Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI OLEH JAKSA DITINJAU DARI HUKUM ACARA PIDANA
(Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat Dalam Mencapai
Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
050 200 038
Manata Binsar Tua Samosir
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI OLEH JAKSA DITINJAU DARI HUKUM ACARA PIDANA
(Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto) SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat Dalam Mencapai
Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
050 200 038
Manata Binsar Tua Samosir
Departemen Hukum Pidana
Disetujui Oleh :
Ketua Departemen Hukum Pidana
(ABUL KHAIR SH.M.Hum) NIP : 131 842 854
Pembimbing I Pembimbing II
ABUL KHAIR SH.M.Hum. RAFIQOH LUBIS SH. M. Hum NIP : 131 842 854 NIP : 132300076
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
ABSTRAKSI
Penulisan skripsi ini berjudul tentang Upaya Hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi: Polycarpus Budihari Priyanto), skripsi ini mengkaji tentang dimungkinkannya pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali oleh pihak Kejaksaan dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum serta implikasi secara yuridis terhadap dimungkinkannya pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum di Indonesia. Secara teoritik perundangan Peninjauan Kembali merupakan hak terpidana atau ahli warisnya, tetapi dalam praktek peradilan di indonesia pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut umum telah beberapa kali dilakukan.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian yang bersifat deskriptif dan apabila dilihat dari tujuannya termasuk dalam penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan menggunakan metode pendekatan secara yuridis. Jenis data yang digunakan yakni jenis data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan yakni melalui studi kepustakaan yang mencakup dokumen-dokumen resmi seperti KUHAP, Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, buku-buku hasil penelitian dan lain sebagainya data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
memberikan ketentuan mengenai dimungkinkannya Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum.
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis panjatkan Puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Penulisan skripsi ini adalah merupakan salah satu syarat yang harus
dipenuhi dalam rangka ujian untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.
Adapun judul skripsi ini adalah “Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus : Pollycarpus
Budihari Priyanto).”
Penulis sadar sejak awal hingga akhir penulisan skripsi ini, penulis banyak
menerima bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Mariati Zendrato, SH., M.Hum, selaku Dosen Wali penulis.
3. Bapak Abul Khair, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen
Pembimbing I.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
memberi masukan serta pandangan dan nasehat yang berguna bagi penulis
sehingga skripsi ini dapat selesai.
5. Ibu Nurmalawaty, SH., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang dengan sabar mengajar dan membimbing penulis selama
menempuh pendidikan di almamater ini.
Secara khusus pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada mereka yang selama ini dekat dan mendapat tempat yang istimewa
di hati sanubari penulis, diantaranya :
1. Kedua orang tua penulis, yang penulis cintai dan kasihi Ayahanda Nelson Samosir, SH, dan Ibunda Rita Nainggolan, yang telah memberikan banyak dukungan dan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
2. Buat adikku tersayang Sari dan Tanpi. Terima kasih buat dukungan dan doanya.
3. Buat keluarga besarku yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu,
terima kasih atas dukungan yang selalu diberikan kepada penulis selama
mengikuti perkuliahan dari awal hingga selesai penulisan skripsi ini.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
Akhirnya penulis berharap dan berdoa semoga apa yang penulis sajikan
dalam skripsi ini ada manfaatnya. Dan semoga ilmu yang penulis peroleh di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dapat juga berguna bagi agama, nusa
dan bangsa, Amin.
Medan, Maret 2009
Penulis
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAKSI ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Perumusan Masalah ... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 4
D. Keaslian Penulisan ... 5
E. Metode Penelitian ... 6
F. Tinjauan Pustaka ... 7
G. Sistematika Penulisan ... 27
BAB II PENGATURAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA ... 29
A. Putusan Pengadilan yang Dapat Dimintakan Upaya Hukum Peninjauan Kembali ... 29
B. Dasar dan Pihak yang Dapat Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali ... 32
C. Beberapa Asas yang Ditemukan Dalam Upaya Hukum Penijauan Kembali ... 46
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
BAB III DASAR HUKUM JAKSA PENUNTUT UMUM DAPAT MENGAJUKAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN
KEMBALI ... 51
A. Hak Penuntut Umum Dalam Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali ... 51
B. Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Sebagai Upaya Menembus Kekakuan Legalistik ... 59
BAB IV UPAYA PENINJAUAN KEMBALI OLEH JAKSA DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 109 PK/PID/2007 ... 63
A. Kasus Posisi ... 63
1. Kronologis ... 63
2. Pemeriksaan Tingkat Pengadilan Negeri ... 64
3. Pemeriksaan Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi) 66 4. Pemeriksaan Kasasi (Mahkamah Agung) ... 68
5. Pemeriksaan Permohonan Peninjauan Kembali (Mahkamah Agung) ... 69
B. Analisa Kasus ... 70
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 96
A. Kesimpulan ... 86
B. Saran ... 89
DAFTAR PUSTAKA ... 90
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan zaman sekarang ini yang berkembang dengan pesat dan
mengakibatkan berbagai macam perilaku manusia sehingga diperlukan satu
perangkat hukum yang dapat mengatur dan dapat mencegah tindak kejahatan dan
pelanggaran Pidana, yang oleh karenanya harus ada kepastian hukum agar tercipta
keadilan di bidang hukum bagi semua masyarakat. Salah satu masalah hukum
yang akhir – akhir ini dipermasalahkan adalah masalah upaya hukum Peninjauan
Kembali yang sampai sekarang ini dinilai oleh berbagai kalangan masih belum
memiliki kepastian dalam prakteknya sehingga menimbulkan kebingungan di
dalam ber praktek Hukum Acara Pidana. Berbagai contoh ketidak pastian Upaya
Hukum Peninjauan Kembali yakni Kasus Mochtar Pakpahan yang Peninjauan
Kembali nya diajukan oleh Jaksa, yang jelas – jelas dalam UU No.8 Tahun 1981
Pasal 263 ayat (1) yang berbunyi : Bahwa terhadap Putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan Hukum Tetap, kecuali Putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan
Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Kasus Mochtar Pakpahan inilah
yang membuat Upaya Hukum Peninjauan Kembali menjadi Kontroversi
dikalangan penegak hukum, pakar hukum maupun masyarakat di Indonesia. 1
1
Karni Ilyas, 1997, Herziening atau Peninjauan Kembali
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
Masalah peninjauan kembali (PK) perkara pidana yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, belakangan menimbulkan perdebatan di berbagai
kalangan. Pemikiran Moh. Mahfud MD dan M. Khoidin yang dimuat di dalam
Republika edisi 2 Desember 1996, memunculkan perbedaan yang mencolok
tentang penafsiran isi Pasal 263 KUHAP. Sementara Achmad Ali, dekan Fakultas
Humas Universitas Hasanuddin, meninjau isi Pasal 263 KUHAP dari segi
pengetahuan hukum dan ilmu hukum.2
Dari beberapa kasus yang Upaya Hukum Peninjauan Kembali nya
diajukan Jaksa Penuntut Umum inilah penulis merasa tertarik untuk membahas Setelah kasus Mochtar Pakpahan ini masih banyak perkara di Mahkamah
Agung yang Peninjauan Kembali nya diajukan oleh jaksa dan yang baru- baru ini
terjadi adalah kasus Pollicarpus yang juga Peninjauan Kembali nya diajukan oleh
Jaksa. Yang menimbulkan kontroversi adalah dalam Putusan Kasasi nya,
Pollicarpus diputus bebas pada tingkat Mahkamah Agung, hal inilah yang
membuat Jaksa mengajukan Peninjauan Kembali. Pada saat Jaksa mengajukan
Peninjauan Kembali tersebut Mahkamah Agung kemudian mengabulkan
permintaan Peninjauan Kembali oleh Jaksa, padahal di tingkat Kasasi Mahkamah
Agung sudah memutus bebas Pollicarpus. Hal ini menimbulkan kontroversi
kembali yang diduga adanya campur tangan Politik ke dalam lembaga Yudikatif
khususnya Mahkamah Agung.
2
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
masalah Upaya Hukum Peninjauan Kembali ini. Penulis juga merasa tertarik
untuk membahas masalah Upaya Hukum Peninjauan Kembali ini karena dengan
adanya ketidakpastian Hukum dari Peninjauan Kembali ini mengakibatkan
banyak perkara – perkara yang eksekusi hukuman nya seharusnya bisa
dilaksanakan menjadi tertunda karena terganjal dalam Upaya Hukum Peninjauan
Kembali ini. Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa yang hanya dapat
mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali adalah Terdakwa atau Ahli
Warisnya. Tetapi yang terjadi dalam beberapa kasus malah berlawanan dari
ketentuan Hukum ini Yang sepatutnya oleh Mahkamah Agung sendiri sebagai
Lembaga yang paling bisa menilai pelaksanaan Hukum Acara Pidana ini
Khususnya Peninjauan Kembali dapat bertindak tegas dan adil dalam
melaksanakan Hukum Acara Pidana agar terjadi kepastian hukum dalam sistem
Peradilan Indonesia.
Perdebatan boleh tidaknya jaksa mengajukan permohonan peninjauan
kembali (PK) masih saja mengemuka. Kali ini, perdebatan yang cukup usang ini
terjadi di luar persidanga
Munir. Istri terdakwa Pollycarpus, Yosepha Hera Iswandari, mempertanyakan PK
yang diajukan oleh Kejaksaan. Serta dalam kasus Pollycarpus, dimana hakim
mengabulkan upaya hukum yang diajukan jaksa penuntut umum.3
3
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
Dari uraian fakta tersebut diatas mendorong penulis untuk meneliti dan
menulis skripsi perihal Upaya Hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa Ditinjau
Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus : Polycarpus Budihari Priyanto)
B. Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Bagaimana Pengaturan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Hukum
Acara Pidana Indonesia ?
2. Dasar Hukum Jaksa Penuntut Umum Dapat Mengajukan Upaya Hukum
Peninjauan Kembali
3. Upaya Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor 109 PK/PID/ 2007
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan Tujuan Penelitian
Dari penelitian itu diharapkan nantinya akan dapat dikemukakan mengenai hal-
hal yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan hukum khususnya Hukum Pidana, yaitu :
1. Untuk mengetahui bagaimanakah pengaturan upaya hukum peninjauan
kembali dalam hukum acara pidana Indonesia.
2. Dan untuk mengetahui dasar jaksa penuntut umum dapat mengajukan upaya
hukum peninjauan kembali.
3. Serta untuk mengetahui dasar hakim mengabulkan upaya hukum peninjauan
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009 Manfaat Penelitian
Adapun penulisan skripsi ini diharapkan akan memberikan manfaat
sebagai berikut :
1. Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan di
bidang hukum pidana khususnya mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali
dalam Hukum Acara Pidana Indonesia.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan khususnya bagi Jaksa
Penuntut Umum ketika mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan karya ilmiah ini berjudul “Upaya Hukum Peninjauan Kembali
oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi: Polycarpus Budihari
Priyanto)“, yang pada prinsipnya penulis membuatnya dengan melihat dasar-dasar
yang telah ada, baik melihat literatur yang penulis peroleh dari perpustakaan, dan
dari media masa baik cetak maupun elektronika. Sehingga dapat penulis pastikan
tidak ada judul skripsi yang sama setelah melakukan penelusuran di perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan apabila di kemudian hari
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009 E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini adalah penelitian studi kasus dengan metode
pendekatan yuridis normative, yaitu dengan pengumpulan data-data serta studi
kepustakaan yang berkaitan dengan Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam
Hukum acara Pidana Indonesia.
2. Jenis Data dan Sumber Data
Jenis data yang dibutuhkan dalam Penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data sekunder diperoleh dari :
b. Bahan Hukum Primer ; yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan
ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yakni berupa Undang-undang,
Peraturan Pemerintah, dan lain-lain.
c. Bahan Hukum Sekunder ; yaitu semua dokumen yang merupakan informasi
atau merupakan hasil kajian dari berbagai media seperti Koran, majalah,
artikel-artikel yang dimuat di berbagai website diinternet.
d. Bahan Hukum Tersier ; yaitu semua dokumen yang berisikan konsep-konsep
dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus, ensiklopedia.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data didalam memecahkan permasalahan penulisan
skripsi dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian
kepustakaan dilaksanakan dengan cara menelaah buku-buku, karangan ilmiah dan
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
skripsi ini. Selain itu penelitian juga diarahkan terhadap artikel-artikel ilmiah yang
dimuat di Koran maupun majalah baik yang dimuat di berbagai media massa
maupun yang dimuat di website-website internet.
4. Analisis Data
Dalam penulisan skripsi ini, segala data yang telah diperoleh oleh penulis
kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk menjawab segala
permasalahan didalam skripsi ini, yang kemudian analisis deskriptif kualitatif
tersebut akan membantu penulis membuat suatu kesimpulan yang benar.
F. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana Indonesia
Hukum acara pidana merupakan hukum yang mengatur tentang cara
bagaimana atau menyelenggarakan Hukum Pidana Material, sehingga
memperoleh keputusan Hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus
dilaksanakan.4
Hukum acara pidana disebut juga hukum formil yaitu bagaimana cara alat
pemerintah melaksanakan hukum materil (penerapan isi). Pengertian Hukum
Acara Pidana adalah bagaiamana cara negara melalui alat alat kekuasaannya
menentukan kebenaran tentang terjadinya suatu pelanggaran hukum pidana.
Menurut Simon, hukum acara pidana adalah mengatur bagaimana Negara dengan
alat-alat pemerintahannya menggunakan hak-haknya untuk memidana. Sedangkan
menurut De bos kemper hukum acara pidana adalah sejumlah asas dan peraturan
4
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
undang-undang yang mengatur bagaimana Negara menggunakan hak-haknya
untuk memidana. Secara umum Hukum Acara Pidana Indonesia adalah hukum
yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam
lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam UU Nomor
8 Tahun 1981.5
Asas dalam hukum acara pidana di Indonesia adalah:
Hukum Acara Pidana di Indonesia saat ini telah diatur dalam satu
undang-undang yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), yakni Undang-Undang No.8 Tahun 1981, berlaku sejak 31 Desember
1981.
6
1. Asas perintah tertulis, yaitu segala tindakan hukum hanya dapat dilakukan
berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang berwenang sesuai dengan
UU.
2. Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, jujur, dan tidak memihak,
yaitu serangkaian proses peradilan pidana (dari penyidikan sampai dengan
putusan hakim) dilakukan cepat, ringkas, jujur, dan adil (Pasal 50
KUHAP).
3. Asas memperoleh bantuan hukum, yaitu setiap orang punya kesempatan,
bahkan wajib memperoleh bantuan hukum guna pembelaan atas dirinya
(Pasal 54 KUHAP).
4. Asas terbuka, yaitu pemeriksaan tindak pidana dilakukan secara terbuka
untuk umum (Pasal 64 KUHAP).
5Ibid.
6 Ibid.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
5. Asas pembuktian, yaitu tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban
pembuktian (Pasal 66 KUHAP), kecuali diatur lain oleh UU.
Hukum acara pidana adalah merupakan salah satu pelaksanaan dari Hak
Asasi Manusia dalam Negara Republik Indonesia. Demikian dikemukakan dalam
pertimbangan (konsideran) yang mendahului Undang-undang No.8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana. Dengan demikian, maka negara Republik Indonesia
khususnya dengan hukum acara pidananya itu telah secara tegas mengakui
prinsip-prinsip hak asasi manusia yang bersifat universal tersebut. Pengakuan itu
dipertegas kemudian dalam pedoman Pelaksanaan KUHAP.
KUHAP hadir menggantikan Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR)
sebagai payung hukum acara di Indonesia . Kitab yang disebut karya agung
bangsa Indonesia ini mengatur acara pidana mulai dari penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, peradilan, acara pemeriksaan, banding di Pengadilan Tinggi, serta
kasasi dan PK ke Mahkamah Agung.7
Harus diakui, bahwa kehadiran KUHAP dimaksudkan oleh pembuat
Undang-undang untuk “mengoreksi” pengalaman praktek peradilan masa lalu
yang tidak sejalan dengan penegakan hak asasi manusia di bawah aturan HIR,
sekaligus memberi legalisasi hak asasi kepada tersangka atau terdakwa untuk
membela kepentingannya di dalam proses hukum. Tak jarang didengar rintihan
pengalaman di masa HIR seperti penangkapan yang berkepanjangan tanpa akhir,
penahanan tanpa surat perintah dan tanpa penjelasan kejahatan yang dituduhkan.
7Ibid
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
Demikian juga dengan “pemerasan” pengakuan oleh pemeriksa (verbalisant).8
Memang KUHAP telah mengangkat dan menempatkan tersangka atau
terdakwa dalam kedudukan yang “‘berderajat”, sebagai makhluk Tuhan yang
memiliki harkat derajat kemanusiaan yang utuh. Tersangka atau terdakwa telah
ditempatkan KUHAP dalam posisi his entity and dignity as a human being, yang
harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan.9
KUHAP telah menggariskan aturan yang melekatkan integritas harkat
harga diri kepada tersangka atau terdakwa, dengan jalan memberi perisai hak-hak
yang sah kepada mereka. Pengakuan hukum yang tegas akan hak asasi yang
melekat pada diri mereka, merupakan jaminan yang menghindari mereka dari
perlakuan sewenang-wenang. Misalnya KUHAP telah memberi hak kepada
tersangka atau terdakwa untuk segera mendapat “pemeriksaan” pada tingkat
penyidikan maupun putusan yang seadil-adilnya. Juga memberi hak untuk
memperoleh “bantuan hukum” pemeriksaan pengadilan.10
Demikian juga mengenai “pembatasan” jangka waktu setiap tingkat
pemeriksaan mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan dan penangkapan dan
penahanan, ditentukan secara limitatif bagi semua instansi dalam setiap tingkat
pemeriksaan. Bahkan untuk setiap penangkapan atau penahanan yang dikenakan,
wajib diberitahukan kepada keluarga mereka. Dengan demikian tersangka atau
terdakwa maupun keluarga mereka, akan mendapat kepastian atas segala bentuk
tindakan penegakan hukum. Ini sejalan dengan tujuan KUHAP sebagai sarana
8Ibid.
9
M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Pembahasan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Bandung. Hal. 1.
10 Ibid.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
pembaruan hukum, yang bermaksud hendak melenyapkan kesengsaraan masa
lalu.
Lahirnya hukum acara pidana nasional yang modern sudah lama
didambakan oleh semua orang. Masyarakat menghendaki hukum acara pidana
yang dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang sesuai dan selaras
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. KUHAP boleh dikatakan
telah membangkitkan optimisme harapan yang lebih baik dan manusiawi dalam
pelaksanaan penegakan hukum. Tentunya kelahiran KUHAP untuk mencari
Kebenaran Materil dan mencari keterkaitan antara niat, perbuatan dan keadaan
diri si pelaku (unsur-unsur tindak pidana) yang berbeda dengan yang berlaku di
dalam hukum acara perdata, mencari kebenaran formil (bukti-bukti tertulis).
Namun, memasuki usia 20 tahun lebih berlakunya KUHAP muncul
keinginan agar KUHAP segera direvisi karena tidak dapat lagi memenuhi
kebutuhan sebagaimana pada saat diundangkan.
Didalam pedoman pelaksanaan KUHAP dijelaskan bahwa tujuan hukum
acara pidana adalah “untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materil yaitu
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat.”11
2. Pengertian dan Dasar Hukum Peninjauan Kembali
Herziening atau Peninjauan Kembali adalah suatu putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap atas suatu perkara
11Ibid
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
pidana, berhubungan dengan ditemukannya fakta-fakta yang dulu tidak diketahui
oleh Hakim, yang akan menyebabkan dibebaskannya terdakwa dari tuduhan.12
Dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP mengatur pengajuan PK ditentukan dasar
sebagai berikut:13
a. Apabila terdapat keadaan baru (novum) yang menimbulkan dugaan kuat,
bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih
berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari
segala tuntutan hukum atau Penuntut Umum tidak dapat diterima atau
terhadap perkara itu diterapkan ketentuan Pidana yang lebih ringan;
b. Apabila dalam pelbagai Putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah
terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan Putusan
yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu
dengan yang lain;
c. Apabila Putusan Hakim itu dengan jelas memperlihatkan suatu
kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Untuk pengaturan pihak yang berhak untuk mengajukan PK telah diatur
pada Pasal 263 (1) KUHAP, yang berbunyi: "Terhadap putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan
12
Bachtiar Sitanggang, Senin, 3 Februari 1997, Hakikat Peninjauan Kembali atas Suatu erkara Pidana , INDONESIA-P Kompas Online,www.hamline.edu /apakabar/ basisdata/ 1997/02/ 020027.htmi- 21k.
13
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
permintaan peninjauan kembali (PK) kepada Mahkamah Agung (MA).
Menurut pengertian sehari-hari, kalau kalimat tersebut dibaca dalam
keseluruhan dan kaitan antara satu dengan yang lain, jelas bahwa dalam hal hakim
menyatakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, maka terpidana
atau ahli warisnya tidak boleh mengajukan permintaan PK.
Larangan yang sama berlaku juga bagi orang lain, seperti korban, jaksa
atau penuntut umum atau LBH. Terpidana atau ahli warisnya hanya dapat
mengajukan permintaan PK, hanya kalau terpidana dijatuhi pidana dalam tingkat
kasasi oleh MA.14
pasti akan mencantumkan kata-kata antara lain di depan kalimat "terpidana Menurut kalimat Pasal 263 (1) KUHAP tersebut hanyalah terpidana atau
ahli warisnya yang dapat meminta PK. Seandainya orang atau instansi tertentu
diperbolehkan mengajukan permohonan demikian, maka pembuat undang-undang
15
Kalimat berbahasa Indonesia tersebut sudah jelas sekali maksudnya,
sehingga tidak dapat diartikan lain. Jelas bahwa PK itu diberikan hanya kepada
terpidana atau ahli warisnya secara terbatas. Mengapa perlu ditinjau suatu putusan
yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena telah terjadi
kesalahan menghukum orang. Kesalahan itu sesungguhnya berawal dari kesalahan
menangkap orang yang dilakukan penyidik. Kesalahan itu dilanjutkan penutut ",
atau di belakang kata-kata "ahli warisnya" akan disusul dengan kata "dan".
Misalnya "dan penuntut umum, korban, atau siapa saja.
14
M Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua, Sinar Grafika, Cetakan 8, Jakarta. Hal. 615.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
umum karena menuntut orang yang bersalah, kemudian di pengadilan pun
akhirnya salah menjatuhkan hukuman. Dengan demikian upaya hukum PK adalah
upaya meminta maaf dari negara dan pemerintah kepada masyarakat dan orang
bersangkutan, karena dijatuhkan hukum kepada orang yang tidak berbuat seperti
apa yang dituduhkan.Hakim sebagai pejabat peradilan negara yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk mengadili yaitu menegakkan hukum dan
memberi keadilan serta memelihara kepastian hukum, memang harus memberikan
keadilan, bila perlu melakukan terobosan. Namun terobosan itu tidak bisa
melampaui batas yang ada, yaitu undang-undang.
Masalah PK ini muncul kembali karena Majelis PK MA melalui majelis
Hakim Agung Soerjono, Sarwata, dan Palti Raja Siregar, mengabulkan gugatan
PK (Peninjauan Kembali) jaksa penuntut umum Havid Abdul Latif dari Kejaksaan
Negeri Medan pada Selasa 19 Nopember 1996. Dalam putusannya Majelis
Hakim menyatakan menerima permohonan dari Kejaksaan dan mengadili serta
menjatuhkan hukuman bagi Muchtar Pakpahan. Yang menjadi persoalan, bukan
berat ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada Muchtar Pakpahan
atau terbukti tidaknya ia melakukan penghasutan, tetapi pokok masalah,
apakah KUHAP memungkinkan Kejaksaan mengajukan permohonan PK atas
suatu perkara pidana. Hal itu memang tidak diatur secara tegas, apalagi yang
melarang Kejaksaan mengajukan PK tidak ada dalam KUHAP.16
Dimungkinkan tidaknya kejaksaan mengajukan permintaan PK dalam
kaitannya dengan kasus Muchtar Pakpahan perlu dikaji KUHAP sebagai dasar
16
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
penerapan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 263 ayat 1
menentukan "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperbolehkan kekuatan
hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung".17
Pertama, apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat,
bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih Dalam Pasal ini ada dua hal yang perlu diperhatikan, pertama, yaitu
kata-kata "kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum", berarti kalaupun jaksa dimungkinkan untuk mengajukan
permintaan PK, akan tetapi karena putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum seharusnya ditolak majelis majelis Hakim Agung Soerjono,
Sarwata, dan Palti Raja Siregar. Kedua, bila disimak dengan penafsiran a
contrario Pasal 263 (1) ".... terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan
permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung", berarti selain
terpidana atau ahli warisnya tentu "tidak dapat" mengajukan permintaan PK.
Barangkali karena tidak diatur secara tegas itulah, maka Majelis Hakim
Agung Soerjono, Sarwata, dan Palti Raja Siregar memiliki alasan untuk menerima
permintaan PK dan membatalkan Putusan Adi di tingkat Kasasi. Tetapi kalau
melalui Majelis Hakim Agung Soerjono, Sarwata, dan Palti Raja Siregar,
menggunakan lubang kemungkinan pada ayat 1 di atas, sebenarnya ayat 2 tidak
boleh diingkari. Secara terbatas alasan PK ditentukan atas tiga dasar.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
berlangsung hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari
segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima
atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih
ringan. Kedua, apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan
bahwa sesuatu telah terbukti akan tetapi hal atau keadaan sebagai
dasar atau alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah
bertentangan satu dengan yang lain. Dan ketiga, apabila putusan itu dengan jelas
memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatukekeliruan yang nyata.18
18
M Yahya Harahap Edisi Kedua, OpCit, Hal. 615.
Dari ayat 2 ini jelas bahwa alasan-alasan untuk mengajukan permintaan
PK itu terbatas. Ia hanya diperuntukkan bagi kepentingan terpidana dan bertujuan
untuk melindungi hak terpidana dari kesalahan menerapkan hukum atau salah
menghukum orang. Ini terlihat pada butir pertama, "hasilnya akan berupa putusan
bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum
tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang
lebih ringan" sama sekali tidak disebutkan untuk memberatkan hukuman.
Memang pembentuk KUHAP tidak secara tegas menentukan ayat 3 Pasal
yang sama termasuk manfaatnya. Ayat 3 tersebut menentukan, "Atas dasar alasan
yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetapi dapat diajukan permintaan
peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
Pasal 244 KUHAP jelas hanya menyebut terdakwa atau penuntut umum,
sehingga tidak boleh menambahnya dengan korban, penasehat hukum, atau siapa
saja. Hal itu pun dibatasi, hanyalah jikalau terdakwa tidak diputus bebas, dengan
kata lain kasasi hanya dapat dilakukan dalam hal terdakwa diputus 'dilepaskan
dari tuntutan hukum' atau dipidana.
Ditinjau dari segi logika, maka kasasi dapat dilakukan oleh penuntut
umum dalam hal terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum, sebab berarti
bahwa terdakwa tidak akan menjalani pidana. Logis pula kalau terdakwa dapat
memohon kasasi kalau ia dipidana, karena ia tidak mau masuk penjara.19
Dalam Pasal 263 (2) KUHAP tersebut secara implisit yang dimaksudkan Pasal 263 (1) KUHAP hanya memperkenankan terpidana atau ahli
warisnya mengajukan permohonan Peninjauan Kembali jika ia dijatuhi pidana.
Kesimpulan itu penulis ambil dengan menggunakan uraian a contarrio, sebab
kalimat "kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan" di dalam Pasal 263
(1) KUHAP. Kebalikan putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum
adalah dipidana.
Ditinjau dari segi logika, adalah masuk akal kalau terpidana atau ahli
warisnya tidak boleh mengajukan PK kalau ia tidak dijatuhi pidana. PK barulah
dapat dilakukan kalau terdakwa dikenai pidana. Maka sangat tidak logis kalau
dikatakan bahwa penuntut umum (karena tidak diatur di dalam KUHAP) dapat
mengajukan permohonan PK.
19
Andi Zainal Abidin, 1997, Opini: Seputar Peninjauan Kembali Perkara Pidana, http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/01/18/0119.html.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
dapat mengajukan PK ialah terpidana atau ahli warisnya, karena ia telah dijatuhi
pidana. Padahal andaikata hakim yang telah memutuskan perkaranya telah
mengetahui adanya keadaan yang dapat membebaskan terdakwa, atau
melepaskannya dari segala tuntutan hukum, atau seharusnya menyatakan tuntutan
penuntut umum niet ontvankelijk atau seharusnya menjatuhkan pidana yang lebih
ringan daripada yang dijatuhkannya, maka ia akan menetapkan putusan salah satu
jenis putusan yang disebut secara limitatif di dalam Pasal 263 (2) KUHAP.
Lamintang secara panjang lebar menguraikan sejarah pranata hukum PK.
Hukum ini, katanya berasal dari Undang-undang tanggal 14 Juli 1899, staatsblad
Tahun 1899 No. 159 yang mengubah Wetboek van Strafvordering Nederland dan
Reglement op de Strafvordering. Menurut Lamintang (halaman 544) sebagian di
antaranya kemudian dimasukkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana Indonesia yang sudah telanjur dipuji sebagai "karya agung"yang
seolah-olah tidak ada celanya. Isi ketentuan Pasal 263 KUHAP Indonesia bolehlah
dikatakan sama atau mirip sekali dengan Artikel 457 Wetboek van Strafvordering
Nederland Van Bemmelen (1950:454). Keduanya menyatakan bahwa herziening
atau PK hanya dapat dilakukan dalam hal putusan terakhir menyatakan terdakwa
dipidana, terdapat pernyataan pembuktian yang saling bertentangan dalam dua
atau lebih putusan hakim, dan terdapat novum.20
3. Wewenang Jaksa Dalam Sistem Peradilan
20
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga penuntutan tertinggi di
bidang hukum mempunyai peran utama dalam penegakan supremasi hukum dan
mewujudkan keadilan bagi seluruh bangsa di negeri ini. Sebagai lembaga
pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan, dan
sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, peran
kejaksaan sebagai garda depan penegakan hukum demikian penting dan
strategis.21
Sistem peradilan pidana terpadu adalah bagian yang tak terpisahkan dari
sistem penegakan hukum. Dalam Sistem Peradilan Pidana terdapat empat
sub-sistem yakni: (1) kekuasaan penyidikan; (2) kekuasaan penuntutan; (3) kekuasaan
mengadili dan menjatuhkan putusan/pidana; dan (4) kekuasaan pelaksanaan
putusan / pidana.
Sebagai institusi peradilan, kewenangan kejaksaan dapat langsung
dirasakan oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, sebagai salah satu ujung tombak
dalam penegakan hukum, peran kejaksaan diharapkan dapat menjunjung tinggi
nilai-nilai keadilan.
22
Kejaksaan sebagai salah satu sub sistem peradilan pidana memiliki fungsi
di bidang penuntutan dan memegang peranan yang sangat krusial dalam proses
penegakan hukum. Sebagai institusi peradilan, maka kewenangan kejaksaan dapat
langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Oleh karena itu peran Kejaksaan
21
Mewujudkan Doktrin ”Tri Krama Adhyaksa, Harian Sinar Harapan, Senin, 21 Juli
2003,
22
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
sebagai salah satu ujung tombak dalam penegakan hukum diharapkan dapat
menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Eksistensi Kejaksaan telah diatur dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Dalam sistem peradilan pidana, Jaksa merupakan institusi penegak hukum yang
bertujuan untuk menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya
kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima
masyarakat. Seluruh komponen sistem peradilan pidana, termasuk pengadilan dan
lembaga pemasyarakatan, ikut bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas
menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan.
Meski demikian, tugas menyelesaikan kejahatan yang terjadi sangat terkait
dengan tugas dua komponen sistem, yaitu polisi dan jaksa (pada tahap prajudisial)
dan pengadilan (pada tahap judisial).23
Untuk menghindari kesimpang-siuran tugas, penyalahgunaan kewenangan,
tumpang tindihnya kewenangan, serta kegagalan mencapai tugas menyelesaikan
kejahatan yang terjadi di masyarakat, perlu ada suatu hukum yang di dalamnya
antara lain memuat siapa aparat penegak hukum yang oleh negara diberikan
tugas penegakan hukum pidana, bagaimana tatacara penegakannya, apa saja
tugas dan kewajibannya, serta apa sanksi bila ternyata pelaksanaannya tidak
sesuai dengan cara atau tugas dan kewenangannya. Hukum tersebut dikenal
23
Topo Santoso (Universitas Indonesia), Polisi Dan Jaksa Dalam Sistem
Peradilan Pidana Di Indonesia,2001.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
sebagai hukum pidana formal atau hukum acara pidana. Wirjono Prodjodikoro
merumuskan hukum acara pidana ini sebagai suatu rangkaian
peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa,
yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan
negara dengan mengadakan hukum pidana.24
Hukum acara pidana menjadi pegangan bagi jaksa dan polisi serta hakim
(bahkan termasuk penasihat hukum) di dalam melaksanakan tugas penyelidikan,
penyidikan, penangkapan, penahanan dan pemeriksaan di pengadilan. Para
pelaksana hukum itu dalam melaksanakan tugasnya tidak boleh menyimpang dari
asas-asas hukum acara pidana. Di dalam hukum acara pidana diatur dengan jelas
apa tugas dan kewenangan masing-masing alat negara yang bekerja dalam sistem
peradilan pidana.Dalam sejarah hukum acara pidana di Indonesia tercatat bahwa
dari tanggal 17 Desember 1945 hingga 31 Desember 1981 berlaku hukum acara
pidana yang diatur dalam Reglement Indonesia yang diperbaharui (RIBS. 1941
No. 44). Setelah 31 Desember 1981 berlaku hukum acara pidana yang diatur
dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana.25
Pada dua periode berlakunya hukum acara pidana tersebut, terdapat
perbedaan penting. Perbedaan tersebut antara lain dapat dilihat dari
aspek penyidikan tindak pidana (baik tindak pidana umum maupun
penyidikan tindak pidana khusus) serta kewenangan dari lembaga polisi
24Ibid
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
dan kejaksaan. Terdapat perbedaan pola hubungan antara polisi dan
jaksa dalam dua periode tersebut dalam soal penyidikan tindak pidana.
Sebelum KUHAP diberlakukan, wilayah tersebut secara tradisional
"dikuasai" oleh kejaksaan. Dengan kata lain, bidang penyidikan adalah
kewenangan pihak kejaksaan. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan
Republik Indonesia yang berbunyi "mengadakan penyidikan lanjutan terhadap
kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinir alat-alat penyidik
menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan
lain-lain peraturan negara".
Penjelasan Pasal tersebut menyatakan, untuk kesempurnaan tugas
penuntutan, jaksa perlu sekali mengetahui sejelas-jelasnya semua
pekerjaan yang dilakukan dalam bidang penyidikan perkara pidana dari
permulaan sampai akhir yang seluruhnya itu harus dilakukan atas dasar
hukum.
Perbedaan kewenangan penyidikan sebelum dan sesudah berlakunya
KUHAP akan jelas sekali terlihat dengan mengetahui siapa yang dimaksud
dengan penyidik menurut ketentuan acara pidana sebelum KUHAP. Menurut
Reglement Indonesia yang dibaharui (S.1941 No. 44) Pasal 53 (1) yang
dimaksud penyidik ialah Kepala Distrik, Kepala Onderdistrik, polisi
umum yang sekurang-kurangnya berpangkat pembantu inspektur polisi dan
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, jaksa
mempunyai bidang kewenangan yang luas sebagai berikut:26
1.Didalam bidang penuntutan dilakukan penuntutan dalam perkara-perkar pidana pada pengadilan yang berwenang.
2. Dalam bidang penyidikan diadakan lanjutan serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik dalam hal ini termasuk penyidik dari kepolisian.
Dengan demikian, pimpinan dalam penyidikan pada periode sebelum
berlakunya KUHAP adalah kejaksaan yang bertugas mengawasi dan
mengkoordinasikan penyidikan yang dilakukan oleh pihak-pihak lain, termasuk
polisi.
Berbeda dengan kondisi tersebut, setelah berlakunya KUHAP terjadi
perubahan yang sangat penting. Perubahan yang dibawa oleh KUHAP
mengakibatkan pembagian kewenangan sebagai berikut;27
a. Kepolisian
1. Kepolisian dalam bidang penyidikan kepolisian mendapat porsi sebagai
penyidik tindak pidana umum.
2. Kepolisian mempunyai kewenangan melakukan penyidikan tambahan.
3. Kepolisian berperan sebagai koordinator dan pengawas Penyidik
b. Kejaksaan
1. Di bidang penyidikan kejaksaan mendapat porsi sebagai penyidik
tindak pidana khusus yang meliputi tindak pidana subversi, tindak
pidana korupsi, dan tindak pidana ekonomi, walaupun ini sifatnya
sementara.
26 Ibid.
27
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
2. Untuk penyidikan tindak pidana umum, polisi memegang kewenangan
penyidikan penuh, sedangkan jaksa tidak berwenang.
Meskipun demikian, dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada Pasal 30 ayat (1)
diakui bahwa kejaksaan mempunyai kewenangan untuk melengkapi berkas
perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan.
Dalam perkembangan selanjutnya, dengan lahirnya Undang-undang Kepolisian yang baru pada tahun 1997, menyatakan polisi dapat
melakukan penyidikan untuk semua tindak pidana. Pernyataan ini seolah ingin menangkis anggapan bahwa untuk penyidikan tindak pidana khusus hanya jaksa yang berwenang, padahal menurut Pasal 284 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 wewenang jaksa itu bersifat sementara. Polisi seolah juga ingin menyatakan bahwa mereka kini sudah mampu untuk menyidik perkara-perkara yang sulit seperti kasus tindak pidana korupsi, ekonomi, dan subversi.
Dualisme Kewenangan Polisi dan Jaksa, dalam Dualisme kewenangan
penyidikan ini menimbulkan persoalan-persoalan serius yang menegangkan
hubungan antara polisi dan kejaksaan. Dalam periode ini muncul kasus demi
kasus yang mencoreng kedua lembaga penegak hukum tersebut. Pada kasus
pembunuhan Nyo Beng Seng misalnya, polisi menangkap beberapa orang jaksa
yang dituduh telah melakukan pemeriksaan fiktif terhadap seorang saksi kasus
kontroversial itu.28
Penangkapan mengakibatkan hubungan yang sangat tegang antara polisi
dan jaksa. Kasus ini seperti menandai perseteruan antara polisi dan jaksa dalam
soal penyidikan. Di luar kasus perebutan kewenangan menyidik ini, kita melihat
28
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
pula sisi efektivitas penyidikan tindak pidana yang dianggap kurang. Seperti
diketahui, dengan hilangnya kewenangan jaksa untuk mengawasi dan
mengkoordinasikan jalannya penyidikan (yang sangat penting untuk proses
selanjutnya itu), undang-undang memberi semacam jalan keluar yang disebut
pra-penuntutan. Melalui lembaga ini jaksa yang melihat adanya kekurangan pada hasil
penyidikan polisi dapat mengembalikan berkas penyidikan polisi disertai
saran-saran untuk melengkapi berkas-berkas tadi. Dengan demikian, prapenuntutan
seolah merupakan jalan tengah agar ada pembagian kewenangan yang tegas antara
polisi sebagai penyidik dan jaksa selaku penuntut umum serta keterpaduan dalam
sistem peradilan pidana, yaitu antara bidang penyidikan dan penuntutan.29
Akan tetapi, prapenuntutan ini tidak sepenuhnya efektif, masih banyak
berkas yang bolak-balik dari polisi-jaksa, jaksa-polisi, dan seterusnya. Begitu
pula, masih banyak berkas yang dikembalikan oleh jaksa kepada polisi untuk
dilengkapi, ternyata tidak pernah kembali lagi kepada jaksa. Kondisi-kondisi
demikian tentu sangat merugikan masyarakat, sebab banyak perkara tindak pidana
yang terjadi tidak dapat terselesaikan, sehingga yang bersalah tidak dapat
dihukum. Padahal, salah satu tujuan dari sistem peradilan pidana adalah untuk
menyelesaikan tindak pidana yang terjadi. Landasan yuridis dari kewenangan,
tugas, peran, serta bentuk hubungan polisi dan jaksa memang telah mengalami
beberapa kali perkembangan. Hal tersebut dapat dilihat misalnya mulai dari
ketentuan dalam Inlands Reglement (IR), Herziene Inlands Reglement (HIR) atau
Reglement Indonesia yang diper-baharui (RIB), Undang-undang Pokok
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
Kepolisian (UU Nomor 2 Tahun 2002), Undang-undang Republik Indonesia
nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-undang
Kekuasaan kehakiman (UU Nomor 4 Tahun 2004), Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (UU No. 8 Tahun 1981).
Dalam setiap perkembangan peraturan tersebut terjadi semacam tarik ulur
dan upaya menambah kewenangan dari kedua instansi di atas. Suatu penelitian
yang cermat, penting dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor apa yang
melatarbelakangi perkembangan peraturan-peraturan, hubungan antara kedua
lembaga tersebut, implikasi yuridisnya, serta pengaruhnya terhadap tugas yang
diemban oleh kedua lembaga. Dalam bidang penyidikan, dengan berlakunya
KUHAP maka kewenangan kejaksaan dalam fase pemeriksaan pendahuluan yang
meliputi penyidikan, penyidikan lanjutan dan pengawasan koordinasi terhadap
penyidik lain telah dialihkan kepada kepolisian.30
Fungsi penyidikan oleh jaksa sekarang dilanjutkan oleh kepolisian dengan
segala kewenangan yang bergandengan dengan tugas penyidikan tersebut, seperti
upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan badan, pemasukan
rumah, penyitaan dan pemeriksaan surat. Hal ini menjadikan kepolisian sebagai
penyidik utama. Di samping tugas utamanya, yaitu melakukan penuntutan, jaksa
memang masih mempunyai wewenang, yaitu menyidik tindak pidana ekonomi,
tindak pidana korupsi, dan tindak pidana subversi (sebagaimana diatur dalam
Pasal transitoir, Pasal 284 ayat (2) UU No 8 Tahun 1981). Dalam soal inipun
acapkali terjadi konflik kewenangan menyidik sebab polisi berpendapat bahwa
30
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
lembaga itu dapat menyidik semua jenis tindak pidana. Kewenangan ini dikuatkan
dengan lahirnya undang-undang kepolisian yang baru (UU Nomor 2 Tahun 2002)
yang semakin menegaskan kewenangannya itu. Dalam kaitan ini pembicaraan
tentang eksistensi dan peranan Mahkamah Agung, Kehakiman, Kejaksaan, dan
kepolisian (makehjapol) juga sangat relevan. Seperti yang telah diutarakan di atas,
penyidikan dilakukan oleh kepolisian, sedangkan penuntutan dilaksanakan oleh
kejaksaan. Hal ini merupakan perubahan dari sistem HIR, bahwa kejaksaan
mempunyai wewenang melakukan penyidikan lanjutan di samping melakukan
penuntutan.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran yang akan merupakan isi pembahasan dari
skripsi ini dan untuk mempermudah penguraiannya maka penulis membagi skripsi
ini dalam 5 bab.
Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan, pada Bab ini penulis menjelaskan tentang latar belakang,
perumusan masalah, keaslian penulisan, tujuan dan manfaat penulisan,
tinjauan kepustakaan, metodologi penelitian serta sistematika
penulisan juga diuraikan dalam bab ini.
Bab II Dalam bab ini penulis menguraikan tentang upaya hukum
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
Bab III Disini penulis akan menjelaskan dan menguraikan tentang
wewenang jaksa dalam mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dalam
sistem peradilan pidana.
Bab IV Dalam Bab ini penulis akan memberikan posisi kasus dan analisis
kasus dalam perkara Pollicarpus Budihari Priyanto.
Bab V Kesimpulan dan Saran. Pada bab ini merupakan bab terakhir pada
skripsi ini yang merupakan kesimpulan atas hal yang dibahas dan
diuraikan atau merupakan jawaban atas anggapan dasar atau hipotesa
dari skripsi yang berdasarkan penelitian perpustakaan serta penelitian
lapangan. Dan selanjutnya dari kesimpulan yang telah diambil maka
penulis mengajukan saran yang dianggap bermanfaat baik bagi
kepentingan masyarakat maupun pemerintah serta kepada penulis
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
BAB II
PENGATURAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA
A. Putusan Pengadilan yang Dapat Dimintakan Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Bagian kedua upaya hukum luar biasa ialah peninjauan kembali putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, seperti yang dijelaskan
dalam Pasal 263 ayat (1). Bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan atau ahli tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum. Mahkamah Agung memperhatikan bunyi Pasal 263 ayat (1)
dapat dikemukakan beberapa hal seperti yang diuraikan berikut ini :
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 263 ayat (1), dapat dijelaskan sebagai
berikut :
a. Dapat Diajukan Terhadap Semua Putusan Pengadilan yang
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
Terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (kracht
van gewjisde) peninjauan kembali dapat dimintakan kepada Mahkamah Agung.
Selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya peninjauan
kembali tidak dapat dipergunakan. Terhadap putusan yang demikian hanya dapat
ditempuh upaya hukum biasa berupa banding atau kasasi. Upaya hukum
peninjauan kembali baru terbuka setelah upaya hukum biasa (berupa banding dan
kasasi) telah tertutup. Upaya hukum peninjauan kembali tidak boleh melengkahi
upaya hukum banding dan kasasi. Selama upaya hukum bisa masih terbuka, upaya
hukum biasa itu dulu yang mesti dilalui. Tahap proses upaya peninjauan kembali
adalah tahap proses yang telah melampaui upaya hukum biasa.31
31
M Yahya Harahap, OpCit, Hal. 615.
b. Dapat Diajukan Terhadap Semua Putusan Pengadilan
Sebagaimana yang sudah ditegaskan, upaya hukum peninjauan kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Upaya peninjauan kembali dapat diajukan terhadap semua putusan instansi pengadilan, dapat diajukan terhadap putusan Pengadilan Negeri, asalkan putusan instansi itu telah berkekuatan hukum tetap. Demikian pula terhadap putusan Pengadilan Tinggi, dapat diajuakan permintaan peninjauan kembali, jika terhadap putusan itu sudah tertutup jalan mengajukan
permintaan kasasi, sebab putusan Pengadilan Tinggi yang demikian, sudah melekat sifat putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sejak itu terbuka kemungkinan untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali.
Demikian pula terhadap putusan Mahkamah Agung, dapat diajukan upaya peninjauan kembali, setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap. Berarti setelah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa, sejak saat itu melekat dalam putusan Mahkamah Agung sifat putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Maka sejak saat itu terbuka jalan untuk meminta peninjauan kembali terhadap putusan Mahkamah Agung dimaksud :
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
1) Dapat diajukan terhadap putusan Pengadilan Negeri yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
2) Dapat diajukan terhadap putusan Pengadilan Tinggi yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, dan
3) Dapat diajukan terhadap putusan Mahkamah Agung yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
c. Kecuali Terhadap Putusan Bebas dan Lepas dari Segala Tuntutan
Hukum
Sekalipun upaya ini dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, namun undang-undang sendiri telah
menentukan “pengecualian”. Pengecualian itu dijelaskan sendiri dalam Pasal 263
ayat (1) yakni terhadap : 32
32Ibid
, Hal. 616.
i. Putusan bebas (vijspraak), atau
ii. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag rechts vervolging).
Terhadap kedua jenis putusan ini, upaya hukum peninjauan kembali tidak dapat
diajukan. Hal ini memang logis. Bukan tujuan upaya peninjauan kembali,
dimaksudkan sebagai upaya yang memberi kesempatan kepada terpidana untuk
membela kepentingannya, agar dia terlepas dari kekeliruan pemidanaan yang
dijatuhkan kepadanya. Kalau begitu, jika dia sudah dibebaskan dari pemidanaan
ataupun telah dilepas dari segala tuntutan hukum, tidak ada lagi alasan dan urgensi
untuk meninjau kembali putusan yang menguntungkan dirinya. Masakan orang
yang sudah diputus bebas atau dilepas dari segala tuntutan hukum masih ingin lagi
dijatuhi pidana. Atas dasar pemikiran itulah sebabnya upaya peninjauan kembali
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
B. Dasar dan Pihak yang Dapat Mengajukan Upaya Hukum Peninjuan Kembali
Pasal 263 ayat (2) memuat alasan yang dapat dijadikan dasar permintaan
peninjauan kembali, yang dituangkan pemohon dalam “surat permintaan
peninjauan kembali”. Dalam surat permintaan atau permohonan peninjauan
kembali itulah pemohon menyebut secara jelas dasar alasan permintaan.
Memperhatikan ketentuan Pasal 264 ayat (1) dan ayat (4), syarat formula
menentukan sahnya permohonan peninjauan kembali ialah “ surat permintaan”
peninjauan kembali. Tanpa surat permintaan yang memuat alasan-alasan sebagai
dasar, permintaan yang demikian dianggap “tidak ada”. Pendapat ini didukung
oleh Pasal 264 ayat (1) dan ayat (4) yang menegaskan :33
2. Ayat (4) menegaskan, jika pemohon peninjauan kembali adalah
terpidana yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu
menerima permintaan peninjauan kembali, wajib menanyakan
alasannya kepada pemohon dan untuk itu panitera membuat
surat permintaan peninjauan kembali.
1. Ayat (1) kelima terakhir menegaskan, pemohon harus menyebut secara jelas alasan permintaan peninjauan kembali.
Bertitik tolak dari penegasan di atas, syarat formal permohonan peninjauan kembali ialah adanya “surat permintaan” yang memuat alasan yang menjadi dasar permintaan peninjauan kembali. Apakah surat permintaan yang memuat alasan itu dibuat sendiri oleh terpidana atau panitera Pengadilan Negeri sesuai dengan Pasal 264 ayat (4), tidak menjadi soal. Yang penting sebagai syarat sahnya permohonan, harus diajukan dalam surat permintaan peninjauan kembali yang menjelaskan alasan-alasan yang mendasari pernohonan. Dan alasan yang menjadi dasar permintaan peninjauan kembali, sudah dirinci undang-undang dalam Pasal 263 ayat (2) serta ayat (3). Namun alasan pokok
33
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
yang dapat dijadikan dasar permintaan peninjauan kembali ialah hal-hal yang disebut satu per satu dalam Pasal 263 ayat (2).
a. Apabila terdapat Keadaan Baru
Alasan pertama yang dapat dijadikan landasan mendasari permintaan
peninjauan kembali adalah “keadaan baru” atau novum. Keadaan baru yang dapat
dijadikan landasan yang mendasari permintaan adalah keadaan baru yang
mempunyai sifat dan kualitas “menimbulkan dugaan kuat” :34
1. Jika seandainya keadaan baru itu diketahui atau ditemukan dan dikemukakan pada waktu sidang berlangsung dapat menjadi faktor dan alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau.
2. Keadaan baru itu jika ditemukan dan diketahui ada waktu sidang berlangsung dapat menjadi alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan yang menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, atau
3. Dapat dijadikan alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
Untuk sekedar contoh dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 16 Juni
1984 Reg. No. 19 PK/Pid/1983. Salah satu alasan yang mendasari permintaan
peninjauan kembali yang diajukan pemohon berbunyi: “karena terdakwa teleh
meninggal dunia pada tanggal 24 Agustus 1982, sedang jaksa juga tidak
mengajukan permohonan kasasi maka putusan Pengadilan Tinggi telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, walaupun dapat diketahui bahwa Pengadilan
Tinggi telah salah menerapkan hukum. Bahwa seandainya perkara ini oleh jaksa
diajukan permohonan kasasi, ada kemungkinan putusan judex factie akan
dibatalkan oleh Mahkamah Agung dan sekurang-kurangnya tuntutan hukuman
akan dinyatakan gugur berdasar Pasal 77 KUHP (terdakwa meninggal dunia).
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
Alasan keberatan ini tidak dapat dibenarkan Mahkamah Agung dengan tanggapan
bahwa keadaan baru yang dikemukakan pemohon tidak mempengaruhi putusan
Pengadilan Tinggi. Oleh karena itu, alasan tersebut tidak sesuai dengan makna
ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf a. Memang kebetulan terdakwa meninggal
tanggal 24 Agustus 1982. Putusan Pengadilan Tinggi Bandung tanggal 9
Desember 1982. akan tetapi, akta kematian baru diminta kuasa terdakwa tanggal
2 Februari 1983. berarti Pengadilan Tinggi sudah sempat menjatuhkan putusan,
baru kematian terdakwa diberitahukan setahun kemudian. Atas alasan inilah
barangkali Mahkamah Agung berpendapat bahwa keadaan baru yang
dikemukakan pemohon, dianggap “tidak mempengaruhi” putusan Pengadilan
Tinggi Bandung. Akan tetapi, rasanya Mahkamah Agung dalam putusan ini
kurang dapat dipahami.35
b. Apabila dalam Pelbagai Putusan Terdapat Saling Pertentangan
Bukankah dengan adanya fakta keadaan baru berupa
peristiwa kematian terdakwa, cukup merupakan keadaan yang menimbulkan
dugaan bahwa putusan Pengadilan Tinggi akan lain daripada apa yang telah
diputuskan, seandainya kematian terdakwa diketahui sebelum pemeriksaan dan
putusan dijatuhkan.
Alasan kedua yang dapat dipergunakan sebagai dasar permintaan peninjauan kembali, yakni dalam pelbagai putusan terdapat :
1. Pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti
2. Kemudian pernyataan tentang terbuktinya hal atau keadaan itu diajukan sebagai dasar dan alasan putusan dalam suatu perkara.
3. Akan tetapi dalam putusan perkara lain hal atau keadaan yang dinyatakan terbukti itu saling bertentangan antara putusan yang satu dengan yang lainnya.
35Ibid.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
Misalnya, kemungkinan bisa terjadi saling bertentangan antara putusan
perdata dengan putusan pidana. Umpamanya, terdakwa dijatuhi pidana karena
bersalah melakukan kejahatan penggelapan dalam jabatan sebagaimana yang
dirumuskan dalam Pasal 374 KUHP, karena seabgai direktur Bank Pembangunan
Daerah Yogyakarta telah menjual tanah dan rumah jaminan pinjaman di bawah
tangan, sehingga perbuatan ini bertentangan dengan perjanjian dan peraturan
undang-undang. Menurut perjanjian secara tegas disebut, apabila debitur tidak
melunasi pinjaman pada waktu yang ditentukan, pihak bank dengan kuasa yang
tak dapat cabut kembali berhak menjual barang jaminan secara “lelang” menurut
peraturan undang-undang. Dari bunyi perjanjian ini, berarti penjualan mesti
dilakukan melalui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) secara lelang, tapi
direktur bank menjual di bawah tangan. Atas tindakan ini, Pengadilan Negeri
Yogyakarta menghukum direktur melakukan penggelapan dalam jabatan36
Pengadilan pidana menilai direktur terbukti tidak melaksanakan penjualan
menurut cara yang ditentukan undang-undang sebagaimana yang ditegaskan
dalam perjanjian. Oleh pengadilan, pidana telah dinyatakan terbukti hal atau
keadaan penjualan bertentangan dengan cara yang ditentukan undang-undang dan
perjanjian. Berdasarkan hal dan keadaan yang dinyatakan terbukti inilah yang
dijadikan Pengadilan Negeri Yogyakarta menjatuhkan pidana terhadap direktur
atas kejahatan penggelapan dalam jabatan. Kemudian dalam perkara perdata
Pengadilan Negeri Yogyakarta telah menyatakan penjualan yang dilakukan .
36
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009.
USU Repository © 2009
direktur bank sesuai dengan perjanjian, dan tidak bertentangan dengan cara
penjualan yang ditentukan undang-undang. Dengan demikian peradilan perdata
menyimpulkan, penjualan di bawah tangan atas barang jaminan adalah sah. Pada
contoh ini jelas dilihat saling bertentangan antara putusan pidana dan putusan
perdata.
Dalam putusan pidana, penjualan di bawah tangan dinyatakan sebagai suatu keadaan yang terbukti bertentangan dengan peraturan undang-undang. Sedangkan dalam putusan perdata keadaan itu dianggap tidak bertentangan dengan cara yang ditentukan undang-undang. Dalam kasus yang demikian, terpidana menjadikannya sebagai alasan yang mendasari permintaan kembali. Akan tetapi, pertentangan itu harus benar-benar nyata dan jelas tertuang dalam pelbagai putusan yang bersangkutan. Jangan asal saja dikatakan ada saling bertentangan, namun tidak menunjuk secara nyata di mana letak pertentangan itu.
Cara yang demikian dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 13 Juni 1984 Reg. No. 8 PK/Pid/1983, dalam salah satu alasan yang diajukan pemohon peninjauan kembali, telah mengemukakan adanya saling
pertentangan antara perkara perdata No. 1438 K/Sip/1983 dengan perkara pidana No. 8/1980 yang telah menghukum pemohon dengan pidana penjara atas kejahatan penggelapan.
Padahal antara kedua putusan tersebut tidak ada saling bertentangan, malah saling mendukung. Oleh karena itu, Mahkamah Agung dalam menanggapi keberatan tersebut tidak dapat membenarkan serta menolak permohonan peninjauan kembali, karena tidak ada pertentangan antara putusan pidana No. 8/1980 dengan putusan Mahkamah Agung dalam perkara perdata No. 1438 K/Sip/1983.
c. Apabila Terdapat Kekhilafan yang Nyata dalam Putusan
Alasan ketiga yang dijadikan dasar mengajukan permintaan peninjauan
kembali, apabila dalam putusan terdapa dengan jelas ataupun terlihat dengan