• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI MEDIASI DI

C. Dasar Hukum Mediasi di Luar Pengadilan

Dasar hukum penerapan mediasi di luar pengadilan, yang merupakan salah satu dari sistem Alternative Disputes Resolution (ADR) di Indosesia adalah:47 1. Pancasila sebagai dasar ideologi Negara Republik Indonesia yang

mempunyai salah satu asas musyawarah mufakat.

2. Undang-Undang 1945 adalah konstitusi Negara Indonesia di mana asas musyawarah mufakat menjiwai pasal-pasal di dalamnya.

3. UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 58 menyatakan, “Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan Negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.”

Selain itu Pasal 60 ayat (1) menyatakan bahwa, “Alternatif penyelesaian sengketa merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsultasi, atau penilaian ahli.”

4. Secara Administrative type ADR telah diatur dalam berbagai undang-undang seperti :

a. Undang-Undang No.30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;

b. UU No 18 Tentang Jasa Konstruksi;

c. UU No. 30 tahun 2000 tentang Tata Letak Sirkuit; UU No. 14 tentang Paten;

d. UU No. 15 tahun 2001 tentang Merk;

47 Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2009), hlm. 21.

e. UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan;

f. UU No.12 tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Perusahaan Swasta;

g. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;

h. PP No. 29 UU No. 54 tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan;

i. PP No. 29 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

j. UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan tentang Hubungan Industrial;

D. Perbedaan Mediasi di Luar Pengadilan dan Mediasi di Pengadilan

Pada dasarnya, mediasi dijadikan sebagai pilihan jalan damai dalam menyelesaikan sengketa perdata. Mengacu pada uraian di atas, maka terdapat beberapa perbedaan antara mediasi di luar pengadilan (non litigasi) dan mediasi di dalam pengadilan (litigasi). D.Y. Witanto mengemukankan perbedaan tersebut, yaitu :48

1. Jika dalam proses mediasi di luar pengadilan, para pihak tidak terikat dengan aturan-aturan formil, maka dalam mediasi di pengadilan, mediator dan para pihak harus tunduk pada hukum acara mediasi yang diatur dalam Pasal 130 HIR/154RBg jo. PERMA Mediasi.

2. Mediasi di luar pengadilan tidak memiliki kekuatan eksekutorial yang pelaksanaannya dapat dipaksakan melalui bantuan aparatur negara ketika kesepakatan damai itu tidak dilakukan secara sukarela apabila kesepakatan

48 D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama menurut PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, (Bandung: Alfabeta, 2011), hlm. 67

damai tidak dikukuhkan menjadi Akta Perdamaian. Sedangkan pada proses mediasi di pengadilan hasil kesepakatan akan dikuatkan dalam bentuk Akta Perdamaian yang memiliki kekuatan hukum eksekutorial sebagaimana sebuah keputusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, karena Akta Perdamaian mengandung Irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.”

3. Pada proses mediasi di pengadilan, para pihak dapat memilih untuk menggunakan jasa mediator dari kalangan Hakim Pengadilan, sehingga para pihak tidak dibebani untuk membayar jasa pelayanan mediator, sedangkan dalam proses mediasi di luar pengadilan para pihak yang menggunakan jasa mediator professional akan dibebani untuk membayar biaya honorarium mediator.

4. Pada proses mediasi di pengadilan, jika proses mediasinya gagal, maka secara otomatis perkara akan dilanjutkan dalam proses persidangan, sedangkan pada proses mediasi di luar pengadilan, jika proses mediasi gagal dan ingin melanjutkan dengan proses litigasi, maka para pihak harus mengajukan gugatan terlebih dahulu di kepaniteraan pengadilan.

E. Pengertian dan Persyaratan Menjadi Seorang Mediator 1. Pengertian Mediator

Pengertian mediator dalam Pasal 1 angka 2 Perma No. 1 Tahun 2016 adalah :

“Hakim atau pihak lain yang memiliki sertifikat mediator sebagai pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna

mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian”.

Mediator tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksakan suatu penyelesaian pada pihak-pihak yang bersengketa. Mediator membimbing para pihak untuk melakukan negosiasi sampai terdapat kesepakatan yang mengikat para pihak. Kesepakatan ini selanjutnya dituangkan dalam suatu perjanjian.49

Mediator yang netral mengandung pengertian bahwa mediator tidak berpihak (impartial), tidak memiliki kepentingan dengan perselisihan yang sedang terjadi, serta tidak diuntungkan atau dirugikan jika sengketa dapat diselesaikan atau jika mediasi menemui jalan buntu (deadlock). Bantuan mediator yang bersifat prosedural antara lain mencakup tugas-tugas memimpin, memandu, dan merancang sesi-sesi pertemuan atau perundingan, sedangkan bantuan substansial berupa pemberian saran-saran kepada pihak yang bersengketa tentang penyelesaian pokok sengketa.50

Dalam proses mediasi, seorang mediator memiliki peran sebagai pihak yang mengawasi jalannya mediasi seperti mengatur perundingan, menyelenggarakan pertemuan, mengatur diskusi, menjadi penengah, merumuskan kesepakatan dalam para pihak, serta membantu para pihak untuk menyadari bahwa sengketa bukanlah suatu pertarungan untuk dimenangkan, tetapi sengketa tersebut harus diselesaikan. 51 Tetapi mediator tidak berwenang untuk memutus sengketa, tetapi hanya

49 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 29

50 Takdir Rahmadi, op.cit., hlm. 14

51 Frans Hendra Winarta, op.cit.¸hlm. 17

membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya.

Peran mediator dapat bersifat aktif maupun pasif dalam membantu para pihak. Peran aktif harus dilakukan jika para pihak yang bersengketa tidak mampu melaksanakan perundingan yang konstruktif. Sebaliknya, mediator memainkan peran pasif jika para pihak sendiri mampu melaksanakan perundingan yang konstruktif dalam arti para pihak sendiri mampu mengusulkan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dan membahas usulan pemecahan masalah itu guna mengakhiri sengketa.

Dengan demikian, tingkatan peran mediator dalam mebantu para pihak menyelesaikan perbedaan-perbedaan mereka sangat situasional, yaitu tergantung pada kemampuan para pihak dalam melaksanakan perundingan.52

Menurut Christopher W. Moore, mediator memiliki 3 tipe antara lain :53 a. Mediator Otoritatif

Dalam proses mediasi terdapat beberapa komponen yang terlibat langsung, yaitu para pihak yang bersengketa dan mediator, ketiga komponen tersebut akan terlibat dalam satu proses interaksi secara timbal balik berdasarkan kepentingan dan pengaruh-pengaruh tertentu.

Proses interaksi dan komunikasi bisa terjalin secara teratur dengan panduan penuh mediator atau secara acak di luar kendali mediator.

Seorang mediator yang memiliki tipe otoritatif akan mampu mengendalikan komunikasi bahkan mampu untuk mempengaruhi hasil

52 Takdir Rahmadi, op.cit., hlm. 14

53 D.Y. Witanto, op.cit., hlm. 97

akhir dari proses mediasi yang dibangun. Posisi yang dimiliki oleh seorang mediator otoritatif sangat kuat sehingga para pihak terkadang menunjukkan sikap pasrah untuk menyerahkan penyelesaian yang terbaik kepada sang mediator.

b. Mediator Social Network

Mediator yang lahir karena proses hubungan/jaringan sosial atau karena sama-sama berasal dari suatu komunitas tertentu, pada umumnya memiliki keterlibatan secara emosional dengan para pihak.

Hubungan sosial terjamin dari berbagai aspek misalnya karena faktor kelompok dan organisasi tertentu.

Tipe mediator berdasarkan hubungan sosial memiliki kelebihan antara lain lebih mudah untuk menciptakan pola komunikasi yang baik dengan para pihak, karena antara mediator dengan para pihak memiliki karakter dan ciri khas sosial yang sama.

c. Mediator Independen

Mediator independen merupakan mediator yang sama sekali tidak memiliki keterikatan apapun dengan para pihak, baik karena pribadinya maupun karena sengketa yang sering dihadapi. Tipe mediator independen ini merupakan tipe yang paling cocok bagi proses perdamaian yang dilakukan dalam proses berpekara di pengadilan mengingat sifatnya yang independen dan professional.

Ada dua cara yang dapat dipilih oleh para pihak dalam menentukan mediator, yaitu :54

54 Candra Irawan, op.cit., hlm. 43

a. Para pihak menunjuk sendiri orang yang dianggap tepat sebagai mediator melalui kesepakatan bersama. Kesepakatan tersebut dibuat secara tertulis dan diajukan kepada mediator yang dipilih.

b. Para pihak mengajukan permohonan kepada lembaga tertentu agar ditunjuk mediator. Lembaga tersebut misalnya Badam Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Muammalat Indonesia (BAMUI), Pengadilan Negeri atau lembaga penyelesaian sengketa lainnya.

Tetapi apabila mediator tidak berhasil mendamaikan para pihak dan waktu yang ditentukan sudah berakhir, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan melaporkan kegagalan tersebut kepada hakim. Kegagalan para pihak untuk berdamai berarti mengharuskan hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan Hukum Acara yang berlaku.

2. Persyaratan Menjadi Seorang Mediator

Seorang mediator bukanlah seorang hakim, yang dapat memutuskan sengketa berdasarkan fakta-fakta hukum.55 Mengingat peran mediator sangat menentukan efektivitas proses penyelesaian sengketa, maka ia harus memenuhi persyaratan dan kualifikasi tertentu. Mediator tidak menghakimi bahwa pihak yang satu benar dan pihak yang lain salah. Ia bersama para pihak menelusuri akar penyebab persengketaan, memetakan

55 John Michael Haynes, Gretchen L, Haynes dan Larry Sun Fong, Mediation: Positive Conflict Management, (New York: SUNY Press, 2004), hlm. 5

kepentingan para pihak dan meminta para pihak memikirkan alternatif-alternatif solusi lainnya.56

Kemampuan mediator menjalin hubungan antar personal dan keahlian pendekatan merupakan syarat penting bagi seorang mediator. Kemampuan ini biasanya lahir dari keluwesannya bergaul dalam kehidupan sosial. Di samping itu, pengalaman melakukan negosiasi dan menyelesaikan sengketa di pengadilan juga ikut membantu kapasitas mediator dalam menjalankan kegiatannya. Pengalaman menyelesaikan konflik dan adanya sedikit pengetahuan tentang masalah yang dihadapi para pihak, akan cukup memperkuat kapasitas mediator, walaupun persyaratan yang terakhir ini tidak cukup signifikan bagi seorang mediator.57

Persyaratan bagi seorang mediator dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi internal mediator dan sisi eksternal mediator. Sisi internal berkaitan dengan kemampuan personal mediator dalam menjembatani dan mengatur proses mediasi, sehingga para pihak berhasil mencapai kesepakatan yang dapat mengakhiri persengketaan mereka. Sisi eksternal berkaitan dengan persyaratan formal yang harus dimiliki mediator dalam hubungannya dengan sengketa yang ia tangani.58

Di samping persyaratan di atas, mediator harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik, jelas, dan teratur, serta mudah dipahami para pihak karena menggunakan bahasa yang sederhana. Kalimat-kalimat yang dipakai mediator dalam menjalankan kegiatan mediasi adalah kalimat yang

56 Syahrizal Abbas, op.cit., hlm. 62

57 Ibid, hlm. 64

58 Beberapa Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, mengatur sejumlah syarat bagi mediator, di antaranya Peraturan Pemerintah RI No. 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyediaan Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan.

tidak menimbulkan ambiguitas dan membuka peluang salah tafsir dari kedua belah pihak. Hal ini perlu dijaga oleh mediator, karena penggunaan bahasa yang keliru akan membawa kesulitan bagi dirinya dan para pihak dalam menjalani proses mediasi lebih lanjut.59

Persyaratan di atas adalah persyaratan mediator dalam kaitannya dengan kemampuan interpersonal. Persyaratan ini tidak cukup bagi seorang untuk menjadi seorang mediator, karena ia harus didukung oleh persyaratan lain yang berkaitan dengan para pihak dan permasalahan yang dipersengketakan oleh mereka. Persyaratan lain terdiri atas :60

1. Keberadaan mediator disetujui oleh kedua belah pihak.

Persetujuan dari kedua belah pihak yang bersengketa akan hadirnya mediator adalah syarat paling utama. Apabila salah satu pihak tidak setuju akan adanya mediator atau terlibatnya mediator dalam menyelesaikan perkara mereka maka proses mediasi tidak akan pernah terjadi.

2. Tidak mempunyai hubungan sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa.

Dikarenakan mediator pada dasarnya adalah bersifat netral dan objektif dalam menjalankan tugasnya, maka dari itu ia tidak boleh memiliki hubungan darah atau semenda dengan salah satu pihak, karena akan menyebabkan menghilangnya rasa netralitas dalam mencari opsi bagi penyelesaian sengketa mereka.

59 Syahrizal Abbas, op.cit., hlm. 63

60 Muhammad Khaidir Batubara, Peran Mediator Hakim dalam Kasus Perceraian (Studi Pengadilan Agama Kota Pematang Siantar), (Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara: Medan, 2018), hlm.63.

3. Tidak memiliki hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa.

Keterkaitan mediator dalam pekerjaan dengan salah satu pihak yang bersengketa akan membawa dampak tidak objektif dalam proses mediasi.

4. Tidak memiliki kepentingan finansial, atau kepentingan lainnya terhadap kesepakatan para pihak.

Mediator harus benar-benar menjamin bahwa proses mediasi yang dilakukannya bebas dari kepentingan finansial maupun non finansial terhadap proses mediasi. Ia tidak memiliki kepentingan material apapun terhadap mediasi, baik mediasi tersebut berhasil ataupun gagal.

5. Tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya.

Dalam menjalankan mediasi tahap demi tahap, mediator dituntut untuk selalu menjaga independensinya sampai pada penyelesaian akhir sengketa. Ia harus mampu menunjukkan netralitas kepada para pihak sejak awal sampai akhir, karena bila ia mengabaikan hal ini, kemungkinan besar mediasi akan gagal di tengah jalan.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyediaan Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan, ditentukan kriteria menjadi mediator pada lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan seperti :

a. Cakap melakukan tindakan hukum.

b. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun.

c. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif bidang lingkungan hidup paling sedikit 5 (lima) tahun.

d. Tidak ada keberatan dari masyarakat (setelah diumumkan dalam jangka waktu satu bulan)

e. Memiliki keterampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan.

Persyaratan mediator ditemukan juga dalam Keputusan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) No. Kep-05/BAPMI/11.2002 tentang Pedoman Benturan Kepentingan dan Hubungan Afiliasi bagi Arbiter dan Mediator. Persyaratan mediator dalam keputusan ini lebih menekankan pada benturan kepentingan antar calon mediator dengan para pihak yang bersengketa, dan bukan persyaratan sebagaimana yang tertuang dalam PP Nomor 54 Tahun 2000. Penekanan Keputusan BAPMI pada tidak adanya benturan kepentingan sebagai syarat bagi mediator, karena BAPMI ingin menciptakan independensi mediator.61

F. Fungsi Mediator dalam Penyelesaian Sengketa Perdata Menurut Lon Fuller, mediator memiliki tujuh fungsi, yaitu :62 1. Fungsi sebagai katalisator

Diperlihatkan dengan kemampuan mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi dialog atau komunikasi di antara para pihak dan bukan

61 Gatot Sumartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 119

62 Takdir Rahmadi, op.cit., hlm. 14

sebaliknya, yakni menyebarkan terjadinya salah pengertian dan polarisasi di antara para pihak.

2. Fungsi sebagai pendidik

Dimaksudkan berusaha memahami kehendak, aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan politis, dan kendala usaha dari para pihak.

3. Fungsi sebagai penerjemah

Mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak yang lainnya melalui bahasa, atau ungkapan yang enak didengar oleh pihak lainnya, tetapi tanpa mengurangi maksud atau sasaran yang hendak dicapai oleh si pengusul.

4. Fungsi sebagai narasumber

Mediator harus mampu mendayagunakan atau melipatgandakan kemanfaatan sumber-sumber informasi yang tersedia.

5. Fungsi sebagai penyandang berita jelek

Mediator harus menyadari bahwa para pihak dalam proses perundingan dapat bersikap emosional, maka mediator harus siap menerima perkataan dan ungkapan yang tidak enak dan kasar dari salah satu pihak.

6. Fungsi sebagai agen realitas

Mediator harus memberitahu atau memberi pengertian secara terus terang kepada satu atau para pihak, bahwa sasarannya tidak mungkin atau tidak masuk akal untuk dicapai melalui sebuah proses perundingan.

7. Fungsi sebagai kambing hitam

Mediator harus siap menjadi pihak yang dipersalahkan apabila orang-orang yang di mediasi tidak merasa sepenuhnya puas terhadap prasyarat-prasyarat dalam kesepakatan.

Selain itu, Gifford juga mengidentifikasi fungsi-fungsi mediator dalam sebuah proses perundingan, yaitu sebagai berikut :63

1. Memperbaiki komunikasi di antara para pihak

2. Memperbaiki sikap para pihak terhadap satu sama lainnya

3. Memberikan wawasan kepada para pihak atau kuasa hukumnya tentang proses perundingan

4. Menanamkan sikap realistis kepada pihak yang merasa situasi atau kedudukannya tidak menguntungkan

5. Mengajukan usulan-usulan yang belum diidentifikasi oleh para pihak Gifford menjelaskan bahwa upaya memperbaiki komunikasi di antara para pihak dan upaya memperbaiki sikap para pihak terhadap satu sama lainnya, sesungguhnya merupakan dua hal yang saling terkait. Keinginan para pihak untuk berkomunikasi, berbagi informasi satu sama lain, dan untuk menempuh perundingan yang kooperatif atau bersifat pemecahan masalah sering kali dihambat oleh perasaan para juru runding bahwa posisinya akan lemah jika pihak lain tidak mengambil sikap yang sama, yakni bersifat kooperatif juga.64

Kehadiran mediator berusaha untuk menciptakan suasana kondusif bagi terselenggaranya proses perundingan yang bersifat kooperatif dan bukan bersifat kompetitif. Mediator dapat memantau proses berbagi informasi secara

63 Nurnaningsih Amriani, op.cit., hlm. 65

64 Ibid, hlm.66

sepihak. Namun, mediator berkewajiban untuk merahasiakan informasi yang diberikan kepadanya, pertemuan mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya, atau dalam lain hal mediator memang diminta oleh pihak pemberi informasi untuk merahasiakan informasi itu.65

Fungsi mediator untuk mendidik atau memberi wawasan kepada para pihak tentang proses perundingan adalah untuk mencegah sikap salah satu atau para pihak yang sangat kompetitif. Proses perundingan yang sangat kompetitif mengandung risiko, bahwa proses perundingan berakhir pada jalan buntu.

Kehadiran mediator sebagai pendidik sangat diperlukan dalam proses perundingan. Hal ini dapat dilakukan oleh mediator dengan menyarankan kepada para pihak untuk mengkaji kepentingan para pihak secara bersama-sama dan mengemukakan beberapa pemecahan masalah untuk mengatasi perbedaan kepentingan yang timbul.66

Mediator dapat juga mengemukakan saran tentang substansi pemecahan masalah selain tentang proses perundingan itu sendiri. Setelah secara aktif mendengarkan pernyataan para pihak, mediator barangkali dapat memahami kepentingan para pihak, dan kemudian mengemukakan usulan-usulan pemecahan masalah yang belum diidentifikasi oleh para pihak itu sendiri.

Usulan dari mediator biasanya disampaikan setelah para pihak tidak lagi mempunyai gagasan tentang pemecahan masalah. Akan tetapi, bagaimanapun seorang mediator harus menyadari bahwa peran yang terlalu aktif dalam hal substansi mengandung risiko, yaitu bahwa hasil akhir atau kesepakatan dapat dipandang oleh para pihak atau salah satu pihak bukan sebagai hasil pemikiran

65 Ibid.

66 Ibid.

mereka sendiri, sehingga para pihak atau salah satu pihak tidak sepenuh hati menerima hasil akhir atau kesepakatan.67

67 Ibid, hlm.67

PEMBAGIAN HARTA WARISAN DI PENGADILAN NEGERI MEDAN A. Proses Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Negeri Medan

Proses mediasi yang dijelaskan oleh Bapak Jamaluddin, selaku Hakim sekaligus Mediator Hakim di Pengadilan Negeri Medan, dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri Medan sesuai dengan proses mediasi yang diatur di dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 yang membagi proses mediasi menjadi dua tahap, yaitu :

1. Tahapan Pramediasi

a. Pada hari sidang yang telah ditentukan dan dihadiri oleh para pihak, Hakim Pemeriksa Perkara mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi (Pasal 17 ayat 1).

b. Pada hari sidang yang telah ditentukan dan dihadiri oleh para pihak, Hakim Pemeriksa Perkara menjelaskan prosedur mediasi kepada para pihak, seperti : (Pasal 17 ayat 6)

1) Pengertian dan manfaat mediasi.

2) Kewajiban para pihak untuk menghadiri langsung pertemuan mediasi berikut akibat hukum atas perilaku tidak beritikad baik dalam proses mediasi.

3) Biaya yang mungkin timbul akibat penggunaan mediator non hakim dan bukan Pegawai Pengadilan.

4) Pilihan menindaklanjuti Kesepakatan Perdamaian melalui Akta Perdamaian atau pencabutan gugatan; dan

5) Kewajiban para pihak untuk menandatangani formulir penjelasan mediasi.

c. Para pihak dapat memilih seorang atau lebih mediator yang menjadi pihak ketiga dalam mendamaikan para pihak yang tercatat dalam daftar mediator di pengadilan (Pasal 19 ayat 1).

d. Mediator menentukan hari dan tanggal pertemuan mediasi, setelah menerima penetapan penunjukan sebagai mediator (Pasal 21 ayat 1).

e. Pada hari yang sudah ditentukan untuk melaksanakan mediasi, mediasi dilakukan di ruangan tersendiri yang dihadiri oleh para pihak dan Mediator Hakim saja. Pada umumnya proses mediasi bersifat tertutup, kecuali para pihak menghendaki lain (Pasal 5 ayat 1).

2. Tahapan Proses Mediasi

a. Proses mediasi berlangsung paling lama tiga puluh hari terhitung sejak penetapan perintah melakukan mediasi.

b. Dalam proses mediasi, mediator wajib menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pihak ketiga dan selama proses mediasi, mediator juga wajib memberikan pandangan terhadap resiko yang akan terjadi apabila sengketa pembagian harta warisan tetap dilakukan dan mediator berupaya agar mediasi berhasil. Adapun tugas mediator seperti yang diatur dalam Pasal 14 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016, yaitu :

1) Memperkenalkan diri dan memberi kesempatan kepada para pihak untuk saling memperkenalkan diri.

2) Menjelaskan maksud, tujuan, dan sifat mediasi kepada para pihak.

3) Menjelaskan kedudukan dan peran mediator yang netral dan tidak mengambil keputusan.

4) Membuat aturan pelaksanaan mediasi bersama para pihak.

5) Menjelaskan bahwa mediator dapat mengadakan pertemuan dengan satu pihak tanpa kehadiran pihak lainnya (kaukus).

6) Menyusun jadwal mediasi bersama para pihak.

7) Mengisi formulir jadwal mediasi.

8) Memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan permasalahan dan usulan perdamaian.

9) Menginventarisasi permasalahan dan mengagendakan pembahasan berdasarkan skala prioritas.

10) Memfasilitasi dan mendorong para pihak untuk:

a) Menelusuri dan menggali kepentingan para pihak.

b) Mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.

c) Bekerja sama mencapai penyelesaian.

11) Membantu para pihak dalam membuat dan merumuskan Kesepakatan Perdamaian

12) Menyampaikan laporan keberhasilan, ketidakberhasilan dan/atau tidak dapat dilaksanakannya mediasi kepada Hakim Pemeriksa Perkara.

13) Menyatakan salah satu atau para pihak tidak beritikad baik dan menyampaikan kepada Hakim Pemeriksa Perkara.

14) Tugas lain dalam menjalankan fungsinya.

Dokumen terkait