BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Teorits
5. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen Perbankan
31
Jadi, berdasarkan uraian diatas mengenai perlindungan konsumen itu sudah diatur di dalam berbagai undang-undang yang menunjukkan perlindungan konsumen ini sangat penting untuk diatur dalam melindungi hak-hak konsumen dalam rangka mewujudkan pembangunan dan peningkatan perekonomian nasional. Perlindungan konsumen tidak hanya diatur di dalam Undang-Undang di atas, melainkan diatur lebih lanjut dalam aturan perundang-undangan lainnya dan aturan pelaksana yang akan dijelaskan pada subbab selanjutnya.
(4) yang mengatur bahwa bank tidak boleh merugikan nasabah yang teleh menyimpan dana dan bank wajib menyediakan informasi kepada nasabah.
Hal ini sesuai sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf (a) dan huruf (c).
Menurut R. Hidayat, sebagaimana dikutip dari Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan: Kepuasan nasabah ditentukan oleh kualitas produk dan layanan yang dikehendaki nasabah, sehingga jaminan kualitas menjadi prioritas utama bagi bank. Untuk kepuasan nasabah terhadap layanan, ada dua hal pokok yang saling berkaitan erat yaitu harapan nasabah terhadap kualitas layanan (expected quality) dan persepsi nasabah terhadap kualitas layanan (perceived quality). Oleh karena itu dalam ketentuan perlindungan konsumen sektor jasa keuangan, pelaku usaha jasa keuangan wajib menyediakan dan/atau menyampaikan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang akurat, jujur, jelas dan tidak menyesatkan.16
b. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Sebagaimana Telah Diubah Menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan
Dibentuknya Undang-Undang ini dilatar belakangi untuk melindungi simpanan nasabah dalam hal bank sebagai penghimpun dana dari masyarakat sebagimana dijelaskan dalam konsideran poin b, “bahwa
16 Nurfitriyani, Siti Hamidah, dan Reka Dewantara, Analisis Hukum Ekonomi Terhadap Peraturan Perbankan dalam Perlindungan Hukum Nasabah, (Malang: Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan, Vol. 9, Issue 2, 2021), hlm. 465
33
dalam rangka penjaminan terhadap simpanan nasabah bank tersebut perlu dibentuk suatu lembaga yang independen yang diberi tugas dan wewenang untuk melaksanakan program dimaksud.”17
Hal ini bersesuaian dengan Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mana di dalam UU LPS merupakan aturan lanjutan untuk menjamin hak konsumen untuk tidak dirugikan yang telah mempercayakan dananya disimpan pada bank.
Menurut Hamza Rauf, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah lembaga dari suatu program penyempurnaan yang dibuat oleh pemerintah sebagai penjaminan dana simpanan nasabah atas seluruh kewajiban bank (blanket guarantee) pada masa lalu, disini fungsinya berperan untuk menjamin dana nasabah akan tetap aman18
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 Tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.
Transaparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah ini berkaitan langsung dengan Undang-Undang Perbankan sebagaimana diatur di dalam Pasal 29 ayat (4) yang menyatakan wajib menyediakan informasi bagi nasabah.
17 Poin Menimbang huruf (c) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan
18 Hamzah Rauf, Kajian Yuridis Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Sebagaimana Telah Diubah Menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan,(Manado: Jurnal Lex Privatum Vol. IX, No. 6, 2021), hlm. 59
Transparansi informasi mengenai produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah menjadi suatu kebutuhan yang tidak dapat dihindari untuk menjaga kredibilitas lembaga perbankan sekaligus melindungi hak-hak nasabag sebagai konsumen pengguna jasa perbankan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.19
d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 Tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah
Diterbitkannya aturan ini berkaitan langsung dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagaimana diatur di dalam Pasal 4 huruf (d): “hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.” Aturan ini berfungsi untuk memfasilitasi nasabah dalam menyampaikan keluhannya dalam hal ini pengaduan.
Selain tujuan tersebut, Peraturan Bank Indonesia ini juga ditujukan untuk mendukung kesetaraan hubungan antara bank sebagai pelaku usaha dengan nasabah sebagai konsumen pengguna jasa perbankan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.20
19 Penjelasan Umum Paragraf Ke-4 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/PBI/2005 Tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah
20 Penjelasan Umum Paragraf 2 kalimat terakhir Peraturan Bank Indonesia Nomor:
7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah
35
e. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi Perbankan
Diterbitkannya aturan ini berkaitan langsung dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagaimana diatur di dalam Pasal 4 huruf (e): “hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen” Aturan ini berfungsi untuk memfasilitasi nasabah dalam menyelesaikan sengketa antara nasabah dan bank dalam hal ini melalui mediasi.
f. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Kaitan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah (UUPS) ini dengan perlindungan konsumen sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 39 UUPS: “Bank Syariah dan UUS wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi Nasabah yang dilakukan melalui Bank Syariah dan/atau UUS”. Dimana konsumen konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa sebagaimana diatur di dalam Pasal 4 huruf (c) UUPK.
g. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Tujuan Otoritas Jasa Keuangan adalah agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan mampu melindungi kepentingan konsumen
dan masyarakat.21 Sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 4 huruf (c).
Adapun upaya-upaya yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk perlindungan konsumen dan masyarakat sebagaimana diatur di dalam Pasal 28 UU OJK, yaitu: (1) memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya, (2) meminta lembaga jasa keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat, (3) tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
h. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan
Perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan bertujuan untuk menciptakan sistem perlindungan Konsumen yang andal, meningkatkan pemberdayaan konsumen dan menumbuhkan kesadaran Pelaku Usaha Jasa Keuangan mengenai pentingnya perlindungan Konsumen sehingga mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat pada sektor jasa keuangan.22
21 Rati Maryani Palilati, Perlindungan Hukum Konsumen Perbankan Oleh Otoritas Jasa Keuangan, (Mataram: Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan Vol. IV No. 3, 2016), hlm. 52
22 Penjelasan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Paragraf 4
37
i. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan
Perlindungan Konsumen merupakan rangkaian kebijakan dan pelaksanaan kegiatan yang mencakup edukasi, pelayanan informasi, dan pengaduan serta fasilitas penyelesaian Sengketa bagi konsumen sektor jasa keuangan dan masyarakat pengguna jasa keuangan.23
j. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/SEOJK.07/2014 Tentang Pelaksanaan Edukasi Dalam Rangka Meningkatkan Literasi Keuangan Kepada Konsumen dan/atau Masyarakat
Pelaku Usaha Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat PUJK wajib menyelenggarakan Edukasi dalam rangka meningkatkan literasi keuangan kepada Konsumen dan/atau masyarakat sebagaimana diatur di dalam Poin II Cakupan Rencana Edukasi SEOJK Nomor 1/SEOJK.07/2014.
Adapun pelaksanaan edukasi didasarkan pada prinsip prinsip sebagai berikut:24
1. Inklusif, yang dimaksud dengan inklusif adalah Literasi Keuangan harus mencakup semua golongan masyarakat
23 Penjelasan Umum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan Paragraf 2
24 Poin III Pelaksanaan Edukasi angka (1) Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/SEOJK.07/2014 Tentang Pelaksanaan Edukasi Dalam Rangka Meningkatkan Literasi Keuangan Kepada Konsumen dan/atau Masyarakat
2. Sistematis dan terukur, yang dimaksud dengan sistematis dan terukur adalah Literasi Keuangan disampaikan secara terprogram, mudah dipahami, sederhana, dan pencapaiannya dapat diukur
3. Kemudahan Akses, Yang dimaksud dengan kemudahan akses adalah layanan dan informasi keuangan tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia dan mudah diakses
4. Kolaborasi, yang dimaksud dengan kolaborasi adalah melibatkan seluruh pemangku kepentingan secara bersama-sama dalam mengimplementasikan literasi keuangan.
k. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/SEOJK.07/2014 Tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Jasa Keuangan
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini dibentuk sebagai aturan lebih lanjut sehubungan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 01/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Pengaduan adalah ungkapan ketidakpuasan Konsumen yang disebabkan oleh adanya kerugian dan/atau potensi kerugian finansial pada Konsumen yang diduga karena kesalahan atau kelalaian Lembaga Jasa Keuangan.25
25 Ketentuan Umum Nomor 4 Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/SEOJK.07/2014 Tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan
39
l. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/SEOJK.07/2014 Tentang Penyampaian Informasi Dalam Rangka Pemasaran Produk dan/atau Layanan Jasa Keuangan
Di dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mengatur pokok-pokok yang wajib dilakukan oleh PUJK. Yang mana PUJK wajib menyampaikan informasi produk dan/atau layanan yang bersifat kuantitatif dan kualitatif, kemudian PUJK wajib menyediakan dan/atau menyampaikan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang jujur berdasarkan informasi yang sebenarnya tentang manfaat, biaya, dan risiko dari setiap produk dan/atau layanan, PUJK juga wajib melakukan konfirmasi kepada konsumen atas penjelasan yang diberikan, dan memberikan informasi yang tidak menyesatkan.
m. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 Tentang Perjanjian Baku
Di dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini diatur mengenai Perjanjian Baku yang dilarang adalah yang memuat: 1) Klausula eksonerasi/eksemsi yaitu yang isinya menambah hak dan/atau mengurangi kewajiban PUJK, atau mengurangi hak dan/atau menambah kewajiban Konsumen, 2) Penyalahgunaan keadaan yaitu suatu kondisi dalam Perjanjian Baku yang memiliki indikasi penyalahgunaan keadaan.26
26 Bagian II Klausula dalam Perjanjian Baku Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 Tentang Perjanjian Baku
n. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7/SEOJK.07/2015 Tentang Pedoman Penilaian Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan
Di dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/SEOJK.07/2014 telah diatur mengenai Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Jasa Keuangan, dimana pengaduan konsumen ini dapat menimbulkan sengkete antara Konsumen dan PUJK.
Maka dari itu diperlukannya Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. Yang mana diatur di dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7/SEOJK.07/2015.
o. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 76/POJK.07/2016 Tentang Peningkatan Literasi dan Inklusi Keuangan di Sektor Jasa Keuangan Bagi Konsumen dan/atau Masyarakat.
Sebagaimana amanat dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen salah satu hak Konsumen adalah hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen, yang mana pembinaan konsumen ini merupakan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana di atur di dalam Pasal 29 UUPK.
Yang mana salah satu upaya meningkatkan Pendidikan (Edukasi) dan Pembinaan Konsumen dengan cara ditetapkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 76/POJK.07/2016 Tentang Peningkatan Literasi
41
Dan Inklusi Keuangan di Sektor Jasa Keuangan Bagi Konsumen dan/atau Masyarakat.
Upaya dalam rangka meningkatkan Literasi Keuangan dilakukan melalui pelaksanaan Edukasi Keuangan yang diawali dengan pengenalan mendasar terhadap Lembaga Jasa Keuangan, dan karakteristik, manfaat, biaya, dan resiko suatu produk dan layanan jasa keuangan serta pengelolaan keuangan pribadi yang pada akhirny diharapkan membawa perubahan positif pada perilaku keuangan masyarakat.27