KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM
DALAM PENGAJUAN UPAYA PENINJAUAN KEMBALI
PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 12/Pid.Sus/2009
Terpidana Joko Soegiarto Tjandra
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jawa Timur
Oleh :
RIO ADHITYA WICAKSONO
NPM. 0671010023
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA
TIMUR
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PERSETUJUAN MENGIKUTI UJIAN SKRIPSI
KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENGAJUAN UPAYA PENINJAUAN KEMBALI
PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 12/Pid.Sus/2009 Terpidana Joko Soegiarto Tjandra
Disusun Oleh :
RIO ADHITYA WICAKSONO NPM. 0671010023
Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi
Menyetujui,
Pembimbing Pendamping
Wiwin Yulianingsih, S.H., M.Kn NPT. 375 0707 0225
Pembimbing Utama
Sutrisno, S.H., M.Hum. NIP. 030 193 492
Mengetahui,
D E K A N
PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI
KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENGAJUAN UPAYA PENINJAUAN KEMBALI
PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 12/Pid.Sus/2009 Terpidana Joko Soegiarto Tjandra
Oleh :
RIO ADHITYA WICAKSONO NPM. 0671010023
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada Tanggal 10 Juni 2010
Mengetahui,
D E K A N
Hariyo Sulistiyantoro S.H., M.M. NIP. 030 212 027
Menyetujui,
Tim Penguji, Tanda Tangan,
1. Prof. Dr. Indrati Rini, S.H., M.S. (...) NIP. 130 936 179
2. Sutrisno, S.H., M.Hum. (...) NIP. 030 193 492
2. Hariyo Sulistiyantoro S.H., M.M. (...) NIP. 030 212 027
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Rio Adhitya Wicaksono
Tempat/Tgl Lahir : Bondowoso, 21 Maret 1987
NPM : 0671010023
Konsentrasi : Pidana
Alamat : Perumahan Griya Permata Hijau Blok X3, No. 11
Sidoarjo
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi saya dengan judul : KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENGAJUAN UPAYA PENINJAUAN KEMBALI PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
“
Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 12/Pid.Sus/2009 Terpidana Joko Soegiarto Tjandra”. Dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur adalah benar-benar hasil karya cipta saya sendiri, yang saya buat sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bukan hasil jiplakan (plagiat). Apabila di kemudian hari ternyata skripsi ini hasil jiplakan (plagiat) maka saya bersedia dituntut di depan Pengadilan dan dicabut gelar keserjanaan (Sarjana Hukum) yang saya peroleh.Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebesar-besarnya dengan penuh rasa tanggung jawab atas segala akibat hukumnya.
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga negara yang melaksanakan
kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan yang melaksanakan fungsi,
tugas dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya, sebagai badan yang berwenang
dalam penegakan hukum dan keadilan. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
yang menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum
dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan
kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Tugas dan wewenang Kejaksaan Republik Indonesia Jaksa Agung juga
memiliki tugas dan wewenang khusus yang diatur pada Pasal 35 Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia yaitu :
a. menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan.
b. mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang.
c. mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
d. mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara.
e. dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana.
f. mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam
perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Upaya hukum yaitu hak terdakwa atau Jaksa Penuntut Umum, untuk tidak
menerima putusan pengadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
upaya hukum dibedakan menjadi 2 (dua) yang diatur dalam Bab XVII, yaitu
upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa, dimana upaya hukum biasa
meliputi bagian kesatu mengenai pemeriksaan tingkat banding dan bagian kedua
mengenai pemeriksaan tingkat kasasi, sedangkan upaya hukum luar biasa meliputi
bagian kesatu mengenai pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum dan
bagian kedua mengenai peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Upaya hukum peninjauan kembali perkara pidana yang diajukan oleh
Jaksa Penuntut Umum yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, akhir-akhir
ini menimbulkan banyak argumentasi antara ahli hukum, yang menjadi pokok
permasalahan adalah tentang penafsiran dari ketentuan Pasal 263 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang dalam ayat (1) menyatakan bahwa : “Terhadap
pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan
permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Ketentuan Pasal
tersebut menjelaskan bahwa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum
yang dinyatakan oleh Mahkamah Agung, maka terpidana atau ahli warisnya tidak
diperbolehkan melakukan upaya hukum peninjauan kembali, jika putusan tersebut
dalam tingkat kasasi yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Hukum acara pidana Indonesia tidak mengatur Jaksa Penuntut Umum
Umum untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, dasar hukum Jaksa
Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali adalah melalui
penafsiran Peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi yang menjadi acuan
Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan peninjauan kembali, penafsiran tersebut
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Pasal 23 ayat (1) Tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 menyatakan :
"Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan
dalam undang-undang". Penafsiran seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 "pihak-pihak yang bersangkutan dalam perkara pidana"
adalah Terpidana atau ahli warisnya dan Jaksa Penuntut Umum.
Ada pendapat bahwa karena tidak diatur Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, Jaksa Penuntut Umum berwenang juga mengajukan upaya hukum
peninjauan kembali. Pendapat demikian tentu berdasar penafsiran ekstensif
(menjangkau secara meluas) yang bertentangan dengan asas legalitas, sebab akan
memperluas pengertian tanpa batas.1
Kasus yang membuktikan bahwa yang berhak melakukan upaya hukum
PK tidak hanya terpidana ataupun ahli warisnya, JPU pun juga dapat mengajukan
upaya hukum PK, hal ini dibuktikan dengan putusan tanggal 11 Juni 2009 Nomor
12 PK/Pid.Sus/2009 dalam kasus Joko Soegiarto Tjandra. Putusan peninjauan
1
www.hamline.edu, apakabar@clark.net, Seputar Peninjauan Kembali, Diakses Jumat,
kembali ini telah menimbulkan pro kontra dari berbagai pihak dan kalangan pakar
dan praktisi hukum, dari pihak dan kalangan berpendapat bahwa putusan
peninjauan kembali itu tidak dapat dibenarkan atau cacat hukum, karena
bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, secara jelas diatur bahwa yang dapat atau
berhak mengajukan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya.
Alasan Jaksa Penuntut Umum melakukan peninjauan kembali dalam kasus
Joko Soegiarto Tjandra adalah, bahwa putusan Mahkamah Agung Nomor 1688
K/Pid/2000, tanggal 28 Juni 2001, judex juris (tingkat kasasi) dalam
pertimbangannya mengenai turut serta menyebutkan : "Terdakwa tidak berperan
apapun dalam hal pencairan tagihan PT. Bank Bali terhadap PT. BDNI, dan tidak
pula terbukti telah mempengaruhi pejabat BI, BPPN, Depkeu atau pejabat lainnya
yang berkaitan dengan program penjaminan sesuai dengan Keppres No. 26 tahun
1998".2
“MA menolak permohonan kasasi kejaksaan atas kasus Joko Soegiarto
Tjandra, sebagaimana dakwaan primair terbukti, tetapi perbuatan itu tidak
merupakan perbuatan pidana sehingga Joko Soegiarto Tjandra dilepas dari segala
tuntutan hukum (onslag van recht verfolgin)”.3
Kekhilafan atau kekeliruan yang nyata MA, karena hanya mempertimbangkan bahwa perbuatan Joko Soegiarto Tjandra dalam kapasitas sebagai pihak dalam perjanjian yang bersifat keperdataan (sebagai Cessionaris) seharusnya juga mempertimbangkan peran Joko Soegiarto Tjandra dalam pencairan klaim PT. Bank Bali yang bersifat melawan hukum. Sifat melawan hukum dari perbuatan Joko Soegiarto Tjandra yang dilakukan adalah
2
Mahkamah Agung, Putusan, Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009, Terpidana Joko Soegiarto Tjandra, h. 99.
3
sama turut serta dengan Syahril Sabirin dan Pande Nasorahona Lubis melakukan tindak pidana korupsi.4
Kejaksaan Agung tanggal 3 September 2008 mengajukan Upaya Hukum
peninjauan kembali kasus Joko Soegiarto Tjandra, dengan Novum (keadaan baru),
tersangka Artalita Suryani diminta bantuan oleh Joko Soegiarto Tjandra untuk
membereskan kasusnya dengan menyuap Jaksa Urip Tri Gunawan.5
Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali,
berkaitan dengan kapasitasnya sebagai pihak yang mewakili negara atau
kepentingan umum, karena dalam proses penyelesaian perkara pidana khusus
yaitu perkara tindak pidana korupsi. Pengajuan upaya hukum peninjauan kembali
bukan untuk kepentingan pribadi Jaksa atau Lembaga Kejaksaan, tetapi untuk
kepentingan umum demi bangsa dan negara, sehingga pemberantasan tindak
pidana korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa.
Dari uraian fakta tersebut mendorong penulis untuk meneliti tentang
peninjauan kembali yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum, dimana
kewenangan Jaksa Penuntut Umum tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, namun dalam prakteknya Mahkamah Agung mengabulkan
upaya hukum peninjauan kembali yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum
tersebut. Penulis mengangkatnya melalui penulisan skripsi dengan judul
kewenangan Jaksa Penuntut Umum dalam pengajuan upaya hukum peninjauan
kembali perkara tindak pidana korupsi (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung
Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 Terpidana Joko Soegiarto Tjandra).
4
Ibid., h. 125. 5
Berdasarkan contoh kasus di atas, Jaksa Penuntut Umum juga berwenang
melakukan upaya hukum peninjauan kembali, karena Pasal 263 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tidak secara tegas melarang Jaksa
Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.
2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan
permasalahan yang muncul adalah :
a. Mengapa Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan
kembali dalam perkara tindak pidana korupsi ?
b. Bagaimana cara membuktikan adanya novum (keadaan baru) dan
kekhilafan hakim ?
c. Apa dasar pertimbangan Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan
kembali Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tindak pidana korupsi ?
3. Tujuan Penelitian
a. Untuk menganalisis mengapa Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya
hukum peninjauan kembali dalam perkara tindak pidana korupsi.
b. Untuk menganalisis bagaimana cara membuktikan adanya novum
(keadaan baru) dan kekhilafan hakim.
c. Untuk menganalisis dasar pertimbangan Mahkamah Agung mengabulkan
upaya hukum peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum dalam
perkara tindak pidana korupsi.
4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan
hukum pidana, khususnya terkait mengenai upaya hukum peninjauan
kembali dalam hukum acara pidana Indonesia.
b. Manfaat Praktis.
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi informasi konkrit bagi usaha
pembaharuan hukum pidana khususnya bagi Jaksa Penuntut Umum,
Hakim, Advokat dan Terpidana ketika mengajukan upaya hukum
peninjauan kembali.
5. Kajian Pustaka
Kegunaan kajian pustaka ini merupakan untuk menjawab sementara
jawaban rumusan masalah yang diteliti.
Sebagaimana telah dikemukakan dalam melaksanakan penelitian masalah (topik) hukum, tidak saja dapat dilakukan dengan penelitian di kepustakaan dan di lapangan, tetapi juga dapat dengan penelitian kepustakaan saja, tanpa melakukan penelitian ke lapangan. dengan kata lain bahwa penelitian ini hanya dengan mengumpulkan data-data sekunder saja tanpa mengumpulkan data-data primer dari anggota masyarakat.6
a. Jaksa Penuntut Umum
Pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dibedakan
pengertian istilah antara Jaksa dan Penuntut Umum. Menurut ketentuan Bab I
tentang Ketentuan Umum Pasal 1 angka 6 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana menegaskan bahwa :
6 Hilmawan Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang- Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Dari batasan tersebut dapat disebutkan bahwa pengertian Jaksa
dihubungkan dengan aspek jabatan sedangkan pengertian Penuntut Umum
berhubungan dengan aspek fungsi dalam melakukan suatu penuntutan dalam
persidangan.7
Dari ketentuan Pasal 1 angka 6 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, dapat disimpulkan, dahwa Jaksa Penuntut Umum secara lengkap adalah
Pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang sebagai penuntut umum serta
melaksanakan penetapan dan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.8
Hak Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum peninjauan
kembali adalah berkaitan dengan kapasitasnya sebagai pihak yang mewakili
negara atau kepentingan umum dalam proses penyelesaian perkara pidana, dimana
pengajuan upaya hukum peninjauan kembali bukan untuk kepentingan pribadi
Jaksa atau Lembaga Kejaksaan, tetapi untuk kepentingan umum demi bangsa dan
negara.
Hukum acara pidana Indonesia tidak mengatur Jaksa Penuntut Umum
dapat mengajukan peninjauan kembali, tetapi tidak melarang Jaksa Penuntut
Umum untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, dasar hukum Jaksa
7
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h. 24. 8
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid I
Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali adalah melalui
penafsiran Peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi yang menjadi acuan
Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali,
penafsiran tersebut terdapat dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
1) Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, bahwa "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau
keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang". Siapa yang dimaksud
dalam "pihak-pihak yang bersangkutan dalam perkara pidana" seperti yang
dimaksud dalam dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah terpidana, ahli waris dan Jaksa
Penuntut Umum.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 tentang Peninjauan
Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Yang Tetap,
serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 tentang Peninjauan
Kembali Putusan yang telah Memperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap, terdapat
ketentuan bahwa yang harus mengajukan permohonan upaya hukum peninjauan
kembali adalah Jaksa Agung, terpidana atau pihak yang berkepentingan.
pemikiran yang terkandung dalam perundang-undangan lama tersebut tetap
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, sehingga permintaan peninjauan kembali dapat
pula diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis berpendapat bahwa Jaksa Penuntut
Umum berhak untuk mengajukan permohonan upaya hukum peninjauan kembali
perkara tindak pidana korupsi atas nama terpidana Joko Soegiarto Tjandra, karena
demi kepentingan umum untuk bangsa dan negara dan juga tindak pidana korupsi
merupakan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime). Dasar kewenangan Jaksa
Penuntut Umum, berdasarkan alasan adanya novum (keadaan baru) dan kekhilafan
hakim serta analisa hukum sebagai pembanding, sehingga menjadi dasar
pertimbangan hakim untuk mengisi kekosongan hukum tersebut dengan
ketentuan-ketentuan yang ada.
b. Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau Jaksa Penuntut Umum untuk tidak
menerima putusan pengadilan, adapun maksud dari upaya hukum itu sendiri pada
pokoknya, adalah untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh hakim yang
sebelumnya, karena adanya kekhilafan dalam memutus perkara,
Adanya upaya hukum, ada jaminan bagi terdakwa maupun masyarakat
bahwa peradilan baik menurut fakta dan hukum adalah benar dan sejauh mungkin
seragam.9
Dengan ini dapat ditarik solusi bahwa upaya hukum (rechtmiddelen) berupa :
1) Terhadap Putusan Pengadilan Negeri (Peradialan Tingkat Pertama) yaitu: a) Perlawanan (Verzet)
b) Banding (Revisi)
9
2) Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi (Peradilan Tingkat Banding) dapat diajukan permohonan Kasasi dan Kasasi Demi Kepentingan Hukum oleh Jaksa Agung.
3) Terhadap Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dapat diajukan peninjauan kembali.10
Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, upaya
hukum peninjauan kembali adalah “Terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan
peninjauan. kembali kepada Mahkamah Agung”.
Upaya hukum peninjauan kembali adalah sarana yang dipergunakan untuk membuka kembali suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan suatu putusan pengadilan yang tetap mempunyai kekuatan hukum tetap harus dilaksanakan untuk menghormati kepastian hukum (rechts zeherheid). Dengan adanya peninjauan kembali, adalah suatu upaya hukum yang dipergunakan untuk menarik kembali atau menolak putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap.11
c. Novum dan Kekhilafan Hakim
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar permohonan peninjauan
kembali, adalah adanya novum (keadaan baru) dan Kekhilafan yang nyata dalam
putusan hakim, yang dituangkan dalam memori peninjauan kembali untuk dapat
dijadikan dasar pertimbangan oleh Mahkamah Agung.
Novum (keadaan baru) adalah alasan atau peristiwa yang baru dikemukakan atau baru muncul kemudian, sesuatu yang baru, hal yang
sebenarnya tidak ada atau tidak pernah dikemukakan.12
Hakim sebagai manusia, sudah barang tentu tidak luput dari kekhilafan,
10
Ibid., h. 224. 11
Osman Simanjuntak, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, Bandung, 1994, h. 214.
12
sepandai-pandainya tupai melompat, sekali-kali akan jatuh juga, demikian bunyi
pepatah, dan pepatah itu berlaku bagi siapa saja yang menyebut dirinya sebagai
manusia, termasuk manusia yang memangku jabatan hakim. Kekhilafan itu bisa
saja terjadi dalam semua tingkat pengadilan.13
d. Putusan Pengadilan
Putusan pengadilan merupakan “akhir” dari proses persidangan pidana untuk tahap awal pemeriksaan di Pengadilan Negeri. Ada 2 (dua) sifat putusan hakim yaitu putusan pemidanaan dan putusan yang bukan pemidanaan dapat berupa putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging)
1) Putusan pemidanaan pada hakikatnya putusan hakim berisikan suatu perintah kepada terdakwa untuk menjalani hukuman atas perbuatan yang dilakukannya sesuai dengan amar putusan.
2) Putusan yang bukan pemidanaan dapat berupa putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging) apabila terdakwa dijatuhkan putusan bebas (vrijspraak), Maka
terdakwa tidak dipidana atau tidak menjalani hukuman, karena hasil pemeriksaan di persidangan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaannya tidak terbukti secara sah menurut hukum.14
Pasal 1 angka 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, putusan
pengadilan adalah “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan
dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
Undang-Undang ini”.
Seorang hakim mempunyai hak membuat peraturan sendiri untuk
menyelessaikan suatu perkara, dengan demikian, apabila Undang-Undang ataupun
kebiasaan tidak memberikan peraturan yang dapat dipakainya untuk
13
M. Yahya Harahap, Op.cit., Jilid II, h. 1207.
14
menyelesaikan perkara itu, maka hakim haruslah membuat peraturan sendiri.15
Keputusan hakim yang berisikan suatu peraturan sendiri berdasarkan
wewenang yang dirikan oleh Pasal 22 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor
Indonesia, yang disingkat A.B. (Ketentuan-ketentuan Umum tentang
Peraturan-perundangan untuk Indonesia).16
e. Mahkamah Agung
Suatu Negara hukum (rechtsstaat) seperti Negara Indonesia, maka hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan merupakan salah satu sendi dasar yang pokok dan utama. ketika seorang hakim sedang menangani perkara, maka diharapkan dapat bertindak arif dan bijaksana, menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran material, bersifat aktif dan dinamis, berlandaskan kepada perangkat hukum positif, melakukan penalaran logis sesuai dan selaras dengan teori dan praktek, sehingga kesemuanya itu bermuara kepada putusan yang akan dijatuhkannya yang dapat dipertanggungjawabkan dari aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi terdakwa, masyarakat dan negara, diri sendiri serta Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.17
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman adalah “Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara
tertinggi dari ke empat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (2)”.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang MA adalah “Mahkamah Agung
adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Tahun 1945”.
Pelaku kekuasaan kehakiman menurut Pasal 24 ayat (1) dan (2)
15
Kansil C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989, h. 49.
16
Ibid., h. 49.
Undang Dasar Tahun 1945 adalah :
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Pasal 24a Undang-Undang Dasar 1945 kewenangan Mahkamah agung
adalah “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
Peraturan perundang-undangan di bawah Undang terhadap
Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
Undang-Undang”.
f. Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara dan
menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, selain itu juga menghambat pertumbuhan dan
kelangsungan pembangunan nasional.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi menyatakan :
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Jadi secara keseluruhan yang dimaksud dengan Kewenangan Jaksa
Penuntut Umum dalam pengajuan upaya hukum peninjauan kembali, adalah Jaksa
yang diberi wewenang oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim putusan dan
mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, karena ditemukannya keadaan
baru (novum) dan adanya kekhilafan hakim menerapkan hukumnya dalam perkara
tindak pidana korupsi, karena sangat merugikan keuangan negara dan
menghambat pembangunan nasional, yang mana permintaan peninjauan kembali
kepada pengadilan negara tertinggi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
yaitu Mahkamah Agung.
6. Metode Penelitian
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa ilmu pengetahuan itu harus dapat diuji kebenarannya, untuk dapat membuktikan kebenaran ilmiah dari penelitian yang dilaksanakan. Masalah yang akan diteliti ruang lingkupnya dibidang hukum, yaitu hukum sebagai aturan hidup manusia untuk dapat mewujudkan ketertiban dan keadilan. Sebagai aturan hidup manusia hukum itu bersifat Normaif, yang terdiri dari norma-norma (kaidah-kaidah, patokan,ketentuan) yang tertulis dalam bentuk Perundang-undangan dan yang tidak tertulis dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan berperilaku yang tetap dalam bentuk hukum adat yang hidup dalam masyarakat.18
a. Tipe dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan tipe studi kasus (case study) yang merupakan
pendekatan yang bertujuan mempertahankan keutuhan dari gejala yang diteliti
18
supaya dapat mengembangkan pengetahuan yang sangat mendalam,19 tentang
Putusan Mahkamah agung Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 Terpidana Joko Soegiarto
Tjandra. Penelitian ini menggunakan jenis normatif, yaitu yang mencakup kajian
pokok adalah azas-azas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi (penyesuaian)
hukum dan perbandiangan hukum atau sejarah hukum yang menyangkut materi
hukum pidana, maka pendekatan normatifnya dengan membaca, mempelajari dan
menguraikan tentang norma-norma, pasal-pasal perundangan, pendapat para ahli
dibidang hukum pidana,20 yang mengatur tentang upaya hukum peninjauan
kembali yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum.
b. Sumber Data
Penelitian masalah ini dari Sumber data sekunder yaitu data-data yang
diperoleh dari penelitian kepustakaan dan hasil dokumentasi penelitian orang lain
dalam bentuk buku-buku ilmu hukum.21 bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini adalah :
1) Bahan Hukum Primer,yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat secara umum (Perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan
mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan (seperti : kontrak, konvensi,
dokumen hukum)”.22 Bahan penelitian ini terdiri dari beberapa
Perundang-undangan :
a) Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
19 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1984,
h. 16.
20 Hilmawan Hadikusuma,Op.cit., h. 60.
21 Ibid.,, h. 65.
22 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
b) Peraturan Perundang-undangan, yaitu Undang-undang.
Berdasarkan teori diatas, maka Bahan hukum primer yang peneliti
gunakan adalah :
a) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
b) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
c) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
d) Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 Tentang Kejaksaan
e) Undang-undang Nomor 3 tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer.23 sepeti :
a) Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 Terpidana Joko
Soegiarto Tjandra).
b) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 tentang
peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang
tetap
3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
23
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.24
(seperti : kamus hukum).
c. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data
1) Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang terkait dengan pokok permasalahan
menggunakan jenis normatif, untuk menganalisis data ini adalah studi
dokumen/ bahan pustaka,25 dengan cara mempelajari buku-buku,
Undang-Undang, yang terkait dengan upaya hukum peninjauan kembali.
2) Pengolahan Data
Setelah semua data yang sudah terkumpul masih berupa bahan mentah,
maka pengolahan data dengan metode editing, yaitu memeriksa atau
membetulkan data agar dapat dipertanggungjawabkan, seperti ‘apakah jawaban
salah / benar’.26
d. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh berupa data sekunder, penyajian data dilakukan
dengan menganalisanya, dilakukan secara metode kwalitatif dan deskriptif yaitu
suatu metode memfokuskan pada suatu pemecahan masalah yang ada,
menafsirkan dan menguraikan permasalahan, kemudian mengkaji dan menguji
teori-teori yang ada.27
7. Sistematika Penulisan
24 Ibid.,h. 82.
25 Indrati Rini, Hand Out, Metode Penelitian Hukum, Pengunaan Metode Pengumpulan
Data, Universitas Pembangunan Nasional. 26
Ibid., Pengolahan dan Penyajian Data.
Penulisan skripsi ini dibagi dalam 5 (lima) bab. Sebagai awal penulisan,
pendahuluan merupakan bagian yang berusaha memaparkan latar belakang
masalah yang menjadi kajian. Selain itu dalam bab I juga diuraikan tentang
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode
penelitian serta sistematika penulisan, semua pembahasan dalam bab ini
dimaksudkan sebagai usaha untuk menerangkan permasalahan yang akan dikaji
dan dibahas secara sistematik dan terarah mengenai upaya hukum peninjauan
kembali.
Bab II tentang penyebab Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum
peninjauan kembali dalam perkara tindak pidana korupsi, dalam bab ini akan
dibahas, faktor adanaya novum (keadaan baru), faktor adanya kekhilafan hakim
serta analisa Jaksa Penuntut Umum, dari bab ini dapat diperoleh gambaran apa
yang menjadi dasar kewenagan Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan upaya
hukum peninjauan kembali perkara tindak pidana korupsi.
Bab III tentang cara pembuktian adanya novum (keadaan baru) dan
kekhilafan hakim, dalam bab ini akan dibahas cara penafsiran formal adanya
novum (keadaan baru) dan kekhilafan hakim, dari bab ini dapat diperoleh gambaran, alasan Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan
kembali, karena terdapat novum (keadaan baru) dan adanya kekhilafan hakim
dalam perkara tindak pidana korupsi.
Bab IV tentang dasar pertimbangan Mahkamah Agung mengabulkan
upaya hukum peninjauan kembali Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tindak
pendapat ahli, dasar pembelaan advokat, dasar Jaksa Penuntut Umum, sehingga
dapat diperoleh gambaran apa dasar pertimbangan Mahkamah Agung
mengabulkan pengajuan upaya hukum peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut
Umum.
Sebagai bagian akhir dari penulisan skripsi ini, Bab V merupakan penutup
yang memberikan kesimpulan dan saran atau rekomendasi yang sesuai dengan
BAB II
PENYEBAB JAKSA PENUNTUT UMUM
MENGAJUKAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
Alasan-alasan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut
Umum, adalah kapasitasnya sebagai mewakili negara dan kepentingan umum,
bahwa putusan Mahkamah Agung nomor 1688 K/PID/2000 tanggal 28 Juni 2001,
kasus Joko Soegiarto Tjandra, amar putusannya menolak permohonan kasasi dari
pemohon kasasi, Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta.
Tanggal 1 September 2008 Jaksa Penuntut Umum 2008 mengajukan upaya
hukum peninjauan kembali, memohon agar putusan Mahkamah Agung tersebut
dapat ditinjau kembali, bahwa terdapat (novum) keadaan baru dan adanya
kekhilafan hakim.
1. Faktor Adanya Novum
Novum (keadaan baru) yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa apabila keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan
berupa putusan pemidanaan. Keadaan baru (novum) yang dimaksud adalah :
a. Putusan Mahkamah Agung Nomor 21/PK/TUN/2003 tanggal 6 Oktober 2004 yang amarnya menyatakan :
Menolak Permohonan Peninjauan Kembali dari Drs.Setya Novanto dengan salah satu pertimbangannya menyatakan, bahwa keberatan ini tidak dapat dibenarkan, karena pembatalan perjanjian pengalihan (cessie) tagihan No.002/ PEGP/I-99 tanggal 11 Januari 1999 merupakan masalah perdata, seharusnya permasalahan yang berkaitan dengan surat keputusan BPPN No.SK.423/BPPN/1999 tanggal 15 Oktober 1999 diselesaikan terlebih dahulu ke peradilan umum/perdata.28
Dengan adanya putusan Mahkamah Agung dalam perkara peninjauan
28
Mahkamah Agung, Op.cit., h. 98
kembali Tata Usaha Negara tersebut, maka masalah sah atau tidaknya pembatalan
Cessie oleh BPPN harus diselesaikan melalui peradilan umum/perdata.
b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 59 PK/Pdt/2006 tanggal 29 Mei 2007 yang
amarnya “menolak permohonan peninjauan kembali dari PT.Era Giat Prima
dengan salah satu pertimbangannya menyatakan :
1) bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan,oleh karena alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon PK tidak cukup beralasan karena pertimbangan-pertimbangan putusan kasasi sudah benar dan tepat tidak
terdapat kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
2) bahwa berdasarkan keputusan Gubernur Bank Indonesia Nomor 1/14/Kep.DP.S/1999 tanggal 23 Juli 1999, Tergugat/Termohon PK I (PT.Bank Bali Tbk) telah diserahkan kepada BPPN untuk dilakukan program penyehatan.
3) bahwa dalam melaksanakan program penyehatan tersebut dan sesuai dengan kewenangannya seperti yang diatur dalam pasal 37 A ayat (3) huruf d Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 jounto pasal 19 PP. Nomor 17 Tahun 1999, BPPN pada tanggal 15 Oktober 1999 Nomor SK/423/BPPN/1999 telah membatalkan Perjanjian Pengalihan/ Cessie Nomor 002/P-EGP/I-99 tanggal 11 Januari 1999.
4) bahwa putusan TUN Nomor 148/G.TUN/1999/PT.TUN Jakarta tanggal 2 Maret 2004 (yang membatalkan SK.BPPN Nomor SK.423/BPPN/1999) yang dijadikan dasar dari Judex Facti untuk mengesahkan Perjanjian cessie dan perjanjian-perjanjian lainnya telah dibatalkan oleh MA dalam putusannya Nomor 447 K/TUN/2000 tanggal 4 Maret 2002.
5) bahwa dengan adanya putusan MA tersebut diatas maka BPPN berwenang untuk membatalkan cessie antara PT. Bank Bali,Tbk dan PT. Era Giat Prima maka dengan sendirinya perjanjian cessie tersebut adalah batal dan tidak sah karena telah dibatalkan dengan SK Ketua BPPN Nomor SK/423/BPPN/1999.29
dengan demikian apabila putusan Mahkamah Agung dalam perkara
peninjauan kembali Nomor 59 PK/Pdt/2006 yang menyatakan bahwa cessie antara
PT.Bank Bali,Tbk dan PT. Era Giat Prima adalah batal, dan tidak sah, telah
diketahui pada saat proses persidangan oleh Judex Juris perkara atas nama
29
terdakwa Joko Soegiarto Tjandra. Unsur melawan hukum dalam putusan perkara
tersebut seharusnya terbukti dan dinyatakan bersalah serta dihukum, bukan
diputus lepas dari segala tuntutan.
2. Faktor Kekhilafan Hakim
Peninjauan kembali yang diajukan Jaksa Penuntut Umum bertalian dengan
dasar diajukan permohonan peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam Pasal
263 ayat (2) huruf c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu putusan
itu jelas memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim yang nyata, dapat dibenarkan
berdasarkan pertimbangan dan alasan-alasan dalam putusan Nomor
12/PK/Pid.Sus/2009 sebagai berikut:
a) Salah dalam penafsiran unsur Melawan Hukum
Judex Juris (Mahkamah Agung tingkat kasasi) yang mengambil alih
pertimbangan Judex Factie (pengadilan umum tingkat pertama) mengenai unsur "melawan hukum" yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan.
Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut merupakan suatu kekhilafan atau suatu kekeliruan yang nyata karena hanya melihat peran Joko Soegiarto Tjandra sebatas pembuatan Akta Cessie, seharusnya juga mempertimbangkan peran Joko Soegiarto Tjandra dalam memfasilitasi pertemuan antara pejabat-pejabat moneter dalam membahas klaim PT. Bank Bali,Tbk dan adanya perbuatan Joko Soegiarto Tjandra/ PT.EGP yang menguasakan kembali hak menagih kepada PT. Bank Bali.30
b) Unsur yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, pertimbangan Judex Juris, menyatakan bahwa tentang kerugian keuangan negara telah dipertimbangkan oleh Judex Factie dengan benar.
Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut merupakan suatu kekhilafan atau kekeliruan yang nyata karena hanya mempertimbangkan bahwa uang sebesar Rp. 904.462.428.369,- adalah hak PT.Bank Bali,Tbk karena adanya transaksi antara PT.Bank Bali.Tbk dengan PT.BDNI, seharusnya
30
mempertimbangkan apakah transaksi tersebut dijamin oleh Pemerintah sesuai aturan yang ada.31
c) Unsur perbuatan turut serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dihukum sebagai orang yang melakukan tindak pidana
Judex Juris dalam pertimbangannya menyatakan :
"Judex Factie tidak salah menafsirkan pengertian turut serta,karena Judex Facti telah mempertimbangkan peranan terdakwa dan yang terungkap dalam persidangan terdakwa hanya melakukan cessie dengan Bank Bali".
Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut diatas merupakan suatu kekhilafan atau kekeliruan yang nyata karena hanya mempertimbangkan bahwa untuk terjadinya "turut serta" seorang pelaku harus melakukan semua unsur delik dan harus ada "pelaku pokok" seharusnya mempertimbangkan doktrin ataupun yurisprudensi lain tentang ajaran "turut serta".32
d) Unsur perbuatan berlanjut sebagaimana dalam Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pertimbangan Judex Factie pada menyatakan : Bahwa beberapa perbuatan yang satu sama lain ada hubungannya yaitu agar dikwalifisir sebagai suatu perbuatan yang diteruskan dalam praktek peradilan harus memenuhi syarat-syarat :
1) Harus timbul dari satu niat, kehendak atau keputusan atau harus ada kesatuan tekad.
2) Perbuatan harus serupa atau sejenis.
3) Angka waktu diantara terjadinya perbuatan tidak boleh terlalu lama.
Menurut Judex Factie perbuatan terdakwa sudah memenuhi unsur tersebut, namun tidak ditemukan unsur sifat "melawan hukum" atas perbuatan terdakwa baik materiil maupun formil.
Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut diatas merupakan suatu kekhilafan atau kekeliruan yang nyata karena hanya mempertimbangkan bahwa perbuatan Joko Soegiarto Tjandra dalam kapasitas sebagai pihak dalam perjanjian yang bersifat keperdataan (sebagai Cessionaris) seharusnya juga mempertimbangkan peran Joko Soegiarto Tjandra dalam pencairan klaim PT. Bank Bali yang bersifat melawan hukum, Bahwa sifat melawan hukum dari perbuatan Joko Soegiarto Tjandra yang dilakukan bersama-sama dengan Syahril Sabirin dan Pande Nasorahona Lubis.33
3. Analisa Jaksa Penuntut Umum
Analisa Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan
kembali dalam tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut :
Menurut konsideran Undang-Undang nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa tindak pidana korupsi sangat
merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional, juga di
dalam konsideran Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan bahwa
tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara dan menghambat
pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, Akibat tindak pidana korupsi selain merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan
pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.
Persoalan korupsi bukan hanya semata-mata untuk keadilan dan kepastian
hukum, karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga
tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat secara luas serta membawa dampak negatif bagi negara dan
kehidupan masyarakat, diantaranya menghambat pembangunan ekonomi maupun
pembangunan secara umum sehingga pemberantasan tindak pidana korupsi perlu
Kepentingan masyarakat umum merupakan kepentingan negara yang
dalam bidang penegakan hukum. Kejaksaan selaku lembaga pemerintah yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan mempunyai peran
BAB III
CARA PEMBUKTIAN ADANYA NOVUM DAN KEKHILAFAN HAKIM
Penafsiran Mahkamah Agung atas alasan Jaksa Penuntut Umum
mengajukan permohonan peninjauan kembali, dengan alasan bahwa perkara
tindak pidana korupsi atas nama terpidana Joko Soegiarto Tjandra, adalah terdapat
novum (keadaan baru) dan adanya kekhilafan atau kekeliruan hakim di MA, uraian penafsiran sebagai berikut :
1. Cara Penafsiran Formal Adanya Novum
Alasan Jaksa Penuntut Umum mengajukan novum (keadaan baru) dapat dibenarkan karena tentang sah atau tidaknya suatu perjanjian “pembatalan perjanjian pengalihan tagihan (cessie) nomor : 002/P-EGP/I-99 tanggal 11 Januari 1999 “ adalah wewenang dari peradilan perdata, namun pada kasus a quo yang menjadi dasar sah atau tidaknya merupakan putusan Tata Usaha Negara, yang semestinya secara absolut tidak berwenang untuk menyatakan sahnya suatu perjanjian yang mengikat para pihak;
a) Berdasarkan wewenang yang dimiliki oleh BPPN sebagai lembaga pemberesan mewakili pemerintah dalam penyelesaian bank-bank BBKU maupun BBKO, berdasarkan suratnya nomor : SK/423/BPPN/1999 telah membatalkan perjanjian cessie antara PT Bank Bali dengan PT. Era Giat Prima dan dengan batalnya perjanjian itu semestinya BPPN tidak perlu melakukan pembayaran atas tagihan dimaksud, namun karena adanya intervensi dari pihak-pihak yang mempunyai otoritas pencairan tagihan itu terjadi, sehingga pencairan itu bertentangan dengan ketentuan Kepres 26 tahun 1998 dan BPPN sendiri telah pernah pula menolak permohonan klaim dimaksud
b) Bahwa ternyata secara sadar terdakwa bersama sama dengan Pande Nasorahona Lubis, Syahril Sabirin, Setyo Novanto dan yang lain lain berupaya untuk mewujudkan agar perjanjian cessie antara PT Bank Bali dengan PT. EGP yang bersumber dari transaksi Swap dan Money Market antara PT. BDNI dengan PT Bank Bali yang telah dibatalkan BPPN sebagai transaksi yang dijamin dalam Kepres 26 tahun 1998 dan atas upaya-upaya yang dilakukan dengan mempengaruhi para pemegang otoritas maupun bersama sama dengan pemegang otoritas terwujud dengan diproses dan dibayarkannya tagihan
dimaksud.34
2. Cara Penafsiran Kekhilafan Hakim
Judex Juris yang mengambil alih pertimbangan Judex Factie mengenai unsur "melawan hukum" yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan
sebagai berikut adalah pertimbangan Judex Juris mengenai transaksi PT. BDNI
dan PT. Bank Bali Tbk., menyatakan "bahwa transaksi SWAP dan money market,
antara PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI tidak bertentangan dengan ketentuan
perundang-undangan perbankan karena itu apa yang telah dipertimbangkan Judex
Factie sudah tepat dan benar"
a) Bahwa dalam proses, transaksi SWAP dan money market oleh PT. Bank Bali,Tbk dalam hubungannya dengan Bank BDNI adalah tidak melawan hukum". "bahwa transaksi SWAP dan money market yang dilakukan antara PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI (sebelum BBO) telah dicatat dalam pembukuan dan telah didokumenkan PT. Bank Bali,Tbk, tidak pernah adanya teguran dari Bank Indonesia baik secara lisan maupun tertulis serta telah dilakukannya verifikasi on site ternyata tidak ditemukan ketidakwajaran dan ketidakbenaran dalam transaksi antara PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI sehingga tidak melanggar asas demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian serta tidak melanggar tingkat kesehatan bank sebagaimana diatur dalam Pasal 2 jo Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang nomor 7 Tahun 1992 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan".
b) Pertimbangan Judex Factie tersebut adalah keliru dan merupakan kekhilafan yang nyata karena hanya mempertimbangkan verifikasi on site yang dilaksanakan hanya terhadap PT. Bank Bali,Tbk. ( Bank kreditur) tanpa melakukan verifikasi on site terhadap PT. BDNI (Bank Debitur), seharusnya verifikasi on site dilakukan terhadap bank kreditur dan bank debitur.
c) Berdasarkan rapat antara Direksi Bank Indonesia dan BPPN (Risalah Rapat Direksi Nomor 31.00.08 tanggal 24 September 1998), ditentukan bahwa dalam proses penjaminan yaitu dari klaim yang masuk akan dilakukan verifikasi oleh Bank Indonesia kemudian apabila klaim tersebut dapat diterima maka akan diberitahukan kepada BPPN untuk mendapatkan otorisasi pembayaran.
d) Bahwa rekonsiliasi antara PT. Bank Bali dan PT. BDNI yang dilakukan oleh BPPN bukanlah dalam pengertian verifikasi on site seperti yang dimaksud
34
dalam program penjaminan ini, sehingga seharusnya BPPN tidak perlu membayar klaim PT. Bank Bali,Tbk tersebut.
e) Bahwa yang dimaksud oleh verifikasi on site adalah melakukan penelitian terhadap saldo giro bank, fasilitas over draft, BLBI yang diterima dari Bank Indonesia yang dilakukan terhadap bank debitur.
f) Apabila verifikasi on site tersebut dilakukan juga terhadap PT. BDNI maka akan diketahui bahwa kondisi keuangan PT. BDNI pada tanggal 27 September 2007 dalam keadaan overdraft senilai Rp.1,7 triyun lebih, bahkan pada akhir Desember mencapai Rp.8,4 triyun lebih, sehingga sebenarnya transaksi (8 transaksi SWAP dan 2 transaksi money market) antara PT. BDNI dengan PT. Bank Bali, Tbk., sudah melanggar prinsip kehati-hatian bank (prudential principle) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Jo Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang diubah dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
g) Sesuai dengan "prinsip kehati-hatian" dalam usaha perbankan seharusnya PT. BDNI dalam menjalankan usahanya seharusnya memperhatikan rambu-rambu kesehatan bank dalam rangka pengendalian risiko. Prinsip kehati-hatian seperti yang ditentukan di dalam Pasal 2 Undang-Undang Perbankan dijabarkan di dalam patokan-patokan yang bersifat operasional. Salah satu rambu prinsip kehati-hatian adalah Giro Wajib Minimum yang diatur dalam Surat Keputusan Direksi BI Nomor : 30/89A/ KEP/DIR tanggal 30 Oktober 1997. Prosentase Giro Wajib Minimum di Bank Indonesia dalam rupiah ditetapkan sebesar 5% dari dana pihak ketiga dalam rupiah.
h. Berdasarkan data dari Bank Indonesia saldo giro PT. BDNI yang ada di Bank Indonesia pada tanggal 27 November 1997 telah over draft sebesar Rp.1.715.690.000.000,- dan pada tanggal 30 Desember 1997 telah over draft sebesar Rp.8.463.711.000.000,-, dan hal ini pernah dilakukan teguran oleh Bank Indonesia kepada PT. BDNI yaitu :
1. Nomor 30/301/UPB2/AdB2 tanggal 3 November 1997 2. Nomor 30/1742/UPB2/AdB2 tanggal 11 November 1997 3. Nomor 30/2166/UPB2/AdB2 tanggal 2 Desember 1997 4. Nomor 30/2540/UPB2/AdB2 tanggal 31 Desember 1997
sehingga PT. BDNI tidak sepatutnya melakukan transaksi SWAP dan money market dengan PT. Bank Bali. Tbk.
i. Bahwa berdasarkan pada uraian uraian tersebut, dapat disimpulkan telah terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa bersama sama dengan Syahril Sabirin maupun Pande N. Lubis.35
Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa telah terbukti
dan mengambil alih pertimbangan yudex factie (Pengadilan Negeri Jakarta
35
Selatan) ternyata apa yang telah dilakukan oleh terdakwa dengan cara pencairan
dana talangan berdasarkan Kepres 26 tahun 1998, bendaharawan negara telah
membayarkan uang atas klaim transaksi Swap dan Money Market dari Bank Bali
sebesar Rp. 904.462.428.369,- dan uang mana semestinya tidak dapat dibayarkan,
sehingga atas pembayaran itu telah merugikan keuangan negara sebasar Rp.
904.462.428.369,- yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi
perekonomian negara yang sedang berusaha untuk memulihkan krisis moneter,
dan oleh karenanya atas barang bukti yang telah disita dan saat ini tersimpan
dalam Escrow Acount Bank Bali pada rekening nomor 0999.045197 sejumlah
Rp.546.468.544.738 (lima ratus empat puluh enam milyar empat ratus enam puluh
delapan juta lima ratus empat puluh empat ribu tujuh ratus tiga puluh delapan
rupiah) haruslah dirampas untuk dikembalikan pada negara.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut majelis Mahkamah
Agung berpendapat permohonan peninjauan kembali Jaksa Penuntut Umum dapat
BAB IV
DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG MENGABULKAN PENINJAUAN KEMBALI JAKSA PENUNTUT UMUM
DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
1. Dasar Materiil
Upaya hukum peninjauan kembali diatur dalam Bab XVII bagian kedua
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, bukan ketentuan baru dalam sistem
hukum acara pidana. Pengaturan peninjauan kembali secara jelas dan tegas,
dimulai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 tentang
peninjauan kembali Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap
sebagai awal yurisprudensi oleh kasus Sengkon dan Karta, ditinjau dari sejarah
hukumnya lembaga peninjauan kembali ini sudah diatur sejak era Reglement of de
Straf Vordering Tahun 1926, dengan demikian ketentuan yang telah dirumuskan dalam Peraturan Mahkamah Agung ataupun dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana sekarang ini merupakan aturan yang ditransfer dari Sv.
Sv adalah hukum acara pidana yang diberlakukan pada masa Hindia Belanda. Di dalamnya terdapat ketentuan yang mengatur tentang peninjauan
kembali, antara lain sebagai berikut :
a. Pasal 536 menyatakan :
Permohonan peninjauan kembali atas suatu putusan akhir yang telah berkekuatan hukum tetap, yang berisi pemidanaan, dapat diajukan:
1) atas dasar kenyataan bahwa dalam berbagai putusan terdapat pernyataan yang telah dinyatakan terbukti ternyata bertentangan satu dengan yang lainnya.
2) Atas dasar keadaan yang pada waktu pemeriksaan di pengadilan tidak diketahui dan tidak mungkin diketahui, baik berdiri sendiri maupun sehubungan dengan bukti-bukti yang telah diajukan. Dan apabila keadaan itu diketahui, pemeriksaan akan berupa putusan bebas, putusan lepas dari
segala tuntutan hukum, tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu ditetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Alasan-alasan tersebut dapat diajukan dalam suatu permohonan peninjauan kembali apabila dalam suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap suatu perbutan yang telah didakwakan telah dinyatakan terbukti, tetapi tidak diikuti suatu pemidanaan.
b. Pasal 357 menyatakan “peninjauan kembali diajukan ke Mahkamah Agung
oleh Jaksa Agung atau suatu permohonan oleh seorang terpidana yang
terhadapnya dijatuhi hukuman yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap dengan melalui kuasa yang khusus diberi kuasa untuk itu atau oleh
pengacaranya”.
Berdasarkan hal-hal tersebut, dalam Sv, hanya disebutkan dua alasan
dalam mengajukan peninjauan kembali yaitu kekhilafan hakim dan kekeliruan
yang nyata tidak dicantumkan sebagai salah satu dasar alasan pengajuan
peninjauan kembali seperti yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, selain itu dalam Sv juga menyebutkan secara eksplisit mengenai pihak
yang dapat mengajukan peninjauan kembali adalah Jaksa Penuntut Umum (Jaksa
Agung), dan terpidana atau orang yang diberi kuasa khusus untuk itu atau melalui
pengacaranya.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 tentang peninjauan
kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan yang tetap, yaitu :
a. Pasal 3 menyatakan :
Mahkamah Agung dapat meninjau kembali atau memerintahkan ditinjau kembali suatu putusan pidana yang tidak mengandung pembebasan dari semua tuduhan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, atas dasar :
1) Apabila putusan dengan jelas memperlihatkan kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang mencolok,
3) Apabila terdapat keadaan baru sehingga menimbulkan pertimbangan mendalam bahwa apabila keadaan-keadaan itu diketahui waktu siding masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana, melepaskan dari segala tuntutan atas dasar bahwa perbuatan yang dituduhkan itu tidak merupakan tindak pidana, tidak dapat diterimanya perkara yang diajukan oleh jaksa kepada pengadilan, atau penerapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebuih ringan,
4) Apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang dituduhkan telah dinyatakan terbukti, akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan terbukti itu diikuti oleh suatu pemidanaan.
b. Pasal 4 ayat (1) menyatakan :
Permohonan Peninjauan Kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh :
1) Terpidana
2) Pihak yang berkepentingan 3) Jaksa Agung.
Ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969, terdapat
tambahan mengenai alasan dalam mengajukan peninjauan kembali yang
sebelumnya tidak terdapat dalam Sv, yaitu apabila putusan tersebut dengan jelas
memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan, dasar alasan yang
terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 tersebut hampir
mirip dengan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
hanya terdapat sedikit perbedaan mengenai bunyi atau kalimatnya, yaitu dalam
Peraturan Mahkamah Agung berbunyi :
kekhilafan hakim yang mencolok sedangkan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana berbunyi, kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. Jadi
jelaslah bahwa pengertian antara menyolok dan nyata sangat berbeda dimana hal
tersebut hanya dapat ditafsirkan oleh hakim dalam memberikan putusannya,36
mengenai pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali dalam Peraturan
36
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 mengambil alih dari Pasal 357 Sv, yaitu
selain terpidana juga dicantumkan Jaksa Penuntut Umum dan pihak yang
berkepentingan sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan peninjauan
kembali, kemudian Peraturan Mahkamah Agung ini dicabut oleh Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1971.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 tentang peninjauan
kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
a. Pasal 9 menyatakan :
1) Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang mengandung pemidanaan yang telah berkekuatan hukum yang tetap
(a) apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan- keadaan yang dinyatakan terbukti, akan tetapi ternyata satu sama lain bertentangan.
(b) apabila terdapat suatu keadan sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat bahwa apabila keadaan itu diketahui pada waktu sidang berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar bahwa perbuatan yang dituduhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak diterimanya tuntutan jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau penerapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan.
2) Atas dasar alasan yang sama Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang menyatakan suatu perbuatan yang dituduhkan sebagai bukti, akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan terbukti itu diikuti oleh suatu pemidanaan.
b. Pasal 10 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung 1 Tahun 1980 sama bunyinya
dengan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969
yang mengatur tentang siapa saja yang berhak mengajukan peninjauan kembali,
hanya beda tata urutannya. yakni sebagai berikut :
1) Jaksa Agung, ( Jaksa Agung memberikan instruksi kepada Jaksa Penuntut
2) Terpidana, atau ahli warinya, dan
3) Pihak yang berkepentingan (Intervensi)
Ketentuan yang mengatur dasar alasan pengajuan peninjauan kembali
dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 hampir sama dengan
dasar alasan yang terdapat dalam Sv, yaitu tidak dicantumkannya kakhilafan
hakim dan kekeliruan yang nyata sebagai salah satu dasar alasan pengajuan
peninjauan kembali, hal tersebut menjadi pertanyaan para ahli hukum, mengapa
justru pada saat dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
1980 hal tersebut tidak dicantumkan, padahal pada saat itu sedang
hangat-hangatnya kasus Sengkon dan Karta yang mana putusan-putusan yang dinilai
sebagai kekhilafan hakim yang nyata memerlukan peninjauan kembali.
Pola pikir yang menghilangkan kakhilafan hakim atau kekeliruan yang
nyata untuk dijadikan dasar peninjauan kembali dianggap oleh sebagian kalangan
ahli hukum sebagai suatu pola pikir yang mundur ke masa Sv, Dengan kata lain
seolah-olah para hakim adalah manusia yang tanpa cacat dan tidak dapat diganggu
gugat karena kesalahan yang dilakukannya didalam tugas menjalankan peradilan,
padahal pencantuman dasar alasan tersebut sangat diperlukan melihat banyaknya
putusan-putusan pengadilan yang dirasakan oleh para pencari keadilan sebagai
suatu kekhilafan atau kekeliruan.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 21 Menyatakan : “Apabila terdapat hal-hal
atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan Undang-undang, terhadap putusan
Pengadilan, yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung,dalam perkara perdata dan pidana
oleh pihak-pihak yang berkepentingan.” Sedangkan Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan dalam Pasal 23 ayat (1),
Menyatakan : “Terhadap putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap,
pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan
dalam undang-undang.”
Jadi dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, para pihak
yang dapat mengajukan upaya peninjauan kembali adalah para pihak yang
bersangkutan, dalam hal ini untuk kasus tindak pidana korupsi Majelis Mahkamah
Agung menafsirkan para pihak yang bersangkutan adalah terpidana atau ahli
warisnya dan Jaksa Penuntut Umum.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, penjelasan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengenai
pihak-pihak dan syarat-syarat pengajuan peninjauan kembali diatur dalam Bab
XVIII bagian ke II, antara sebagai berikut :
a. Pasal 263 ayat (1) menyatakan “Terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hokum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan
b. Pasal 263 ayat (2) menyatakan :
1) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika dugaan itu sudah diketahui pada waktu siding masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hokum atau tuntutan dari penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
2) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alas an putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.
3) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkana suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
c. Pasal 263 ayat (3) menyatakan “Terhadap suatu putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan peninjauan kembali apabila
dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti,
akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidaan.”
Ketentuan mengenai dasar alasan dalam pengajuan peninjauan kembali
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kembali mencantumkan
kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata, yaitu dalam Pasal 263 ayat (2)
butir c, seperti dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 tentang
peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan yang
tetap.
Guna memelihara konsistensi dan keseragaman hukum maka terdapat
beberapa putusan Mahkamah Agung (yurisprudensi) tentang permintaan
peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum diterima oleh
Mahkamah Agung yaitu :
a. Putusan Mahkamah Agung nomor 55 PK/Pid/1996 tanggal 25 Oktober 1996
nama terpidana Dr. Muchtar Pahpahan, SH, MM, di mana dalam
pertimbangannya menyatakan:
“Dalam menghadapi problema yuridis Hukum Acara Pidana ini, di mana tidak diatur secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, maka Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara ini berkeinginan menciptakan Hukum Acara Pidana sendiri, guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali dalam perkara pidana”.
b. Putusan Mahkamah Agung nomor 15 PK/Pid/2006 tanggal 19 Juni 2006
tentang peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara atas
nama terpidana Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih, dalam
pertimbangannya menyatakan:
“Bahwa dalam hubungan dengan permintaan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung mengenai tujuan hukum akan mengikuti Redburch yang menggunakan ‘asas prioritas’ di mana prioritas pertama selalu ‘keadilan’, barulah ‘kemanfaatan’, dan terakhir barulah ‘kepastian’ sehingga karena itu Mahkamah Agung dalam mengisi kekosongan hukum acara pidana tentang masalah peninjauan kembali putusan perkara pidana yang ternyata ada hal-hal yang belum diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan cara membentuk hukum acara sendiri demi untuk keadilan, kemanfaatan dan baru kepastian hukum”.
c. Putusan Mahkamah Agung nomor 3 PK/Pid/2000 tanggal 2 Agustus 2001
tentang peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara Ram
Gulumal al. V. Ram. Berkenaan dengan kewenangan Kejaksaan dalam
mengajukan peninjauan kembali, putusan ini memberikan pertimbangannya
sebagai berikut :
2) Pasal 263 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, juga tidak mungkin dimanfaatkan bagi terpidana atau ahli warisnya, sebab cenderung akan merugikan yang bersangkutan, sehingga logis apabila Jaksa Penuntut Umum diberikan hak untuk peninjauan kembali melalui Pasal ini. (Pernah diatur dalam Reglemen op de Rechtvordering & Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980, bahwa Jaksa Agung dapat mengajukan peninjauan kembali). Mahkamah Agung dalam pertimbangannya, bahwa permohonan upaya
hukum peninjauan kembali Jaksa Penuntut Umum dikabulkan dan Terdakwa
dinyatakan bersalah serta dijatuhi pidana, maka biaya perkara pada semua tingkat
peradilan dibebankan kepada terdakwa.
2. Dasar Pendapat Ahli
Upaya hukum peninjauan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum
dalam perkara tindak pidana korupsi oleh terdakwa Joko Soegiarto Tjandra yang
dikabulkan oleh Mahkamah Agung melalui Putusannya nomor 12
PK/Pid.Sus/2009 menimbulkan banyak kontroversi dikalangan ahli hukum di
Indonesia. Para ahli hukum sebagaian tidak sependapat apabila Mahkamah Agung
mengabulkan peninjauan kembali yang permohonannya diajukan oleh Jaksa
Penuntut Umum, mereka berpendapat bahwa apa yang diputuskan oleh
Mahkamah Agung tersebut bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, karena dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana Pasal 263 ayat (1) secara tegas disebutkan bahwa yang
berhak mengajukan peninjauan kembali adalah terpidana dan ahli warisnya.
Mereka berargumen bahwa pasal ini bersifat limitatif, artinya pihak-pihak
diluar yang disebutkan Pasal itu (termasuk Jaksa Penuntut Umum) tidak dapat
mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, diantara yang berpendapat seperti
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pihak-pihak yang dapat mengajukan
peninjauan kembali hanyalah terpidana atau ahli warisnya, sedangkan Jaksa
Penuntut Umum atau pihak yang berkepentingan tidak termasuk dalam pihak
yang dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung,37 pendapat ini seolah menguatkan pendapat Martiman Prodjohamidjojo
yang berpendapat bahwa Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
membuka kemungkinan bagi terpidana atau ahli warisnya mengajukan upaya
peninjauan kembali terhadap suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
kepada Mahkamah Agung.38
Kedua pendapat para ahli tersebut, menyatakan bahwa putusan Mahkamah
Agung yang mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh
Jaksa Penuntut Umum tidaklah bertentangan dengan ketentuan
perundang-undangan. Pendapat ini menggunakan argumentasi sebagai berikut:
a. Bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tidak ada aturan
yang melarang bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak diperbolehkan untuk
mengajukan peninjauan kembali, sehingga putusan Mahkamah Agung yang
mengabulkan permohonan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum
tidak bertentangan dengan aturan manapun yang ada, bahkan Mahkamah
Agung berhak untuk menafsirkan dan menggali hukum demi menemukan
ketentuan hukum yang belum diatur secara jelas.
b. Bahwa ketentuan Pasal 263 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana,, menurut penafsiran mereka adalah ayat yang menjadi dasar bagi Jaksa
37
Rusli Muhammad, Op.Cit., h. 294.
38 Martiman Prodjohamodjojo, Komentar Atas KUHAP, PT. Pradnya Paramita, Jakarta,