BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP TINDAK PIDANA
B. Dasar Hukum dan Sanksi Pencurian
Ulama menyatakan bahwa pencurian termasuk salah satu dari tujuh jenis jarimah hudud. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT. Dalam surat Al-Maidah ayat 38 sebagai berikut :
1518
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah, dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana”.
Dalam ayat ini Allah menyatakan secara tegas bahwa laki-laki pencuri dan perempuan pencuri harus dipotong tangannya. Ulama telah sepakat dengan hal ini, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai batas minimal (nisab) barang curian dan tangan sebalah mana yang harus dipotong.16 Dalam buku lain penulis menemukan bahwa setiap barang yang dicuri harus memenuhi unsur–unsur yang dikategorikan ke dalam pencurian yang harus dilakukan potong tangan di antaranya, yaitu:
a. Mengambil Harta Secara Diam-Diam
Mengambil harta secara diam-diam adalah mengambil barang tanpa sepengetahuan pemiliknya dan tanpa kerelaanannya, seperti mengambil barang dari rumah orang lain ketika penghuninya sedang tidur. Pengambilan harta itu dapat dianggap sempurna, jika : (a) pencuri mengeluarkan harta dari tempatnya, (b) barang yanng dicuri itu telah berpindah dari pemiliknya, (c) barang yang dicuri telah berpindah tangan ke tangan si pencuri.17
Bila salah satu syarat di atas tidak terpenuhi, hal ini belum dikatakan pencurian secara sempurna atau utuh. Dengan demikian, hukumannya bukan had, melainkan ta’zir. Misalnya, seorang pencuri baru masuk ke rumah dan belum sempat mencuri atau mengambil harta dalam rumah tersebut kemudian dia tertangkap dan barang tersebut belum sempat dibawa pergi. Tetapi dalam mazhab Dzahiri yang berpendapat bahwa, percobaan pencurian diancam dengan sanksi
16 Nurul Irfan, dan Masyorafah, Fiqh Jinayah, h. 102.
17
yang sama dengan sanksi pencurian. Dzahiri tidak mensyaratkan pengambilan harta secara sempurna atau dari tempat penyimpananya. Dzahiri berpendapat bahwa, ketika sudah mempunyai niat untuk mencuri, hal ini sudah sepatutnya tergolong kepada pencurian dan dilakukan hukum potong tangan.
Berbeda dengan Dzahiri, bahwasanya pencurian harus ada yang namanya unsur mengambil, ini harus selesai dilakukan oleh pelaku, sebab jika perbuatan tersebut ternyata belum selesai, maka yang terjadi itu sebenarnya bukan merupakan tindak pidana pencurian melainkan hanya merupakan “percobaan” untuk melakukan tindak pidana pencurian.
Dari sisi lain, para ulama empat mazhab dan syi‟ah serta KUHP, telah menetapkan bahwa pencurian terhadap barang yang tidak ada tempatnya (hiriz) tidak dapat diancam dengan hukuman had (potong tangan), melainkan hukuman
ta’zir. Misalnya seorang pencuri binatang yang akan kembali ke kandangnya dan masih di jalan serta tidak ada pengembalanya.18
Hukum had hanya bisa berlaku terhadap harta benda yang diambil ditempat penyimpanannya dan dilakukan secara diam-diam. Perbuatan mencuri harus selesai dan sempurna. Seperti yang telah penulis katakan dalam paragraf terdahulu, menurut Hoge Raad pakar hukum pidana, perbuatan mengambil atau mencuri itu telah selesai, jika benda yang diambil oleh pelaku sudah berada dalam penguasaan pelaku.19
Selain itu di dalam KUHP kita mengenal adanya unsur-unsur yang memberatkan terhadap keadaan pencuri, melakukan tindak pidana pencurian
18 Djazulli, Fiqh jinayah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persabda, 1996), h. 74.
19
20
sebagaimana yang diatur dalam dalam pasal 363 ayat (1) angka 2 KUHP ialah karena tindak pidana tersebut dilakukan pelaku pada kondisi-kondisi tertentu diantaranya : (a) pada waktu terjadi kebakaran (b) pada waktu terjadi ledakan (c) pada waktu terjadi bahaya banjir (d) pada waktu terjadi gempa bumi atau gempa laut (e) pada waktu terjadi letusan gunung merapi (f) pada waktu ada kapal karam (g) pada waktu ada kapal terdampar (h) pada waktu terjadi kecelakaan kereta api (i) pada waktu terjadi suatu pemberontakan (j) pada waktu terjadi huru-hara, dan (k) pada waktu terjadi bahaya perang.
Unsur yang memberatkan tindak pidana dalam pasal 363 ayat (1) angka 5 KUHP ialah Pelaku dalam melaksanakan niat jahatnnya melakukan pembongkaran, perusakan pemanjatan atau telah memakai kunci-kunci palsu,
perintah palsu atau seragam palsu. Kata „verbreking‟ atau „perusakan‟ itu
merupakan sebuah kata yang oleh pembentuk Undang-Undang telah ditambahkan kedalam rumusan tindak pidana pencurian yang diatur dalam pasal 363 ayat (1) angka 5 KUHP.
Perbuatan para pencuri merusak pintu atau jendela untuk memasuki sebuah rumah, misalnya dengan cara mencungkil, memecahkan atau mengangkat kaca atau dengan cara melepaskan daun pintu atau jendela dari engselnya itu
merupakan „verbrekingen‟ atau „perusakan-perusakan‟. Jika seorang pencuri telah
berhasil memasuki sebuah rumah dengan maksud untuk mencuri barang-barang kepunyaan pemilik rumah tersebut, setelah sebelumnya ia berhasil merusakan pintu depan dari rumah yang bersangkutan. apakah orang dapat mengatakan
bahwa ia telah mulai melakukan suatu pencurian? padahal ia sama sekali belum menyentuh satu barang pun yang terdapat dalam rumah tersebut.
Menurut Hoge Raad pencurian dengan perusakan itu merupakan satu kejahatan, dengan merusak penutup atau pintu sebuah rumah, dimulailah pelaksana dari kejahatan tersebut. Dalam hal ini terdapat percobaan untuk melakukan suatu pencurian dengan perusakan.20
Unsur-unsur yang memberatkan pidana seperti yang telah dibicarakan di
atas itu, di dalam doktrin juga sering disebut „starfverzwarende omstandingheden‟
atau „keadaan-keadaan yang memberatkan pidana‟.21
Pencurian dalam bentuk diperberat (gequaliceerde) dipidana penjara selama-lamnya 7 tahun. Sedangkan terhadap pasal 363 ayat (2) KUHP dikenkan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.22
Walaupun begitu, seseorang yang mencuri, baru dapat dikenakan hukuman apabila memenuhi beberapa syarat berikut :
a. Pelaku tindak pidana haruslah seseorang yang balig dan berakal.
b. Harta yang dicuri di isyaratkan : (a) harta yang bernilai, (b) mencapai nishab curian yang ditetapkan Islam, (c) terpelihara secara aman, (d) berupa materi yang dikuasai dan dihadirkan ketika dibutuhkan dan bukan barang yang cepat rusak, (e) bukan barang yang pada dasarnya sesuatu yang mubah, (f) bukan hak pencuri atau hak bersama masyarakat,(g) orang yang mencuri bukan orang yang diberi izin memasuki tempat
20
Lamintang, dan Djisman Samosir, Delik-delik Khusus, (Bandung : Tarsito, 1979), h. 78
21
Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan,
(Bandung: Sinar Baru, 1998), h. 48
22 M. Dipo Syaputra Lubis, Perbandingan Tindak Pidana Pencurian menurut Hukum Pidana Nasional dan Hukum Pidana Islam, Jurnal, Medan, 2013, h. 32
22
pemeliharaan harta tersebut, (h) pencuri benar-benar bertujuan mencuri barang tersebut, bukan sambilan.23
c. Pemilik barang yang dicuri, haruslah benar- benar pemilik barang.
d. Tempat pencurian haruslah diwilayah yang di dalamnya berlaku hukum Islam.
Dalam hal pelaku tindak pidana pencurian, haruslah seorang yang balig dan berakal. Apabila seorang pencuri masih dibawah umur, maka hal tersebut dapat dijadikan alasan penghapus pidana. Akan tetapi, untuk gugurnya hukum pencurian haruslah memenuhi syarat berikut :
a. Orang yang kecurian tidak mengaku barangnya dicuri oleh tergugat b. Orang yang kecurian mengaku mengemukakan sanksi palsu.
c. Pencuri menarik pengakuannya mencuri barang tersebut
d. Apabila pencuri mengembalikan barang yang ia curi kepada pemiliknya sebelum diajukan kepada hakim, pencuri tidak dikenakan hukuman potong tangan.
e. Barang yang dicuri tersebut menjadi milik pencuri sebelum diajukan gugatan pencurian kepada hakim.
b. Barang yang Dicuri Berupa Harta
Barang yang dicuri harus berupa harta (1) yang bergerak, (2) berharga, (3) memiliki tempat penyimpanan yang layak, (4) sampai nisab. Harta yang dicuri itu disyaratkan harus bergerak, karena pencurian mempunyai makna perpindahan
23 Lily Elina Sitorus, Pembuktian Tindak Pidana Pencurian dalam Hukum Pidana Islam, Skripsi, Universitas Indonesia, Depok, 2002, h. 51.
harta, dari pemilik kepada pencuri. Benda dianggap benda bergerak, jika harta itu dapat dipindahkan. Disyaratkan pula harta itu materi kongret atau benda-benda yang bersifat material.
Sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafi‟i dan Hambali menyatakan bahwa, harta berupa benda yang dimiliki dan diperjualbelikan, meskipun dalam penerapan prinsip ini mereka berbeda pendapat dalam kasus pencurian mushaf
Al-Qur‟an, kitab-kitab Ilmiah, buah-buahan, alat musik, dan sebagainya.
Dalam masail fiqhiyah dijelaskan tentang hal diatas, terutama tentang keberadaan benda. Ada dua hal yang harus diketahui yaitu hiriz bi al-makan dan hiriz bi al-nafs. dengan hiriz bi al makan adalah tempat yang disediakan khusus untuk menyimpan barang dan tidak setiap orang diperbolehkan masuk tanpa izin pemiliknya. menurut imam Syafi‟i dan Imam Ahmad, tempat itu harus terkunci dan khusus disediakan untuk menyimpan barang. Sedangkan yang dimaksud dengan hiriz bi al-nafs atau hiriz bi al hifdz adalah barang yang berada dalam penjagaan.
Menurut Imam Abu Hanifah, tidak wajib dikenakan hukum potong tangan pada pencurian harta dalam keluarga yang mahram, karena mereka diperbolehkan keluar masuk tanpa izin. Menurut Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad seorang ayah tidak terkena hukuman potong tangan karena mencuri harta anaknya, cucunya, dan seterusnya sampai ke bawah. Demikian pula sebaliknya, anak tidak dapat dikenai hukuman potong tangan, karena mencuri harta ayahnya, kakeknya, dan
24
seterusnya ke atas. Menurut Imam Abu Hanifah, tidak ada hukum potong tangan pada kasus pencurian antara suami istri.24
Bila Harta yang dicuri itu tidak mencapai nisab, maka tidak dapat dijatuhi hukuman had. Bagi pencurian harta yang bernilai dibawah nisab diancam dengan hukuman ta’zir.
c. Harta Yang Dicuri Milik Orang Lain
Dalam tindak pidana pencurian disyaratkan bahwa, sesuatu yang dicuri itu merupakan milik orang lain, yang dimaksud dengan milik orang lain yaitu memindahkan harta dari tempat penyimpanannya ke tempat yang kita kuasai. Tetapi beda halnya ketika kita memindahkan harta yang sifatnya syubhat dalam hal ini pencuri tidak dikenai hukuman had tetapi hukumannya bersifat ta’zir.25
Menurut Imam Abu Hanifah, barang yang dicuri itu disyaratkan tidak sengaja ditinggalkan oleh pemiliknya untuk dihancurkan atau dibuang. Sedangkan Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad tidak sependapat dengan pendapat ini. Menurut mereka, setiap harta yang dapat diperjualbelikan adalah harta yang berharga dan pencurinya dapat dijatuhi had. Tetapi menurut imam Abu Hanifah tidak semua benda yang dapat diperjual belikan dikenakan hukuman had. Misalnya pencuri kain kafan, tidak dapat dijatuhi hukuman had.
d. Ada Itikad Tidak Baik
Adanya itikad tidak baik dari seorang pencuri, terbukti bila ia mengetahui bahwa hukum mencuri itu adalah haram dan dengan perbuatannya itu ia
24Djazuli. Fiqh Jinayah ( Upaya menanggulangi Kejahatan Dalam Islam . (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 76.
25Djazuli. Fi h Jinayah, Upaya Menanggulangi Kejahatan dala Isla . (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 78.
bermaksud memiliki barang yang dicurinya tanpa sepengetahuan dan kerelaan pemiliknya.26