• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. HASIL PENELITIAN

1.4. Data Analisis Bivariat dengan Uji Pearson Chi Square

30 16.8 31.5 4 9 4.2 9.5 Perempuan SD 20 21.1 5 5.3 56 (59%) SMP Total 23 43 24.2 45.3 8 13 8.4 13.7 Jumlah 73 76.8 22 22.2 95

1.4. Data Analisis Bivariat dengan Uji Pearson Chi Square

Untuk melihat perbedaan kelainan refraksi pada jenis kelamin digunakan

uji Pearson Chi Square dikarenakan data dalam penelitian bersifat data

nominal yang sudah dikelompokkan yakni berdasarkan jenis kelamin, serta dengan uji ini bisa dapat menentukan kesamaan proporsi atau perbedaan proporsi dari karakteristik jenis kelamin yang dibandingkan.

Dari hasil penelitian menunjukkan perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam hal frekuensi berbeda dimana paling mendominasi yang mengalami kelainan refraksi adalah perempuan (58,9%, n = 43), namun setelah dianalisa dengan uji Pearson Chi Square didapat perbedaan tersebut tidak mempunyai perbedaan yang signifikan. Hal ini ditunjukkan dalam penelitian bahwa nilai P = 0,115 , yang berarti p > 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan karakteristik jenis kelamin yang bermakna terhadap prevalensi kelainan refraksi pada siswa-siswi SD dan SMP RK Budi Mulia Pematangsiantar (Ho gagal ditolak).

2. PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini, peneliti membahas masalah penelitian mengenai bagaimana Perbedaan Karakteristik Jenis Kelamin terhadap Kelainan Refraksi pada siswa SD dan SMP RK Budi Mulia Pematangsiantar.

Dari hasil penelitian, didapatkan jumlah anak paling mendominasi memiliki visus normal (20/20 dan 20/25) adalah jenis kelamin laki-laki baik dextra maupun sinistra berjumlah 81 orang (33.2 %). Kemudian jumlah anak yang paling mendominasi yang mengalami penurunan visus (20/30 – 20/200) adalah jenis kelamin perempuan baik dextra maupun sinistra berjumlah 56 orang (23 %). Sama halnya dengan penelitian oleh Mahapatro (2006) mengemukakan bahwa jumlah pada jenis kelamin laki-laki yang mendominasi yang memiliki visus normal (48.6%, n = 474). Berbeda halnya dengan penelitian oleh Launardo (2010) di kecamatan Tallo kota Makasar

pada November 2010 yakni pada anak usia 3-6 tahun, prevalensi anak yang mempunyai visus normal paling banyak adalah pada jenis kelamin perempuan (96.8%, n = 92).

Penelitian tentang kelainan refraksi sudah banyak dilakukan di beberapa negara bahkan sudah ada beberapa daerah di Indonesia, karena hal ini sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi masyarakat khususnya anak sekolah untuk mencegah komplikasi yang lebih berbahaya dan menurunkan kualitas hidupnya.

Pada penelitian ini, didapatkan 95 siswa mengalami penurunan visus yang terdiri dari 73 siswa diakibatkan oleh kelainan refraksi dan 22 siswa yang tidak diakibatkan oleh kelainan refraksi. Dari 73 siswa yang mengalami kelainan refraksi tersebut terdapat jenis kelamin perempuan yang lebih mendominasi yakni 43 siswa (58,9%). Hal ini sama dengan penelitian seperti di kecamatan Tallo kota Makasar pada November 2010 yakni pada anak usia 3-6 tahun, prevalensi kelainan refraksi anak perempuan lebih tinggi yakni 3 anak dari 5 responden (Launardo, 2010), begitu juga halnya sama dengan di Ethiopia jumlah perempuan dalam rentang umur 5-15 tahun lebih banyak mengalami kelainan refraksi yakni 46 anak dari 86 responden yang mengalami kelainan refraksi (p > 0.6) (Kassa, 2000).

Hasil penelitian tersebut juga didukung dalam penelitian lain dalam studi kasus di Malaysia, pada anak usia sekolah didapatkan prevalensi miopia pada jenis kelamin lebih banyak pada perempuan, kemudian lebih tinggi pada anak usia lebih tua, anak dengan tingkat pendidikan orangtua lebih tinggi, dan

ras Tionghoa, sedangkan hipermetropia lebih banyak ditemukan pada anak usia lebih muda dan pada etnik lainnya (Goh, 2003). Dalam sebuah penelitian dikatakan juga adanya perbedaan prevalensi antara anak laki-laki dan perempuan, dimana perempuan lebih tinggi daripada laki-laki, hal ini disebabkan oleh kecenderungan orangtua yang lebih memperhatikan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, sehingga kelainan refraksi pada anak laki-laki lebih cepat terdeteksi (Lee, 2000 dalam Launardo, 2010).

Berbeda halnya penelitian di daerah Pakistan, dalam periode Januari 2006-Desember 2007 yang mengatakan prevalensi kelainan refraksi pada anak yang berumur 3-15 tahun adalah 500 orang (10%) dimana pada anak laki-laki yang paling tinggi dan kebanyakan yang menderita hipermetropia yakni 58% (Sethi dkk, 2009).

Jika berdasarkan hasil analisa pada penelitian ini dengan uji Pearson Chi

Square didapat perbedaan tersebut tidak mempunyai perbedaan yang

signifikan. Hal ini ditunjukkan dalam penelitian bahwa nilai P = 0,115 , yang berarti p > 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa Ho gagal ditolak, dimana artinya bahwa tidak terdapat perbedaan karakteristik jenis kelamin yang bermakna terhadap prevalensi kelainan refraksi pada siswa-siswi SD dan SMP RK Budi Mulia Pematangsiantar. Hasil ini didukung dalam penelitian di kecamatan Tallo kota Makasar pada November 2010 tidak menunjukkan perbedaan yang berarti antara jenis kelamin dengan kejadian kelainan refraksi (p = 0.526) (Launardo, 2010), begitu juga halnya sama dengan di Ethiopia (p > 0.6) (Kassa, 2000).

Berbeda halnya dengan hasil hipotesis pada penelitian di daerah Qazvin, Iran pada Oktober 2002-September 2008 antara anak yang berumur 7-15 tahun karena memiliki perbedaan pada jenis kelamin yang bermakna (p<0.001) (Khalaj dkk, 2009), begitu juga di China, perbedaan distribusi penurunan ketajaman penglihatan antara laki-laki dan perempuan menunjukkan perbedaan yang signifikan (Kolmogorov-Smirnov test, p<0,001), dengan jumlah perempuan yang lebih banyak pada umur 15 tahun (55,0%) dibandingkan jumlah laki-laki (36,7%) (Zhao J, dkk, 2000).

Jika dilihat dari tinjauan teori, dikatakan bahwa dalam anatomi dari sistem penglihatan yakni bola mata pada jenis kelamin laki-laki mempunyai ukuran agak lebih besar daripada jenis kelamin perempuan (Leeson, 1996). Hal ini akan mempengaruhi organ yang lain yang berada di dalam bola mata khususnya yang dapat menyebabkan kelainan refraksi seperti kornea, lensa dan organ yang lain pada setiap jenis kelamin, karena pertumbuhan bola mata yang terlalu besar/panjang beresiko untuk menderita kelainan refraksi khususnya miopia. Jika dilihat dari faktor pertumbuhan dan perkembangan, gender (jenis kelamin) merupakan faktor yang berpengaruh. Perubahan ini disertai dengan perubahan yang berkaitan dengan struktur dan fungsi organ internal yang mencerminkan diperolehnya kompetensi fisiologis secara bertahap (Wong, 2008).

Maka ditarik kesimpulan bahwa dalam penelitian ini ditemukan dari 95 siswa yang mengalami penurunan visus, 73 siswa diakibatkan oleh kelainan refraksi dan 22 siswa yang tidak diakibatkan oleh kelainan refraksi. Dari 73

siswa yang mengalami kelainan refraksi tersebut terdapat jenis kelamin perempuan yang lebih mendominasi yakni 43 siswa (58,9%). Hal ini menunjukkan perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam hal frekuensi berbeda, namun setelah dianalisa dengan uji Pearson Chi

Square didapat perbedaan tersebut tidak mempunyai perbedaan yang

signifikan.

Hal perbedaan yang tidak signifikan tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti bisa diakibatkan proses dari pertumbuhan dan perkembangan bola mata setiap responden baik pada laki-laki dan perempuan yang mempengaruhi refraksi penglihatan belum diketahui lebih dalam, begitu juga jumlah responden antara laki-laki dan perempuan dalam penelitian ini tidak seimbang, riwayat genetik dari kedua orangtua yang kemungkinan berpengaruh belum diketahui secara pasti, serta kebiasaan/perilaku responden baik laki-laki maupun perempuan dalam kegiatan membaca; menonton; bermain.

Oleh sebab itu, dalam penelitian berikutnya diharapkan waktu penelitian lebih lama sehingga penelitian dapat dilakukan lebih teliti dan secara mendalam dalam mengetahui faktor-faktor penyebab atau pendukung terjadinya kelainan refraksi pada responden seperti mengenai riwayat kedua orangtua yang memakai kacamata, dan kebiasaan anak sehari-hari yang menggunakan penglihatan, serta mengusahakan jumlah populasi dan sampel memiliki proporsi yang seimbang.

BAB 6

Dokumen terkait