: 73)

َمݠكݞ

َ

يل

َٱ

َ

َ لَِ مفلئٓ

ملمخَۡݗك مݖم݇مج

َ لضۡ

م ۡ

ۡٱ

َ

َمَمܱمݍم َݚمݙم

َكػكܱۡݍك َلݝۡيمݖم݇

َۖۥَ

َ كܯيلܲميَ

َمو

م

َمݚيلܱلݍٰ

مكۡݕٱ

َ

َ

َلإَۡݗلݟلمبم٤َمܯݜلَ݆ۡݗكݞكܱۡݍك

َكܯيلܲميَ

َموَۖܛًܢۡݐمݘ

م

َمݚيلܱلݍٰ

مكۡݕٱ

َ

َاً٤ܛ مسمخَ

َلإَۡݗكݞكܱۡݍك

٩

َ

“Dia-lah yang menjadikan kamu khalīfah-khalīfah di muka bumi. Barang siapa yang kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.” (Qs. Fatir: 39)

Sedangkan dalam bentuk khulafā` (

َم٨هܛمݍمݖكخ

), dapat ditemukan pada Q.S. al-A‟rāf (7): 69 dan 74. Berikut beberapa kutipan ayat menggunakan kata khulafā` diantaranya;

َۡݗكܢۡܞلجم݆مو

م

أ

َ

َموَهۡݗ

ككم٤لܰݜك لَۡۡݗك ݜلمݘَيݔكجم٤َٰم ملَۡݗك لمب ٤َݚلمݘَْܱۡݒل٣َۡݗك م٨هܛمجَغ

م

أ

َناهوكܱكݒۡ٣ٱ

َ

َك مݖم݇مجَۡ٣لإ

َلعۡݠمݏَلܯۡ݇مبَۢݚلݘَم٨هܛمݍمݖكخَۡݗ

َ لَِۡݗك ملامزموَ يحݠكݛ

َلݎ

ۡݖمۡۡٱ

َ

َمفًَۖܟ م݁ ۡ ܻمܝ

َناهوكܱكݒۡ٣ٱ

َ

َم٨ه

َام٨

م

َل ّٱ

َ

َمغݠكحلݖۡݍك َۡݗك ݖم݇مݕ

٩

َ

َ

“Apakah kamu (Tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dari Tuhanmu

yang dibawa oleh seorang laki-laki diantaramu untuk memberi peringatan kepadamu? dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan

42

(15)

perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. (Al-A‟raf: 69).

َناهوكܱكݒۡ٣ٱمو

َ

َ لَِۡݗك

م

أ ݠمبموَيل مََلܯۡ݇مبَۢݚلݘَم٨هܛمݍمݖكخَۡݗك مݖم݇مجَۡ٣لإ

َ لضۡ

م ۡ

ۡٱ

َ

َ مغݠكܢلحۡݜم موَاً٤ݠ كܻكݏَܛمݟل ݠكݟكسَݚلݘَ مغوكܰلܮ ܢم

َمظܛمܞل

ۡٱ

ۡ

َ

َمفَۖܛًܡݠكيكب

َناهوكܱكݒۡ٣ٱ

َ

َم٨ه

َام٨

م

َل ّٱ

َ

َ لَِ

ناۡݠمثۡ݇م َ مَمو

َ لضۡ

م ۡ

ۡٱ

َ

َ مݚيلܯلسۡݍكݘ

َ

“Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa)

sesudah kaum 'Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat

kerusakan.” (Qs. (Al-A‟raf: 74).

Pada Q.S. al-Naml (27): 62, juga ditemukan penggunaan kata khulafā` (

َم٨هܛمݍمݖكخ

), seperti terbaca pada ayat berikut:

ݚ ݘ

م

أ

َ

َ كܜيل كُ

َ ܱ م݁ ܾۡكݙ

ۡ

ٱ

َ

َ كفلشۡ ميموَكػ مَملَام٣لإ

َم٨هݠ ُس ٱ

َ

َم٨هܛمݍمݖكخَۡݗك كݖم݇ۡجميمو

َ لضۡ

م ۡ

ۡٱ

َ

َم݅ ݘَْݝٰم ل٨

م

أ

َهل ّٱ

َ

َمغوكܱ ݒمܰمܡَܛ ݘَ

ٗيلݖمݏ

ً

٢

َ

َ

“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa

kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalīfah di bumi. Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? amat sedikitlah kamu

mengingati(Nya).”(Qs. Al-Naml: 62)

Keseluruhan kata tersebut berakar dari kata Khulafā` (َم٨هܛمݍمݖكخ) yang berarti “di

belakang”. Dari makna ini, kata khalīfah (ًَۖܟمݍيلݖمخ) seringkali diartikan sebagai “pengganti” karena yang menggantikan selalu berada atau datang sesudah yang digantikannya. Al-Rāghib al-Isfahānī, dalam Mufradāt fī gharīb Alquran, menjelaskan bahwa khulafā` (َم٨هܛمݍمݖكخ), berarti mengganti yang lain melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan, baik bersama yang digantikannya maupun sesudahnya.43 Lebih lanjut menurutnya, bahwa

kekhalīfahan tersebut dapat terlaksana disebabkan ketiadaan di tempat, kematian, atau ketidak-mampuan orang yang digantikan, dan dapat juga akibat penghormatan yang diberikan kepada yang menggantikan.44

Dalam doktrin al-Qur‟an, Allah swt adalah pemilik segala sesuatu termasuk manusia yang dimandatir oleh-Nya sebagai Khalīfah (pemimpin) di bumi. Dengan demikian Tuhan pasti Maha Kuasa atas mandatnya itu, bahkan Maha Kuasa atas segala makhluk-Nya. Dalam Q.S. al-Māidah (5): 18 dijelaskan: “Allah adalah pemilik kerajaan langit dan bumi serta apa yang terdapat antara keduanya.” Demikian salah satu dari sekian banyak ayat-ayat Al-Qur‟an yang berbicara tentang kekuasaan Allah yang meliputi segala sesuatu. Kita pun sebagai makhluk-Nya pasti mengakui dan merasakan kekuasaan-Nya itu bukan saja ketika kita menyaksikan realitas alam semesta, tetapi juga ketika membaca: “Pemilik hari kebangkitan (Q.S. al-Fatihah, [1]: 4)”. Adapun di dunia, disamping Dia melimpahkan sebagian kekuasaan-Nya kepada makhluk, juga diberikannya kepada makhluk tersebut aneka norma dan petunjuk pelaksanaan atau standar moralitas dalam melaksanakan hak dan kewajiban dan pertanggung jawaban

43 al-Rāghib al-Isfahānī, Mufradāt AlFāẓ al-Qur`ān, (Cet. ke-1; Beirut: Dār al-Qalam 1412H/1992),

hlm. 294.

44 Abd. Gani Jumat, Konsep Pemerintahan Dalam Al-Qur‟an: Analisis Makna Khalifah Dalam

(16)

pemegang mandat. Bukankah masih ada manusia di dunia ini yang tidak mengakui kekuasaan Allah dalam perwujudan-Nya. Demikian, komentar Quraish Shihab.45

Dalam konteks kekuasaan politik, Al-Qur‟an memerintahkan Nabi Muhammad saw., untuk mengatakan:

“Katakanlah, wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau anugerahkan kekuasaan bagi siapa yang Engkau kehendaki dan mencabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki, dalam tangan-Mu segala

kebajikan, sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. li ‟Imrān [3]:

26).

Namun demikian, seperti terbaca dalam ayat di atas, Allah swt., menganugerahkan kepada manusia sedikit dari kekuasaan itu. Di antara mereka ada yang berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik karena mengikuti norma-norma dan moralitas serta prinsip-prinsip kekuasaan politik, akan tetapi ada pula yang gagal, karena mengingkarinya.

Lebih lanjut an-Nabani menegaskan Islam telah menghadirkan aturan yang paripurna, yang mampu memyelesaikan seluruh problem interaksi di dalam negara dan masyarakat, baik dalam masalah pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan maupun politik, di dalam dan di luar negeri; baik yang menyangkut interaksi yang bersifat umum antara negara dengan anggota masyaraktnya, atau antar negara dengan negara maupun negara dengan umat serta bangsa-bangsa lain dalam konteks perang atau damai. Atau yang menyangkut interaksi secara khusus antara anggota masyarakat satu dengan anggota masyarakat yang lain. Dengan demikian, Islam adalah sistem yang paripurna dan menyeluruh bagi seluruh kehidupan manusia. Karena itulah, maka kaum muslimin diwajibkan untuk memberlakukannya secara total dalam sebuah negara yang memiliki bentuk tertentu dan khas, yang terbentuk ke dalam sebuah sistem khilafah, bukan teokrasi, monarkhi atau aristokrasi.46

Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari‟at Islam dan mengembangkan dakwah ke seluruh penjuru dunia. Kata lain dari khilafah adalah imamah.47 Menurut Wahbah Az-Zuhaili, “patut diperhatikan bahwa khilafah, imamah kubra, dan imaratul mu‟minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama”. Jadi imamah sama dengan khilafah, dan imam sama dengan khalifah. Mendirikan khilafah adalah fardlu bagi seluruh kaum muslimin di seluruh dunia. Sedangkan melaksanakannya- seperti hukumnya melaksanakan fardlu yang lain, yang telah difardlukan Allah SWT. Bagi kaum muslimin ada sesuatu yang pasti, dimana tidak ada lagi pilihan dan santai dalam

45

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an Tafsir Mauḍu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat,. (Cet. ke-10; Bandung: Mizan, 2000), hlm. 421.

46

Taqiyudin an-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam: Doktrin, Sejarah, dan Realitas Empirik, Bangil, Al-Izzah, 1996, hlm.18

47

Imamah dan khalifah mempunyai makna yang sama. Bentuk inilah yang dinyatakan oleh hukum

syara‟ dasar daulah Islamiyah bisa berdiri di atasnya. Bahkan banyak hadis shahih yang menunjukkan

bahwa kedua kata ini memiliki konotasi yang sama. Dan tidak ada satu nash syara‟pun yang

(17)

melaksanakannya. Mengabaikan pelaksanaannya merupakan dosa besar, dimana Allah SWT akan mengadzab dengan adzab yang amat pedih.

Konsep khilafah digunakan terutama pada saat Nabi Muhammad SAW wafat, tonggak pertama dipraktekkan oleh Khulafaur Rasyidin. Para sahabat menyapa Abu

Bakar dengan “wahai khalifah Rasulullah”. Oleh karena itu, kata khalifah awalnya lebih

lazim disebut daripada kata imam.

Menurut Abu Ya‟la kata khilafah berarti pengganti, karena ia menggantikan Nabi dalam mengatur ummat. Sedangkan menurut al-Mawardi, kata khilafah, artinya kepemimpinan kenabian yang bertugas melindungi agama dan mengatur dunia. Dengan demikian, khalifah adalah pemimpin tertinggi negara dan pemimpin tertinggi dalam urusan agama.

Sistem kekhilafaan yang ideal dalam dapat digambarkan sebagai berikut; kedaulatan milik Tuhan, otoritas diberikan kepada khalifah untuk mengimplementasikan syari‟at, menjaga keimanan dari kemurtadan dan melindungi orang beriman dari serangan musuh, dan mendorong kemampuan mereka untuk hidup sesuai dengan perintah syari‟at sehingga bisa mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat.48

IV. Tugas-tugas Pemerintah (Khalīfah).

Kata khalīfah baik dalam Q.S. al-Baqarah (2): 30 maupun Q.S. ād (38): 26 jika diterjemahkan ke dalam bahasa politik kontemporer, dapat berarti penguasa atau pemerintahan yang mempunyai kekuasaan formal dan bertugas mengelola wilayah atau negara tertentu. Berikut ini akan dijelaskan beberapa pandangan mufassir dalam memberikan makna fungsional baik terhadap kata khalīfah (ًَۖܟمݍيلݖمخ), khalā„if (َ مفلئٓملمخ) maupun khulafā` (َم٨هܛمݍمݖكخ), dalam konteks fiqh politik dalam kehidupan masyarakat:

Pertama M. Quraish Shihab; Dalam Tafsir Al-Miṣbah, setelah menafsirkan ayat 30 surah al-Baqarah, dalam konteks makna khalīfah, M. Quraish Shihab menulis:

Kata ini mengesankan makna pelerai perselisihan dan penegak hukum, sehingga dengan demikian pasti ada di antara mereka yang berselisih dan menumpahkan darah. Bisa jadi demikian dugaan malaikat sehingga muncul pertanyaan mereka. Semua itu adalah dugaan, namun apapun latar belakangnya, yang pasti adalah mereka bertanya kepada Allah, bukan berkeberatan atas rencana-Nya. “Apakah”

bukan “mengapa”, seperti dalam beberapa terjemaham, Engkau akan menjadikan khalīfah di bumi itu siapa yang akan merusak dan menumpahkan darah? Bisa saja bukan Adam yang mereka maksud merusak dan menumpahkan darah, tetapi anak cucunya.

Selanjutnya; perlu dicatat, bahwa kata khalīfah pada mulanya berarti yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Atasdasar ini, ada yang memahami kata khalīfah di sini dalam arti yang menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketepan-Nya,

48

(18)

tetapi bukan karena Allah tidakmampu atau menjadikan manusia berkedudukan sebagai Tuhan. Tidak!Allah bermaksud dengan pengangkatan itu untuk menguji manusia dan memberinya penghormatan. Ada lagi yang memahaminya dalam artiyang menggantikan makhluk lain dalam menghuni bumi ini.

Betapapun, pesan yang dapat ditangkap dari pendapat Quraish di atas, ayat ini menunjukkan bahwa kekhalifahan terdiri dari wewenang yang dianugerahkan Allah swt., makhluk yang diserahi tugas yakni Adam as., dan anak cucunya, serta wilayah tempat bertugas, yakni bumi yang terhampar ini. Jika demikian, kekhalifahan mengharuskan makhluk yang diserahi tugas itu melaksanakan tugasnya sesuai dengan petunjuk Allah yang memberinya tugas dan wewenang. Kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya adalah pelanggaran terhadap makna dan tugas kekhalifahan.

Seperti terbaca di atas, ayat-ayat yang berbicara tentang pengangkatan khalīfah

dalam Alquran ditujukan kepada Nabi Adam dan Nabi Daud. Khalīfah pertama adalah manusia pertama (Adam) dan ketika itu belum ada masyarakat manusia, berbeda dengan keadaan pada periode Nabi Daud, beliau menjadi khalīfah setelah berhasil membunuh Jalut. Alquran dalam hal ini menjelaskan bahwa, “Dan Daud membunuh

Jalut, Allah memberinya kekuasaan atau kerajaan, dan hikmah serta mengajarkan apa yang dikehendaki-Nya (Q.S. al-Baqarah [2]: 251) .“

Ayat ini menurut M. Quraish, menunjukkan bahwa Daud memperoleh kekuasaan tertentu dalam mengelola satu wilayah, dan dengan demikian kata khalīfah

pada ayat yang membicarakan pengangkatan Daud adalah kekhalifahan dalam arti kekuasaan mengelola wilayah atau dengan kata lain kekuasaan politik. Hal ini didukung pula oleh Q.S. al-Baqarah (2): 251 di atas yang menjelaskan bahwa Nabi Daud as. dianugerahi hikmah. Selanjutnya, ditegaskan posisi Daud sebagai khalīfah disertai seruan untuk menegakkan keadilan dalam menjalankan tugas kekhalifahannya tersebut, seperti disebutkan dalam Q.S. ād (38):26:

“Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalīfah (penguasa) di muka bumi.

Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah…”49

Kedua Ibnu Katṡīr;

Berbeda dengan komentar Quraish Shihab, Ibnu Katṡīr, berpendapat cukup menarik ketika menafsirkan kata Khalīfah (ًَۖܟمݍيلݖمخ), dalam Q.S. al-Baqarah (2): 30, dalam ayat ini Allah memberitakan karunia-Nya yang besar kepada anak Adam, sebab menyebut keadaan mereka sebelum diciptakannya di hadapan para Malaikat. Khalīfah di sini, berarti: Kaum yang silih berganti menghuni bumi beserta kekuasaannya dan pembangunannya.50

Pendapat ini didasarkan pada Q.S. al-An‟ām (6): 165:

َمݠكݞمو

َ

يل

َٱ

َ

َ مفلئٓ

ملمخَۡݗك مݖم݇مج

َ لضۡ

م ۡ

ۡٱ

َ

َۡܞم ل

َۡ يܠٰ مجم٤ملَ يܼۡ݇مبَ مقۡݠمفَۡݗك مܾۡ݇مبَم݅م م٤مو

م

َ ۡݗك ٰىمܡام٨َهܛمݘَ لَِۡݗ

ككمݠكݖ

َ

49 Lihat lengkap: Abd. Gani Jumat, Konsep Pemerintahan Dalam Al-Qur‟an: Analisis Makna

Khalifah Dalam Perspektif Fiqh Politik, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol. 11, No. 1, Juni 2014, hlm. 179-184.

50

(19)

“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa- di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu..”.

Selanjutnya Ibnu katsir mengomentari ayat di atas secara implementatif dengan mengutip pendapat al-Qurṭūbī:

Menurut al-Qurṭūbī, dengan ayat ini wajib mengangkat Khalīfah yang dapat memutuskan berbagai perselisihan, pertengkaran yang terjadi dan membela orang yang teraniaya dan menegakkan hukum, melarang segala perbuatan yang keji dan haram, dan segala urusan yang tidak terpenuhi kecuali jika ada penguasa. Dan sesuatu yang tidak dapat terlaksana sesuatu kewajiban wajib adanya.

Jika dicermati pendapat ini, sebenarnya Ibnu Ka tir ingin menegaskan bahwa sebelum Adam telah ada manusia atau makhluk lain yang mendiami bumi, dan mereka ini telah mengemban amanat, akan tetapi mereka tidak mampu melaksanakan amanat itu dengan sebaik-baiknya. Justru cenderung berbuat kerusakan, maka Allah mengganti kepemimpinan mereka dengan penguasa yang baru yaitu Adam (ًَۖܟمݍيلݖمخ) untuk menjadi penguasa atau menjalankan tugas pemerintahan dalam wilayah yang tidak terbatas, tetapi system kekuasaan itu masih sangat sederhana sesuai dengan kondisi sosial ketika itu.

Bertolak dari pandangan beberapa para pakar di atas, baik M. Quraish Shihab, maupun Ibnu Ka īr, walaupun dengan redaksi yang berbeda, tetapi yang pasti bahwa kedua pendapat itu memiliki pesan substansi yang sama. Bahwa term khalīfah, bermakna kaum yang silih bergantian mendiami bumi yaitu Adam dan anak cucunya (baca: umat manusia), yang diberikan tugas dan wewenang oleh Allah untuk membangun dan menciptakan kemakmuran, menegakkan keadilan dan mencegah segala bentuk penyimpangan moral.

Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa keberadaan khalīfah (pemerintahan) merupakan sesuatu yang harūrī (pokok) atau mesti keberadaannya untuk mengatur mekanisme dan system pergaulan masyarakat dalam lingkup wilayah atau Negara terentu. Namun pemerintahan itu harus menjalankan roda pemerintahannya bedasarkan tugas dan amanat yang diembannya. Hal ini ditegaskan dalam Q.S. al-Nisā„ (4): 58-59:

َ غلإ

َم ّٱ

َ

َناوُلمܖكܡَ غ

م

أَ ۡݗك كܱك

ۡ

ܕمي

َلܠٰ منٰ م

م ۡ

ۡٱ

َ

َ م ۡيمبَ ݗكܢۡݙمݓمحَ ام٣َِ ܛمݟلݖۡݞ

م

أَ ٓ

َلإ

م

َ لسܛ نٱ

َ

َلܝَ

ناݠكݙكݓۡ مََغمأ

َ لظۡܯم݇

ۡݕٱ

َ

َ غلإ

َم ّٱ

َ

َܛ ݙل݇لݛ

َلݝلܝَݗك ك݄ل݇مي

َ هۦَ

َ غلإ

َم ّٱ

َ

َمَ

َاًر لܻمܝَاۢم݇يلݙمسَمغ

َ

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak

menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.”(Q.S. al-Nisā:58)

ܛمݟُ

أٓ مي

م

َ

َمݚيل

َٱ

َ

َناݠك݇يل݀

م

أَناهݠكݜمݘام٨

َم ّٱ

َ

َناݠك݇يل݀

م

أمو

َمظݠكس ܱ ٱ

َ

َ لِنو

ك

أمو

َلܱۡ

م ۡ

ۡٱ

َ

َ

َلإَكػوُلكܱمفَي٨ ۡ

م

مََ لَِۡݗكܢۡ مٰܲمنمܡَغلܗمفَۖۡݗك ݜلݘ

َل ّٱ

َ

َمو

َلظݠكس ܱ ٱ

َ

َلܝَمغݠكݜلݘۡܖكܡَۡݗكܢݜكݒَغلإ

َل ّٱ

ََمو

َلعۡݠم

ۡٱ

ۡ

َ

َ لܱلخٓٱ

َ

َمسۡح

م

أموَْ ۡرمخَ مݑلٰمذ

َكݚ

َ

َ ًٗيلو

ۡ

ܕمܡ

َ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara

(20)

Pesan etika struktural kekuasaan politik yang dapat dijelaskan pada ayat di atas adalah bahwa ternyata Allah menawarkan kepada khalīfah (pemerintah) semacam prinsip-prinsip etika dan moralitas politik, selama menjalani dan mengemban wewenang pemerintahan. Misalnya, bersifat amanah, jujur, adil, kewajiban taat kepada Allah, kepada Rasul-Nya, dan kepada pemerintah yang sah. Kewajiban mentaati Allah dan Rasul-Nya, bersifat mutlak. Sedangkan terhadap penguasa, ketaatan itu bersifat temporal dan kondisional. Oleh karena itu, dalam konteks negara sedang membangun sistem yang demokratis, betapapun kewajiban rakyat mentaati pemerintah, tetapi tanpa harus menafikan sikap kritis atau kontrol terhadap perbuatan zalim dan korup yang dilakukan oleh penguasa51 dimaksud.

Al-Qur‟an dalam hal ini menginformasikan pada Q.S. al-Baqarah (2) :251)52

bahwa Nabi Daud as memperoleh kekuasaan dalam mengelola suatu wilayah tertentu, dan dengan demikian kata khalīfah pada ayat yang membicarakan kata pengangkatan Daud as. adalah kata kekhalifahan dalam arti kekuasaan politik.

Perhatikan Q.S. al-Baqarah (2): 251 yang menjelaskan bahwa Nabi Daud as. Dianugerahkan hikmah dan kekuasaan setelah membunuh Jalut. Menarik juga untuk dibandingkan bahwa ketika Allah menguraikan pengangkatan Adam sebagai penguasa, digunakan bentuk tunggal dalam menunjuk pengangkatan itu. Untuk lebih jelasnya perhatikan komentar M. Quraish Shihab berikut ini:

Penggunaan bentuk tunggal pada Adam as. cukup beralasan karena ketika itu memang belum ada masyarakat, apalagi ia baru dalam bentuk ide. Perhatikan redaksinya yang

51

Menurut Saiful Mujani, sikap kritis rakyat terhadap prilaku korup pemerintah merupakan keterlibatan dalam civic association atau civil society ini tidak hanya membantu seorang individu untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik, atau membuka akses bagi mereka pada berbagai isu publik, melainkan juga memberi kontribusi bagi terkonsolidasinya demokrasi. Lihat Saiful Mujani, Muslim Demokrat, Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 132. Sementara Schmitter, juga menegaskan bahwa kontribusi civil society terhadap konsolidasi demokrasi terletak pada asumsi bahwa civil society menstabilkan harapan warga. Lihat, Philippe C. Schmitter, “Civil Society East and West.” Consolidating theThird Wafe of Democracy. (Edited by Larry Diamond. Baltimore: Johns Hopkins University Press t.th). Dikutip oleh Saiful Mujani dalam

Muslim Demokrat…, Ibid., Harapan yang stabil ini, membantu pemerintah berkomunikasi

Referensi

Dokumen terkait

Ketiga, siswa merasa tidak mempunyai waktu yang cukup untuk membaca, karena buku bacaan hanya tersedia di perpustakaan saat berada di sekolah.Penelitian ini bertujuan untuk

Da lam sua sa na ne ga ra huk um, konstitusi yang merupakan hukum dasar (yang merupakan pedoman dalam penyelenggaraan negara sehingga menjadi acuan bagi penyelenggaran

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan pembelajaran dan bila ditemukan perbedaan pembelajaran maka dicari manakah yang lebih baik antara latihan pas atas

Selain itu hukum Islam juga memiliki prinsip yang sangat bersahaja, dengan konsep kemaslahatan, menegakkan keadilan, tidak menyulitkan, menyedikitkan beban,

 Teknologi cetak adalah cara-cara untuk memproduksi atau menyebarkan materi, seperti buku dan materi visual statik, yang pada umumnya dilakukan melalui proses

Bahwa atas putusan Pengadilan Negeri Medan tersebut, Kuasa Hukum Penggugat telah menyatakan banding pada tanggal 26 Agustus 2011, permohonan banding tersebut

Siswa Pelamar, menggunakan NISN dan password yang diberikan oleh Kepala Sekolah pada waktu verifikasi data di PDSS, login ke laman SNMPTN http://snmptn.ac.id untuk

Edukasi Kreatif yang ditawarkan dari komik kesatria bela negara merancang pembaca webtoon untuk lebih dekat dengan cerita dan karakter karena lebih manusiawi,