• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skema 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

9. Analisa Data

1.1. Data Demografi Responden

Sampel dalam penelitian ini adalah pasien hemodialisa yang berusia 21-59 tahun, tidak mendapat terapi hemodialisa karena keracunan atau karena gangguan kardiovaskuler yang berjumlah 40 orang.

Adapun karakteristik demografi yang dipaparkan mencakup umur responden, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan terakhir, lama menjalani hemodialisa, hemodialisa per minggu, penyakit penyebab dan penghasilan per bulan.

Data yang diperoleh menunjukkan mayoritas umur responden 41-50 tahun (32,50%), jenis kelamin perempuan (57,50%), pekerjaan pegawai negeri sipil (PNS) (32,50%) dengan pendidikan terakhir SLTA (52,50%) . Rata-rata lama pasien menjalani hemodialisa > 1-5 tahun (65%), dan sebagian besar melakukan hemodialisa sebanyak 2 kali perminggu (87,50%). Lebih dari setengah responden mengalami gagal ginjal kronik dan harus menjalani terapi hemodialisa disebabkan

penyakit diabetes mellitus (77,50%), dan sebagian besar memiliki penghasilan sebulan lebih dari Rp. 1,2 juta (72,50%).

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Data Demografi Pasien Hemodialisa di BPK RSU Langsa, bulan Oktober, tahun 2009.

No Data Demografi Frekuensi (f) Persentase (%)

1 Umur : a. 21-30 tahun b. 31-40 tahun c. 41-50 tahun d. 51-60 tahun 6 9 13 12 15,00 22,50 32,50 30,00 2 Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan 17 23 42,50 57,50 3 Pekerjaan: a. PNS b. Wiraswasta c. Petani d. Nelayan e. IRT f. Karyawan Swasta 13 9 2 3 6 7 32,50 22,50 5,00 7,50 15,00 17,50 4 Pendidikan Terakhir : a. SD b. SLTP c. SLTA d. D III e. PT 5 7 21 4 3 12,50 17,50 52,50 10,00 7,50 5 Lama menjalani hemodialisa :

a. < 1 tahun b. > 1-5 tahun c. > 5-10 tahun 9 26 5 22,50 65,00 12,50 6 Jumlah hemodialisa per minggu

a. 1 kali/minggu b. 2 kali/minggu 5 35 12,50 87,50 7 Penyakit penyebab : a. Diabetes Mellitus b. Infeksi 31 9 77,50 22,50 8 Penghasilan perbulan : a. 1,2 juta/bulan b. < 1,2 juta/bulan c. > 1,2 juta/bulan 4 7 29 10,00 17,50 72,50

1. 2. Pola hidup penderita gagal ginjal kronik sebelum menjalani terapi hemodialisa.

a. Pola hidup penderita gagal ginjal kronik sebelum menjalani terapi hemodialisa ditinjau dari aktifitas fisik.

Hasil pengolahan data terhadap subvariabel aktifitas fisik penderita gagal ginjal kronik sebelum menjalani terapi hemodialisa adalah nilai baik 13-20 dan tidak baik adalah 5-12. Hasil pengkatagorian tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 5.2 Distribusi frekuensi aktifitas fisik pada penderita gagal ginjal kronik sebelum menjalani terapi hemodialisa di BPK RSU Langsa, bulan Oktober tahun 2009.

No Kategori F %

1 Baik 9 22,50

2 Tidak Baik 31 77,50

Total 40 100

Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui bahwa dari 40 responden, dengan katagori aktifitas fisik baik sebanyak 9 orang (22,50%), dan katagori tidak baik sebanyak 31 orang (77,50%).

b. Pola hidup penderita gagal ginjal kronik sebelum menjalani terapi hemodialisa ditinjau dari penggunaan zat.

Hasil pengolahan data terhadap subvariabel penggunaan zat penderita gagal ginjal kronik sebelum menjalani terapi hemodialisa adalah nilai baik 13-20 dan tidak baik adalah 5-12. Hasil pengkatagorian tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 5.3 Distribusi frekuensi penggunaan zat pada penderita gagal ginjal kronik sebelum menjalani terapi hemodialisa di BPK RSU Langsa, bulan Oktober tahun 2009.

No Kategori F %

1 Baik 6 15,00

2 Tidak Baik 34 85,00

Total 40 100

Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa dari 40 responden, dengan katagori penggunaan zat baik sebanyak 6 orang (15,00%), dan katagori tidak baik sebanyak 34 orang (85,00%).

c. Pola hidup penderita gagal ginjal kronik sebelum menjalani terapi hemodialisa ditinjau dari pola diet.

Hasil pengolahan data terhadap subvariabel pola diet penderita gagal ginjal kronik sebelum menjalani terapi hemodialisa adalah nilai baik 21-40 dan tidak baik adalah 10-20. Hasil pengkatagorian tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 5.4 Distribusi frekuensi pola diet pada penderita gagal ginjal kronik sebelum menjalani terapi hemodialisa di BPK RSU Langsa, bulan Oktober tahun 2009.

No Kategori f %

1 Baik 5 12,50

2 Tidak Baik 35 87,50

Total 40 100

Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa dari 40 responden, dengan katagori pola diet baik sebanyak 5 orang (12,50%), dan katagori tidak baik sebanyak 35 orang (87,50%).

d. Pola hidup penderita gagal ginjal kronik sebelum menjalani terapi hemodialisa.

Hasil pengolahan data terhadap variabel pola hidup penderita gagal ginjal kronik sebelum menjalani terapi hemodialisa adalah nilai baik 41-80 dan tidak baik adalah 20-40. Hasil pengkatagorian tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 5.5 Distribusi frekuensi pola hidup pada penderita gagal ginjal kronik sebelum menjalani terapi hemodialisa di BPK RSU Langsa, bulan Oktober tahun 2009.

No Kategori F %

1 Baik 8 20,00

2 Tidak Baik 32 80,00

Total 40 100

Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa dari 40 responden, dengan katagori pola hidup baik sebanyak 8 orang (20%), dan katagori tidak baik sebanyak 32 orang (80%).

2. Pembahasan

1. Pola hidup penderita gagal ginjal kronik sebelum menjalani terapi hemodialisa ditinjau dari aktifitas fisik.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan pola hidup penderita gagal ginjal kronik sebelum menjalani terapi hemodialisa ditinjau dari aktifitas fisik mayoritas tidak baik sebanyak 31 orang (77,50%). Hal ini sesuai dengan pernyataan Ayers, Bruno dan Langford (1999) bahwa pola hidup yang cenderung meningkatkan resiko menderita penyakit dilihat dari aktifitas fisik adalah individu yang lebih

banyak duduk, tidak berolah raga atau melakukan olah raga tidak teratur atau frekuensi latihan fisik tidak mencapai 30 menit dengan aktifitas minimal 3 kali dalam satu minggu.

Hasil penelitian senada dikemukakan Iseki (2005) individu yang memiliki aktifitas fisik rendah beresiko mengalami beragam penyakit seperti diabetes, hiperlipidemia, hipertensi, dan obesitas yang merupakan faktor-faktor risiko terhadap penyakit kardiovaskuler, gagal ginjal kronik. Hal ini diestimasi berdasarkan studi epidemiologi terhadap faktor risiko penyakit tidak menular dan serangkaian pemeriksaan kesehatan terhadap individu yang mengalami penyakit ginjal terkait dengan peningkatkan prevalensi penyakit gagal ginjal kronik di Jepang. Adanya hubungan antara gagal ginjal kronik dan gaya hidup yang berisiko akan membantu dalam meningkatkan upaya-upaya pencegahan penyakit gagal ginjal kronik.

2. Pola hidup penderita gagal ginjal kronik sebelum menjalani terapi hemodialisa ditinjau dari penggunaan zat.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan pola hidup penderita gagal ginjal kronik sebelum menjalani terapi hemodialisa ditinjau dari penggunaan zat mayoritas tidak baik sebanyak 34 orang (85,00%). Hal ini sesuai dengan pernyataan Ayers, Bruno dan Langford (1999) bahwa pola hidup yang tidak baik dilihat dari penggunaan zat adalah perilaku beresiko seperti merokok, menggunakan obat-obatan tidak sesuai dengan aturan yang telah diberikan, penggunaan zat kimia yang berbahaya bagi tubuh, dan sebagainya. Perilaku ini

bila dilakukan oleh individu dalam jangka panjang dapat mengakibatkan gangguan kerja ginjal yang berakhir dengan gagal ginjal kronik.

Hasil penelitian senada dinyatakan oleh Bénédicte dan kolega (2003) bahwa salah satu perilaku penggunaan zat baik legal maupun ilegal, yang memiliki resiko serius terhadap kesehatan adalah merokok. Gangguan ginjal karena merokok, berawal dari terjadinya nepfrosklerosis dan glomerulonefrritis yang disebabkan kandungan zat dalam rokok. Seorang perokok diperkirakan beresiko mengalami kejadian tersebut 1,2 kali lebih tinggi dari individu yang tidak merokok. Risiko ini lebih tinggi bila jumlah rokok yang dihisap lebih dari 20 batang perhari. Individu yang merokok > 20 batang rokok perhari diperkirakan 2,3 kali lebih mungkin mengalami gagal ginjal kronik dibandingkan yang merokok 1-20 batang sehari.

Shankar dan kolega (2006) menyatakan hal serupa bahwa perilaku merokok menyebabkan seseorang beresiko menderita gagal ginjal kronik 2,2 kali lebih tinggi dibandingkan individu yang tidak merokok dan tetap lebih tinggi meskipun kemudian memutuskan untuk berhenti merokok. Perokok yang telah berhenti berisiko 1,08 kali menderita gagal ginjal kronik sedangkan yang memilih untuk tetap merokok 2,4 kali lebih mungkin mengalami gagal ginjal kronik.

Menurut studi terhadap pasien yang menderita gagal ginjal kronik yang kemudian mengalami gagal ginjal terminal, ditemukan zat-zat lain selain rokok yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan ginjal. Zat tersebut diantaranya yaitu obat anti nyeri. Observasi yang dilakukan selama 2 tahun memperlihatkan pasien yang telah mengkonsumsi obat anti nyeri secara tidak tepat (lebih dari satu

pil dalam seminggu) sepanjang kurun waktu 2 tahun atau lebih untuk menghilangkan rasa sakit beresiko mengalami kerusakan ginjal. Lebih lanjut ditemukan, pasien yang bekerja dalam waktu lama pada sektor industri, lebih mungkin mengalami gagal ginjal dibandingkan sektor lain. Sektor industri yang paling tinggi frekuensi penderitanya yaitu automobil (51%), diikuti pekerja konstruksi (17%), pengecoran logam (9%) dan pekerja rumah sakit (6%) (Steenland dkk, 2005).

3. Pola hidup penderita gagal ginjal kronik sebelum menjalani terapi hemodialisa ditinjau dari pola diet.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan pola hidup penderita gagal ginjal kronik sebelum menjalani terapi hemodialisa ditinjau dari pola diet mayoritas tidak baik sebanyak 35 orang (87,50%). Hal ini sesuai dengan pernyataan Francis (2008) bahwa pola diet yang tidak baik dalam makanan sehari-hari akan meningkatkan resiko mengalami penyakit yang memiliki komplikasi gagal ginjal kronik. Pola diet yang beresiko tersebut seperti intake makanan dengan kadar karbohidrat tinggi namun minim serat yang banyak terkandung dalam jenis makanan cepat saji. Individu dengan asupan nutrisi jenis ini secara terus menerus sebagian besar akan mengalami penumpukan lemak di daerah perut dimana merupakan salah satu faktor risiko timbulnya diabetes mellitus tipe 2. Komplikasi jangka panjang diabetes mellitus adalah nefropati diabetes yang mengkibatkan penurunan fungsi ginjal yang dapat berakhir dengan terjadinya gagal ginjal kronik.

Hal yang senada dikemukakan oleh Iseki (2005) yang melakukan investigasi terhadap faktor-faktor yang mendukung terjadinya gagal ginjal terminal melalui pemeriksaan status ginjal (renal outcome). Pemeriksaan tersebut menemukan bahwa nutrisi yang berlebihan menjadi salah satu faktor risiko yang mendukung timbulnya gagal ginjal kronik.

Nomura dan kolega (2009) menyatakan hal yang sama bahwa konsumsi diet yang berlebihan yang menyebabkan peningkatan berat badan menjadi faktor resiko timbulnya berbagai penyakit. Studi di Jepang menunjukkan bahwa kenaikan berat badan yang diukur dengan Body Mass Index (BMI) merupakan parameter yang signifikan berhubungan dengan kejadian gagal ginjal kronik. Hal ini disebabkan setiap kenaikan dari BMI akan diikuti oleh kenaikan tekanan darah, lipid serum serta kadar glukosa darah. Setiap peningkatan BMI akan diikuti dengan peningkatan risiko mengalami gagal ginjal kronik. Walaupun mekanisme yang mendasari hubungan peningkatan BMI dengan gagal ginjal kronik tidak begitu dimengerti namun diestimasi bahwa kejadian tersebut ada kaitannya dengan aktivasi sistem renin angiotensin, peningkatan aktifitas nervus simpatis, terjadi resistensi insulin atau hiperinsulinemia dan dislipidemia. Kerusakan toleransi glukosa ini yang diduga berhubungan dengan kejadian gagal ginjal kronik.

Individu yang memiliki berat badan yang berlebihan atau overweight karena pola diet yang tidak tepat ditemukan lebih banyak yang menjalani terapi hemodialisa karena gagal ginjal terminal dibandingkan pasien yang memiliki berat badan normal atau kurang. Studi yang dilakukan terhadap 1010 pasien

memperlihatkan, bila dilihat dari berat badan maka 47,9% pasien mempunyai kelebihan berat badan, 40,2% memiliki berat badan normal dan 11,9% memiliki berat badan di bawah standar untuk usia dan jenis kelaminnya (Salahudeen dkk, 2004).

4. Pola hidup penderita gagal ginjal kronik sebelum menjalani terapi hemodialisa.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan pola hidup penderita gagal ginjal kronik sebelum menjalani terapi hemodialisa mayoritas tidak baik sebanyak 32 orang (80%). Hal ini sesuai dengan pernyataan Ayers, Bruno dan Langford (1999) bahwa pola hidup merupakan salah satu dari segitiga keadaan yang mempengaruhi kesehatan individu. Faktor-faktor yang tergolong dalam pola hidup meliputi nutrisi, olah raga, penggunaan zat, dan lain-lain. Asupan nutrisi yang tidak tepat, olah raga yang tidak sesuai dengan usia dan aktifitas tubuh, serta penggunaan zat-zat yang dapat merusak tubuh akan mendorong seseorang menderita penyakit dimana pola hidup menjadi pemicunya seperti gagal ginjal kronik.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Elisabeth (2005), bahwa gagal ginjal kronik, semakin meningkat insidensinya dari tahun ke tahun. Pertumbuhan ini didorong oleh banyak kejadian dari perilaku yang terkait dengan pola hidup dan lingkungan yang membantu meningkatkan resiko serta progresifitas penyakit gagal ginjal kronik. Penelitian dengan menggunakan kasus kontrol menemukan pola hidup seperti merokok, kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi protein, dan mengkonsumsi obat secara tidak tepat seperti obat penurun panas atau obat

penghilang nyeri meningkatkan resiko menderita gagal ginjal kronik 2,5 kali lebih tinggi dibandingkan individu yang tidak merokok, mengkonsumsi makanan tinggi serat dan tidak secara sembarangan menggunakan obat anti nyeri.

BAB VI

Dokumen terkait