• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh waktu pencucian dan varietas terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai (Glycine max (L.) Merill) pada budidaya jenuh air di lahan pasang surut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh waktu pencucian dan varietas terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai (Glycine max (L.) Merill) pada budidaya jenuh air di lahan pasang surut"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

!" !#$

%

(2)

- +)/)1 -*23*+)' /)' 4/*,0 / ) 1)/)

*/ /)5) '*+ / )+)' )0)'( * *- 3 23 '( + %

Budidaya jenuh air (BJA) merupakan penanaman dengan memberikan air

secara terus menerus melalui parit-parit di sekitar petak pertanaman dan membuat

tinggi permukaan air di bawah permukaan tanah tetap sehingga lapisan tanah di

bawah perakaran jenuh air. Pencucian lahan dapat mengurangi pengaruh negatif

bahan beracun yang berbahaya bagi tanaman.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu pencucian dan

varietas terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai ( (L.) Merill)

pada budidaya jenuh air di lahan pasang surut. Penelitian ini dilakukan di Desa

Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera

Selatan, dari bulan April sampai Agustus 2010.

Percobaan ini menggunakan Rancangan Petak Terpisah dengan tiga

ulangan. Perlakuan terdiri dari dua faktor yaitu waktu pencucian dan varietas.

Waktu pencucian sebagai petak utama terdiri dari perlakuan tanpa pencucian,

pencucian setiap 2, 4 dan 6 minggu. Varietas sebagai anak petak yang terdiri dari

Varietas Tanggamus, Slamet, Willis dan Anjasmoro. Setiap petak utama

dikelilingi saluran air yang berukuran lebar 30 cm dan dalam 25 cm, dengan

demikan kondisi petakan akan selalu basah pada saat air irigasi diberikan.

Pemberian air irigasi dilakukan sejak penanaman sampai panen dengan ketinggian

muka air 15 cm di bawah permukaan tanah.

Hasil penelitian menunjukan bahwa varietas memberikan respon yang

berbeda terhadap waktu pencucian. Varietas Tanggamus memperoleh hasil

tertinggi pada pencucian setiap dua minggu yaitu sebesar 3.08 ton/ha, varietas

Slamet dan Willis pada pencucian setiap empat minggu yaitu berturut-turut

sebesar 2.4 ton/ha dan 2.71 ton/ha. Produktivitas tertinggi diperoleh varietas

Anjasmoro dengan waktu pencucian setiap dua minggu sekali (4.06 ton/ha)

namun tidak berbeda nyata dengan pencucian setiap empat minggu sekali (3.99

(3)

Skripsi sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

!" !#$

%

(4)

Nama :

NIM

:

!" !#$

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

*' 6 +* )2)+/ 7

&$8$!8!8 &$#8!9 & !!

Mengetahui.

Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura

Fakultas Pertanian IPB

(*0 * : -47 . (

&$"&&&!& &$#;!9 & !!9

(5)

merupakan anak ke tiga dari tiga bersaudara dari pasangan Cipto Utomo dan Sri

Ngatemi. Penulis memulai pendidikan di TK Bhina Putra pada tahun 1992 dan

tamat pada tahun 1994. Penulis melanjutkan pendidikan di SD Negeri 3 Siraman

pada tahun 1994 dan tamat pada tahun 2000. Kemudian penulis melanjutkan

pendidikan di SMP Negeri 1 Metro pada tahun 2000 dan tamat pada tahun 2003.

Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Metro pada tahun

2003 dan tamat pada tahun 2006.

Selepas dari SMA, penulis melanjutkan pendidikan ke Institut Pertanian

Bogor pada tahun 2006. Penulis diterima di IPB melalui jalur USMI (Undangan

Siswa Masuk IPB). Penulis diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura,

Fakultas Pertanian. Penulis pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa

tahun 2009. Penulis juga aktif dalam kepengurusan Keluarga Mahasiswa

Lampung IPB periode 2006-2008 dan menjadi panitia pada berbagai acara di IPB

(6)

memberikan kekuatan dan hidayahNya sehingga penulisan skripsi dengan judul

Pengaruh Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Pertumbuhan dan Produksi

Kedelai ( (L.) Merill) pada Budidaya Jenuh Air di Lahan Pasang

Surut dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan arahan, bimbingan, dukungan moril maupun materil

sehingga penelitian dan skripsi dapat diselesaikan dengan baik.

2. Kedua orang tua yang telah memberikan restu, doa, bimbingan serta

dukungan sehingga penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan

penelitian dengan baik

3. Rekan satu penelitian, Bapak Ngatimin, keluarga Bapak Suaji serta

petani Desa Banyu Urip atas bimbingan selama penulis melaksanakan

penelitian.

4. Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, MSi selaku dosen pembimbing

akademik yang telah memberikan bimbingan selama perkuliahan.

Penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak

yang berkepentingan.

Bogor, Januari 2011

(7)

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Hipotesis ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Botani Kedelai ... 4

Lingkungan Tumbuh Kedelai ... 4

Lahan Pasang Surut ... 5

Budidaya Jenuh Air ... 7

Respon Varietas pada Budidaya Jenuh Air ... 8

BAHAN DAN METODE ... 11

Tempat dan Waktu Penelitian ... 11

Pelaksanaan Percobaan ... 12

Pengamatan ... 14

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

Agroekologi Lokasi Penelitian ... 16

Hasil ... 20

Pembahasan ... 30

KESIMPULAN DAN SARAN ... 36

Kesimpulan ... 36

Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37

(8)

No Halaman

1. Tinggi Tanaman pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas ... 20

2. Jumlah Daun per Tanaman pada Beberapa Waktu Pencucian

dan Varietas ... 21

3. Jumlah Cabang pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas ... 22

4. Pengaruh Interaksi Waktu Pencucian dan Varietas terhadap

Jumlah Cabang pada 8 MST ... 22

5. Jumlah Buku Produktif dan Non Produktif pada Beberapa

Waktu Pencucian dan Varietas ... 23

6. Kandungan Hara Daun pada Beberapa Waktu Pencucian dan

Varietas pada 6 MST ... 24

7. Interaksi Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Kandungan

Hara K dan Mn pada 6 MST ... 24

8. Serapan Hara pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas

pada 6 MST ... 25

9. Pengaruh Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Bobot Kering

Batang, Daun, Akar dan Bintil pada 6 MST ... 26

10. Umur Berbunga dan Umur Panen pada Beberapa Waktu

Pencucian dan Varietas ... 27

11. Pengaruh Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Jumlah

Polong Isi dan Polong Hampa ... 28

12. Pengaruh Interaksi Waktu Pencucian dan Varietas terhadap

Bobot 100 Biji ... 28

13. Produktivitas Empat Varietas Kedelai pada Berbagai Waktu

(9)

No Halaman

1. Ukuran Saluran dan Kedalaman Muka Air ... 12

2. Petakan Percobaan ... 13

3. Skema Pengaturan Air ... 13

4. Klasifikasi Rawa Pasang Surut Menurut Tipe Luapan

Maksimum dan Minimum ... 16

5. Jaringan Drainase di Desa Banyu Urip ... 17

6. Pertumbuhan Empat Varietas Kedelai pada BJA di Lahan

Pasang Surut pada Umur 6 MST ... 19

7. Ukuran Biji Varietas Tanggamus, Slamet, Willis dan

Anjasmoro ... 29

8. Regresi Pengaruh Waktu Pencucian terhadap Produktivitas

Kedelai ... 29

(10)

No Halaman

1. Hasil Rekapitulasi Sidik Ragam ... 43

2. Hasil Analisis Air Sebelum Penanaman ... 44

3. Hasil Analisis Air Setelah Penanaman ... 44

4. Hasil Analisis Tanah Sebelum Penanaman ... 45

5. Hasil Analisis Tanah Setelah Penanaman ... 46

6. KriteriaVarietas ... 54

(11)

Kedelai merupakan salah satu tanaman pangan yang penting bagi

penduduk Indonesia sebagai sumber protein nabati, bahan baku industri, pakan

ternak dan bahan baku industri pangan. Protein yang tinggi pada kedelai berperan

penting dalam kebutuhan gizi masyarakat Indonesia (Budiarti dan Hadi, 2006).

Produksi kedelai dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan kedelai

nasional. Setiap tahun pemerintah mengimpor kedelai sekitar 1,3 juta ton untuk

memenuhi kebutuhan. Rendahnya produktivitas dan belum optimalnya

pengembangan areal pertanaman kedelai menjadi salah satu faktor penyebab.

Usaha yang perlu untuk dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional

adalah dengan memperluas lahan budidaya kedelai dan meningkatkan

produktivitasnya (Irwan, 2006).

Penurunan luas areal produksi kedelai akhir-akhir ini sudah mencapai

kondisi kritis, yaitu penurunannya lebih dari 60% pada luas areal panen dan lebih

dari 50% pada produksi kedelai nasional. Peningkatan impor kedelai tidak dapat

dihindari untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan salah satu penyebabnya

adalah harga kedelai impor cukup rendah. Kondisi demikian menyebabkan

kedelai Indonesia tidak berkembang bahkan dapat dikatakan mengalami

kemunduran (Budiarti dan Hadi, 2006).

Permintaan kedelai terus meningkat jauh melampaui produksi dalam

negeri. Kebutuhan kedelai per tahun 2009 diperkirakan mencapai 2 037 530 ton,

sedangkan produksi dalam negeri dalam beberapa tahun terakhir cenderung

menurun (Sudaryanto dan Swastika, 2007). Produksi kedelai nasional tahun 2008

dari luas areal panen 590 956 ha sekitar 775 710 ton. Tahun 2009 luas areal panen

meningkat menjadi 772 791 ha dengan produksi sekitar 974 512 ton. Pada tahun

2010 luas areal panen dan produksi kedelai mengalami penurunan dari tahun 2009

menjadi 672 242 ha dengan produksi 905 015 ton (BPS, 2010).

Indonesia mempunyai kawasan rawa yang sangat luas, yaitu sekitar 33.43

juta ha atau hampir 20% dari luas daratan kepulauan nusantara (197.944 juta ha).

(12)

Rawa pasang surut meliputi luas sekitar 20.15 juta ha, terdiri dari tiga tipologi

lahan utama yaitu lahan gambut (10.9 juta ha), lahan sulfat masam (6.70 juta ha)

dan lahan alluvial lainnya yang merupakan endapan sungai (fluviatil), non-sulfat

masam (2.07 juta ha) serta sisanya merupakan berbagai lahan salin (0.48 juta ha)

(Noor, 2004). Lahan pasang surut merupakan lahan harapan bagi produksi

pertanian masa mendatang, karena penciutan lahan subur untuk berbagai

keperluan non pertanian dan laju pertumbuhan penduduk serta perkembangan

industri (Adri , 2001).

Lahan pasang surut mempunyai potensi yang cukup besar untuk

dimanfaatkan sebagai lahan usaha tani apabila tanah aluvial bersulfidik ini tidak

terlalu masam dan miskin unsur hara (Widjaja dan Adhi, 1996). Luas lahan

pasang surut di Indonesia sekitar 20.1 juta ha, dan sekitar 9.53 juta hektar

berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian. Lahan pasang surut yang mempunyai

potensi tinggi untuk ditanami kedelai seluas 2.08 juta ha, sedangkan yang

berpotensi sedang seluas 1.33 juta ha (Ghulamahdi, 2009).

Permasalahan pengembangan kedelai di lahan pasang surut adalah

tingginya kadar pirit yang menyebabkan rendahnya pH tanah pada saat kondisi

teroksidasi. Kadar pirit yang tinggi menyebabkan produktivitas kedelai di lahan

pasang surut masih rendah hanya sekitar 800 kg/ha. Rendahnya produktivitas

tanaman di lahan pasang surut disebabkan oleh tingginya kemasaman tanah,

kelarutan Fe, Al dan Mn serta rendahnya ketersediaan unsur hara tanaman

terutama P dan K. Usaha penurunan kadar pirit lahan pasang surut dapat

dilakukan dengan cara mempertahankan tinggi muka air agar kondisi tanah lebih

reduktif. Adanya teknologi Budidaya Jenuh Air (BJA) memberikan peluang untuk

menurunkan kadar pirit (Ghulamahdi, 2009).

Budidaya Jenuh Air (BJA) dapat memperbaiki pertumbuhan dan

peningkatan produksi dibandingkan irigasi biasa pada beberapa varietas kedelai.

Hasil penelitian pengembangan bertanam kedelai di tanah jenuh air menunjukan

bahwa dengan budidaya jenuh air diperoleh peningkatan hasil biji kedelai

mencapai 2,4 ton/ha (Sumarno,1986). Varietas Tanggamus bisa mencapai hasil

4.51 ton/ha biji kering dengan budidaya jenuh air di lahan pasang surut

(13)

dikembangkan di Indonesia. Budidaya jenuh air merupakan salah satu usaha ke

arah ekstensifikasi pertanaman kedelai dengan memanfaatkan lahan seperti rawa

dan daerah pasang surut (Iman ,. 1988).

Drainase lahan pertanian adalah suatu usaha membuang “kelebihan air”

secara alamiah atau buatan dari permukaan tanah atau dari dalam tanah sampai

kondisi optimal untuk menghindari pengaruh yang merugikan terhadap

pertumbuhan tanaman (Suhatmo, 2003). Pembuangan air dari lahan dapat

mencuci bahan-bahan beracun yang berbahaya bagi tanaman. Pengelolaan air

untuk mencegah terjadinya oksidasi pirit menjadi sangat penting dan merupakan

salah satu faktor kunci untuk keberhasilan usaha tani di lahan pasang surut

(Suriadikarta, 2005).

*<*)'

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh waktu

pencucian dan varietas terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai (

(L.) Merill) pada budidaya jenuh air di lahan pasang surut.

14- 0 0

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:

1. Ada pengaruh waktu pencucian terhadap pertumbuhan dan produksi

kedelai

2. Ada pengaruh varietas terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai

3. Ada pengaruh interaksi varietas dan waktu pencucian terhadap

(14)

4-)' / )

Kedelai ( (L) Merril ) merupakan tanaman pangan semusim

dari famili Leguminoseae. Tanaman kedelai termasuk berbatang semak yang

dapat mencapai ketinggian antara 30-100 cm. Batang ini beruas-ruas dan

memiliki percabangan antara 3-6 cabang. Daun kedelai mempunyai ciri-ciri

antara lain helai daun (lamina) oval, dan tata letaknya pada tangkai daun bersifat

majemuk berdaun tiga ( ). Daun ini berfungsi sebagai alat untuk proses

fotosíntesis, respirasi dan transpirasi (Rukmana dan Yuyun, 1996)

Biji kedelai berkeping dua yang terbungkus oleh kulit biji. Embrio terletak

diantara keping biji. Warna kulit buah bermacam-macam ada yang kuning, hitam,

hijau dan cokelat. Bentuk biji kedelai pada umumnya bulat lonjong, ada yang

bundar atau bulat agak pipih. Besar biji bervariasi tergantung varietas. Di

Indonesia, besar biji bervariasi dari 6 g-30 g (Suprapto, 2001).

Pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe

determinate dan indeterminate. Perbedaan sistim pertumbuhan batang ini

didasarkan atas keberadaan bunga pada pucuk batang. Pertumbuhan tipe batang

determinate ditunjukan dengan batang yang tidak tumbuh lagi pada saat tanaman

mulai berbunga. Sementara pertumbuhan batang tipe indeterminate dicirikan bila

pucuk batang tanaman masih bisa tumbuh daun, walaupun tanaman sudah mulai

berbunga (Adisarwanto, 2005).

'(,*'()' *23*+ / )

Tanaman kedelai dapat beradaptasi terhadap berbagai jenis tanah yang

bertekstur ringan hingga sedang, dan berdrainase baik. Kedelai peka terhadap

kondisi salin (Rubatzky dan Yamaguchi, 1988). Kedelai tumbuh baik pada tanah

bertekstur gembur, lembab, tidak tergenang air, dan memiliki pH 6-6.8. Pada pH

5.5 kedelai masih dapat berproduksi, meskipun tidak sebaik pada pH 6-6.8. Pada

(15)

(Najiyati dan Danarti, 1999). Pada pH di bawah 5.0 pertumbuhan bakteri bintil

dan proses nitrifikasi berjalan kurang baik (Suprapto, 2001).

Tanaman kedelai dapat tumbuh pada kondisi suhu yang beragam. Suhu

tanah yang optimal dalam proses perkecambahan yaitu 30°C. Bila tumbuh pada

suhu tanah yang rendah (<15°C), proses perkecambahan menjadi sangat lambat,

bisa mencapai 2 minggu. Hal ini dikarenakan perkecambahan biji tertekan pada

kondisi kelembaban tanah tinggi. Sementara pada suhu tinggi (>30°C), banyak

biji yang mati akibat respirasi air dari dalam biji yang terlalu cepat. Tanaman

kedelai dapat tumbuh optimal pada suhu lingkungan 24-25°C (Irwan, 2006).

Jumlah air yang digunakan oleh tanaman kedelai tergantung pada kondisi

iklim, sistem pengelolaan tanaman, dan lama periode tumbuh. Umumnya

kebutuhan air pada tanaman kedelai berkisar 350-450 mm selama masa

pertumbuhan kedelai. Pada saat perkecambahan, faktor air menjadi sangat penting

karena akan berpengaruh pada proses pertumbuhan. Kebutuhan air semakin

bertambah seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Kebutuhan air paling

tinggi terjadi pada saat masa berbunga dan pengisian polong (Irwan, 2006).

)+)' )0)'( *

*-Lahan pasang surut merupakan lahan marginal yang memiliki berbagai

kendala biofisik dan sosial ekonomi. Kendala biofisik antara lain, kesuburan

lahan dan pH tanah yang rendah, hama dan penyakit, jaringan irigasi yang belum

berfungsi dengan baik, penurunan permukaan air tanah yang cukup dalam

menyebabkan terjadinya lapisan pirit yang dapat menghambat pertumbuhan

tanaman. Kendala dari aspek sosial ekonomi adalah keterbatasan tenaga kerja,

modal, tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah serta sarana dan

prasarana penunjang kurang kondusif (Adri 2001).

Berdasarkan tipe luapan air, lahan pasang surut dapat dibedakan menjadi

lahan bertipe luapan air A, B, C, atau D. Lahan yang bertipe luapan air A adalah

lahan pasang surut yang langsung dan selalu terluapi air, baik pada saat pasang

besar maupun kecil. Lahan tipe B adalah lahan yang hanya terluapi air pada saat

pasang besar saja. Lahan tipe C lahan tidak terluapi air walaupun pasang besar,

(16)

pasang besar maupun pasang kecil, namun permukaan air tanahnya dalam, lebih

dari 50 cm (Suastika 1997). Kedelai pada umumnya diusahakan di lahan

pasang surut tipe C atau D, dengan pola tanam padi-kedelai atau palawija lain

(Sabran 2000).

Lahan pasang surut potensial dicirikan oleh adanya lapisan pirit (FeS2)

pada kedalaman lebih dari 50 cm dari permukaan tanah. Lahan pasang surut

potensial di Sumatra Selatan memiliki kedalaman lapisan pirit antara 50-100 cm.

Tekstur tanahnya bervariasi, sebagian besar adalah liat dan liat berdebu, hanya

sebagian kecil lempung berliat dan lempung liat berdebu dengan pH (H2O)

tanahnya berkisar antara 3.3 sampai 5.9 (Thamrin, 2000).

Sebagian besar tanah mineral di daerah pasang surut bersifat sulfat

masam. Kadungan pirit dalam tanah sulfat masam beragam dan cenderung

semakin meningkat ke lapisan bawah, terutama pada Sulfaquent dan sulfaquept

(Breemen dan Pons, 1973). Pirit membahayakan tanaman apabila berada dalam

suasana teroksidasi yang menyebabkan turunnya pH dengan cepat. Terjadinya

oksidasi bahan sulfidik yang mengandung lapisan pirit dalam tanah diawali dari

kekurangan air dalam tanah sehingga permukaan air tanah turun melampaui posisi

lapisan pirit. Kondisi seperti ini menyebabkan terjadinya reaksi antara senyawa

pirit (FeS2) dengan oksigen (O2) yang menghasilkan unsur dan senyawa yang

beracun bagi tanaman (Hadi, 2004).

Keracunan Al merupakan salah satu faktor terbesar yang menghambat

pertumbuhan tanaman pada tanah masam (Koswara dan Leiwakabessy, 1972).

Semakin rendah pH maka konsentrasi Al dalam tanah semakin tinggi. Konsentrasi

Al yang cukup tinggi pada tanah masam (pH<4.7) dapat menghambat

pertumbuhan beberapa spesies, tidak hanya karena efeknya yang merusak

ketersediaan fosfat, tetapi juga karena menghambat penyerapan besi dan karena

efek bercun secara langsung terhadap metabolisme tumbuhan (Salisbury da Ross,

1995).

Alumunium akan terakumulasi pada akar tanaman dan dapat

menyebabkan berkurangnya kekuatan akar untuk mentranslokasikan fosfat dari

(17)

menghambat perpanjangan dan pertumbuhan akar primer, serta menghalangi

pembentukan akar lateral dan bulu akar (Hakim 1986).

*/ /)5) '*+

Pengairan untuk membuat kondisi tanah jenuh air dapat dilakukan dengan

cara ” yaitu irigasi yang menitikberatkan pada kedalaman

muka air tanah di bawah permukaan tanah, sehingga air tidak tergenang, tetapi

sudah melebihi kapasitas lapang (Wiroatmojo dan Sulistyono, 1991). Budidaya

jenuh air (BJA) merupakan penanaman di atas bedengan dengan memberikan air

secara terus menerus di dalam parit, sehingga tanah di bawah perakaran menjadi

jenuh air tetapi tidak tergenang (Purwaningrahayu , 2004).

Budidaya jenuh air juga dapat diterapkan di areal dengan irigasi cukup

baik atau pada areal penanaman dengan drainase kurang baik (Ghulamahdi,

1991). Tanpa saluran drainase yang baik, kelembaban tanah menjadi tinggi dan

menyebabkan pertumbuhan tanaman kedelai menjadi tidak optimal, lingkungan

tanah jenuh air yang ekstrim akan mengakibatkan akar tanaman menjadi busuk

karena kekurangan oksigen sehingga penyerapan unsur hara terhambat dan

akhirnya tanaman tumbuh kerdil (Sumarno,1986).

Budidaya kedelai pada lahan basah dapat meningkatkan hasil 20-80%

(Indradewa 2004). Secara garis besar Ralph (1983) menyimpulkan bahwa

tanaman kedelai yang dibudidayakan dengan genangan dalam parit mempunyai

pertumbuhan yang lebih cepat dan hasil lebih tinggi dibanding dengan yang

dibudidayakan dengan pengairan luapan seperti yang dilakukan petani karena: (1)

mendapatkan lengas dalam jumlah cukup sepanjang hidupnya, (2) pertumbuhan

bintil terus berlanjut sampai fase pengisian polong, (3) mengalami penundaan

penuaan dan perpanjangan fase reproduktif.

Tinggi muka air tetap akan menghilangkan pengaruh negatif dari

kelebihan air pada pertumbuhan tanaman karena kedelai akan beraklimatisasi dan

selanjutnya tanaman memperbaiki pertumbuhannya (Natahnson ., 1984).

Pertumbuhan tanaman meningkat setelah melewati masa aklimatisasi.

Peningkatan pertumbuhan ini sangat berhubungan dengan peningkatan nodulasi

(18)

sama dengan padi sawah. Perbedaannya pada ketinggian muka air. Pada budidaya

jenuh air tinggi muka air beberapa sentimeter di bawah permukaan tanah,

sedangkan padi sawah tinggi muka air beberapa sentimeter di atas permukaan

tanah (Lawn, 1985).

014' ) -)0 1)/) */ /)5) '*+

Tanggap varietas kedelai terhadap keadaan jenuh air berbeda-beda.

Kedelai yang berumur lebih panjang biasanya mempunyai pertumbuhan yang

lebih baik dan produksi yang lebih tinggi dibandingkan kedelai berumur pendek

(CSIRO, 1983; Ghulamahdi 1991). Berdasarkan lamanya periode tumbuh

dari sejak tanam sampai polong matang, varietas kedelai digolongkan menjadi

tiga kelompok umur, yaitu umur genjah (<80 hari); umur sedang (80-85 hari); dan

umur dalam (>85 hari) (Somaatmadja 1985).

Kemampuan akar dari berbagai jenis tanaman dalam menghisap air tanah

tersedia berbeda-beda. Kandungan air tanah optimal bagi kedelai adalah pada

kisaran tegangan air 0.3-0.5 atm. Keadaan status tanah yang demikian

menyebabkan serapan hara N, P, K, dan Ca berlangsung baik dan tanaman dapat

memanfaatkan nitrogen yang terfiksasi di bintil-bintil akar. Pertumbuhan tanaman

kedelai terhambat bila tanah lebih basah dari keadaan pada tegangan air 0.3 atm

(Suryantini, 2002).

Tahap aklimatisasi tanaman kedelai terhadap keadaan jenuh air

berlangsung selama dua minggu atau antara 2-4 minggu setelah pelaksanaan

irigasi dimulai (Treodson 1983). Akar dan bintil akar kedelai di bawah

muka air mati pada awal aklimatisasi dan selanjutnya tumbuh bintil akar di atas

muka air. Kandungan N dalam daun menurun dan terjadi klorosis (CSIRO, 1983).

Total bobot kering tanaman pada budidaya jenuh air lebih rendah dibandingkan

dengan budidaya biasa pada tahap aklimatisasi karena penurunan luas daun

(Treodson 1983).

Pertumbuhan kedelai pada tahap setelah aklimatisasi ditunjukkan oleh

banyaknya akar dan bintil yang muncul di atas permukaan air, dan daun menjadi

hijau kembali. Jika tanaman kedelai telah tumbuh, pengaruh penggenangan

(19)

penggenangan (Whigham dan Minor, 1978). Genangan air yang berkepanjangan

akan mengurangi ketersediaan oksigen di lapisan perakaran. Respirasi akar akan

terganggu, yang dalam jangka panjang dapat mematikan tanaman. Selain itu

genangan yang terjadi setelah biji ditanam menghambat difusi oksigen sehingga

respirasi biji terganggu (Sabran 2000).

Laju pertumbuhan pada budidaya jenuh air menjadi lebih tinggi daripada

budidaya biasa (CSIRO, 1983). Di tanah jenuh air, banyak fotosintat digunakan

untuk pertumbuhan bagian tanaman di dalam tanah terutama bintil. Meskipun

demikian penyerapan nitrogen menurun terutama karena akar bagian bawah yang

berada dalam tanah jenuh mati, sehingga luas permukaan akar menurun

(Indradewa 2004). Penurunan penyerapan nitrgen menyebabkan tanaman

mengalami gejala klorosis (Ralph, 1985). Gangguan pertumbuhan akibat

defisiensi N yang dialami oleh tanaman dapat ditanggulangi dengan memberikan

pupuk N (Wiroatmodjo dan Sulistyono, 1991).

Kandungan N daun tanaman pada budidaya jenuh air meningkat, sehingga

menjadi sama dengan budidaya biasa pada saat 28-42 hari setelah pelaksanaan

irigasi dimulai. Total bobot kering tanaman pada budidaya jenuh air menjadi lebih

tinggi daripada budidaya lahan biasa pada saat 50-70 hari setelah tanam

(Nathanson 1984).

Hasil pengujian varietas kedelai pada budidaya jenuh air di lahan pasang

surut menunjukkan bahwa varietas yang memberikan hasil tertinggi berturut-turut

adalah Tanggamus, Slamet, Anjasmoro, dan Wilis. Tanggamus dapat mencapai

hasil sebesar 4,51 ton biji kering/ ha, karena mempunyai jumlah polong isi

terbanyak, meskipun mempunyai bobot 100 biji hanya 10 gram. Oleh karena itu

Tanggamus merupakan varietas terpilih yang akan dikembangkan selanjutnya

pada teknologi budidaya jenuh air di lahan pasang surut (Ghulamahdi, 2009).

'.*. )' )+)'

Pengelolaan tanah dan air merupakan kunci utama keberhasilan

pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut. Pengaturan dan pengelolaan

air ditujukan untuk mengendalikan keadaan air di petakan lahan dan mempercepat

(20)

air makro maupun mikro, penataan lahan, ameliorasi dan pemupukan. Sistem

pengelolaan tata air mikro berfungsi untuk mencukupi kebutuhan evapotranspirasi

tanaman, mencegah pertumbuhan gulma pada pertanaman padi di sawah,

mencegah terbentuknya bahan beracun bagi tanaman terutama Fe2+ melalui

penggelontoran dan pencucian, mengatur tinggi muka air dan menjaga kualitas air

di petakan lahan dan saluran (Suriadikarta, 2005). Selain itu, pengelolaan tata air

mikro dapat meningkatkan pH tanah. Pembuatan saluran cacing pada petakan dan

disekeliling petakan lahan dapat memperlancar keluar masuknya air pada petakan

lahan yang sekaligus untuk mencuci bahan beracun (Adri 2001).

Menurut Subagyono (1999), pencucian bahan beracun dari petakan

dilakukan dengan memasukkan air ke petakan sebelum tanah dibajak, kemudian

air tersebut dikeluarkan setelah pengolahan tanah selesai. Untuk memperlancar

pencucian bahan beracun, pada petakan lahan dibuat saluran cacing dengan jarak

6-8 m. Lahan yang mempunyai lapisan pirit dalam, saluran cacing dibuat dengan

jarak 20 m atau lebih. Pencucian akan baik bila air cukup tersedia, baik dari hujan

maupun air pasang. Oleh karena itu, air di dalam petakan lahan perlu diganti

setiap dua minggu pada saat pasang besar. Kehilangan nitrogen terutama

disebabkan oleh adanya penguapan ( ), denitrifikasi ( ),

pencucian ( ), atau menjadi tidak tersedia karena immobilisasi

( ). Komponen penyebab kehilangan nitrogen terbesar di lahan

(21)

21)- /)' ),-* ' - )'

Penelitian ini dilakukan di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago,

Kabupaten Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan, dari bulan April sampai

Agustus 2010.

)+)'

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai varietas

Tanggamus, Slamet, Willis dan Anjasmoro, kapur, pupuk kandang, inokulat

Rhizobium, insektisida berbahan aktif karbosulfan, pupuk Urea, SP-36 dan KCl.

Peralatan yang digunakan adalah alat-alat budidaya pertanian, sprayer, timbangan

dan meteran.

-4/ .43))'

Percobaan ini menggunakan Rancangan Petak Terpisah dengan 3 ulangan.

Perlakuan terdiri dari dua faktor yaitu waktu pencucian dan varietas. Perlakuan

waktu pencucian sebagai petak utama yang terdiri dari empat taraf yaitu tanpa

pencucian, 2, 4 dan 6 minggu sekali. Perlakukan varietas sebagai anak petak yang

terdiri dari empat varietas yaitu Tanggamus, Slamet, Willis dan Anjasmoro.

Model rancangan percobaan yang digunakan adalah:

Yijk = µ + αi + βj+ δij + γk + βγjk+ δijk

Keterangan:

Yijk : Nilai hasil pengamatan dari suatu percobaan pada ulangan taraf ke-i,

waktu pencucian taraf ke-j dan varietas taraf ke-k

µ : Nilai tengah

αi : Pengaruh dari ulangan taraf ke- i pada petak utama

βj : Pengaruh dari waktu pencucian taraf ke-j pada anak petakan

δij : Pengaruh galat yang muncul pada waktu pencucian taraf ke-j dan

(22)

γk : Pengaruh dari varietas taraf ke-k

βγjk : Nilai interaksi antara waktu pencucian taraf ke-j dan varietas taraf ke-k

δijk : Pengaruh galat pada ulangan taraf ke-i, waktu pencucian taraf ke-j dan

varietas taraf ke-k

Pengolahan data dilakukan dengan uji-F. Apabila menunjukan hasil yang

berbeda nyata dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf 5 %.

),0)'))' .43))'

Persiapan lahan di lapangan dilakukan dengan membuat petakan

percobaan sebanyak 48 petakan dengan ukuran anak petak 2 m x 4m dan petak

utama dengan ukuran 4 m x 8 m. Setiap petak utama dikelilingi saluran air yang

berukuran lebar 30 cm dan dalam 25 cm, dengan demikan kondisi petakan akan

selalu basah pada saat air irigasi diberikan. Pemberian air irigasi dilakukan sejak

penanaman sampai panen dengan ketinggian muka air 15 cm di bawah permukaan

tanah (Gambar 1 dan 2).

Sumber air yang digunakan dalam penelitian berasal dari saluran sekunder

yang mendapatkan pengaruh pasang surut air laut dan dialirkan melalui saluran

drainase. Kelebihan air pada musim penghujan dibuang melalui saluran

pembuangan supaya tanah tidak terlalu jenuh. Pengairan dilakukan dengan

menggunakan sistem satu arah. Saluran kuarter dibuat dua buah untuk pemasukan

dan pengeluaran. Saluran kuarter dibuat tegak lurus terhadap saluran tersier dan

saluran cacing dibuat tegak lurus terhadap saluran kuarter. Di muara saluran

kuarter pemasukan dibuat pintu air dan dibagian ujungnya ditutup dengan tanah.

Pada bagian ujung saluran kuarter pembuangan dipasang pintu air dan bagian

muaranya ditutup tanah (Gambar 3).

(23)

Gambar 2. Petakan Percobaan

Keterangan: : Aliran Air : Pematang/Jalan

: Pintu air : Anak Petak (2 x 4m)

: Jembatan : Jarak antar anak petak

(24)

Pemasukan air dilakukan dengan membuka pintu air saluran tersier dan

kuarter pemasukan, kemudian pintu ditutup kembali sebatas ketinggian muka air.

Air di dalam saluran terus dikendalikan dengan cara menambahkan atau

mengurangi air supaya ketinggian air tetap yaitu 15 cm di bawah permukaan

tanah. Pembuangan air dilakukan dengan membuka seluruh pintu air

pembuangan.

Pada saat pengolahan tanah diberikan 2 ton kapur/ha, 2 ton pupuk

kandang/ha, 200 kg SP-36/ha, dan 150 kg KCl/ha. Kapur, pupuk kandang, SP-36

dan KCl dicampur dan diinkubasikan di tanah selama1 minggu. Sebelum ditanam,

benih diberi inokulan sebanyak 5 g/kg benih dan insektisida

karbosulfan (Marshal 25 ST) sebanyak 15 g/kg benih. Insektisida diberikan untuk

mengatasi lalat bibit. Pemupukan daun N diberikan pada saat tanaman berumur 3,

4, 5, dan 6 minggu. Pupuk N yang digunakan adalah pupuk urea dengan

konsentrasi 7.5 g urea/ l air menggunakan volume semprot 400 l air/ha.

Benih kedelai ditanam dangkal dengan kedalaman tanam 1-2 cm,

menggunakan jarak tanam 20 cm x 25 cm, 3 biji per lubang. Pemeliharaan

tanaman meliputi, penyulaman, penjarangan, pengendalian gulma dan hama

penyakit. Pada 2 MST tanaman dijarangkan dari 3 tanaman per lubang menjadi 2

tanaman per lubang (populasi 400 000 tanaman/ha). Tanaman yang disisakan

adalah tanaman yang paling baik pertumbuhannya. Penyiangan dilakukan pada 3

dan 6 MST secara mekanis. Pencucian lahan dilakukan dengan mengeluarkan air

dari petakan sesuai dengan perlakuan.

'()2)-)'

Karakter yang diamati dalam penelitian ini adalah:

1. Tinggi tanaman

Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang sampai titik tumbuh yang

terletak di ujung pangkal bunga utama. Pengukuran dilakukan setiap dua

minggu sekali pada 10 tanaman contoh.

2. Jumlah daun trifoliet

Dihitung setiap dua minggu sekali dengan menghitung semua daun yang

(25)

3. Jumlah cabang

Penghitungan dilakukan pada saat tanaman berumur 6, 8, 10 dan 13 MST

dengan cara menghitung jumlah semua cabang pada 10 tanaman contoh.

4. Umur berbunga (MST)

Penghitungan dilakukan satu kali pada saat 50% tanaman pada petakan

panen dari setiap perlakuan telah berbunga.

5. Bobot bintil akar, batang dan daun (g)

Dilakukan satu kali pada saat tanaman berumur 6 minggu.

6. Umur panen (MST)

Panen dilakukan pada saat 90% tanaman pada petakan panen dari setiap

perlakuan memperlihatkan perubahan warna polong menjadi kecoklatan

disertai dengan daun yang gugur dan menguning.

7. Jumlah polong isi dan hampa per tanaman

Penghitungan dilakukan sebanyak satu kali saat panen dengan menghitung

semua polong yang berisi dan hampa dari 10 tanaman sampel.

8. Bobot 100 biji (g)

Dilakukan dengan cara menimbang 100 butir biji yang dipanen dari

petakan panen.

9. Bobot biji per 3m2 (ton/ha)

Dilakukan dengan cara menimbang seluruh biji hasil panen pada setiap

petakan.

10. Analisis fisik dan kimia tanah

Dilakukan pada saat sebelum dan setelah tanam.

11. Analisis hara N, P, K, Fe dan Mn

(26)

( 4 ,4 4( 4,)0 ' - )'

Desa Banyu Urip terletak di kecamatan Tanjung Lago Kabupaten

Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Kabupaten Banyuasin memiliki iklim

tropis dan basah dengan suhu selama periode April-Agustus 2010 berkisar antara

24.5-29.6 oC, kelembaban udara 74-94% dan curah hujan 0.3-113.8 mm

(Lampiran 7). Sebagian besar wilayah Kabupaten Banyuasin merupakan dataran

rendah pesisir yang terletak di bagian hilir aliran Sungai Musi dan Sungai

Banyuasin. Wilayahnya pada umumnya berupa lahan basah yang terpengaruh

pasang surut. Sebagian besar lahan basah tersebut dimanfaatkan untuk pertanian

pangan lahan basah, khususnya persawahan pasang surut (Banyuasin, 2010).

Desa Banyu Urip terletak pada ketinggian 1-2 m dari permukaan laut dan

berjarak 42 km dari Selat Bangka. Sebagian besar luas lahan Desa Banyu Urip

merupakan areal persawahan. Letaknya yang berada di hilir Sungai Musi dan

Sungai Banyuasin menyebabkan daerah ini mendapatkan pengaruh pasang surut

air laut. Daerah ini termasuk kedalam areal dengan tipe luapan C yang tidak

terluapi walaupun terjadi pasang besar, namun air tanahnya sangat dangkal

(Banyuasin, 2010) (Gambar 4).

(27)

Jaringan drainase terdiri dari saluran primer, sekunder, tersier dan kuarter.

Saluran primer merupakan saluran navigasi yang berhubungan langsung ke sungai

utama. Tegak lurus dengan saluran primer terdapat saluran sekunder yang

menghubungkan saluran primer dengan saluran tersier. Saluran kuarter atau

saluran cacing dibuat tegak lurus terhadap saluran tersier, fungsinya adalah untuk

mempercepat pencucian bahan beracun dari lahan. Saluran sekunder pemasukan

yang melintasi perkampungan dinamakan Saluran Pedesaan (SPD) dan saluran

pembuangan dinamakan Saluran Drainase Utama (SDU) (Gambar 5).

Gambar 5. Jaringan Drainase di Desa Banyu Urip

4'/ 0 2*2

Berdasarkan hasil analisis air yang dilakukan sebelum penanaman dapat

diketahui bahwa tingkat salinitas air yang digunakan tergolong rendah dengan S

b. Saluran Sekunder a. Saluran Primer

c. Saluran Tersier d. Saluran Kuarter

12-13 m 6 m

(28)

nilai DHL 488 uS/cm yang didominasi oleh Na+ dan Cl-. Air bersifat masam

dengan pH 5.4 dan kadar lumpur 0.20 mg/l (Lampiran 2). Analisis air yang

dilakukan setelah penanaman menunjukan bahwa terdapat kecenderungan

peningkatan pH air dan DHL. Jumlah ion-ion yang dibutuhkan tanaman seperti

Na, Ca dan Mg juga mengalami peningkatan. Hal ini menunjukan bahwa air

irigasi memberikan sumbangan hara yang cukup besar terhadap tanaman

(Lampiran 3).

Hasil analisis tanah sebelum penanaman menunjukan tanah bersifat

masam dengan pH H2O 5.26 dan KCl 4.29. Penambahan kapur diharapkan dapat

meningkatkan pH tanah sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimal. Tanah

bertekstur liat berdebu berpasir dengan kadar liat 57%, debu 42 % dan pasir 1%

dengan KTK tanah sebesar 19.55 cmol/kg dan pirit (FeS2) 0.04% (Lampiran 4).

Pencucian lahan dapat meningkatkan pH tanah. Hasil analisis tanah setelah

penanaman menunjukan nilai pH H2O dan KCl yang lebih tinggi dibandingkan

sebelum penanaman (Lampiran 5).

Kedelai mulai berkecambah pada umur 3 HST (Hari Setelah Tanam) dan

terlihat tumbuh serempak pada 5 HST. Rata-rata persentase tumbuh yaitu 83.5%

untuk Tanggamus, Slamet 92.62%, Willis 76.5% dan Anjasmoro 64.9%. Satu

minggu setelah penanaman dilakukan penyulaman yang bertujuan untuk

mengganti benih kedelai yang tidak tumbuh atau mati. Setelah dilakukan

penyulaman pada 7 HST persentase tumbuh meningkat, Tanggamus menjadi

97.26%, Slamet 98.7%, Willis 87.5 % dan Anjasmoro 85.6 %. Daun trifoliate

sempurna tampak pada umur 2 MST.

Gejala penguningan daun tampak pada umur 3 MST yang diduga akibat

translokasi hara dari tajuk ke akar untuk proses pembentukan akar dan bintil akar.

Pada tahap aklimatisasi banyak akar tanaman yang mati akibat kondisi jenuh.

Kemudian tanaman memperbaiki pertumbuhannya dengan membentuk akar dan

bintil akar yang baru. Pemberian pupuk urea melalui daun dapat meningkatkan

ketersedian unsur N dalam daun sehingga daun kembali hijau. Pemupukan N

melalui daun memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan tanaman.

Nitrogen merupakan unsur hara utama bagi pertumbuhan tanaman yang sangat

(29)

seperti daun, batang dan akar. Namun jika N terlalu banyak dapat menghambat

pembungaan dan pembuahan pada tanaman.

Kedelai tumbuh secara merata dengan tinggi tanaman yang relatif sama

(Gambar 6). Kedelai memiliki penampakan daun yang berbeda-beda. Varietas

Tanggamus dan Slamet memiliki bentuk daun ovale yang berukuran kecil,

varietas Willis mempunyai bentuk daun agak lancip berukuran kecil sedangkan

varietas Anjasmoro memiliki bentuk daun dengan ukuran daun lebar dan

warna lebih hijau. Varietas Tanggamus memiliki urat daun yang lebih tebal dan

jelas dibandingkan dengan varietas lainnya. Lingkungan tumbuh yang sesuai

menyebabkan tanaman tumbuh serempak dan merata. Hama ulat grayak

menyerang pertanaman kedelai sejak umur 2 MST dan menyebabkan daun

menjadi rusak. Namun kondisi tersebut dapat diatasi dengan pengendalian hama

secara kimia.

Gambar 6. Pertumbuhan Empat Varietas Kedelai pada BJA di Lahan Pasang Surut pada Umur 6 MST

a. Tanggamus b. Slamet

(30)

)0

Hasil uji F menunjukan bahwa perlakuan pencucian tidak berpengaruh

nyata terhadap sebagian besar peubah yang diamati. Perlakuan pencucian

memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot kering bintil akar, jumlah

polong hampa, kandungan hara K dan berpengaruh sangat nyata terhadap

kandungan Mn. Varietas memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan

Fe, Mn dan sangat nyata terhadap tinggi tanaman pada 2, 6, 8 dan 10 MST,

jumlah cabang pada 2, 4, 6 dan 10 MST, umur berbunga, umur panen, bobot biji

per petak, bobot 100 biji serta kandungan hara K. Interaksi antara waktu

pencucian dan varietas berpengaruh nyata terhadap jumlah cabang pada 8 MST

dan sangat nyata terhadap bobot 100 biji serta kandungan hara K dan Mn

(Lampiran 1).

Pada awal pertumbuhan, varietas Anjasmoro memiliki laju pertumbuhan

yang lebih cepat dibandingkan dengan varietas lainnya. Varietas Anjasmoro nyata

paling tinggi pada umur 2 dan 4 MST. Namun pada umur 6-10 MST varietas

Slamet nyata lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya. Laju pertumbuhan tinggi

tanaman meningkat cepat pada umur 2-4 MST mencapai 130% dari tinggi

tanaman pada umur 2 MST dan pada umur 4-6 MST mencapai 137% dari tinggi

tanaman pada umur 4 MST. Pada umur 6-8 MST, pertumbuhan tinggi tanaman

sebesar 20% dari tinggi tanaman 6 MST dan pada umur 8-10 MST hanya

bertambah 2 % dari tinggi tanaman pada 8 MST (Tabel 1).

Tabel 1. Tinggi Tanaman pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas

(31)

Pada umur 8 MST perlakuan tanpa pencucian menghasilkan rata-rata 16.1

daun, pencucian setiap dua minggu 16.9 daun, empat minggu 17.3 daun dan enam

minggu 16.3 daun. Varietas Tanggamus memiliki jumlah daun paling banyak

pada 2 MST, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan varietas Slamet. Pada umur 4

MST jumlah daun varietas Slamet nyata paling banyak dibandingkan dengan

varietas lainnya. Varietas Anjasmoro menghasilkan daun terbanyak pada umur 6,

8 dan 10 MST. Pada umur 10 MST terjadi penurunan jumlah daun akibat

terjadinya pengguguran daun menjelang panen (Tabel 2). Pengguguran daun

terjadi akibat adanya translokasi hara dari daun ke komponen produksi. Akibatnya

daun berubah warna dari hujau menjadi kuning kemudian gugur.

Tabel 2. Jumlah Daun per Tanaman pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas nyata pada uji DMRT pada taraf 5%

Jumlah cabang muncul secara merata pada saat tanaman berumur 6 MST.

Jumlah cabang mengalami peningkatan setiap minggunya. Pada 13 MST

perlakuan tanpa pencucian, 2, 4 dan 6 minggu memiliki cabang berturut-turut

sebesar 3.2, 3.3, 3.8 dan 3.7 cabang. Pada 6 dan 8 MST percabangan tertinggi

dibentuk oleh varietas Anjasmoro. Jumlah cabang varietas Willis lebih tinggi

dibandingkan dengan Tanggamus pada 6 dan 8 MST dan varietas Slamet

memiliki jumlah cabang yang paling sedikit. Pengamatan jumlah cabang pada

saat panen (13 MST) menunjukan bahwa varietas Willis memiliki jumlah cabang

paling banyak dan yang terendah adalah varietas Tanggamus. Jumlah cabang

(32)

Tabel 3. Jumlah Cabang pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas

Perlakuan Umur (MST) nyata pada uji DMRT pada taraf 5%

Varietas Anjasmoro dengan pencucian setiap empat minggu sekali

menghasilkan jumlah cabang terbanyak, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan

pencucian setiap enam minggu sekali. Varietas Slamet dengan pencucian setiap

enam minggu sekali memiliki jumlah cabang terendah. Varietas Tanggamus

dengan pencucian setiap dua minggu nyata lebih rendah dibandingkan pada

pencucian setiap empat minggu. Varietas Anjasmoro memiliki kecenderungan

jumlah cabang paling tinggi pada semua perlakuan kecuali pada perlakuan tanpa

pencucian. Pada perlakuan tanpa pencucian varietas Willis adalah yang tertinggi

(Tabel 4).

Tabel 4. Pengaruh Interaksi Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Jumlah Cabang pada 8 MST

Pencucian Varietas

Tanggamus Slamet Willis Anjasmoro

Tanpa pencucian 2.3bcd 2.3bcd 2.6abcd 2.5abcd

2 Minggu 2.2cd 2.6abcd 2.6abcd 2.8abc

4 Minggu 2.9ab 2.3bcd 2.6abcd 2.9a

6 Minggu 2.7abcd 2.1d 2.3bcd 2.9a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak nyata pada uji DMRT pada taraf 5%

Buku produktif merupakan tempat terbentuknya bunga yang selanjutnya

membentuk polong, sedangkan buku yang tidak menghasilkan polong disebut

(33)

potensi jumlah polong yang lebih tinggi. Kedelai yang ditanam dengan perlakuan

pencucian setiap empat minggu sekali memiliki jumlah buku produktif lebih

banyak dibandingkan dengan perlakuan tanpa pencucian, pencucian setiap dua

dan enam minggu walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Pencucian setiap

enam minggu sekali menghasilkan buku produktif paling sedikit dan buku non

produktif paling banyak (Tabel 5).

Jumlah buku berkaitan dengan tinggi tanaman dan jumlah cabang.

Varietas Slamet dengan tinggi tanaman paling tinggi memiliki jumlah buku

produktif dan non produktif paling banyak. Varietas Tanggamus memiliki

rata-rata tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan Willis, namun jumlah buku

total varietas Willis lebih tinggi dibandingkan Tanggamus (Tabel 5). Jarak antar

buku varietas Anjasmoro lebih pendek dibandingkan dengan varietas lainnya.

Tinggi tanaman varietas Anjasmoro nyata paling rendah, namun jumlah buku

produktif dan non produktif varietas Anjasmoro tidak berbeda nyata dengan

varietas Tanggamus, Slamet dan Willis.

Tabel 5. Jumlah Buku Produktif dan Non Produktif pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas

yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pencucian lainnya, begitu pula

dengan kandungan hara Mn. Perbedaan yang tidak nyata ditunjukan oleh

kandungan hara Fe pada pencucian dua dan empat minggu. Kandungan hara N, P,

K dan Fe pada varietas Anjasmoro lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya

meskipun untuk N dan P tidak berbeda nyata. Varietas Tanggamus memiliki

(34)

nyata pada uji DMRT pada taraf 5%

Perlakuan varietas Anjasmoro dengan pencucian setiap dua minggu sekali

memiliki kandungan K yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Kandungan K terendah dimiliki oleh varietas Tanggamus dengan pencucian setiap

empat minggu sekali. Pada pencucian setiap empat minggu varietas Tanggamus

memiliki kandungan Mn yang nyata paling tinggi dan yang terendah adalah

varietas Willis dengan perlakuan tanpa pencucian, namun tidak berbeda nyata

dengan varietas Slamet dan Anjasmoro dengan perlakuan yang sama (Tabel 7).

Tabel 7. Interaksi Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Kandungan Hara K dan Mn pada 6 MST

Pencucian Varietas

Tanggamus Slamet Willis Anjasmoro

K (%)

Tanpa Pencucian 1.42bcd 1.41bcd 1.44bc 1.45bc

2 Minggu 1.46bc 1.42bcd 1.48b 1.65a

4 Minggu 1.21g 1.29ef 1.38cde 1.47b

6 Minggu 1.29f 1.35def 1.34def 1.35def

Mn (ppm)

Tanpa Pencucian 184.7b 155.7d 148d 156.7d

2 Minggu 187b 182b 187.3b 174.7bc

4 Minggu 206.3a 149d 162cd 185.3b

6 Minggu 174.3bc 163.3cd 191b 165cd

(35)

Serapan hara N, P, K, Fe dan Mn menunjukan nilai yang tidak berbeda

nyata pada semua perlakuan pencucian dan varietas. Tanaman menyerap hara N,

P, K dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan hara Fe dan Mn. Pencucian

setiap enam minggu memiliki kecenderungan nilai serapan hara N, P dan Mn

yang lebih tinggi dibandingkan dengan pencucian lainnya. Varietas Slamet

menyerap hara N, P dan K cenderung lebih banyak dibandingkan dengan verietas

Tanggamus, Willis dan Anjasmoro (Tabel 8).

Tabel 8. Serapan Hara pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas

Pada perlakuan waktu pencucian, bobot akar tidak berkorelasi positif

terhadap bobot kering batang dan daun. Bobot kering batang dan daun lebih tinggi

pada pencucian setiap enam minggu. Sedangkan bobot kering akar tertinggi

dicapai pada perlakuan tanpa pencucian walaupun tidak berbeda nyata dengan

perlakuan pencucian lainnya. Bobot kering bintil akar pada perlakuan pencucian

setiap dua minggu sekali menunjukan hasil yang paling tinggi dibandingkan

dengan perlakuan lainnya dan yang terendah adalah pencucian setiap empat

minggu akan tetapi tidak berbeda nyata dengan pencucian setiap enam minggu

(Tabel 9).

Varietas Tanggamus memiliki tinggi tanaman yang paling rendah pada 6

MST, namun memiliki bobot kering batang yang lebih tinggi dibandingkan Willis

dan Anjasmoro. Hal ini diduga karena batang varietas Wiliis dan Anjasmoro lebih

(36)

Varietas Anjasmoro memiliki jumlah daun yang paling banyak dibandingkan

varietas lainnya pada 6 MST, namun bobot kering daunnya lebih rendah

dibandingkan varietas Tanggamus dan Slamet. Urat daun yang lebih jelas dan

tebal pada varietas Tanggamus dan Slamet menyebabkan bobot kering daunnya

lebih tinggi. Serapan hara N, P dan K yang tinggi menyebabkan varietas Slamet

memiliki bobot kering batang, daun dan akar yang lebih tinggi dibandingkan

dengan varietas lainnya. Serapan Fe yang tinggi pada varietas Anjasmoro diduga

menyebabkan pertumbuhan varietas Anjasmoro terhambat sehingga bobot

keringnya menjadi rendah.

Perakaran varietas Anjasmoro kurang berkembang pada budidaya jenuh

air. Hal ini ditunjukan dengan rendahnya bobot kering akar (0.63 g) yang diduga

akibat tingginya translokasi fotosintat ke bagian tajuk, sehingga hanya sedikit

fotosintat yang ditranslokasikan ke akar akibatnya akar kurang berkembang.

Ukuran akar yang besar memungkinkan munculnya bintil akar yang lebih banyak.

Namun dengan bobot kering akar yang rendah, varietas Anjasmoro memiliki

bobot kering bintil akar paling tinggi. Hal ini diduga karena ukuran bintil yang

lebih besar, sehingga walaupun jumlahnya lebih sedikit namun memiliki bobot

kering yang lebih tinggi (Tabel 9).

Tabel 9. Pengaruh Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Bobot Kering Batang, Daun, Akar dan Bintil pada 6 MST

Perlakuan Bagian Tanaman nyata pada uji DMRT pada taraf 5%

Kedelai berbunga 50% pada umur 5-6 MST. Anjasmoro memiliki rata-rata

(37)

lambat (91.3 hari). Hal ini menunjukan bahwa waktu reproduktif varietas

Anjasmoro lebih lama dibandingkan varietas lainnya yaitu 55.2 hari, Tanggamus

48.41 hari, Slamet 45.9 dan Willis 48.2 hari. Semakin lama umur panen maka

semakin besar ukuran biji (Adisarwanto, 2003). Varietas Slamet dan Willis

dipanen pada umur yang sama dan nyata lebih cepat dibandingkan Tanggamus nyata pada uji DMRT pada taraf 5%

Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa semakin pendek selang

waktu pencucian, jumlah polong hampa yang dihasilkan semakin banyak.

Pencucian lahan setiap dua minggu sekali menghasilkan jumlah polong hampa

yang lebih banyak dibandingkan dengan pencucian setiap empat (2.13%) dan

enam minggu (1.75%). Namun pencucian lahan perlu dilakukan dalam satu siklus

hidup tanaman kedelai. Pada perlakuan tanpa pencucian (4.09%) jumlah polong

hampa tidak berbeda nyata dengan pencucian setiap dua minggu (4.06%).

Jumlah polong isi mengalami peningkatan sampai pencucian setiap empat

minggu dan mengalami penurunan pada pencucian setiap enam minggu. Varietas

Tanggamus memperoleh jumlah polong isi yang lebih banyak dibandingkan

dengan varietas lainnya. Varietas Anjasmoro memiliki jumlah polong hampa

tertinggi. Hal ini diduga akibat rimbunnya kanopi tanaman serta ukuran polong

yang besar sehingga terjadi kompetisi dalam memanfaatkan sinar matahari, nutrisi

(38)

Tabel 11. Pengaruh Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Jumlah Polong Isi dan Polong Hampa

Perlakuan Polong % Polong Hampa

Isi Hampa nyata pada uji DMRT pada taraf 5%

Varietas Anjasmoro dengan pencucian setiap dua minggu memiliki bobot

100 biji yang nyata lebih tinggi. Bobot 100 biji varietas Slamet adalah yang

terendah dan tidak berbeda signifikan pada semua perlakuan pencucian. Varietas

Tanggamus memperoleh bobot 100 biji tertinggi pada pencucian setiap empat

minggu, sedangkan varietas Willis memperoleh bobot 100 biji tertinggi pada

perlakuan pencucian setiap enam minggu (Tabel 12).

Tabel 12. Pengaruh Interaksi Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Bobot 100 Biji

Pencucian Varietas Rata-rata

Tanggamus Slamet Willis Anjasmoro

. . . g. . .

Tanpa pencucian 11.97f 10.41g 15.37cd 22.33ab 15.02

2 Minggu 11.94f 10.06g 14.11de 22.84a 14.73

Varietas Anjasmoro menghasilkan bobot 100 biji tertinggi. Hal ini

menunjukan bahwa varietas Anjasmoro memiliki ukuran biji yang paling besar

(Gambar 7). Jumlah polong isi varietas Tanggamus lebih banyak dibandingkan

dengan Anjasmoro, perbedaanya adalah 1.58 polong. Namun bobot 100 biji

Anjasmoro lebih tinggi dengan perbedaan 9.74 g sehingga menghasilkan produksi

(39)

Gambar 7. Ukuran Biji Varietas Tanggamus, Slamet, Willis dan Anjasmoro

Pencucian lahan berpengaruh positif terhadap produktivitas kedelai.

Gambar 8 menunjukkan hasil regresi antara waktu pencucian terhadap

produktivitas kedelai. Waktu pencucian dan produksi memiliki hubungan linear

dengan persamaan y = -0.042x + 3.126 dan nilai R2 sebesar 0.938. Semakin

panjang interval pencucian maka produktivitas akan menurun.

Gambar 8. Regresi Pengaruh Waktu Pencucian terhadap Produktivitas Kedelai

Produktivitas kedelai meningkat dengan budidaya jenuh air di lahan

pasang surut. Masing-masing varietas memberikan respon yang berbeda pada

(40)

pada perlakuan pencucian setiap dua minggu sedangkan varietas Slamet dan

Willis memperoleh hasil tertinggi pada pencucian setiap empat minggu.

Produktivitas tertinggi diperoleh varietas Anjasmoro dengan pencucian setiap

dua minggu yaitu sebesar 4.06 ton/ha dan terendah adalah varietas Slamet pada

perlakuan tanpa pencucian sebesar 2.16 ton/ha ( Tabel 9).

Tabel 13. Produktivitas Empat Varietas Kedelai pada Berbagai Waktu Pencucian

Pencucian Varietas Rata-rata

Tanggamus Slamet Willis Anjasmoro

...ton/ha... nyata pada uji DMRT pada taraf 5%

23)+)0)'

'() *+ ),-* '.*. )' - +)/)1 -*23*+)' /)' 4/*,0 / )

Pembuangan air dari saluran mengakibatkan tercucinya unsur-unsur N, Al,

Fe dan SO4-. Pembuatan saluran kemalir pada saluran tersier sangat efektif untuk

menampung dan mencuci asam-asam atau bahan beracun yang terbentuk selama

musim kemarau (Widhaja dan Adhi, 1990). Kualitas air akan menurun jika

disimpan terlalu lama dalam saluran. Unsur-unsur beracun dalam tanaman akan

larut dan terbuang ke dalam saluran sehingga berbahaya bagi tanaman. Proses

pencucian dan pergantian air dari lahan dapat meningkatkan kualitas air dalam

saluran sehingga dapat meningkatkan pH serta menurunkan konsentrasi Fe dan

Al. Pada awal penanaman kandungan Fe yang ada dalam tanah adalah 1585 ppm,

namun setelah dilakukan pencucian kandungan Fe turun menjadi rata-rata 123.47

ppm. Pencucian lahan memberikan pengaruh linear terhadap produksi kedelai.

Hal ini diduga karena kandungan Fe tanah yang cukup tinggi pada awal

(41)

Hasil analisis tanah yang dilakukan sebelum pengolahan tanah

menunjukan bahwa tanah bersifat masam dengan pH KCl 4.29, 1.09 cmol/kg

Al3+, 1585 ppm Fe dan 292 ppm Mn. Pada pH kurang dari 5.5 pertumbuhan

kedelai sangat lambat karena keracunan almunium. Pertumbuhan bakteri bintil

dan proses nitrifikasi akan berjalan kurang baik (Suprapto, 2001). Selain itu

adanya lapisan pirit (FeS2) pada tanah dapat menghambat pertumbuhan tanaman.

Apabila terkena udara (teroksidasi), pirit berubah menjadi zat besi dan asam

belerang yang dapat meracuni tanaman. Namun pada saat kondisi lahan basah

atau tergenang, oksidasi pirit dapat ditekan sehingga tidak berbahaya bagi

tanaman.

Air irigasi dapat memberikan sumbangan hara bagi tanaman. Kedelai yang

ditanam pada perlakuan pencucian setiap dua minggu memiliki kandungan hara

K, Fe dan Mn yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Unsur K

berperan membantu pembentukan protein dan karbohidrat dalam biji, Fe

diperlukan dalam proses pembentukan klorofil yang berperan dalam proses

fotosintesis dan Mn merupakan komponen penting dalam proses asimilasi.

Semakin tinggi jumlahnya dalam daun, maka akan mendukung proses

pembentukan dan pengisian biji.

Kondisi tidak jenuh air dengan kedalaman 15 cm cukup memadai untuk

pertumbuhan akar secara maksimal. Kondisi air yang tersedia serta radiasi

matahari yang tinggi meningkatkan proses metabolisme tanaman sehingga laju

fotosintesis meningkat. Tingginya fotosintat yang tersedia dan distribusinya ke

organ reproduktif menyebabkan pengisian biji menjadi optimal. Namun tanaman

dengan jumlah polong yang lebat juga sering menunjukan beberapa polong

hampa. Hal ini diduga akibat terjadinya kompetisi sinar matahari, nutrisi ataupun

pembusukan polong. Semakin tinggi intensitas waktu pencucian memiliki

kecenderungan persentase jumlah polong hampa yang lebih tinggi.

Pencucian setiap dua minggu menghasilkan bobot kering bintil akar paling

tinggi. Drainase pada lahan dapat meningkatkan aerasi tanah, memperbaiki

struktur tanah serta meningkatkan nitrogen dalam tanah. Selain itu kelarutan besi

akan menurun dengan adanya drainase. Aerasi dan kondisi tanah yang baik akan

(42)

mampu mengekstrak air dan hara dalam jumlah besar. Perakaran tanaman kedelai

berkorelasi positif terhadap jumlah bintil akar. Ketersediaan air yang cukup

memacu tanaman untuk membentuk bintil akar efektif yang lebih banyak.

Peningkatan bintil akar dapat meningkatkan aktivitas nitrogenase dan serapan

hara (Ghulamahdi 2006).

'() *+ ) -)0 - +)/)1 -*23*+)' /)' 4/*,0 / )

Respon varietas kedelai terhadap budidaya jenuh air berbeda-beda.

Varietas Slamet lebih toleran terhadap genangan dibandingkan dengan varietas

lainnya. Pada saat kondisi tergenang, kedelai yang toleran genangan memiliki

tinggi tanaman 29% lebih tinggi daripada yang peka. Genangan yang lebih lama

akan mengurangi tinggi tanaman (Sullivan 2001). Pada awal pertumbuhan

Anjasmoro memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan varietas

lainnya. Namun mulai 6 MST laju pertumbuhan menurun dan tinggi tanamannya

menjadi paling rendah sampai 10 MST. Kedelai berbiji besar tinggi tanamannya

cenderung lebih pendek dibandingkan kedelai berbiji sedang (Adie dan

Krisnawati 2007).

Varietas kedelai yang dibudidayakan pada lahan pasang surut memiliki

pola serapan hara daun yang berbeda. Kandungan hara yang tinggi tidak selalu

diikuti oleh kemampuan menyerap hara yang baik. Varietas Anjasmoro memiliki

kandungan hara yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas lain, namun

serapan hara varietas Slamet lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya.

Perbedaan pola serapan hara diduga merupakan bentuk adaptasi varietas kedelai

terhadap kondisi jenuh air. Serapan hara yang baik akan mendorong pertumbuhan

vegetatif tanaman yang kemudian dapat meningkatkan bobot kering tanaman. Fe

merupakan unsur yang berperan penting dalam proses pembentukan klorofil.

Serapan Fe yang baik pada varietas Anjasmoro menyebabkan warna daunnya

lebih hijau dibandingkan varietas lainnya.

Bunga kedelai umumnya tumbuh di ketiak tangkai daun yang disebut

rasim. Semakin banyak cabang dengan jarak antar buku yang pendek maka

semakin banyak pula rasim untuk munculnya bunga. Pembentukan bunga juga

(43)

jumlah sinar matahari yang jatuh pada ketiak tangkai daun lebih banyak sehingga

akan merangsang pembentukan bunga. Suhu lingkungan saat pembungaan

berkisar antara 24.8-28.6oC. Namun tidak semua bunga kedelai berhasil

membentuk polong, dengan tingkat keguguran 20-80 %. Umumnya varietas

dengan banyak bunga per buku memiliki keguguran bunga yang lebih tinggi

daripada yang berbunga sedikit (Adie dan Krisnawati, 2007). Keguguran bunga

terjadi apabila suhu lingkungan lebih dari 40 oC (Irwan, 2006).

Ketersediaan air pada fase berbunga, pembentukan polong dan pengisian

biji sangat penting. Kekurangan air pada fase berbunga dan pembentukan polong

dapat menyebabkan rontoknya bunga dan polong muda. Pada fase pengisian

polong kekurangan air dapat menyebabkan gugurnya polong, perkembangan

polong jelek dan menurunnya aktifitas fotosintesis sehingga bobot biji menurun.

Pada budidaya basah air selalu tersedia sehingga fase generatif berlangsung tanpa

hambatan kekurangan air.

Bobot dan ukuran biji merupakan sifat kuantitatif dari faktor genetik yang

pada kondisi tertentu akan berubah-ubah sesuai lingkungan tumbuh tanaman

(Adie, 2005). Biji kedelai yang ditanam pada budidaya jenuh air memiliki ukuran

yang lebih besar dibandingkan pada budidaya biasa. Garside (1992)

menyatakan bahwa tanaman yang dapat menyembuhkan klorosis sebelum

berbunga akibat perlakuan jenuh air, pada pertumbuhan berikutnya akan memiliki

kemampuan mengakumulasi cadangan makanan di dalam biomassa vegetatif

yang lebih tinggi. Dengan demikian cadangan makanan yang terkandung pada

biomassa vegetatif yang dapat dimobilisasi pada saat pembentukan bunga dan

pengisian biji menjadi lebih banyak.

Jumlah polong isi Anjasmoro lebih sedikit bila dibandingkan dengan

Tanggamus, perbedaannya yaitu sebesar 1.58. Namun rata-rata bobot 100 biji

Anjasmoro (22.13 g) lebih tinggi dibandingkan Tanggamus (12.39 g) sehingga

bobot biji per petak menjadi lebih besar. Menurut Slatyer (1971) hasil tanaman

serealia (biji-bijian) ditentukan oleh fotosintesis yang terjadi setelah pembungaan.

Begitu pula dengan tanaman kedelai, hasil biji kering tanaman bergantung pada

(44)

'() *+ '- ),0 ),-* '.*. )' /)' ) -)0

Pencucian setiap dua minggu sekali memberikan pengaruh yang positif

terhadap bobot 100 biji varietas Anjasmoro (22.13 g) yang mengalami

peningkatan hampir dua kali lipat dibandingkan bobot 100 biji benih yang

digunakan saat penanaman (15 g). Begitu pula dengan Tanggamus, Willis dan

Slamet juga mengalami peningkatan bobot 100 biji. Kondisi jenuh air yang

dipertahankan sejak awal stadia vegetatif hingga stadia kematangan menyebabkan

tanaman tidak cepat mengalami senessen saat masa pengisian polong (Nathanson

1984). Umur panen memiliki korelasi positif terhadap bobot 100 biji.

Semakin lama umur panen maka semakin besar ukuran biji (Adisarwanto, 2003).

Suplai asimilat dari ke berlangsung lama sehingga dapat

meningkatkan indeks panen.

Budidaya jenuh air dapat meningkatkan poduksi kedelai 20-80 %

dibandingkan dengan pengairan konvensional (Indradewa 2004).

Berdasarkan komponen hasil varietas Anjasmoro lebih responsif terhadap kondisi

jenuh air dan pencucian lahan. Hal ini ditunjukan dengan jumlah polong yang

banyak (Gambar 9) serta produksi biji yang tinggi (4.06 ton/ha). Sagala (2010)

menyatakan bahwa varietas Tanggamus merupakan varietas yang paling responsif

dengan hasil mencapai 4.63 ton/ha pada perlakuan kedalaman muka air 20 cm

dibawah permukaan tanah. Pada penelitian ini produksi tertinggi Tanggamus

hanya 3.08 ton/ha. Serangan hama ulat grayak pada saat pembungaan dan

pengisian polong diduga menjadi penyebab turunnya produksi kedelai. Intensitas

serangan yang tinggi menyebabkan daun menjadi rusak sehingga terjadi

penurunan bobot kering daun (BKD). Penurunan BKD menyebabkan penurunan

fotosintat yang dihasilkan sehingga mengakibatkan proses pembentukan dan

pengisian polong menjadi tidak optimal. Keterbatasan dan dapat

menghambat laju pertumbuhan dan hasil suatu tanaman. yang kuat akan

menghasilkan yang banyak, begitu pula sebaliknya (Marschner, 1995).

Kondisi tanah liat berdebu berpasir dengan kadar liat 57%, debu 42 % dan

pasir 1% sangat baik untuk pertumbuhan akar tanaman kedelai. Akar tanaman

kedelai lebih mudah berkembang pada tanah gembur yang mengandung liat

(45)

itu, tanah bertekstur liat akan memegang air lebih kuat dibandingkan tanah

bertekstur pasir. Varietas Anjasmoro memiliki mekanisme adaptasi terhadap Al

serta efisiense serapan hara yang baik. Walaupun memiliki bobot kering akar

yang rendah namun varietas Anjasmoro memiliki produksi biji tertinggi. Blum

(1996) menyatakan bahwa tanaman yang mampu beradaptasi pada Al tinggi

disebabkan oleh tanaman tersebut memiliki mekanisme tertentu untuk menekan

pengaruh buruk Al sehingga tidak mengganggu serapan hara dan air, juga mampu

mengefisienkannya. Efisiensi ini dapat dalam proses absorbsi, reduksi,

translokasi, dan retribusi hara.

Gambar 9. Jumlah Polong Empat Varietas pada BJA

c. Willis d. Anjasmoro

(46)

Pencucian lahan dapat meningkatkan produksi kedelai. Varietas

memberikan respon yang berbeda terhadap waktu pencucian. Varietas Tanggamus

memperoleh hasil tertinggi pada pencucian setiap dua minggu yaitu sebesar 3.08

ton/ha, varietas Slamet dan Willis pada pencucian setiap empat minggu yaitu

berturut- turut sebesar 2.4 ton/ha dan 2.71 ton/ha. Produksi biji tertinggi diperoleh

varietas Anjasmoro dengan waktu pencucian setiap dua minggu sekali (4.06

ton/ha) namun tidak berbeda nyata dengan pencucian setiap empat minggu sekali

(3.99 ton/ha) dan pencucian setiap enam minggu sekali (3.93 ton/ha).

) )'

Pada budidaya tanaman di daerah pasang surut perlu dilakukan pencucian

lahan untuk menekan pengruh pirit yang berbahaya bagi tanaman. Perlu dilakukan

penanganan yang baik terhadap hama dan penyakit terutama hama ulat gayak dan

tikus karena dapat menurunkan hasil kedelai. Secara teknik dan ekonomi,

Gambar

Tabel 1. Tinggi Tanaman pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas
Tabel 2. Jumlah Daun per Tanaman pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas
Tabel 3. Jumlah Cabang pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas
Tabel 5. Jumlah Buku Produktif dan Non Produktif pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu : “Bagaimana hubungan antara motivasi dengan efikasi diri pada pasien post stroke

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara motivasi dengan efikasi diri pasien post stroke dalam menjalani fisioterapi di RSUP H.Adam Malik Medan dengan

Praktek Kerja dan Tugas Akhir ini merupakan salah satu matakuliah yang wajib ditempuh dan disusun sebagai persyaratan kelulusan di Program Studi D3 Komputerisasi

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan partisipasi masyarakat masih tergolong rendah dalam pembangunan kawasan ekowisata mangrove tersebut, namun secara

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mendeskripsikan kesiapan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran berbasis tematik integratif, 2) mendeskripsikan

Berdasarkan hasil analisis pada penelitian ini dapat diketahui bahwa peran ibu dalam pembentukan kemandirian anak keluarga nelayan di awali dengan proses pembentukan

Proses pada dekripsi hampir sama dengan enkripsi, tetapi pada dekripsi user tidak perlu mengetikkan pesan, bisa langsung menggunakan menu open untuk membuka pesan yang akan