• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN

B. Dasar dan Pihak yang Dapat Mengajukan

Pasal 263 ayat (2) memuat alasan yang dapat dijadikan dasar permintaan peninjauan kembali, yang dituangkan pemohon dalam “surat permintaan peninjauan kembali”. Dalam surat permintaan atau permohonan peninjauan kembali itulah pemohon menyebut secara jelas dasar alasan permintaan.

Memperhatikan ketentuan Pasal 264 ayat (1) dan ayat (4), syarat formula menentukan sahnya permohonan peninjauan kembali ialah “ surat permintaan” peninjauan kembali. Tanpa surat permintaan yang memuat alasan-alasan sebagai dasar, permintaan yang demikian dianggap “tidak ada”. Pendapat ini didukung oleh Pasal 264 ayat (1) dan ayat (4) yang menegaskan :33

2. Ayat (4) menegaskan, jika pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima permintaan peninjauan kembali, wajib menanyakan alasannya kepada pemohon dan untuk itu panitera membuat surat permintaan peninjauan kembali.

1. Ayat (1) kelima terakhir menegaskan, pemohon harus menyebut secara jelas alasan permintaan peninjauan kembali.

Bertitik tolak dari penegasan di atas, syarat formal permohonan peninjauan kembali ialah adanya “surat permintaan” yang memuat alasan yang menjadi dasar permintaan peninjauan kembali. Apakah surat permintaan yang memuat alasan itu dibuat sendiri oleh terpidana atau panitera Pengadilan Negeri sesuai dengan Pasal 264 ayat (4), tidak menjadi soal. Yang penting sebagai syarat sahnya permohonan, harus diajukan dalam surat permintaan peninjauan kembali yang menjelaskan alasan-alasan yang mendasari pernohonan. Dan alasan yang menjadi dasar permintaan peninjauan kembali, sudah dirinci undang-undang dalam Pasal 263 ayat (2) serta ayat (3). Namun alasan pokok

33

Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.

USU Repository © 2009

yang dapat dijadikan dasar permintaan peninjauan kembali ialah hal-hal yang disebut satu per satu dalam Pasal 263 ayat (2).

a. Apabila terdapat Keadaan Baru

Alasan pertama yang dapat dijadikan landasan mendasari permintaan peninjauan kembali adalah “keadaan baru” atau novum. Keadaan baru yang dapat dijadikan landasan yang mendasari permintaan adalah keadaan baru yang mempunyai sifat dan kualitas “menimbulkan dugaan kuat” :34

1. Jika seandainya keadaan baru itu diketahui atau ditemukan dan dikemukakan pada waktu sidang berlangsung dapat menjadi faktor dan alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau.

2. Keadaan baru itu jika ditemukan dan diketahui ada waktu sidang berlangsung dapat menjadi alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan yang menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, atau

3. Dapat dijadikan alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

Untuk sekedar contoh dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 16 Juni 1984 Reg. No. 19 PK/Pid/1983. Salah satu alasan yang mendasari permintaan peninjauan kembali yang diajukan pemohon berbunyi: “karena terdakwa teleh meninggal dunia pada tanggal 24 Agustus 1982, sedang jaksa juga tidak mengajukan permohonan kasasi maka putusan Pengadilan Tinggi telah mempunyai kekuatan hukum tetap, walaupun dapat diketahui bahwa Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukum. Bahwa seandainya perkara ini oleh jaksa diajukan permohonan kasasi, ada kemungkinan putusan judex factie akan dibatalkan oleh Mahkamah Agung dan sekurang-kurangnya tuntutan hukuman akan dinyatakan gugur berdasar Pasal 77 KUHP (terdakwa meninggal dunia).

Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.

USU Repository © 2009

Alasan keberatan ini tidak dapat dibenarkan Mahkamah Agung dengan tanggapan bahwa keadaan baru yang dikemukakan pemohon tidak mempengaruhi putusan Pengadilan Tinggi. Oleh karena itu, alasan tersebut tidak sesuai dengan makna ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf a. Memang kebetulan terdakwa meninggal tanggal 24 Agustus 1982. Putusan Pengadilan Tinggi Bandung tanggal 9 Desember 1982. akan tetapi, akta kematian baru diminta kuasa terdakwa tanggal 2 Februari 1983. berarti Pengadilan Tinggi sudah sempat menjatuhkan putusan, baru kematian terdakwa diberitahukan setahun kemudian. Atas alasan inilah barangkali Mahkamah Agung berpendapat bahwa keadaan baru yang dikemukakan pemohon, dianggap “tidak mempengaruhi” putusan Pengadilan Tinggi Bandung. Akan tetapi, rasanya Mahkamah Agung dalam putusan ini kurang dapat dipahami.35

b. Apabila dalam Pelbagai Putusan Terdapat Saling Pertentangan

Bukankah dengan adanya fakta keadaan baru berupa peristiwa kematian terdakwa, cukup merupakan keadaan yang menimbulkan dugaan bahwa putusan Pengadilan Tinggi akan lain daripada apa yang telah diputuskan, seandainya kematian terdakwa diketahui sebelum pemeriksaan dan putusan dijatuhkan.

Alasan kedua yang dapat dipergunakan sebagai dasar permintaan peninjauan kembali, yakni dalam pelbagai putusan terdapat :

1. Pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti

2. Kemudian pernyataan tentang terbuktinya hal atau keadaan itu diajukan sebagai dasar dan alasan putusan dalam suatu perkara.

3. Akan tetapi dalam putusan perkara lain hal atau keadaan yang dinyatakan terbukti itu saling bertentangan antara putusan yang satu dengan yang lainnya.

35Ibid.

Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.

USU Repository © 2009

Misalnya, kemungkinan bisa terjadi saling bertentangan antara putusan perdata dengan putusan pidana. Umpamanya, terdakwa dijatuhi pidana karena bersalah melakukan kejahatan penggelapan dalam jabatan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 374 KUHP, karena seabgai direktur Bank Pembangunan Daerah Yogyakarta telah menjual tanah dan rumah jaminan pinjaman di bawah tangan, sehingga perbuatan ini bertentangan dengan perjanjian dan peraturan undang-undang. Menurut perjanjian secara tegas disebut, apabila debitur tidak melunasi pinjaman pada waktu yang ditentukan, pihak bank dengan kuasa yang tak dapat cabut kembali berhak menjual barang jaminan secara “lelang” menurut peraturan undang-undang. Dari bunyi perjanjian ini, berarti penjualan mesti dilakukan melalui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) secara lelang, tapi direktur bank menjual di bawah tangan. Atas tindakan ini, Pengadilan Negeri Yogyakarta menghukum direktur melakukan penggelapan dalam jabatan36

Pengadilan pidana menilai direktur terbukti tidak melaksanakan penjualan menurut cara yang ditentukan undang-undang sebagaimana yang ditegaskan dalam perjanjian. Oleh pengadilan, pidana telah dinyatakan terbukti hal atau keadaan penjualan bertentangan dengan cara yang ditentukan undang-undang dan perjanjian. Berdasarkan hal dan keadaan yang dinyatakan terbukti inilah yang dijadikan Pengadilan Negeri Yogyakarta menjatuhkan pidana terhadap direktur atas kejahatan penggelapan dalam jabatan. Kemudian dalam perkara perdata Pengadilan Negeri Yogyakarta telah menyatakan penjualan yang dilakukan

.

36

Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 297.

Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.

USU Repository © 2009

direktur bank sesuai dengan perjanjian, dan tidak bertentangan dengan cara penjualan yang ditentukan undang-undang. Dengan demikian peradilan perdata menyimpulkan, penjualan di bawah tangan atas barang jaminan adalah sah. Pada contoh ini jelas dilihat saling bertentangan antara putusan pidana dan putusan perdata.

Dalam putusan pidana, penjualan di bawah tangan dinyatakan sebagai suatu keadaan yang terbukti bertentangan dengan peraturan undang-undang. Sedangkan dalam putusan perdata keadaan itu dianggap tidak bertentangan dengan cara yang ditentukan undang-undang. Dalam kasus yang demikian, terpidana menjadikannya sebagai alasan yang mendasari permintaan kembali. Akan tetapi, pertentangan itu harus benar-benar nyata dan jelas tertuang dalam pelbagai putusan yang bersangkutan. Jangan asal saja dikatakan ada saling bertentangan, namun tidak menunjuk secara nyata di mana letak pertentangan itu.

Cara yang demikian dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 13 Juni 1984 Reg. No. 8 PK/Pid/1983, dalam salah satu alasan yang diajukan pemohon peninjauan kembali, telah mengemukakan adanya saling

pertentangan antara perkara perdata No. 1438 K/Sip/1983 dengan perkara pidana No. 8/1980 yang telah menghukum pemohon dengan pidana penjara atas kejahatan penggelapan.

Padahal antara kedua putusan tersebut tidak ada saling bertentangan, malah saling mendukung. Oleh karena itu, Mahkamah Agung dalam menanggapi keberatan tersebut tidak dapat membenarkan serta menolak permohonan peninjauan kembali, karena tidak ada pertentangan antara putusan pidana No. 8/1980 dengan putusan Mahkamah Agung dalam perkara perdata No. 1438 K/Sip/1983.

c. Apabila Terdapat Kekhilafan yang Nyata dalam Putusan

Alasan ketiga yang dijadikan dasar mengajukan permintaan peninjauan kembali, apabila dalam putusan terdapa dengan jelas ataupun terlihat dengan nyata ada kehilafan hakim atau kekeliruan hakim.

Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.

USU Repository © 2009

Hakim sebagai manusia, tidak luput dari kekhilafan dan kekeliruan. Kekhilafan dan kekeliruan itu bisa dalam semua tingkat pengadilan. Kekhilafan yang diperbuat Pengadilan Negeri sebagai peradilan tingkat pertama, bisa berlanjut pada tingkat banding, dan kekhilafan tingkat pertam dan tingkat banding itu tidak tampak dalam tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung. Padahal tujuan tingkat banding maupun tingkat kasasi untuk meluruskan dan memperbaiki serta membenarkan kembali kekeliruan yang diperbuat pengadilan yang lebih rendah.

Kekeliruan yang seperti ini dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 15 Maret 1984 Reg. No. 20 PK/Pid/1983. Kasusnya Pengadilan Negeri Baturaja dalam putusan tanggal 28 Maret 1981 No. 463/1980, terdakwa M. Taslim telah dinyatakan bersalah melakukan kejahatan pembunuhan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 338 KUHP. Putusan dikuatkan Pengadilan Tinggi Palembang dalam putusan tanggal 15 Desember 1981 No. 130/1981. Kemudian pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 29 Agustus 1983 No. 199 K/Pid/1983 menolak permohonan kasasi terdakwa M. Taslim. Pada tanggal 27 Oktober 1983, terpidana melalui kuasanya mengajukan permohonan peninjauan kembali.

Alasan yang diajukan sebagai dasar permintaan peninjauan kembali antara lain :37

37

. Ibid. Hal 621.

1. Pertimbangan yang mendasari putusan Pengadilan Negeri Baturaja atas keterbukaan kesalahan terpidana, hanya semata-mata didasarkan pada petunjuk belaka.

Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.

USU Repository © 2009

2. Padahal berdasar Pasal 188 ayat (2) KUHP, petunjuk sebagai alat bukti hanya dapat ditarik dan diperoleh dari keterangan saksi, alat bukti surat, dan keterangan terdakwa.

3. Baik dari keterangan saksi, maupun dari keterangan terdakwa dan begitu juga dari alat bukti surat, tidak satupun yang dapat disimpulkan menjadi alat bukan petunjuk bahwa terdakwa melakukan tindakan pidana yang didakwakan. Maka berdasar alasan tersebut, putusan itu secara jelas memperlihatkan suatu kekhilafan atau kekeliruan hakim.

Alasan keberatan di atas dibenarkan Mahkamah Agung dengan alasan pertimbangan :38

1. Putusan hakim pertama yang dikuatkan oleh hakim banding dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata sebagaimana yang dimaksud Pasal 263 ayat (2) huruf c KUHP.

2. Karena sejak semual terdakwa tetap menyangkal melakukan kejahatan yang didakwakan kepadanya, baik dakwaan primair maupun dakwaan subsidair.

3. Tak ada seorang saksi pun yang melihat korban telah ditolakkan terdakwa dari kereta api sehingga jatuh yang menyebabkan korban mendapat luka-luka sebagaimana yang disebut dalam visum et repertum tanggal 29 Oktober 1980 No. 150/20/A/X/1980, dan mengakibatkan korban mati seketika.

38Ibid

Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.

USU Repository © 2009

4. Tak ada seorang saksi pun yang melihat terdakwa mengambil baju korban, begitu pula uang korban sebanyak Rp. 30.000,00 dengan maksud untuk memilikinya secara melawan hukum. Uang tersebut berada di tangannya adalah sebagai titipan dari korban, karena mereka berteman.

5. Mengenai baju tidak dijelaskan mengapa berada dalam tas terdakwa, namun hal itu tidaklah berarti bahwa terdakwa telah mencurinya dari korban atau mengambilnya dari mayat korba.

6. Mayat korban dipindahkan terdakwa sebelum ia melapor ke polisi adalah karena ia tidak sampai hati melihat mayat tersebut ditimpa terik panas matahari dan juga takut mayat itu digerayangi binatang buas.

7. Bahwa orang tua terdakwa begitu juga polisi dan jaksa hanya

menduga, terdakwa telah membunuh korban. Hal itu semua hanya berdasarkan kesimpulan sendiri belaka dan hukum tidak membenarkan seseorang diadili berdasar dugaan kesimpulan-kesimpulan sendiri yang tidak didasarkan dengan alat-alat bukti yang sah.

Berdasarkan ringkasan pertimbangan Mahkamah Agung di atas, permohonan peninjauan kembali dinyatakan dapat diterima karena sesuai dengan ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf c jo. Pasal 266 ayat (2) huruf b angka 1 KUHP. Oleh karena itu, Mahkamah Agung membatalkan putusan Mahkamah Agung tanggal 29 Agustus 1983 No. 199K/Pid/1983, putusan Pengadilan Tinggi Palembang tanggal 15 Desember 1981 No. 130/1981 dan putusan Pengadilan Negeri Baturaja tangal 28 Maret 1981 No. 463/1980. dan atas pembatalan

Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.

USU Repository © 2009

putusan-putusan tersebut, Mahkamah Agung menyatakan bahwa kesalahan terdakwa M. Taslim yang didakwakan kepadanya baik pada dakwaan primair maupun dakwaan subsidair, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Olehj karena itu, terdakwa harus dibebaskan dari semua dakwaan (vijspraak).

Demikian sepintas lalu mengenai alasan yang dirinci dalam Pasal 263 ayat (2) yang dapat dijadikan landasan yang mendasari permintaan peninjauan

kambali.

Mengenai orang yang berhak mengajukan peninjauan kembali, ditegaskan dalam Pasal 263 ayat (1), yakni Terpidana atau Ahli warisnya.

Dari penegasan ketentuan ini, jaksa penuntut umum tidak berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali. Sebabnya undang-undang tidak memberikan hak kepada penuntut umum kerena upaya hukum ini bertujuan untuk melindungi kepentingan terpidana. Untuk kepentingan terpidana undang-undang membuka kemungkinan untuk meninjau kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena itu selayaknya hanya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya. Lagipula sisi lain upaya hukum luas biasa ini yakni pada upaya kasasi demi kepentingan hukum, undang-undang telah membuka kesempatak kepada Jaksa Agung untuk membela kepentingan umum. Seandainya penuntut umum berpendapat suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap merugikan kepentingan umum atau bertentangan dengan tujuan penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan undang-undang telah membuka upaya hukum bagi Jaksa Agung untuk mengajukan permintaan kasasi demi kepentingan hukum. Oleh karena itu, hak mengajukan permintaan peninjauan kembali adalah merupakan hak timbal balik yang diberikan kepda terpidana untuk menyelaraskan

Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.

USU Repository © 2009

keseimbangan hak mengajukan permintaan kasasi demi kepentingan hukum yang diberikan undang-undang kepada penuntut umum melalui Jaksa Agung. Dengan demikian, melalui upaya hukum luar biasa, sisi kepentingan terpidana dan kepentingan umum telah terpenuhi secara berimbang.

Berdasar Pasal 263 ayat (1) yang berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali hanya terpidana atau ahli warisnya. Oleh karena itu, sekalipun ada pihak yang merasa dirugikan dalam putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak dibenarkan hukum untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Hal seperti ini yang ditegaskan dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 20 Februari 1984 Reg. No. 1 PK/Pd/1948. Pemohon telah mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan Mahkamah Agung tanggal 4 Juli 1983 yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pemohon merasa keberatan atas perampasan untuk negara barang bukti kapal yang bukan milik terpidana, tetapi milik pemohon. Sedang pemohon tidak terlibat maupun tersangkut dalam tindak pidana yang dilakukan terpidana, oleh karena itu, tidak adil jika milik pemohon dirampas untuk negara sekalipun kapan itu telah dipergunakan terpidana sebagai alat melakukan tindak pidana. Tanggapan dan putusan Mahkamah Agung atas permohonan dan keberatan yang diajukan pemohon, berbunyi : “bahwa meskipun terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, akan tetapi karena pemohon peninjauan kembali bukan terpidana atau ahli warisnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 ayat (1)

Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.

USU Repository © 2009

KUHAP maka permohonan peninjauan kembali harus dinyatakan tidak dapat diterima”.39

Ingin kita mengetahui, apakah ada hak dan kedudukan prioritas antara terpidana dengan ahli waris mengajukan permintaan peninjauan kembali ? Artinya apakah ahli waris terpidana dapat melangkahi terpidana mengajukan permintaan peninjauan kembali ? Benar demikian! Undang-undang tidak menentukan kedudukan prioritas di antara terpidana dengan ahli waris. Sekalipun terpidana masih hidup dan sedang mengalami human, ahli waris dapat langsung mengajukan permintaan peninjauan kembali, sekalipun terpidana masih hidup. Hal ahli waris untuk mengajukan peninjauan kembali bukan merupakan “hak substitusi” yang diperoleh setelah terpidana meninggal dunia. Hak tersebut adalah “hak orisinil” yang diberikan undang-undang kepada mereka demi untuk kepentingan terpidana. Dan hal ini beralan. Sekalipun terpidana masih hidup kemungkinan besar ahli waris lebih mampu dan lebih dapat leluasa berdaya upaya untuk memikirkan dan menangani pengajuan permintaan peninjauan kembali.

Sehubungan dengan masalah orang yang berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali, ada lagi beberapa hal yang perlu kita jelaskan.

a. Hak prioritas Antara Terpidana Dengan Ahli Waris

40

b. Ahli Waris Meneruskan Permintaan Terpidana

Berdasarkan alasan di atas, hak untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali dapat dilakukan baik oleh terpidana maupun oleh ahli waris telah dilekatkan undang-undang kepada mereka sekalipun terpidana masih hidup, dan bukan hak yang timbul sebagai akibat kematian terpidana.

39 Ibid

. Hal. 617.

40Ibid

Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.

USU Repository © 2009

Sudah dijelaskan, baik terpidana maupun ahli waris sama-sama mempunyai hak mengajukan permintaan peninjauan kembali tanpa mempersoalkan apakah terpidana masih hidup atau tidak. Akan tetapi jika yang mengajukan permintaan itu terpidana, kemudian sebelum peninjauan kembali diputus oleh Mahkamah Agung terpidana meninggal dunia, menurut Pasal 268 ayat (2), hak untuk meneruskan permintaan peninjauan kembali “diteruskan” oleh ahli waris. Dalam peristiwa yang seperti inilah kedudukan ahli waris menduduki “ hak substitusi” dari terpidana. Kentuan Pasal 268 ayat (2) dapat kita ringkaskan sebagai berikut :41

1. Terpidana telah meninggal dunia, dan permohonan peninjauan

kembali diajukan oleh ahli waris.

1) Yang mengajukan permintaan peninjauan kembali ialah terpidana

sendiri,

2) Sementara peninjauan kembali sudah diterima Mahkamah Agung tapi

belum diputus, terpidana meninggal dunia,

3) Diteruskan atau tidak permohonan peninjauan kembali, sepenuhnya

menjadi hak ahli waris. Atau keadaannya bisa juga :

2. Sementara itu ahli waris yang mengajukan permohonan meninggal dunia sebelum Mahkamah Agung memutus.

3. Diteruskan atau tidak permohonan peninjauan kembali dilanjutkan oleh ahli waris yang meninggal tersebut.

Apa yang diatur pada Pasal 268 ayat (2) jika permintaan peninjauan kembali sudah diterima Mahkamah Agung. Bagaimana halnya jika terpidana yang mengajukan permohonan peninjauan kembali meninggal dunia sebelum permintaan peninjauan kembali dikirimkan Pengadilan Negeri kepada

Mahkamah Agung ? Apakah dalam hal demikian yang permintaan peninjauan kembali dapat diteruskan ahli waris ? Tentang hal ini undang-undang tidak mengatur. Akan tetapi secara konsisten dapat dipedomani ketentuan Pasal 268 ayat (2). Apabila terpidana meninggal dunia sebelum permohonan peninjauan kembali dikirimkan kepada Mahkamah Agung, ahli waris dapat meneruskan atau tidak peninjauan kembali. Dengan demikian, ketentuan Pasal 263 ayat (2), bukan saja berlaku pada taraf permohonan peninjauan kembali berada di

41Ibid.

Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.

USU Repository © 2009

Mahkamah Agung, tapi berlaku pada permohonan peninjauan kembali berada di Mahkamah Agung, tapi berlaku pada permohonan peninjauan kembali masih berada pada taraf pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri atau pada taraf permohonan peninjauan kembali belum dikirimkan Pengadilan Negeri kepada Mahkamah Agung.

c. Permintaan Peninjauan Kembali oleh Kuasa

Sebagaimana yang sudah dijelaskan, Pasal 263 ayat (1) hanya memberikan kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Apakah ketentuan ini melarang penasehat hukum atau seorang yang dikuasakan terpidana atau ahliwarisnya untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali ? Memang kalau secara ketat berpegang pada ketentuan Pasal 263 ayat (1), undang-undang tidak memberi hak kepada kuasa mengajukan permintaan peninjauan kembali. Harus langsung terpidana atau ahli waris. Ketentuan yang seperti ini dijumpai dalam Pasal 244 KUHAP. Yang menentukan permohonan kasasi hanya dapat dilakukan oleh terdakwa yang bersangkutan tidak dapat dikuasakan kapada penasehat hukum atau orang lain. Akan tetapi, ketentuan Pasal 244 tersebut diperlunak oleh angka 24 Lampiran Keputusan Metenteri Kehakiman No. M. 14-PW.07.03 Tahun 1983, tanggal 10 Desember 1983. oleh angka 24 lampiran tadi yang merupakan tambahan pedoman pelaksanaan KUHAP, telah memperkenankan dibuat terdakwa “secara khusus”. Artinya penunjukkan kuasa untuk mengajukan permohonan kasasi harus dibuat terdakwa dalam surat kuasa yang khusus untuk tujuan permintaan permohonan kasasi.42

Peninjauan kembali dapat diminta oleh seorang kuasa , dasar hukumnya diterapkan “secara konsisten” pedoman yang terdapat pada angka 24 lampiran

42 Ibi

Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.

USU Repository © 2009

Menteri Kehakiman tersebut. Alasan penerapan pedoman petunjuk yang terdapat pada angka 24 ini ke dalam proses permohonan itu sendiri. Motivasi memperbolehkan seorang kuasa mengajukan permintaan kasasi, tiada lain demi kepentingan dan perlindungan hak asasi terdakwa. Kalau begitu dengan motivasi yang sama, pedoman petunjuk angka 24 tadi dapat diterapkan dalam permintaan peninjauan kembali, demi kepentingan dan perlindungan hak asasi terpidana. Bukankah setiap orang berhak menunjuk penasehat hukum atau kuasa yang dapat diharapkan membela kepentingan dan memperlindungi hak asasi!43

C. Beberapa Asas yang Ditemukan Dalam Upaya Hukum Peninjauan

Dokumen terkait