• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN HAK TANGGUNGAN MANUAL DAN HAK TANGGUNGAN BERBASIS ELEKTRONIK BERDASARKAN KONSEP PERLINDUNGAN KONSUMEN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PERBANDINGAN HAK TANGGUNGAN MANUAL DAN HAK TANGGUNGAN BERBASIS ELEKTRONIK BERDASARKAN KONSEP PERLINDUNGAN KONSUMEN SKRIPSI"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN HAK TANGGUNGAN MANUAL DAN HAK TANGGUNGAN BERBASIS ELEKTRONIK BERDASARKAN

KONSEP PERLINDUNGAN KONSUMEN SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

MUHAMAD NANDI NIM: 11727102224

PROGRAM S1

JURUSAN ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU PEKANBARU

1444 H/2023 M

(2)
(3)
(4)
(5)

Kemudian dalam menerapkan prinsip kehati-hatian jasa keuangan meminta jaminan atas dana yang dipinjamkan. Salah satu bentuk jaminan adalah dalam berupa sertipikat tanah yang apabila telah dijaminkan sertipikat tersebut statusnya menjadi sertipikat hak tanggungan. Kemudian dengan berkembangnya dunia digital, sehingga di dalam pelayanan hak tanggungan ini terdapat dua jenis layanan yaitu hak tanggungan Manual dan hak tanggungan berbasis elektronik. Tentu dengan ada dua bentuk pelayanan ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana perbandingan pendaftaran hak tanggungan Manual dan hak tanggungan berbasis elektronik serta bagaimana keunggulan dan kekurangan hak tanggungan Manual dan hak tanggungan berbasis elektronik, yang kemudian di dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian hukum normative dengan pendekatan Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) pendekatan. Pendekatan tersebut antara lain adalah Pendekatan konsep hukum (conceptual approach), pendekatan undang- undang (the statute approach). Pendekatan konsep hukum (conceptual approach) adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum, yang datanya menggunakan data sekunder yaitu studi pustaka, yang mana penulis melakukan pengumpulan terhadap bahan hukum yang kemudian penelis melakukan analisis dari hal umum ke khusus untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan pada rumusan masalah.

Setelah melakukan penelitian dapat menyimpulkan perbandingan pendaftaran hak tanggungan Manual dan hak tanggungan berbasis elektronik yang mendasar adalah pada poin efektif dan efisiennya waktu dan biaya, selain itu dikedua jenis hak tanggungan ini juga terdapat kekurangannya masing-masing. Yang mana hak tanggungan Manual lebih memakan banyak waktu dibanding hak tanggungan berbasis elektronik dan adanya ketidakpastian hukum terhadap rusaknya sertipikat ha katas tanah yang merupakan tanggung jaawab kreditor untuk mengurus sertipikat pengganti, dan pada hak tanggungan berbasis elektronik juga terdapat kekurangan dalam hal kesalahan data yang menimbulkan kerugian pada konsumen yang mana penyelesaiannya dapat melalui gugatan melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau di pengadilan tempat kedudukan konsumen.

Kata Kunci: Dana, Jaminan, Hak Tanggungan Manual, Hak Tanggungan Berbasis Elektronik, Perlindungan Konsumen

(6)

ii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah Subhanawata’ala, Penulis mengucap syukur teramat dalam atas limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya yang tak ternilai. Penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini yang berjudul

“Perbandingan Hak Tanggungan Manual dan Hak Tanggungan Berbasis Elektronik Berdasarkan Konsep Perlindungan Konsumen”. Guna penyusunan tugas akhir ini adalah salah satu syarat utama untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim.

Terima kasih yang terima kasih saja tidak cukup untuk membalas keikhlasan kedua orang tua saya yang selalu senantiasa sabar dan mendoakan dalam mengiringi setiap langkah juang saya. Sehingga berkat ridho beliau jugalah saya dimudahkan dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih juga buat Kakek, Nenek, Tante, Paman, Kakak, serta adik-adik yang selalu memberikan support dalam menyelesaikan skripsi ini.

Pada dasarnya penulis fakir ilmu yang senantiasa selalu menuntut ilmu sehingga penulis sangat menyadari masih banyaknya kekurangan di dalam penulisan skripsi ini. Sehingga penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, serta arahan dari civitas akademika UIN Sultan Syarif Kasim Riau yang sangat banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Selain bantuan internal kampus selesainya skripsi ini tidak lepas juga dari dukungan eksternal kampus sebagai tempat bertukar pikiran

(7)

yang juga memberikan arahan. Maka dengan penuh ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua penulis, Ayah Tercinta (Alm) Eri Poni Virgo dan Ibu Tercinta Erna Yustiani

2. Bapak Prof. Dr. Khairunnas, M.Ag, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau beserta Wakil Rektor I, II, dan III

3. Bapak Dr. Zulkifli, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum beserta Wakil Dekan I, II, dan III

4. Bapak Asril, SHI., MH dan Pak Dr. M. Alpi Syahrin, SH., MH., selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Sultan Syarif Kasim Riau

5. Bapak Dr. Muhammad Darwis, S.H.I, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan penuh kesabaran dalam memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

6. Bapak Dr. Helmi Basri, Lc., MA., Selaku dosen penasihat akademik selama menjalankan proses menuntut ilmu di jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kaim Riau

7. Bapak Hamler, S.H., M.Kn., yang telah membantu dalam proses penemuan judul skripsi ini

8. Bapak dan Ibu Dosen jurusan Ilmu Hukum yang telah memberi tunjuk ajar dalam proses pembelajaran penulis

(8)

iv

9. Bapak dan Ibu Perpustakaan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, dan Perpustakaan Wilayah Soeman, HS. Yang mana telah banyak membantu penelitian penulis karena telah menyediakan buku-buku referensi yang beragam.

10. Bapak Ibu serta Kakak-Kakak Badan Pembinaan Penasihatan Pelestarian Perkawinan (BP4) Kota Pekanbaru, tempat penulis mencari nafkah serta pengalaman yang diberikan dan dukungannya terhadap penyelesaian skripsi ini.

11. Kepada sahabat-sahabat yang sangat berjasa baik dalam menyelesaikan skripsi ini serta yang menemani perjalanan selama menuntut ilmu di kampus tercinta ini

12. Kepada rekan rekan satu pengabdian di sungai duku dalam rangka Kuliah Kerja Nyata

13. Serta teman-teman baik luar maupun di dalam kampus, yang telah memberikan dukungan.

(9)

Penulis sangat menyadari masih terdapatnya kesalahan baik secara materi maupun kaidah penulisan baik sengaja maupun tidak disengaja dalam penyelesaian skripsi ini yang masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu besar harapan penulis akan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun untuk masukan dan perbaikan penulis di masa yang akan datang.

Pekanbaru, 26 Desember 2022

Penulis,

Muhamad Nandi

(10)

vi

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan Masalah ... 11

C. Rumusan Masalah ... 11

D. Tujuan Penelitian ... 11

E. Manfaat dan Kegunaan Penelitian ... 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 13

A. Kerangka Teorits ... 13

1. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen ... 13

2. Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen ... 16

3. Hak dan Kewajiban Konsumen ... 22

4. Perlindungan Konsumen Perbankan ... 26

5. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen Perbankan ... 31

6. Pengertian Jaminan ... 41

7. Jenis Jaminan ... 42

8. Asas-Asas Hukum Jaminan ... 44

(11)

9. Dasar Hukum Jaminan ... 45

10. Pengertian Hak Tanggungan ... 46

11. Dasar Hukum Hak Tanggungan ... 48

12. Asas-Asas Hak Tanggungan ... 52

B. Penelitian Terdahulu ... 56

BAB III METODE PENELITIAN... 62

A. Jenis Penelitian ... 62

B. Jenis Pendekatan ... 63

C. Sumber Data ... 64

D. Teknik Pengumpulan Data... 65

E. Analisis Data ... 66

F. Teknik Penulisan... 66

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN ... 67

A. Perbandingan Proses Pendaftaran Hak Tanggungan Manual Dan Hak Tanggungan Berbasis Elektronik ... 67

B. Keunggulan Dan Kekurangan Hak Tanggungan Manual Dan Hak Tanggungan Berbasis Elektronik Berdasarkan Konsep Perlindungan Konsumen ... 84

BAB V PENUTUP ... 84

A. KESIMPULAN ... 98

B. SARAN ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 106

(12)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) telah mengamanatkan di dalam Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”

Sebagaimana amanat UUD Pasal 28D ayat (1) diatas adanya perlindungan hukum bagi setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali. Karena itu produk legislatif harus senantiasa mampu memberikan jaminan perlindungan hukum bagi semua orang, bahkan mampu menangkap aspirasi-aspirasi hukum dan keadilan yang berkembang di masyarakat.1

Perlindungan hukum ini wajib mencakup dalam berbagai aspek termasuk perlindungan terhadap kenyamanan, keamanan, dan kepastian hukum dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa sebagaimana diatur di dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

Di dalam Pasal 1 ayat (1) UUPK disebutkan bahwa Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUPK menitikberatkan pada kepastian hukum terhadap konsumen baik barang/jasa.

1Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, (Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2020), hlm. 29

(13)

Dalam hal ini apakah konsumen perbankan termasuk konsumen yang dilindungi di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Sebagaimana dijelaskan di dalam pasal 1 ayat (2):

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”

Yang perlu digarisbawahi bunyi pasal diatas adalah jasa. Jadi konsumen bukan sekadar pemakai barang saja melainkan juga pengguna jasa. Dalam hal ini perbankan adalah perusahaan jasa keuangan. Jadi, konsumen perbankan juga merupakan objek yang wajib dilindungi.

Pada dasarnya pengaturan menganai konsumen perbankan (nasabah) sudah diatur lebih dulu di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998:

a. Pasal 29 ayat (3) mengatur: “dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank”

b. Pasal 29 ayat (4) mengatur: “untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank”

(14)

3

Menurut data OJK semester I Tahun 2015, terdapat 644 pengaduan yang diterima OJK dari para konsumen. Dari 644 pengaduan tersebut, sektor perbankan menyumbang pangaduan paling besar sebanyak 390 pengaduan atau 60.5% dari keseluruhan pengaduan. Selebihnya di sektor keuangan non bank (IKNB) sebanyak 231pengaduan atau 35.8% dan sisanya sebanyak 23 pengaduan atau 3.7% dari sektor pasar modal.

Data di atas menunjukkan masih banyaknya hak konsumen yang masih dilanggar di sektor perbankan dibuktikan dengan banyaknya jumlah pengaduan.

Maka dari itu apa yang telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini sudah sangat tepat, dengan menerbitkan instrument hukum yang cukup baik untuk melindungi kepentingan konsumen. Mulai dari Undang-Undang hingga instruksi mengenai pengaduan konsumen sudah sangat detail diatur.

Dikaitkan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2017 tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen, kajian terhadap peraturan perundang-undangan ini dapat membantu tercapainya salah satu tujuan Strategi Nasional Perlindungan Konsumen yaitu mempercepat penyelenggaraan perlindungan konsumen di sektor-sektor prioritas, salah satunya sektor Perbankan.2

Dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2017 ini menunjukkan perlindungan konsumen di sektor perbankan sudah menjadi

2Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2017 tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen

(15)

perhatian utama pemerintah dengan menetapkan perlindungan konsumen di sektor perbankan menjadi salah satu strategi nasional.

Adapun pengertian Bank yang dikemukakan oleh Hermansyah di dalam bukunya Hukum Perbankan Nasional Indonesia adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang perseorangan, badan-badan usaha swasta, badan-badan usaha milik Negara, bahkan lembaga-lembaga pemerintahan menyimpan dana yang dimilikinya. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.3

Adapun di dalam penelitian ini difokuskan pada fungsi bank dalam menyalurkan dana kepada masyarakat berupa kredit. Berdasarkan Pasal 1 ayat (11) UU Perbankan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam- meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Di dalam perjanjian kredit dibutuhkan suatu jaminan sebagai wujud dari prinsip kehati-hatian bank. Sebagai langkah preventif jika debitor wanprestasi atau gagal bayar. Maka jaminan inilah yang digunakan untuk melunasi utang si debitor.

3Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, Edisi Revisi Cetakan ke-2, 2006), hlm. 7

(16)

5

Adapun pengertian jaminan menurut Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit, bahwa yang dimaksud dengn jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitor untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan4

Pada mulanya mengenai jaminan ini hanya dikenal 2 bentuk lembaga jaminan yang merupakan peraturan warisan kolonial sebagaimana diatur di dalam Buku Ke-II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1150-1161 tentang gadai (jaminan atas suatu benda bergerak), dan Pasal 1162-1232 tentang hipotek (jaminan atas suatu benda tidak bergerak).

Awal mula mengenai hak tanggungan lahir adalah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Di dalam UUPA hak atas tanah atau yang berkaitang dengan tanah yang dapat dijadikan objek hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan. Sebagaimana diatur di dalam Pasal 51 UUPA:

“Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan tersebut dalam pasal 25, 33, dan diatur dengan Undang- Undang.”

Kemudian berhubung Undang-Undang mengenai Hak Tanggungan belum terbentuk maka ketentuan mengenai Hipotek dan Credietverband tetap berlaku sebagaimana diatur di dalam Pasal 57 UUPA. Sebagaimana amanat Pasal 51

4Hermansyah, Loc. Cit., hlm. 73

(17)

UUPA untuk membentuk Undang-Undang. Amanat ini baru terlaksana 36 Tahun kemudian tepatnya pada tanggal 9 Aprill 1996 dengan disahkannya Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT).

Di era perkembangan teknologi ini yang mana satu persatu kegiatan masyarakat beralih ke ranah teknologi termasuk dalam hal pelayanan publik.

Dengan adanya perubahan ini pemerintah harus siap mempersiapkan instrument hukum untuk mewadahi dan mengatur agar kehidupan masyarakat yang beralih ke bidang teknologi ini dapat berjalan denga tertib. Sebagaimana termuat dalam konsideran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah di ubah berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE). “bahwa perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru.5

Adapun kaitan UU ITE dengan UUPK adalah adanya kesesuaian asas dan tujuan dimana asas perlindungan konsumen sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 yaitu, “Perlindungan Konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”. Dan tujuan UUPK sebagaiman diatur di dalam Pasal 3 huruf (d) yaitu, “Menciptakan sistem

5Konsideran Poin C Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

(18)

7

perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.”6

Adapun untuk melanjutkan amanat dari tujuan dibentuknya UU ITE dalam meningkatkat efektivitas dan efisiensi pelayanan publik dan memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terlibat, oleh karena itu, proses pelaksanaan hak tanggungan dirubah menjadi lebih sederhana dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pelayanan Hak Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik (Permen Agraria).

Dengan terbitnya Permen Agraria dan Tata Ruang Tersebut Pemerintah Indonesia bertujuan untuk meningkatkan pelayanan Hak Tanggungan yang memenuhi asas keterbukaan, ketepatan waktu, kecepatan dan kemudahan membuat konsep terhadap momentum lahirnya hak tanggungan secara sah.

Kemudian mengenai hak tanggungan berbasis elektronik ini dipertegas di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UUCK) atau juga dikenal dengan sebutan Omnibus Law. Dimana mengenai hak tanggungan berbasis elektronik ini di atur di dalam Pasal 147, “Tanda bukti hak milik atas tanah, hak atas satuan rumah susun, hak pengelolaan, dan hak tanggungan,

6Pasal (2) dan Pasal (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

(19)

termasuk akta peralihan hak atas tanah dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan tanah dapat berbentuk elektronik”7

Di dalam pelayanan hak tanggungan berbasis elektronik ini terdapat 3 lembaga yang terlibat di antaranya Pejabat Pembuatan Akta Tanah selaku Pembuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), Bank selaku Penerima Hak Tanggungan dan yang mendaftarkan APHT secara online/elektronik pada sistem elektronik, dan Kantor Pertanahan Selaku lembaga yang mengeluarkan sertipikat hak tanggungan.

Kemudian mengenai sertipikat hak tanggungan berbasis elektronik ini yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan selaku penyelenggara Administrasi Pemerintahan juga telah diatur mengenai keputusan elektronik tersebut sebagaimana diatur di dalam Pasal 175 UUCK. Pasal 175 UUCK ini merubah beberapa Pasal dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya mengenai hak tanggungan berbasis elektronik telah memilik instrument-instrument hukum yang sudah jelas mulai dari UU ITE hingga diatur di dalam Undang-Undang Terbaru yaitu melalui Undang-Undang Cipta Kerja. Menunjukkan pemerintah telah siap dan serius dalam menjalani dan melaksanakan pemerintahan di era digital ini.

Tetapi, walaupun instrument hukum sudah lengkap masih terdapat kekurangan di dalam pelayanan hak tanggungan berbasis elektronik ini. Salah

7Pasal 147 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja

(20)

9

satunya apabila terjadi kesalahan pencatatan atau penginputan data dan masa perbaikan yang sudah melebihi jangka waktu otomatis sistem akan terkunci otomatis.

Mengenai waktu perbaikan ini pada dasarnya telah di atur di dalam Permen Agraria yaitu pada Pasal 19 ayat (2) “Permohonan perbaikan Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan melalui Sistem HT-El paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Sertipikat Hak Tanggungan diterbitkan.”8 Tetapi di dalam permen ini tidak dijelaskannya apabila terjadinya kesalahan data baru diketahui setelah melebihi masa perbaikan sebagaimana diatur di dalam Pasal 19 ayat (2) Permen Agraria.

Akibat jika terjadinya kesalahan pencatatan ini dikaitkan dengan nasabah sebagai konsumen di jasa perbankan adalah tidak adanya kepastian hukum atas hak tanggungannya. Dan ini tentu bertentangan dengan asas perlindungan konsumen yang mengutamakan kepastian hukum, dan juga bertentangan dengan tujuan dibentuknya UU ITE yaitu memberikan kepastian hukum. Dan akan berkonsekuensi pada hak tanggungan ketika terjadi sengketa.

Kemudian di dalam permen HT-El ini juga terdapat masalah lain yang berpotensi merugikan konsumen karena tidak adanya kepastian hukum. Mengenai lahirnya hak tanggungan. Karena di dalam permen agrarian tersebut tidak

8Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2019 Tentang Pelayanan Hak Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik

(21)

disebutkan kapan lahirnya suatu hak tanggungan. Sehingga hal ini juga tidak adanya kepastian hukum dan berakonsekuensi juga jika terjadi sengketa.

Begitupun juga hak tanggungan Manual juga memiliki permasalahannya tersendiri, terutama lamanya waktu yang diperlukan dalam proses pendaftaran hak tanggungan, sehingga hal ini tidak sesuai lagi dengan kondisi masyarakat yang ada di era teknologi ini yang mengutamakan asas keterbukaan, ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan dalam rangka pelayanan publik, serta untuk menyesuaikan perkembangan hukum, teknologi dan kebutuhan masyarakat. Hal ini jugalah yang menjadi pertimbangan dikeluarkannya Permen Agraria.

Baik hak tanggungan Manual maupun hak tanggungan berbasis elektronik tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, yang tentu saja ini berdampak baik langsung ataupun tidak langsung terhadap konsumen dalam artian nasabah selaku pemberi hak tanggungan. Sehingga di pandang perlu untuk melindungi nasabah agar hak-hak mereka tidak dilanggar di kemudian hari.

Hal inilah menjadi latar belakang peneliti untuk mengkaji lebih dalam mengenai perbandingan hak tanggungan Manual dan hak tanggungan berbasis elektronik dengan konsep atau fokus utama terhadap perlindungan konsumen berdasarkan instrument-instrumen hukum yang berkaitan dengan perlindungan konsumen perbankan dengan menuangkan dalam sebuah penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul: Perbandingan Hak Tanggungan Manual dan Hak Tanggungan Berbasis Elektronik dengan Konsep Perlindungan Konsumen.

(22)

11

B. Batasan Masalah

Agar penelitian ini terarah sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan yang diinginkan maka penulis membatasi permasalahan hanya sebatas perlindungan konsumen terhadap baik hak tanggungan Manual maupun hak tanggungan berbasis elektronik.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah di dalam penelitian ini adalah

1. Bagaimana perbandingan proses pendaftaran hak tanggungan Manual dan hak tanggungan berbasis elektronik?

2. Bagaimana keunggulan dan kekurangan hak tanggungan Manual dan hak tanggungan berbasis elektronik berdasarkan konsep perlindungan konsumen?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui perbandingan hak tanggungan Manual dan hak tanggungan berbasis elektronik berdasarkan konsep perlindungan konsumen.

2. Untuk mengetahui keunggulan dan kekurangan hak tanggungan Manual dan hak tanggungan berbasis elektronik.

(23)

E. Manfaat dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini bermanfaat sebagai:

1. Untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan

2. Hasil penelitian ini sebagai bahan masukan dan informasi bagi masyarakat sehingga dapat mngetahui tentang hak tanggungan dalam menjalankan kredit 3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi ilmu

pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang hukum bisnis dan dapat dijadikan refrensi bagi penelitian selanjutnya;

4. Sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar sarjana Hukum (SH) di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

(24)

13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Kerangka Teorits

1. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Secara bahasa konsumen berasal dari kata consumer (bahasa inggris) yang berarti lawan dari produsen setiap orang yang menggunakan barang.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan konsumen adalah sebagai lawan produsen, yakni pemakai barang-barang hasil industri, bahan makanan, dan sebagainya. Jadi, secara bahasa konsumen adalah pengguna barang atau jasa.

Jauh sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen UUPK Istilah yang semakna dengan konsumen telah dimuat di dalam beberapa aturan diantaranya yang termuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan beberapa istilah yang berkaitan dengan konsumen, yaitu: pembeli, penyewa, penerima hibah, peminjam, dan sebagainya. Adapun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ditemukan istilah tertanggung dan penumpang. 9

Kemudian di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Barang menggunakan istilah kesehatan dan keselamatan rakyat, mutu dan susunan (komposisi) barang. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan menggunakan istilah setiap orang untuk pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat jasa kesehatan.

9 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen,(Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 14

(25)

Selain aturan di atas aturan yang mengatur berkaitan dengan konsumen sebelum dikeluarkannya UUPK. Beberapa undang-undang yang dimaksud antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian

2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas 4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil 5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

Inosentius Samsul menyebutkan konsumen adalah pengguna atau pemakai akhir suatu produk, baik sebagai pembeli maupun di peroleh melalui cara lain, seperti pemberian, hadiah, dan undangan. Mariam Darus Badrul Zaman mendefinisikan konsumen dengan cara mengambil alih pengertian yang digunakan oleh kepustakaan belanda, yaitu: “semua individu yang mengguanakan barang dan jasa secara konkret dan riil”.10

Sedangkan di dalam UUPK sendiri pengertian konsumen sebagaimana di muat di dalam Pasal 1 ayat (2) adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang telah tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan untuk diperdagangkan.

10 Ibid, hlm. 15

(26)

15

Sebagaimana pertimbangan dibentuknya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang termuat dalam bagian menimbang poin b: “bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan barang dan/atau jasa yang memiliki kandungangan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen.”

Atas pertimbangan inilah maka dari itu diperlukannya Undang- Undang Perlindungan Konsumen. Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang merugikan konsumen itu sendiri.11

Kemudian di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menjelaskan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

Dari uraian di atas mengenai konsumen dan perlindungan konsumen maka dari itu diperlukannya hukum sebagai landasan atau instrument untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban konsumen.

11 Zulham, Loc. Cit., hlm. 21

(27)

Mochtar Kusumaatmadja memberikan definisi hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas serta kaidah-kaidah hukum yang mengatur mengenai hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu dengan yang lain, dan berkaitan dengan barang atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup masyarakat. Selain itu definisi lain dari hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam pegaulan hidup.12

Jadi, dari uraian mengenai hukum perlindungan hukum konsumen di atas dapat disimpulkan bahwa hukum perlindungan konsumen adalah asas atau kaidah hukum yang mengatur hubungan antara konsumen dan penyedia barang/jasa dalam hal mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak tersebut.

2. Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen

a. Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen Berdasarkan Undang- Undang Perlindungan Konsumen

Di dalam pembentukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen memiliki asas yang mana merupakan landasan dalam pembentukan undang- undang tersebut serta tujuan pembentukan undang undang tersebut, adapun hukum perlindungan konsumen memiliki asas sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 UUPK yaitu: “Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan,

12 Mukti Fajar, Reni Budi Setianingrum, Muhammad Annas, Hukum Perlindungan Konsumen dan Persaingan Usaha, (Yogyakata: Pustaka Pelajar, 2019), hlm. 6

(28)

17

keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”. Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesaar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan

2. Asas keadilan dimaksud agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajiban secara adil

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan ataupun spiritual

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan

(29)

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.13

Adapun perlindungan konsumen memilik tujuan sebagaimana dimuat di dalam Pasal 3 UUPK, adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negative pemakaian barang dan/atau jasa 3. Meningkatkan permberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,

dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi berang dan/atau jasa kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

13 Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(30)

19

b. Asas dan Tujuan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang Berkaitan dengan Perlindungan Konsumen

Konsideran dibentuknya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau yang melatarbelakangi terbentuknya UU ITE yang ada hubungannya dengan meningkatkan perlindungan terhadap konsumen adalah:

1. “Bahwa globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan pengaturan mengenai pengelolaan Informasi dan Transaksi Elektronik di tingkat nasional sehingga pembangunan Teknologi Informasi dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar, ke seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa”. Memang badai globalisasi telah melanda Indonesia dibuktikan dengan informasi dari penjuru dunia dapat dengan mudah kita akses.

2. “Bahwa perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langung telah memengaruhi lahirnya bentuk- bentuk perbuatan hukum baru”. Sebagaimana kita lihat di zaman teknologi sekarang telah terjadi pergeseran dan perbuatan hukum baru yang berbasis elektronik termasuk dalam hubungan pengusaha atau penyedia jasa dengan konsumen.

(31)

3. “Bahwa pemanfaatan Teknologi Informasi berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat”. Dengan adanya teknologi dan informasi haruslah bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan perdagangan, pertumbuhan ekonomi dan perdagangan ini tentu haruslah berbanding lurus dengan perlindungan konsumen.

Adapun asas-asas UU ITE sebagaimana dimuat di dalam Pasal 3:

“Pemanafaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi”. Asas ini telah dijelaskan di bab penjelasan sebagai berikut:

1. Asas kepastian hukum, berarti landasan hukum bagi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik serta segala sesuatu yang mendukung penyelenggaraannya yang mendapatkan pengakuan hukum di dalam dan di luar pengadilan

2. Asas manfaat, berarti asas bagi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transasksi Elektronik diupayakan untuk mendukung proses berinformasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat

3. Asas kehati-hatian, berarti landasan bagi pihak yang bersangkutan harus memperhatikan segenap aspek yang berpotensi mendatangkan kerugian, baik bagi dirinya maupun bagi pihak lain dalam pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik

(32)

21

4. Asas iktikad baik, berarti asas yang digunakan para pihak dalam melakukan Transaksi Elektronik tidak bertujuan untuk secara sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakibatkan kerugian bagi pihak lain tanpa sepengetahuan pihak lain tersebut

5. Asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi, berarti asas pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik tidak terfokus pada penggunaan teknologi tertentu sehingga dapat mengikuti perkembangan pada masa yang akan datang.

Kemudian tujuan dari UU ITE ini dimuat di dalam Pasal 4 yang memiliki 5 tujuan, yaitu:

1. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia

2. Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat

3. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan public

4. Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab

5. Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.

(33)

Dari uraian yang telah dijelaskan sebelumnya sebagian asas dan tujuan dari UU ITE ini berkaitan erat dengan perlindungan konsumen terutama asas manfaat dan kepastian hukum yang juga selaras dengan asas Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan tujuan UU ITE ini juga berkaitan erat dengan perlindungan konsumen yang mana mencerdaskan kehidupan bangsa serta memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum juga selaras dengan tujuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

3. Hak dan Kewajiban Konsumen

Sebagaimana telah dipaparkan pada Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen bahwa perlindungan hukum konsumen adalah asas atau kaidah hukum yang mengatur hubungan konsumen dan penyedia barang/jasa dalam hal mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak tersebut. Di dalam subbab ini hanya difokuskan pada hak dan kewajiban konsumen saja.

a. Hak dan Kewajiban Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah menguraikan apa saja yang menjadi hak-hak konsumen serta kewajiban konsumen. Yang mana terdapat delapan hak konsumen dan satu aturan yang menunjukkan terdapat aturan mengenai perlindungan konsumen yang telah diatur sebelum dan setelah Undang-Undang Perlindungan Konsumen selama tidak bertentangan dengan UUPK. Adapun hak konsumen di atur di dalam Pasal 4 UUPK, sebagai berikut:

(34)

23

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa

4. Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

(35)

Selain memiliki hak tentu saja konsumen memiliki kewajiban sebagimana diatur di dalam Pasal 5 UUPK yang mana terdapat 4 poin kewajiban konsumen, diantaranya:

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan 2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa 3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

b. Hak dan Kewajiban Konsumen Menurut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik

Sebagaimana telah disebutkan di dalam Pasal 4 huruf (i) UUPK:

“Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.” Maksudnya adalah peraturan mengenai perlindungan konsumen ini dapat diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan lainnya ataupun perundang-undangan yang telah berlaku sebelumnya selama tidak bertentangan dengan UUPK.

Di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sendiri tidak diatur secara eksplisit mengenai hak dan kewajiban konsumen. Tetapi, terdapat beberapa pasal yang secara tidak langsung mengatur hak dan kewajiban konsumen, diantaranya:

(36)

25

Pasal 9, mengatur mengenai kewajiban pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan benar. Hal ini sangat berkaitan erat dengan perlindungan konsumen yang mana kewajiban pelaku usaha dalam menyediakan informasi yang lengkap dan benar merupakan hak konsumen.

Pasal 10, mengatur mengenai sertifikasi website tempat dilakukan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Kandalan.

Sertifikasi Keandalan dimaksudkan sebagai bukti bahwa pelaku usaha yang melakukan perdagangan secara elektronik layak berusaha setelah melalui penilaian dan audit dari badan yang berwenang.

Pasal 23 ayat (3), Mengatur mengenai hak dapat mengajukan gugatan apabila dirugikan karena penggunaan nama domain tanpa hak. Sebagaimana dijelaskan pada bab penjelasan UU ITE yang dimaksud dengan Penggunaan Nama Domain secara tanpa hak adalah pendaftaran dan penggunaan Nama Domain yang semata-mata ditujukan untuk menghalangi atau menghambat Orang lain untuk menggunakan nama yang intuitif dengan keberadaan nama dirinya atau nama produknya, atau untuk mendompleng reputasi Orang yang sudah terkenal atau ternama, atau untuk menyesatkan konsumen. Mengenai gugatan yang dapat diajukan ini diatur dalam pasal 38 ayat (2).

Bab VII Perbuatan yang Dilarang, Pasal 28 ayat (1), mengatur tentang larangan menyebarkan berita bohong yang menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. Mengenai penyeberan berita

(37)

bohong ini yang dapat merugikan konsumen dapat dipidanakan sebagaimana diatur di dalam Pasal 45 UU ITE.

4. Perlindungan Konsumen Perbankan

Asas dan tujuan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang secara tidak langsung selaras dengan asas dan tujuan UUPK. Pertama, sebagaimana telah diatur di dalam pasal 2, Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.

Prinsip kehati-hatian di dalam UU Perbankan ini selaras dengan Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen di dalam UUPK. Maksudnya adalah bank harus menerapkan prinsip kehati-hatian ini agar tidak merugikan bank itu sendiri maupun kepentingan konsumen.

Yang diatur di dalam Pasal 3 UU Perbankan menjelaskan fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyaluran dana kepada masyarakat, dimana disini terjadi hubungan antara masyararakat (nasabah) dengan bank (penyedia jasa).

Kemudian, mengenai tujuan perbankan sendiri telah diatur di dalam Pasal 4 UU Perbankan: “Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan rakyat banyak.”

(38)

27

Tentu saja mengenai tujuan ini selaras dengan latar belakang dibentuknya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dimuat di dalam poin menimbang poin: “bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen.”

Yang kemudian mengenai peningkatan perekonomian nasional ini yang pada masa sekarang telah melibatkan teknologi di berbagai lini baik itu di sektor ekonomi hingga pada sektor pelayanan publik, hal ini sudah diakomodir di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Jauh sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah diatur mengenai perlindungan kensumen di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU Perbankan). Adapun perlindungan konsumen ini diatur dalam 2 pasal.

Di dalam Pasal 29 ayat (3), dijelaskan mengenai kewajiban bank untuk tidak merugikan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank. Bank yang memiliki fungsi menghimpun dana dari masyarakat dalam berbagai bentuk dan model simpanan mulai dari tabungan, deposito, dan lain

(39)

sebagainya. Bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank itu sendiri dan terutama kepentingan nasabah yang telah mempercayakan dananya kepada bank tersebut

Kemudian telah dijelaskan lebih lanjut di dalam Undang-Undang Perbankan yang dimuat di dalam bab penjelasan. Di pihak lain, bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan intern dalam rangka menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Mengingat bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar keparcayaan, setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayan masyarakat padanya14

Selanjutnya mengenai perlindungan konsumen ini juga diatur dalam Pasal 29 ayat (4), mengatur kewajiban bank dalam menyediakan informasi kepada nasabah sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan pada bank. Jadi, bank wajib menyediakan informasi mengenai apa saja resiko yang akan terjadi di dalam pilihan pilihan transaksi bank, sehingga nasabah dapat mempertimbangkan untuk mengambil produk bank tersebut atau tidak.

14 Penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, hlm. 50

(40)

29

Dalam hukum perbankan terdapat beberapa prinsip yang erat kaitannya dengan perlindungan konsumen, yaitu:

a. Prinsip Kepercayaan (Fiduciary Relation Principle)

Prinsip kepercayaan adalah asas yang melandasi hubungan antara bank dan nasabah bank. Bank berusaha dari dana masyarakat yang disimpan berdasarkan kepercayaan sehingga setiap bank perlu menjaga kesehatan banknya dan tetap memelihara dan mempertahankan kepercayaan masyarakat. Prinsip kepercayaan diatur dalam Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

b. Prinsip Kehati-hatian (Prudential Principle)

Prinsip kehatian-hatian adalah prinsip yang menegaskan bahwa bank dalam menjalankan kegiatan usaha, baik dalam penghimpunan, terutama dalam penyaluran dana kepada masyarakat, harus sangat berhati- hati. Tujuan penerapan prinsip kehati-hatian agar bank selalu dalam keadaan sehat menjalankan usahanya dengan baik dan mematuhi ketentuan-ketentuan dan norma-norma hukum yang berlaku di dunia perbankan. Prinsip kehati-hatian tertera dalam Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 1998

c. Prinsip Kerahasiaan (Secrecy Principle)

Prinsip kerahasiaan bank diatur dalam Pasal 40 sempai dengan Pasal 47A UU Perbankan. Menurut Pasal 40, bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Akan tetapi,

(41)

dalam ketentuan tersebut, kewajiban merahasiakan bukan tanpa pengecualian. Kewajiban merahasiakan itu dikecualikan dalam hal-hal untuk kepentingan pajak, penyelesaian utang piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang/Panitia Urusan Piutang Negara (UPLN/PUPN), untuk kepentingan pengadilan perkara pidana, dalam perkara perdata antara bank dan nasabat, dan dalam tangka tukar menukar informasi antarbank.

d. Prinsip Mengenal Nasabah (Know Much Principle)

Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan oleh bank untuk hal berikut: (1) Mengenal dan mengetahui identitas nasabah. Prinsip mengenal nasabah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No.

3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Tujuan penerapan prinsip mengenal nasabah adalah meningkatkan peran lembaga keuangan dengan berbagai kebijakan dalam menunjang praktik lembaga keuangan, mengindari berbagai kemungkinan lembaga keuangan dijadikan ajang tindak kejahatan dan aktivitas illegal yang dilakukan nasabah, dan melindungi nama baik dan reputasi lembaga keuangan, (2) memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan.15

15 Dadang Husen Sobana, Hukum Perbankan Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2016), hlm. 47

(42)

31

Jadi, berdasarkan uraian diatas mengenai perlindungan konsumen itu sudah diatur di dalam berbagai undang-undang yang menunjukkan perlindungan konsumen ini sangat penting untuk diatur dalam melindungi hak-hak konsumen dalam rangka mewujudkan pembangunan dan peningkatan perekonomian nasional. Perlindungan konsumen tidak hanya diatur di dalam Undang-Undang di atas, melainkan diatur lebih lanjut dalam aturan perundang-undangan lainnya dan aturan pelaksana yang akan dijelaskan pada subbab selanjutnya.

5. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen Perbankan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan telah mengatur mengenai perlindungan konsumen, akan tetapi hanya dijelaskan dalam 2 Pasal. Tentu ini belum bisa mengakomodir permasalahan perbankan terutama mengenai perlindungan konsumen. Maka dari itu diperlukan aturan lebih lanjut yang mengatur secara khusus mengenai perlindungan konsumen di bidang perbankan sehingga dapat mengakomodir permasalahan perlindungan konsumen perbankan. Berikut peraturan perundang-undangan lainnya atau dasar hukum yang berkaitan dengan UUPK:

a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

Kesesuaian antara Undang-Undang Perbankan dengan Undang- Undang Perlindungan Konsumen memiliki beberapa keterkaitan tetapi hanya secara umum yang telah di atur di dalam Pasal 29 ayat (3) dan ayat

(43)

(4) yang mengatur bahwa bank tidak boleh merugikan nasabah yang teleh menyimpan dana dan bank wajib menyediakan informasi kepada nasabah.

Hal ini sesuai sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf (a) dan huruf (c).

Menurut R. Hidayat, sebagaimana dikutip dari Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan: Kepuasan nasabah ditentukan oleh kualitas produk dan layanan yang dikehendaki nasabah, sehingga jaminan kualitas menjadi prioritas utama bagi bank. Untuk kepuasan nasabah terhadap layanan, ada dua hal pokok yang saling berkaitan erat yaitu harapan nasabah terhadap kualitas layanan (expected quality) dan persepsi nasabah terhadap kualitas layanan (perceived quality). Oleh karena itu dalam ketentuan perlindungan konsumen sektor jasa keuangan, pelaku usaha jasa keuangan wajib menyediakan dan/atau menyampaikan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang akurat, jujur, jelas dan tidak menyesatkan.16

b. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Sebagaimana Telah Diubah Menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan

Dibentuknya Undang-Undang ini dilatar belakangi untuk melindungi simpanan nasabah dalam hal bank sebagai penghimpun dana dari masyarakat sebagimana dijelaskan dalam konsideran poin b, “bahwa

16 Nurfitriyani, Siti Hamidah, dan Reka Dewantara, Analisis Hukum Ekonomi Terhadap Peraturan Perbankan dalam Perlindungan Hukum Nasabah, (Malang: Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan, Vol. 9, Issue 2, 2021), hlm. 465

(44)

33

dalam rangka penjaminan terhadap simpanan nasabah bank tersebut perlu dibentuk suatu lembaga yang independen yang diberi tugas dan wewenang untuk melaksanakan program dimaksud.”17

Hal ini bersesuaian dengan Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mana di dalam UU LPS merupakan aturan lanjutan untuk menjamin hak konsumen untuk tidak dirugikan yang telah mempercayakan dananya disimpan pada bank.

Menurut Hamza Rauf, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah lembaga dari suatu program penyempurnaan yang dibuat oleh pemerintah sebagai penjaminan dana simpanan nasabah atas seluruh kewajiban bank (blanket guarantee) pada masa lalu, disini fungsinya berperan untuk menjamin dana nasabah akan tetap aman18

c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 Tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.

Transaparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah ini berkaitan langsung dengan Undang-Undang Perbankan sebagaimana diatur di dalam Pasal 29 ayat (4) yang menyatakan wajib menyediakan informasi bagi nasabah.

17 Poin Menimbang huruf (c) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan

18 Hamzah Rauf, Kajian Yuridis Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Sebagaimana Telah Diubah Menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan,(Manado: Jurnal Lex Privatum Vol. IX, No. 6, 2021), hlm. 59

(45)

Transparansi informasi mengenai produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah menjadi suatu kebutuhan yang tidak dapat dihindari untuk menjaga kredibilitas lembaga perbankan sekaligus melindungi hak- hak nasabag sebagai konsumen pengguna jasa perbankan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.19

d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 Tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah

Diterbitkannya aturan ini berkaitan langsung dengan Undang- Undang Perlindungan Konsumen sebagaimana diatur di dalam Pasal 4 huruf (d): “hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.” Aturan ini berfungsi untuk memfasilitasi nasabah dalam menyampaikan keluhannya dalam hal ini pengaduan.

Selain tujuan tersebut, Peraturan Bank Indonesia ini juga ditujukan untuk mendukung kesetaraan hubungan antara bank sebagai pelaku usaha dengan nasabah sebagai konsumen pengguna jasa perbankan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.20

19 Penjelasan Umum Paragraf Ke-4 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/PBI/2005 Tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah

20 Penjelasan Umum Paragraf 2 kalimat terakhir Peraturan Bank Indonesia Nomor:

7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah

(46)

35

e. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi Perbankan

Diterbitkannya aturan ini berkaitan langsung dengan Undang- Undang Perlindungan Konsumen sebagaimana diatur di dalam Pasal 4 huruf (e): “hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen” Aturan ini berfungsi untuk memfasilitasi nasabah dalam menyelesaikan sengketa antara nasabah dan bank dalam hal ini melalui mediasi.

f. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Kaitan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah (UUPS) ini dengan perlindungan konsumen sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 39 UUPS: “Bank Syariah dan UUS wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi Nasabah yang dilakukan melalui Bank Syariah dan/atau UUS”. Dimana konsumen konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa sebagaimana diatur di dalam Pasal 4 huruf (c) UUPK.

g. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Tujuan Otoritas Jasa Keuangan adalah agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan mampu melindungi kepentingan konsumen

(47)

dan masyarakat.21 Sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 4 huruf (c).

Adapun upaya-upaya yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk perlindungan konsumen dan masyarakat sebagaimana diatur di dalam Pasal 28 UU OJK, yaitu: (1) memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya, (2) meminta lembaga jasa keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat, (3) tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

h. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan

Perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan bertujuan untuk menciptakan sistem perlindungan Konsumen yang andal, meningkatkan pemberdayaan konsumen dan menumbuhkan kesadaran Pelaku Usaha Jasa Keuangan mengenai pentingnya perlindungan Konsumen sehingga mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat pada sektor jasa keuangan.22

21 Rati Maryani Palilati, Perlindungan Hukum Konsumen Perbankan Oleh Otoritas Jasa Keuangan, (Mataram: Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan Vol. IV No. 3, 2016), hlm. 52

22 Penjelasan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Paragraf 4

(48)

37

i. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan

Perlindungan Konsumen merupakan rangkaian kebijakan dan pelaksanaan kegiatan yang mencakup edukasi, pelayanan informasi, dan pengaduan serta fasilitas penyelesaian Sengketa bagi konsumen sektor jasa keuangan dan masyarakat pengguna jasa keuangan.23

j. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/SEOJK.07/2014 Tentang Pelaksanaan Edukasi Dalam Rangka Meningkatkan Literasi Keuangan Kepada Konsumen dan/atau Masyarakat

Pelaku Usaha Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat PUJK wajib menyelenggarakan Edukasi dalam rangka meningkatkan literasi keuangan kepada Konsumen dan/atau masyarakat sebagaimana diatur di dalam Poin II Cakupan Rencana Edukasi SEOJK Nomor 1/SEOJK.07/2014.

Adapun pelaksanaan edukasi didasarkan pada prinsip prinsip sebagai berikut:24

1. Inklusif, yang dimaksud dengan inklusif adalah Literasi Keuangan harus mencakup semua golongan masyarakat

23 Penjelasan Umum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan Paragraf 2

24 Poin III Pelaksanaan Edukasi angka (1) Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/SEOJK.07/2014 Tentang Pelaksanaan Edukasi Dalam Rangka Meningkatkan Literasi Keuangan Kepada Konsumen dan/atau Masyarakat

(49)

2. Sistematis dan terukur, yang dimaksud dengan sistematis dan terukur adalah Literasi Keuangan disampaikan secara terprogram, mudah dipahami, sederhana, dan pencapaiannya dapat diukur

3. Kemudahan Akses, Yang dimaksud dengan kemudahan akses adalah layanan dan informasi keuangan tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia dan mudah diakses

4. Kolaborasi, yang dimaksud dengan kolaborasi adalah melibatkan seluruh pemangku kepentingan secara bersama-sama dalam mengimplementasikan literasi keuangan.

k. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/SEOJK.07/2014 Tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Jasa Keuangan

Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini dibentuk sebagai aturan lebih lanjut sehubungan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 01/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

Pengaduan adalah ungkapan ketidakpuasan Konsumen yang disebabkan oleh adanya kerugian dan/atau potensi kerugian finansial pada Konsumen yang diduga karena kesalahan atau kelalaian Lembaga Jasa Keuangan.25

25 Ketentuan Umum Nomor 4 Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/SEOJK.07/2014 Tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan

(50)

39

l. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/SEOJK.07/2014 Tentang Penyampaian Informasi Dalam Rangka Pemasaran Produk dan/atau Layanan Jasa Keuangan

Di dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mengatur pokok- pokok yang wajib dilakukan oleh PUJK. Yang mana PUJK wajib menyampaikan informasi produk dan/atau layanan yang bersifat kuantitatif dan kualitatif, kemudian PUJK wajib menyediakan dan/atau menyampaikan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang jujur berdasarkan informasi yang sebenarnya tentang manfaat, biaya, dan risiko dari setiap produk dan/atau layanan, PUJK juga wajib melakukan konfirmasi kepada konsumen atas penjelasan yang diberikan, dan memberikan informasi yang tidak menyesatkan.

m. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 Tentang Perjanjian Baku

Di dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini diatur mengenai Perjanjian Baku yang dilarang adalah yang memuat: 1) Klausula eksonerasi/eksemsi yaitu yang isinya menambah hak dan/atau mengurangi kewajiban PUJK, atau mengurangi hak dan/atau menambah kewajiban Konsumen, 2) Penyalahgunaan keadaan yaitu suatu kondisi dalam Perjanjian Baku yang memiliki indikasi penyalahgunaan keadaan.26

26 Bagian II Klausula dalam Perjanjian Baku Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 Tentang Perjanjian Baku

(51)

n. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7/SEOJK.07/2015 Tentang Pedoman Penilaian Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan

Di dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/SEOJK.07/2014 telah diatur mengenai Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Jasa Keuangan, dimana pengaduan konsumen ini dapat menimbulkan sengkete antara Konsumen dan PUJK.

Maka dari itu diperlukannya Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. Yang mana diatur di dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7/SEOJK.07/2015.

o. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 76/POJK.07/2016 Tentang Peningkatan Literasi dan Inklusi Keuangan di Sektor Jasa Keuangan Bagi Konsumen dan/atau Masyarakat.

Sebagaimana amanat dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen salah satu hak Konsumen adalah hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen, yang mana pembinaan konsumen ini merupakan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana di atur di dalam Pasal 29 UUPK.

Yang mana salah satu upaya meningkatkan Pendidikan (Edukasi) dan Pembinaan Konsumen dengan cara ditetapkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 76/POJK.07/2016 Tentang Peningkatan Literasi

(52)

41

Dan Inklusi Keuangan di Sektor Jasa Keuangan Bagi Konsumen dan/atau Masyarakat.

Upaya dalam rangka meningkatkan Literasi Keuangan dilakukan melalui pelaksanaan Edukasi Keuangan yang diawali dengan pengenalan mendasar terhadap Lembaga Jasa Keuangan, dan karakteristik, manfaat, biaya, dan resiko suatu produk dan layanan jasa keuangan serta pengelolaan keuangan pribadi yang pada akhirny diharapkan membawa perubahan positif pada perilaku keuangan masyarakat.27

6. Pengertian Jaminan

Secara istilah jaminan berasal dari kata zekerheid atau cautie, yang berarti kemampuan debitor untuk memenuhi atau melunasi utangnya kepada kreditor. Yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan atas utang kepada kreditor.

Pitlo memberikan perumusan zekerheidsrechten sebagai hak (eenrecht) yang memberikan kepada kreditor kedudukan yang lebih baik daripada kreditor-kreditor lain. Lebih lanjut, Pitlo menyimpulkan bahwa kata recht dalam zekerheidsrechten adalah hak-hak jaminan bukan hukum jaminan28

27 Penjelasan Umum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 76/POJK.07/2016 Tentang Peningkatan Literasi dan Inklusi Keuangan di Sektor Jasa Keuangan Bagi Konsumen dan/atau Masyarakat.

28 Anton Suyatno, Kepastian Hukum Dalam Penyelesaian Kredit Macet Melalui Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan Tanpa Proses Gugatan Pengadilan, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 81

Referensi

Dokumen terkait

Meningkatkan Keterampilan Membuat Box File Melalui Metode Demonstrasi pada Anak Tunagrahita Ringan di Kelas VI SLB Binar Tarusan.. Anur Yetti 1 , Damri 2 , Markis

Selain itu terdapat pusat aktivitas pendidikan baru, Institut Teknologi Sumatera (ITERA), dan aktivitas pemerintahan baru yaitu Kota Baru. Sebagai daerah yang

Sinar matahari yang masuk ke dalam rumah sangat penting bagi kesehatan penghuni rumah karena sinar matahari karena mengandung ultraviolet sehingga dapat berfungsi

Peneliti menerapkan pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Division STAD untuk meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar siswa kelas III SDN Kledokan pada

Oleh itu, kajian ini dijalankan bertujuan untuk melihat elemen-elemen pengajaran guru berdasarkan Modul Pentaksiran Berasaskan Sekolah(MPBS) dalam sesi amali di

Made Prama Astika, 2011, Analisis Hukum Penanganan Imigran Ilegal sebagai Pencari Suaka dan Pengungsi Di Indonesia berdasarkan perpektif Hukum Internasional, Fakultas Hukum

Apakah motivasi dan prestasi kerja berpengaruh terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil Pada Sekretariat Daerah Kabupaten Nganjuk.. KAJIAN PUSTAKA

Dari sekian banyak bagian cantik di bangunan tersebut, fasadlah yang sejak awal