• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPS

3. Dasar Jaksa Penuntut Umum

Dasar hukum Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dalam perkara tindak pidana korupsi, perlu dikemukakan sebagai bahan analisa hukum sebagaimana ketentuan-ketentuannya sebagai berikut :

a. Pasal 248 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer, menentukan :

"Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan".

b. Article 8 Statute of International Criminal Court in principle to determine :

41 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Sinar

Grafika, Jakarta, 2000, Edisi Kedua, h.642-643. 

          42

1. The convicted person or, after death, spouses, children, parents, or one person alivee at the time of the accused"s death who has been given Express written instructions from the accused to bring such a claim or the prosecutor on the person's behalf, may apply to the Chamber to revise the final judgmen of conviction or sentence on the grounds that...”; artinya :

Pasal 8 Undang-Undang Mahkamah Pidana Internasional pada pokoknya menentukan:

1. Orang dihukum atau setelah kematiannya, pasangan, anak-anak, orang tua, atau satu orang yang hidup pada saat kematian terdakwa yang telah diberikan instruksi tertulis secara tegas dari terdakwa untuk membawa seperti permohonan oleh penuntut umum atas nama seseorang, dapat diajukan permohonan ke majelis hakim untuk meninjau kembali putusan akhir keyakinan atau hukuman dengan dasar bahwa...";

c. Pasal 37 Peraturan Hukum Acara Pidana Hindia Belanda (Reglement of Straf Vordering) (Sv) (S.1847-40) pada pokoknya menentukan:

"Permohonan Peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung oleh Jaksa Agung dibuat pengajuan permohonan secara tertulis dari seorang pelaku yang telah memperoleh putusan pidana yang telah kekuatan hukum tetap atau dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan khusus atau oleh penasehat hukumnya, sesuai Ketentuan Pasal 120 apabila terjadi gangguan maka berlaku perubahan-perubahan seperlunya, disebutkan dalam paragraf kedua dari Pasal itu, diajukan kepada ketua Mahkamah Agung (Sv. (3.563, 358v.)”.

d. Pasal 10 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali Putusan yang telah Memperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap menentukan : “Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh Jaksa Agung, oleh terpidana atau pihak yang berkepentingan”.

Berdasarkan analisa hukum tersebut di atas ketentuan-ketentuan tersebutlah yang dipakai Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan

peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung sebagai bahan perbandingan hukum acara pidana Indonesia secara formal dapatlah diterima.

BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan

a. Tindak pidana korupsi termasuk kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime), yang sangat merugikan negara Alasan Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya peninjauan kembali adalah, adanya Novum (keadaan baru) dan adanya kekhilafan hakim yang nyata, keadaan yang dimaksud adalah Putusan Mahkamah Agung nomor 21/PK/TUN/2003 tanggal 6 Oktober 2004 dan Putusan Mahkamah Agung nomor 59 PK/Pdt/2006 tanggal 29 Mei 2007, sedangkan kekhilafan yang dimaksud adalah pertimbangan Judex Factie yang keliru dan merupakan kekhilafan yang nyata, karena hanya mempertimbangkan verifikasi on site yang dilaksanakan hanya terhadap PT. Bali, Tbk (Bank Krebitur) tanpa melakukan verifikasi on site tethadap PT. Bank BDNI (Bank Debitur), dan pertimbangan Judex Juris, bahwa transaksi SWAP dan money market, antara PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI tidak bertentangan dengan ketentuan Perundang-undangan perbankan. b. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut majelis Mahkamah Agung

berpendapat permohonan peninjauan kembali Jaksa Penuntut Umum dapat dibenarkan dengan membatalkan putusan Judex Juris maupun Judex Factie, perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa telah terbukti dan mengambil alih pertimbangan yudex factie (Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) ternyata apa yang telah dilakukan oleh terdakwa dengan merugikan keuangan negara sebasar Rp. 904.462.428.369,- yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi perekonomian negara yang sedang 46

berusaha untuk memulihkan krisis moneter, dan oleh karenanya atas barang bukti tersebut disita, dan haruslah dirampas untuk dikembalikan pada negara.

c. Dasar pertimbangan yang digunakan oleh Mahkamah Agung untuk mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah, Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum tidak diatur secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, sebagaimana Mahkamah Agung ingin menciptakan hukum acara sendiri. Mahkamah Agung melakukan penafsiran terhadap Pasal 263 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menurut penafsiran majelis Mahkamah Agung, maka ditujukan kepada Jaksa Penuntut Umum, karena adalah pihak yang paling berkepentingan agar keputusan hakim diubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tapi tidak diikuti pemidanaan dapat diubah dengan diikuti pemidanaan terhadap terdakwa, untuk memelihara kekosongan putusan Mahkamah Agung (Consistency In CourtDecission), maka Mahkamah Agung akan mengikuti pendapat Mahkamah Agung dalam putusannya nomor 55 PK/ Pid/ 1996, putusan nomor 3 PK/ Pid/ 2001, putusan nomor 109 PK/ Pid/ 2007, yang mana semua putusan tersebut telah menafsirkan Undang-Undang nomor 14 Tahun 1970 Pasal 21 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman, bahwa pihak yang berkepentingan untuk dapat mengajukan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya dan Jaksa Penuntut

Umum.

2. Saran

a. Pengajuan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum terutama dalam tperkara tindak pidana korupsi merupakan hak yang harus segera diformalkan melalui Peraturan perundang-undangan, karena tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang merugikan kepentingan umum (negara) agar pengajuan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum bukanlah hal baru, karena pernah ada ketentuan yang menyatakan Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang berhak mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, namun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, aturan ini tidak diatur secara tegas, sehingga menimbulkan kontroversi dan berbagai penafsiran dikalangan ahli hukum. upaya hukum Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan peninjauan kembali dalam perkara tindak pidana korupsi bukanlah tindakan yang salah karena mereka pernah punya hak untuk mengajukan peninjauan kembali dan saat ini tidak ada aturan yang melarang secara tegas Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali.

b. Jaksa Penuntut Umum dalam mencari dan menemukan novum (keadaan baru) terkesan lamban, dalam hal kinerja maupun prilaku aparat kejaksaan. Jaksa Penuntut Umum haruslah bertindak secara profesional dan proposional dalam penegakan hukum. Mahkamah Agung haruslah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap peradilan dibawahnya,

karena telah terjadinya kekhilafan hakim yang nyata, sesuai dengan Pasal 11 ayat (4) nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

c. Majelis Mahkamah Agung seharusnya menolak permohonan upaya hukum peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, karena kapasitas Jaksa Penuntut Umum dalam upaya hukum luar biasa diatur secara tegas dalam Pasal 259 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu kasasi demi kepentingan hukum, sedangkan untuk upaya hukum peninjauan kembali tidak mengatur Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan peninjauan kembali, dalam hal ini pertimbangan Mahkamah Agung seharusnya mengacu sesuai dengan ketentuan Peraturan perundang- undangan yang berlaku. Majelis Mahkamah Agung dalam hukum acara seharusnya tidak melakukan interpretasi terhadap ketentuan hukum acara, karena hukum acara adalah hukum publik yang bersifat imperatif, sehingga jika ditafsirkan akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Dokumen terkait