• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TANGGUNG JAWAB DIREKSI ATAS KERUGIAN DALAM

A. Perseroan Sebagai Badan Hukum Dengan Tujuan Untuk

1. Dasar Hukum Perseroan

Hukum perseroan pada masa bernama Naamloze Vennootschap atau Company

Limied by Shares (NV), semula diatur dalam KUH Dagang, dasar hukumnya terdapat

pada:

a) Buku Pertama, Titel Ketiga, Bagian Ketiga, yang berjudul tentang Perseroan Terbatas;

b) Terdiri dari Pasal 36-56, jadi hanya ada 21 pasal saja, sehingga benar-benar sangat singkat sekali;

Bertitik tolak dari singkatnya ketentuan yang mengatur perseroan dalam KUH Dagang, maka Pasal 1 KUH Dagang menegaskan berlakunya KUH Perdata dalam bidang hukum dagang yaitu, ”Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku juga bagi hal-hal yang diatur kitab undang-undang ini, sekedar di dalam kitab undang- undang ini tidak diatur secara khusus menyimpang”.

Memperhatikan ketentuan Pasal 1 KUH Dagang dimaksud, KUH Dagang sendiri merupakan lex specialis berhadapan dengan KUH Perdata. Kalau begitu

73

pengaturan perseroan dalam KUH Dagang merupakan lex specialis atas bentuk- bentuk perusahaan persekutuan (maatschap, partenrship) maupun perkumpulan yang diatur dalam KUH Perdata atau yang diatur dalam peraturan perundang-undnagan lainnya, oleh sebab itu maka:74

a) Jadi hukum perseroan yang diatur dalam KUH Dagang, merupakan ketentuan

perdata khusus yang mengatur hukum perikatan atau perjanjian antara pihak- pihak yang timbul khusus dari bidang perseroan; dan

b) Sedangkan hukum perikatan yang diatur dalam Buku Ketiga KUH Perdata,

merupakan aturan hubungan hukum antara perorangan yang satu dengan yang lain dalam bidang usaha sesuai dengan kehendak dan kebutuhannya sendiri. Jika dihitung dari kelahiran KUH Dagang yakni pada tahun 1847 dengan Staatsblad 1847-23, sampai diundnagkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT 1995) sebagai pengganti hukum perseroan, kelangsungan eksistensinya hampir lebih 150 tahun. Selama masa kolonial Belanda, ketentuan Pasal 36-56 yang mengatur perseroan, boleh dikatakan tidak pernah mengalami perubahan. Pada saat dilakukan perubahan KUH Dagang dengan Staatsblad 1924-556, ketentuan pasal-pasal yang mengatur perseroan tidak ikut mengalami perubahan ataupun penambahan.

Setelah era kemerdekaan, barulah ketentuan pasal-pasal tersebut, pernah mengalami perubahan. Hal itu terjadi pada tahun 1971 dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1971.

Pada tanggal 7 Maret 1995, diundangkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT 1995). Terdiri atas 12 Bab (Bab I s/d Bab

74

XII) dan 129 pasal (Pasal 1 s/d Pasal 129). Pada pasal 128 Ayat (1) UUPT 1995 menegaskan Buku Kesatu, Titel Ketiga, bagian Ketiga yang terdiri atas Pasal 36 s/d Pasal 56 KUH Dagang yang mengatur perseroan berikut segala perubahannya terakhir dengan Undang-Undang nomor 4 Tahun 1971, dinyatakan tidak berlaku lagi. Alasan penggantian menurut konsideran UUPT 1995 antara lain adalah:

a) Ketentuan yang mengatur perseroan dalam KUH Dagang dianggap tidak

sesuai lagi dengan perkembangan ekonomi dan dunia usaha yang semakin pesat, baik secara nasional maupun internasional; dan

b) Menciptakan kesatuan hukum dalam perseroan yang berbentuk badan hukum

(rechtspersoon, legal persoon, legal entity)

Selanjutnya dikatakan lagi, selain perseroan sebagai badan hukum yang diatur dalam KUH Dagang, hingga saat ini masih terdapat badan hukum lain dalam bentuk Maskapi Andil Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Ordonansi Maskapi Andel Indonesia (Ordonantie op de Indonesische Maatschappy, Staatsblad 1939-569 jo 717.

Oleh karena itu, dalam rangka menciptakan kesatuan (unification) untuk memenuhi kebutuhan hukum baru yang dapat memicu pembangunan nasional, dan menjamin kepastian penegakan hukum, perlu dihapuskan dualisme pengaturan hukum tentang perseroan.

Selain dari pada konsideran yang dikemukakan di atas, dalam penjelasan umum juga dikemukakan hal-hal berikut, antara lain:

a) Sarana umum pembangunan, antara lain diarahkan kepada peningkatan

b) Untuk mencapai sasaran tersebut, sarana penunjang antara lain tatanan hukum yang mampu mendorong dan mengendalikan berbagai kegiatan pembangunan di bidang ekonomi.

Salah satu materi hukum yang diperlukan untuk itu adalah ketentuan di bidang perseroan yang menggantikan ketentuan hukum yang lama. Oleh karena itu, kebutuhan akan penataan seluruh peraturan di bidang hukum perseroan, dirasakan sangat mendesak.

Selain itu dikatakan lagi, KUH Dagang tidak dapat lagi mengikuti dan memenuhi kebutuhan perkembangan perekonomian dan dunia usaha. Padahal perekonomian Indonesia tidak dapat menutup diri terhadap pengaruh dan tuntutan globalisasi tanpa mengurangi pengaturan perseroan yang harus tetap bersumber dan setia pada asas perekonomian yang digariskan UUD 1945, yakni asas kekeluargaan. Dengan demikian, UUPT 1995 yang akan diberlakukan mengganti ketentuan yang diatur dalam Pasal 36-56 KUH Dagang, harus dapat melindungi kepentingan pemegang saham dan kreditor, maupun pihak lan yang terkait serta kepentingan perseroan itu sendiri.

Hal itu diperingatkan dalam penjelasan umum, karena kenyataannya dalam satu perseroan dapat terjadi ”pertentangan” atau benturan kepentingan antara pemegang saham dengan perseroan aatau antara kepentingan pemegang saham minoritas dengan pemegang saham mayoritas.

Oleh karena itu, kepada pemegang saham minoritas, perlu diberikan hak, antara lain:

a) Meminta kepada Direksi agar RUPS diadakan; dan

b) Meminta kepada Pengadilan Negeri untuk dilakukan pemeriksanaan jalannya

perseroan.

Berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan di atas, yang menjadi dasar motivasi diundangkannya UUPT 1995, sebagai pengganti ketentuan perseroan yang diatur dalam KUH Dagang. UUPT 1995, tidak lagi ditempatkan sebagai bagian dalam KUH Dagang maupun KUH Perdata. Akan tetapi, UUPT 1995 tersebut merupakan undang-undang yang terpisah dan berdiri sendiri di luar KUH Dagang maupun KUH Perdata.

Pada tanggal 16 Agustus 2007, diundangkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT 2007) sebagai pengganti UUPT 1995. Hal itu sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 160 yang ditentukan yaitu, Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.

Adapun dasar alasan penggantian UUPT 1995 menjadi UUPT 2007 yang dikemukakan dalam konsideran maupun dalam penjelasan umum, antara lain yaitu:

a) Perekonomian nasional harus diselenggarakan berdasarkan asas demokrasi

ekonomi sesuai dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, dan kesatuan ekonomi nasional;

b) Semua prinsip itu, perlu didukung oleh perkembangan perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan ksejahteraan masyarakat dalam rangka lebih meningkatkan perkembangan perekonomian nasional sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi pada masa mendatang;

c) Perlu diadakan undang-undang yang mengatur tentang perseroan yang dapat

mendukung terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif;

d) Perseroan sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional. Perlu diberi landasan hukum untuk lebih memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama atas dasar kekeluargaan.

Sulit untuk menilai apakah pembaharuan hukum Perseroan yang diatur dalam UUPT 2007 secara substansial lebih baik dan lebih pasti dibandingkan dengan UUPT 1995 juga sulit untuk mengatakan UUPT 2007 sudah sempurna dan memuaskan. Sebab bagaimanapun bagus dan sempurnanya undang-undang pada saat dibahas dan diperdebatkan di parlemen, namun pada saat undang-undang itu diundangkan, pasti akan langsung berhadapan dengan seribu satu macam masalah yang sebelumnya tidak diperkirakan dan tidak dapat diprediksi pada saat undang-undang itu dirumuskan.75

Barangkali demikianlah keadaan objektif yang akan dihadapi UUPT 2007. UUPT 2007 setelah diundangkan akan secara langsung berhadapan dengan berbagai masalah dalam penerapannya, baik disebabkan adanya kekosongan atau celah hukum yang terbuka, rumusan yang terlampau luas (broad term), kekeliruan perumusan atau

75

pendefenisian (ill defined) maupun kata atau rumusan yang mengandung ambiguitas (ambiguity).

Apalagi jika dihubungkan dengan realitas perubahan masyarakat yang sangat cepat (speedy social change) pada saat sekarang, semakin membuat UUPT 2007 menjadi rumusan kalimat mati ditingkalkan oleh perubahan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, umur UUPT 2007 ini pun kemungkinan besar tidak mampu bertahan seperti yang dialami UUPT 1995 (dua belas tahun).

Memang pada masa teknologi dan informatika sekarang secara objektif dan universal tidak mungkin menciptakan undang-undang yang bisa bertahan hidup selama 100 (seratus) tahun. Bahkan sulit untuk mempertahankan undang-undang yang mampu bertahan puluhan tahun, jika tidak diikuti dengan perubahan atau revisi yang terus-menerus tanpa henti. Apabila dikehendaki UUPT 2007 bisa bertahan lama, harus tetap diikuti dengan langkah-langkah yang siap dan waspada melakukan perubahan sesuai dengan tuntutan perkembangan dan perubahan nilai-nilai sosial (the

development and social change velues).

Lahirnya UUPT 2007 ini menurut Bismar Nasution,76 tidak terlepas kaitannya dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan, informasi dan tekhnologi yang tersebar ke seluruh penjuru dunia melalui globalisasi dan timbulnya perkembangan terhadap kegiatan bisnis internasional. Di samping itu hal ini

76

Bismar Nasution (V)., “Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Dalam Perspektif Hukumum Bisnis: Pembelaan Direksi Melalui Prinsip Business Judgment Rule”, Makalah, Disampaikan pada Seminar Bisnis 46 tahun FE USU: “Pengaruh UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap Iklim Usaha di Sumatera Utara”, Aula Fakultas Ekonomi USU, 24 November 2007, hal. 1.

juga telah mendorong pula adanya perubahan terhadap regulasi di bidang ekonomi untuk mengikuti perkembangan tersebut. Perkembangan globalisasi di bidang ekonomi tersebut telah mempengaruhi berbagai sektor usaha di dunia. Globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi tersebut, dalam arti substansi berbagai undang-undang dan perjanjian-perjanjian menyebar melewati batas- batas negara yang mengakibatkan terjadinya peleburan prinsip-prinsip hukum pada suatu negara kepada negara lainnya.

Konsekwensi logis dari perkembangan ini adalah adanya tuntutan untuk mengharmonisasikan prinsip-prinsip hukum ekonomi di Indonesia dengan prinsip-prinsip hukum ekonomi di dunia internasional. Tanpa adanya keharmonisan tersebut, Indonesia dapat dikucilkan dari kegiatan bisnis internasional dan investasi karena tidak ada kepastian terhadap perlindungan hukum untuk kegiatan bisnis yang telah biasa dilakukan di dunia internasional.

Beberapa perkembangan dalam UUPT 2007 antara lain menurut Bismar adalah:77

a) Diadopsinya prinsip tanggung jawab sosial dan lingkungan (Corporate

Social Responsibility/ CSR). Dalam Pasal 74 UUPT disebutkan bahwa

setiap perusahan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang yang berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan prinsip CSR;

b) Mengakui prinsip ekonomi syariah yang telah berkembangan pesat

beberapa tahun terkahir ini. Pasal 109 UUPT mengakui prinsip-prinsip ekonomi syariah dengan mewajibkan adanya dewan pengawas syariah di perusahaan yang mejalankan bisnis berbasis syariah.

c) Mengatur tentang pembelian kembali saham oleh perusahaan (buy back)

dan permisahan perusahaan tidak murni (spin off);

77

d) Ada juga ditentukan mengenai larangan kepemilikan silang (cross

holding) dalam Pasal 36 UUPT.

e) Dalam hal pertanggunganjawaban Direksi, UUPT 2007 mengalami beberapa

perubahan. Misalnya diadopsinya prinsip business judgment rule (ketentuan keputusan bisnis). Prinsip yang berasal dari Negara common law ini memberikan safe harbor bagi para direksi yang mengambil calculated

business decision untuk tidak di hukum apabila nantinya keputusan bisnisnya

merugikan perusahaan. Isu ini memang sangat penting bagi perlindungan direksi yang selama ini tidak jelas di atur dalam UUPT yang lama. Dengan diadopsinya prinsip ini, diharapkan para direksi berani mengambil resiko dalam keputusan-keputusan bisnisnya karena tanpa adanya keberanian untuk mengambil resiko ini, perkembangan bisnis di Indonesia dapat terhambat. Jadi, terdapat perkembangan pengaturan yang signifikan dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Dokumen terkait