• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggal Suhu (oC) Lembab Nisbi (%) Curah Hujan (mm)

April Mei Juni Juli Agustus April Mei Juni Juli Agustus April Mei Juni Juli Agustus

1 26.5 28.5 25.8 25.5 26 84 84 89 94 86 - 0.7 26.5 3 - 2 27.9 29.1 27.6 26.4 26.3 81 81 83 88 85 2.3 - - 7.5 - 3 27.7 28.5 27.3 26.4 25.5 85 83 87 83 89 37.2 - 57.6 2.2 15.5 4 26.9 27.2 26.4 26.2 26.1 85 87 91 86 87 17.8 73.7 3 - 0.7 5 27 27.9 27 27.3 27.2 88 86 87 85 84 33.1 61 - - - 6 26.7 28.2 27 28.6 27.5 84 86 89 78 85 - 14 0.5 - 10 7 27 28.5 26.6 27.6 26.5 92 83 86 85 80 42.8 - 63.9 16.7 - 8 27 28.9 25.8 24.8 26.8 86 78 88 91 86 - - - 4.6 - 9 28 28.7 28.4 27.5 27.1 82 85 83 80 81 65.7 13.3 5.5 - - 10 27.6 27.7 26.7 28 27.6 86 81 81 83 79 - - - - - 11 28.3 28.8 28.8 26.6 28.1 84 82 76 86 83 26.8 2.3 - - 0.5 12 27.5 28.1 28 26.6 27.5 84 86 84 85 82 - 9.3 - - 9 13 27.9 27.1 27.9 27.3 28 83 90 82 87 84 - 11.1 - 18.6 2.2 14 28 28 28.5 26.2 26.6 82 85 82 85 87 38.2 - - - 13.9 15 28.1 28.2 26.8 27.3 25.3 81 84 89 84 91 5.8 15 18.1 - 7.8 16 26.3 28.8 25.4 26.2 27 89 83 92 89 82 - 0.3 1.2 0.9 2.8 17 29.1 27.7 26.7 26.5 26 77 88 84 87 91 26.6 - - - 7.3 18 26.7 29.6 27.1 26.6 25.7 88 81 81 86 91 - - - - 34 19 28.2 27.8 26.3 26.6 26.6 81 88 85 85 83 12.6 58.9 - - 20 28.1 27.5 27.9 27.4 27.1 83 91 81 78 88 - - - - 0.2 21 29.3 28.5 28.1 27.4 26.1 80 78 81 86 85 - - - 5.7 - 22 27.9 28.5 28.2 27.3 28.2 85 77 80 84 77 - 6 0.2 - - 23 29.4 28.1 26.5 27.5 28.1 81 82 89 78 77 - 6 16.4 - - 24 27.5 28.6 25.2 28 28.8 83 81 89 77 77 - - 10.5 - - 25 28.5 27.7 25.7 26 28.7 84 85 89 87 78 - - 3 0.1 - 26 29.2 27.6 27.3 25.2 26.1 78 83 84 90 84 - - - 113.8 19.5 27 28 26.6 26.4 26.4 27 80 87 88 82 84 - 2.5 - 0.1 0.3 28 28.7 27.7 27 28.1 27.2 80 84 84 77 78 - 12.2 - - - 29 28.8 27.1 28 26.9 26.8 81 89 81 83 83 - 16.6 - - - 30 28.8 27.3 27.3 25.7 27.2 81 87 86 92 82 - - 7 11.8 - 31 28.4 27.2 27.1 85 81 81 29.2 0.1 - Rata-rata 27.88 28.09 27.05 26.81 26.96 83.26 84.19 85.03 84.58 83.54 11.2 19.53 16.41 14.23 8.83 Maksimum 29.4 29.6 28.8 28.6 28.8 92 91 92 94 91 65.7 73.7 69.3 113.8 34 Minimum 26.3 26.6 25.2 24.8 25.3 77 71 76 77 77 2.3 0.3 0.2 0.1 0.2 48

!" !#$

%

- +)/)1 -*23*+)' /)' 4/*,0 / ) 1)/)

*/ /)5) '*+ / )+)' )0)'( * *- 3 23 '( + %

Budidaya jenuh air (BJA) merupakan penanaman dengan memberikan air secara terus menerus melalui parit-parit di sekitar petak pertanaman dan membuat tinggi permukaan air di bawah permukaan tanah tetap sehingga lapisan tanah di bawah perakaran jenuh air. Pencucian lahan dapat mengurangi pengaruh negatif bahan beracun yang berbahaya bagi tanaman.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu pencucian dan

varietas terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai ( (L.) Merill)

pada budidaya jenuh air di lahan pasang surut. Penelitian ini dilakukan di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, dari bulan April sampai Agustus 2010.

Percobaan ini menggunakan Rancangan Petak Terpisah dengan tiga ulangan. Perlakuan terdiri dari dua faktor yaitu waktu pencucian dan varietas. Waktu pencucian sebagai petak utama terdiri dari perlakuan tanpa pencucian, pencucian setiap 2, 4 dan 6 minggu. Varietas sebagai anak petak yang terdiri dari Varietas Tanggamus, Slamet, Willis dan Anjasmoro. Setiap petak utama dikelilingi saluran air yang berukuran lebar 30 cm dan dalam 25 cm, dengan demikan kondisi petakan akan selalu basah pada saat air irigasi diberikan. Pemberian air irigasi dilakukan sejak penanaman sampai panen dengan ketinggian muka air 15 cm di bawah permukaan tanah.

Hasil penelitian menunjukan bahwa varietas memberikan respon yang berbeda terhadap waktu pencucian. Varietas Tanggamus memperoleh hasil tertinggi pada pencucian setiap dua minggu yaitu sebesar 3.08 ton/ha, varietas Slamet dan Willis pada pencucian setiap empat minggu yaitu berturut-turut sebesar 2.4 ton/ha dan 2.71 ton/ha. Produktivitas tertinggi diperoleh varietas Anjasmoro dengan waktu pencucian setiap dua minggu sekali (4.06 ton/ha) namun tidak berbeda nyata dengan pencucian setiap empat minggu sekali (3.99

Kedelai merupakan salah satu tanaman pangan yang penting bagi penduduk Indonesia sebagai sumber protein nabati, bahan baku industri, pakan ternak dan bahan baku industri pangan. Protein yang tinggi pada kedelai berperan penting dalam kebutuhan gizi masyarakat Indonesia (Budiarti dan Hadi, 2006). Produksi kedelai dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan kedelai nasional. Setiap tahun pemerintah mengimpor kedelai sekitar 1,3 juta ton untuk memenuhi kebutuhan. Rendahnya produktivitas dan belum optimalnya pengembangan areal pertanaman kedelai menjadi salah satu faktor penyebab. Usaha yang perlu untuk dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional adalah dengan memperluas lahan budidaya kedelai dan meningkatkan produktivitasnya (Irwan, 2006).

Penurunan luas areal produksi kedelai akhir-akhir ini sudah mencapai kondisi kritis, yaitu penurunannya lebih dari 60% pada luas areal panen dan lebih dari 50% pada produksi kedelai nasional. Peningkatan impor kedelai tidak dapat dihindari untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan salah satu penyebabnya adalah harga kedelai impor cukup rendah. Kondisi demikian menyebabkan kedelai Indonesia tidak berkembang bahkan dapat dikatakan mengalami kemunduran (Budiarti dan Hadi, 2006).

Permintaan kedelai terus meningkat jauh melampaui produksi dalam negeri. Kebutuhan kedelai per tahun 2009 diperkirakan mencapai 2 037 530 ton, sedangkan produksi dalam negeri dalam beberapa tahun terakhir cenderung menurun (Sudaryanto dan Swastika, 2007). Produksi kedelai nasional tahun 2008 dari luas areal panen 590 956 ha sekitar 775 710 ton. Tahun 2009 luas areal panen meningkat menjadi 772 791 ha dengan produksi sekitar 974 512 ton. Pada tahun 2010 luas areal panen dan produksi kedelai mengalami penurunan dari tahun 2009 menjadi 672 242 ha dengan produksi 905 015 ton (BPS, 2010).

Indonesia mempunyai kawasan rawa yang sangat luas, yaitu sekitar 33.43 juta ha atau hampir 20% dari luas daratan kepulauan nusantara (197.944 juta ha). Kawasan rawa ini terbagi menjadi dua, yaitu rawa pasang surut dan rawa lebak.

Rawa pasang surut meliputi luas sekitar 20.15 juta ha, terdiri dari tiga tipologi lahan utama yaitu lahan gambut (10.9 juta ha), lahan sulfat masam (6.70 juta ha) dan lahan alluvial lainnya yang merupakan endapan sungai (fluviatil), non-sulfat masam (2.07 juta ha) serta sisanya merupakan berbagai lahan salin (0.48 juta ha) (Noor, 2004). Lahan pasang surut merupakan lahan harapan bagi produksi pertanian masa mendatang, karena penciutan lahan subur untuk berbagai keperluan non pertanian dan laju pertumbuhan penduduk serta perkembangan

industri (Adri , 2001).

Lahan pasang surut mempunyai potensi yang cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai lahan usaha tani apabila tanah aluvial bersulfidik ini tidak terlalu masam dan miskin unsur hara (Widjaja dan Adhi, 1996). Luas lahan pasang surut di Indonesia sekitar 20.1 juta ha, dan sekitar 9.53 juta hektar berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian. Lahan pasang surut yang mempunyai potensi tinggi untuk ditanami kedelai seluas 2.08 juta ha, sedangkan yang berpotensi sedang seluas 1.33 juta ha (Ghulamahdi, 2009).

Permasalahan pengembangan kedelai di lahan pasang surut adalah tingginya kadar pirit yang menyebabkan rendahnya pH tanah pada saat kondisi teroksidasi. Kadar pirit yang tinggi menyebabkan produktivitas kedelai di lahan pasang surut masih rendah hanya sekitar 800 kg/ha. Rendahnya produktivitas tanaman di lahan pasang surut disebabkan oleh tingginya kemasaman tanah, kelarutan Fe, Al dan Mn serta rendahnya ketersediaan unsur hara tanaman terutama P dan K. Usaha penurunan kadar pirit lahan pasang surut dapat dilakukan dengan cara mempertahankan tinggi muka air agar kondisi tanah lebih reduktif. Adanya teknologi Budidaya Jenuh Air (BJA) memberikan peluang untuk menurunkan kadar pirit (Ghulamahdi, 2009).

Budidaya Jenuh Air (BJA) dapat memperbaiki pertumbuhan dan peningkatan produksi dibandingkan irigasi biasa pada beberapa varietas kedelai. Hasil penelitian pengembangan bertanam kedelai di tanah jenuh air menunjukan bahwa dengan budidaya jenuh air diperoleh peningkatan hasil biji kedelai mencapai 2,4 ton/ha (Sumarno,1986). Varietas Tanggamus bisa mencapai hasil 4.51 ton/ha biji kering dengan budidaya jenuh air di lahan pasang surut (Ghulamahdi, 2009). Penanaman dengan sistem BJA sangat potensial

dikembangkan di Indonesia. Budidaya jenuh air merupakan salah satu usaha ke arah ekstensifikasi pertanaman kedelai dengan memanfaatkan lahan seperti rawa

dan daerah pasang surut (Iman ,. 1988).

Drainase lahan pertanian adalah suatu usaha membuang “kelebihan air” secara alamiah atau buatan dari permukaan tanah atau dari dalam tanah sampai kondisi optimal untuk menghindari pengaruh yang merugikan terhadap pertumbuhan tanaman (Suhatmo, 2003). Pembuangan air dari lahan dapat mencuci bahan-bahan beracun yang berbahaya bagi tanaman. Pengelolaan air untuk mencegah terjadinya oksidasi pirit menjadi sangat penting dan merupakan salah satu faktor kunci untuk keberhasilan usaha tani di lahan pasang surut (Suriadikarta, 2005).

*<*)'

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh waktu pencucian dan varietas terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai (

(L.) Merill) pada budidaya jenuh air di lahan pasang surut.

14- 0 0

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:

1. Ada pengaruh waktu pencucian terhadap pertumbuhan dan produksi

kedelai

2. Ada pengaruh varietas terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai

3. Ada pengaruh interaksi varietas dan waktu pencucian terhadap

4-)' / )

Kedelai ( (L) Merril ) merupakan tanaman pangan semusim

dari famili Leguminoseae. Tanaman kedelai termasuk berbatang semak yang dapat mencapai ketinggian antara 30-100 cm. Batang ini beruas-ruas dan memiliki percabangan antara 3-6 cabang. Daun kedelai mempunyai ciri-ciri antara lain helai daun (lamina) oval, dan tata letaknya pada tangkai daun bersifat

majemuk berdaun tiga ( ). Daun ini berfungsi sebagai alat untuk proses

fotosíntesis, respirasi dan transpirasi (Rukmana dan Yuyun, 1996)

Biji kedelai berkeping dua yang terbungkus oleh kulit biji. Embrio terletak diantara keping biji. Warna kulit buah bermacam-macam ada yang kuning, hitam, hijau dan cokelat. Bentuk biji kedelai pada umumnya bulat lonjong, ada yang bundar atau bulat agak pipih. Besar biji bervariasi tergantung varietas. Di Indonesia, besar biji bervariasi dari 6 g-30 g (Suprapto, 2001).

Pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe determinate dan indeterminate. Perbedaan sistim pertumbuhan batang ini didasarkan atas keberadaan bunga pada pucuk batang. Pertumbuhan tipe batang determinate ditunjukan dengan batang yang tidak tumbuh lagi pada saat tanaman mulai berbunga. Sementara pertumbuhan batang tipe indeterminate dicirikan bila pucuk batang tanaman masih bisa tumbuh daun, walaupun tanaman sudah mulai berbunga (Adisarwanto, 2005).

'(,*'()' *23*+ / )

Tanaman kedelai dapat beradaptasi terhadap berbagai jenis tanah yang bertekstur ringan hingga sedang, dan berdrainase baik. Kedelai peka terhadap kondisi salin (Rubatzky dan Yamaguchi, 1988). Kedelai tumbuh baik pada tanah bertekstur gembur, lembab, tidak tergenang air, dan memiliki pH 6-6.8. Pada pH 5.5 kedelai masih dapat berproduksi, meskipun tidak sebaik pada pH 6-6.8. Pada pH <5.5 pertumbuhan kedelai sangat terlambat karena keracunan alumunium

(Najiyati dan Danarti, 1999). Pada pH di bawah 5.0 pertumbuhan bakteri bintil dan proses nitrifikasi berjalan kurang baik (Suprapto, 2001).

Tanaman kedelai dapat tumbuh pada kondisi suhu yang beragam. Suhu tanah yang optimal dalam proses perkecambahan yaitu 30°C. Bila tumbuh pada suhu tanah yang rendah (<15°C), proses perkecambahan menjadi sangat lambat, bisa mencapai 2 minggu. Hal ini dikarenakan perkecambahan biji tertekan pada kondisi kelembaban tanah tinggi. Sementara pada suhu tinggi (>30°C), banyak biji yang mati akibat respirasi air dari dalam biji yang terlalu cepat. Tanaman kedelai dapat tumbuh optimal pada suhu lingkungan 24-25°C (Irwan, 2006).

Jumlah air yang digunakan oleh tanaman kedelai tergantung pada kondisi iklim, sistem pengelolaan tanaman, dan lama periode tumbuh. Umumnya kebutuhan air pada tanaman kedelai berkisar 350-450 mm selama masa pertumbuhan kedelai. Pada saat perkecambahan, faktor air menjadi sangat penting karena akan berpengaruh pada proses pertumbuhan. Kebutuhan air semakin bertambah seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Kebutuhan air paling tinggi terjadi pada saat masa berbunga dan pengisian polong (Irwan, 2006).

)+)' )0)'( * *-

Lahan pasang surut merupakan lahan marginal yang memiliki berbagai kendala biofisik dan sosial ekonomi. Kendala biofisik antara lain, kesuburan lahan dan pH tanah yang rendah, hama dan penyakit, jaringan irigasi yang belum berfungsi dengan baik, penurunan permukaan air tanah yang cukup dalam menyebabkan terjadinya lapisan pirit yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Kendala dari aspek sosial ekonomi adalah keterbatasan tenaga kerja, modal, tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah serta sarana dan

prasarana penunjang kurang kondusif (Adri 2001).

Berdasarkan tipe luapan air, lahan pasang surut dapat dibedakan menjadi lahan bertipe luapan air A, B, C, atau D. Lahan yang bertipe luapan air A adalah lahan pasang surut yang langsung dan selalu terluapi air, baik pada saat pasang besar maupun kecil. Lahan tipe B adalah lahan yang hanya terluapi air pada saat pasang besar saja. Lahan tipe C lahan tidak terluapi air walaupun pasang besar, namun air tanahnya dangkal. Lahan tipe D adalah lahan yang tidak terluapi oleh

pasang besar maupun pasang kecil, namun permukaan air tanahnya dalam, lebih

dari 50 cm (Suastika 1997). Kedelai pada umumnya diusahakan di lahan

pasang surut tipe C atau D, dengan pola tanam padi-kedelai atau palawija lain

(Sabran 2000).

Lahan pasang surut potensial dicirikan oleh adanya lapisan pirit (FeS2) pada kedalaman lebih dari 50 cm dari permukaan tanah. Lahan pasang surut potensial di Sumatra Selatan memiliki kedalaman lapisan pirit antara 50-100 cm. Tekstur tanahnya bervariasi, sebagian besar adalah liat dan liat berdebu, hanya

sebagian kecil lempung berliat dan lempung liat berdebu dengan pH (H2O)

tanahnya berkisar antara 3.3 sampai 5.9 (Thamrin, 2000).

Sebagian besar tanah mineral di daerah pasang surut bersifat sulfat masam. Kadungan pirit dalam tanah sulfat masam beragam dan cenderung semakin meningkat ke lapisan bawah, terutama pada Sulfaquent dan sulfaquept (Breemen dan Pons, 1973). Pirit membahayakan tanaman apabila berada dalam suasana teroksidasi yang menyebabkan turunnya pH dengan cepat. Terjadinya oksidasi bahan sulfidik yang mengandung lapisan pirit dalam tanah diawali dari kekurangan air dalam tanah sehingga permukaan air tanah turun melampaui posisi lapisan pirit. Kondisi seperti ini menyebabkan terjadinya reaksi antara senyawa

pirit (FeS2) dengan oksigen (O2) yang menghasilkan unsur dan senyawa yang

beracun bagi tanaman (Hadi, 2004).

Keracunan Al merupakan salah satu faktor terbesar yang menghambat pertumbuhan tanaman pada tanah masam (Koswara dan Leiwakabessy, 1972). Semakin rendah pH maka konsentrasi Al dalam tanah semakin tinggi. Konsentrasi Al yang cukup tinggi pada tanah masam (pH<4.7) dapat menghambat pertumbuhan beberapa spesies, tidak hanya karena efeknya yang merusak ketersediaan fosfat, tetapi juga karena menghambat penyerapan besi dan karena efek bercun secara langsung terhadap metabolisme tumbuhan (Salisbury da Ross, 1995).

Alumunium akan terakumulasi pada akar tanaman dan dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan akar untuk mentranslokasikan fosfat dari tanah ke pembuluh vascular (Russel and Ressel, 1986). Keracunan Al

menghambat perpanjangan dan pertumbuhan akar primer, serta menghalangi

pembentukan akar lateral dan bulu akar (Hakim 1986).

*/ /)5) '*+

Pengairan untuk membuat kondisi tanah jenuh air dapat dilakukan dengan

cara ” yaitu irigasi yang menitikberatkan pada kedalaman

muka air tanah di bawah permukaan tanah, sehingga air tidak tergenang, tetapi sudah melebihi kapasitas lapang (Wiroatmojo dan Sulistyono, 1991). Budidaya jenuh air (BJA) merupakan penanaman di atas bedengan dengan memberikan air secara terus menerus di dalam parit, sehingga tanah di bawah perakaran menjadi

jenuh air tetapi tidak tergenang (Purwaningrahayu , 2004).

Budidaya jenuh air juga dapat diterapkan di areal dengan irigasi cukup baik atau pada areal penanaman dengan drainase kurang baik (Ghulamahdi, 1991). Tanpa saluran drainase yang baik, kelembaban tanah menjadi tinggi dan menyebabkan pertumbuhan tanaman kedelai menjadi tidak optimal, lingkungan tanah jenuh air yang ekstrim akan mengakibatkan akar tanaman menjadi busuk karena kekurangan oksigen sehingga penyerapan unsur hara terhambat dan akhirnya tanaman tumbuh kerdil (Sumarno,1986).

Budidaya kedelai pada lahan basah dapat meningkatkan hasil 20-80%

(Indradewa 2004). Secara garis besar Ralph (1983) menyimpulkan bahwa

tanaman kedelai yang dibudidayakan dengan genangan dalam parit mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat dan hasil lebih tinggi dibanding dengan yang dibudidayakan dengan pengairan luapan seperti yang dilakukan petani karena: (1) mendapatkan lengas dalam jumlah cukup sepanjang hidupnya, (2) pertumbuhan bintil terus berlanjut sampai fase pengisian polong, (3) mengalami penundaan penuaan dan perpanjangan fase reproduktif.

Tinggi muka air tetap akan menghilangkan pengaruh negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman karena kedelai akan beraklimatisasi dan

selanjutnya tanaman memperbaiki pertumbuhannya (Natahnson ., 1984).

Pertumbuhan tanaman meningkat setelah melewati masa aklimatisasi. Peningkatan pertumbuhan ini sangat berhubungan dengan peningkatan nodulasi

sama dengan padi sawah. Perbedaannya pada ketinggian muka air. Pada budidaya jenuh air tinggi muka air beberapa sentimeter di bawah permukaan tanah, sedangkan padi sawah tinggi muka air beberapa sentimeter di atas permukaan tanah (Lawn, 1985).

014' ) -)0 1)/) */ /)5) '*+

Tanggap varietas kedelai terhadap keadaan jenuh air berbeda-beda. Kedelai yang berumur lebih panjang biasanya mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dan produksi yang lebih tinggi dibandingkan kedelai berumur pendek

(CSIRO, 1983; Ghulamahdi 1991). Berdasarkan lamanya periode tumbuh

dari sejak tanam sampai polong matang, varietas kedelai digolongkan menjadi tiga kelompok umur, yaitu umur genjah (<80 hari); umur sedang (80-85 hari); dan

umur dalam (>85 hari) (Somaatmadja 1985).

Kemampuan akar dari berbagai jenis tanaman dalam menghisap air tanah tersedia berbeda-beda. Kandungan air tanah optimal bagi kedelai adalah pada kisaran tegangan air 0.3-0.5 atm. Keadaan status tanah yang demikian menyebabkan serapan hara N, P, K, dan Ca berlangsung baik dan tanaman dapat memanfaatkan nitrogen yang terfiksasi di bintil-bintil akar. Pertumbuhan tanaman kedelai terhambat bila tanah lebih basah dari keadaan pada tegangan air 0.3 atm (Suryantini, 2002).

Tahap aklimatisasi tanaman kedelai terhadap keadaan jenuh air berlangsung selama dua minggu atau antara 2-4 minggu setelah pelaksanaan

irigasi dimulai (Treodson 1983). Akar dan bintil akar kedelai di bawah

muka air mati pada awal aklimatisasi dan selanjutnya tumbuh bintil akar di atas muka air. Kandungan N dalam daun menurun dan terjadi klorosis (CSIRO, 1983). Total bobot kering tanaman pada budidaya jenuh air lebih rendah dibandingkan dengan budidaya biasa pada tahap aklimatisasi karena penurunan luas daun

(Treodson 1983).

Pertumbuhan kedelai pada tahap setelah aklimatisasi ditunjukkan oleh banyaknya akar dan bintil yang muncul di atas permukaan air, dan daun menjadi hijau kembali. Jika tanaman kedelai telah tumbuh, pengaruh penggenangan tergantung dari fase pertumbuhan terjadinya genangan dan lamanya waktu

penggenangan (Whigham dan Minor, 1978). Genangan air yang berkepanjangan akan mengurangi ketersediaan oksigen di lapisan perakaran. Respirasi akar akan terganggu, yang dalam jangka panjang dapat mematikan tanaman. Selain itu genangan yang terjadi setelah biji ditanam menghambat difusi oksigen sehingga

respirasi biji terganggu (Sabran 2000).

Laju pertumbuhan pada budidaya jenuh air menjadi lebih tinggi daripada budidaya biasa (CSIRO, 1983). Di tanah jenuh air, banyak fotosintat digunakan untuk pertumbuhan bagian tanaman di dalam tanah terutama bintil. Meskipun demikian penyerapan nitrogen menurun terutama karena akar bagian bawah yang berada dalam tanah jenuh mati, sehingga luas permukaan akar menurun

(Indradewa 2004). Penurunan penyerapan nitrgen menyebabkan tanaman

mengalami gejala klorosis (Ralph, 1985). Gangguan pertumbuhan akibat defisiensi N yang dialami oleh tanaman dapat ditanggulangi dengan memberikan pupuk N (Wiroatmodjo dan Sulistyono, 1991).

Kandungan N daun tanaman pada budidaya jenuh air meningkat, sehingga menjadi sama dengan budidaya biasa pada saat 28-42 hari setelah pelaksanaan irigasi dimulai. Total bobot kering tanaman pada budidaya jenuh air menjadi lebih tinggi daripada budidaya lahan biasa pada saat 50-70 hari setelah tanam

(Nathanson 1984).

Hasil pengujian varietas kedelai pada budidaya jenuh air di lahan pasang surut menunjukkan bahwa varietas yang memberikan hasil tertinggi berturut-turut adalah Tanggamus, Slamet, Anjasmoro, dan Wilis. Tanggamus dapat mencapai hasil sebesar 4,51 ton biji kering/ ha, karena mempunyai jumlah polong isi terbanyak, meskipun mempunyai bobot 100 biji hanya 10 gram. Oleh karena itu Tanggamus merupakan varietas terpilih yang akan dikembangkan selanjutnya pada teknologi budidaya jenuh air di lahan pasang surut (Ghulamahdi, 2009).

'.*. )' )+)'

Pengelolaan tanah dan air merupakan kunci utama keberhasilan pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut. Pengaturan dan pengelolaan air ditujukan untuk mengendalikan keadaan air di petakan lahan dan mempercepat proses pencucian bahan beracun. Pengelolaan tanah dan air meliputi jaringan tata

air makro maupun mikro, penataan lahan, ameliorasi dan pemupukan. Sistem pengelolaan tata air mikro berfungsi untuk mencukupi kebutuhan evapotranspirasi tanaman, mencegah pertumbuhan gulma pada pertanaman padi di sawah,

mencegah terbentuknya bahan beracun bagi tanaman terutama Fe2+ melalui

penggelontoran dan pencucian, mengatur tinggi muka air dan menjaga kualitas air di petakan lahan dan saluran (Suriadikarta, 2005). Selain itu, pengelolaan tata air mikro dapat meningkatkan pH tanah. Pembuatan saluran cacing pada petakan dan disekeliling petakan lahan dapat memperlancar keluar masuknya air pada petakan

lahan yang sekaligus untuk mencuci bahan beracun (Adri 2001).

Menurut Subagyono (1999), pencucian bahan beracun dari petakan

dilakukan dengan memasukkan air ke petakan sebelum tanah dibajak, kemudian air tersebut dikeluarkan setelah pengolahan tanah selesai. Untuk memperlancar pencucian bahan beracun, pada petakan lahan dibuat saluran cacing dengan jarak 6-8 m. Lahan yang mempunyai lapisan pirit dalam, saluran cacing dibuat dengan jarak 20 m atau lebih. Pencucian akan baik bila air cukup tersedia, baik dari hujan maupun air pasang. Oleh karena itu, air di dalam petakan lahan perlu diganti setiap dua minggu pada saat pasang besar. Kehilangan nitrogen terutama

disebabkan oleh adanya penguapan ( ), denitrifikasi ( ),

pencucian ( ), atau menjadi tidak tersedia karena immobilisasi

( ). Komponen penyebab kehilangan nitrogen terbesar di lahan

21)- /)' ),-* ' - )'

Penelitian ini dilakukan di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan, dari bulan April sampai Agustus 2010.

)+)'

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai varietas Tanggamus, Slamet, Willis dan Anjasmoro, kapur, pupuk kandang, inokulat Rhizobium, insektisida berbahan aktif karbosulfan, pupuk Urea, SP-36 dan KCl. Peralatan yang digunakan adalah alat-alat budidaya pertanian, sprayer, timbangan dan meteran.

-4/ .43))'

Percobaan ini menggunakan Rancangan Petak Terpisah dengan 3 ulangan. Perlakuan terdiri dari dua faktor yaitu waktu pencucian dan varietas. Perlakuan waktu pencucian sebagai petak utama yang terdiri dari empat taraf yaitu tanpa pencucian, 2, 4 dan 6 minggu sekali. Perlakukan varietas sebagai anak petak yang terdiri dari empat varietas yaitu Tanggamus, Slamet, Willis dan Anjasmoro.

Model rancangan percobaan yang digunakan adalah: Yijk = µ + αi + βj+ δij + γk + βγjk+ δijk Keterangan:

Yijk : Nilai hasil pengamatan dari suatu percobaan pada ulangan taraf ke-i,

waktu pencucian taraf ke-j dan varietas taraf ke-k

µ : Nilai tengah

αi : Pengaruh dari ulangan taraf ke- i pada petak utama

βj : Pengaruh dari waktu pencucian taraf ke-j pada anak petakan

δij : Pengaruh galat yang muncul pada waktu pencucian taraf ke-j dan

γk : Pengaruh dari varietas taraf ke-k

βγjk : Nilai interaksi antara waktu pencucian taraf ke-j dan varietas taraf ke-k

δijk : Pengaruh galat pada ulangan taraf ke-i, waktu pencucian taraf ke-j dan

varietas taraf ke-k

Pengolahan data dilakukan dengan uji-F. Apabila menunjukan hasil yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf 5 %.

),0)'))' .43))'

Persiapan lahan di lapangan dilakukan dengan membuat petakan percobaan sebanyak 48 petakan dengan ukuran anak petak 2 m x 4m dan petak utama dengan ukuran 4 m x 8 m. Setiap petak utama dikelilingi saluran air yang berukuran lebar 30 cm dan dalam 25 cm, dengan demikan kondisi petakan akan selalu basah pada saat air irigasi diberikan. Pemberian air irigasi dilakukan sejak penanaman sampai panen dengan ketinggian muka air 15 cm di bawah permukaan tanah (Gambar 1 dan 2).

Sumber air yang digunakan dalam penelitian berasal dari saluran sekunder yang mendapatkan pengaruh pasang surut air laut dan dialirkan melalui saluran drainase. Kelebihan air pada musim penghujan dibuang melalui saluran pembuangan supaya tanah tidak terlalu jenuh. Pengairan dilakukan dengan

Dokumen terkait