!" !#$
%
- +)/)1 -*23*+)' /)' 4/*,0 / ) 1)/)
*/ /)5) '*+ / )+)' )0)'( * *- 3 23 '( + %
Budidaya jenuh air (BJA) merupakan penanaman dengan memberikan air
secara terus menerus melalui parit-parit di sekitar petak pertanaman dan membuat
tinggi permukaan air di bawah permukaan tanah tetap sehingga lapisan tanah di
bawah perakaran jenuh air. Pencucian lahan dapat mengurangi pengaruh negatif
bahan beracun yang berbahaya bagi tanaman.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu pencucian dan
varietas terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai ( (L.) Merill)
pada budidaya jenuh air di lahan pasang surut. Penelitian ini dilakukan di Desa
Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera
Selatan, dari bulan April sampai Agustus 2010.
Percobaan ini menggunakan Rancangan Petak Terpisah dengan tiga
ulangan. Perlakuan terdiri dari dua faktor yaitu waktu pencucian dan varietas.
Waktu pencucian sebagai petak utama terdiri dari perlakuan tanpa pencucian,
pencucian setiap 2, 4 dan 6 minggu. Varietas sebagai anak petak yang terdiri dari
Varietas Tanggamus, Slamet, Willis dan Anjasmoro. Setiap petak utama
dikelilingi saluran air yang berukuran lebar 30 cm dan dalam 25 cm, dengan
demikan kondisi petakan akan selalu basah pada saat air irigasi diberikan.
Pemberian air irigasi dilakukan sejak penanaman sampai panen dengan ketinggian
muka air 15 cm di bawah permukaan tanah.
Hasil penelitian menunjukan bahwa varietas memberikan respon yang
berbeda terhadap waktu pencucian. Varietas Tanggamus memperoleh hasil
tertinggi pada pencucian setiap dua minggu yaitu sebesar 3.08 ton/ha, varietas
Slamet dan Willis pada pencucian setiap empat minggu yaitu berturut-turut
sebesar 2.4 ton/ha dan 2.71 ton/ha. Produktivitas tertinggi diperoleh varietas
Anjasmoro dengan waktu pencucian setiap dua minggu sekali (4.06 ton/ha)
namun tidak berbeda nyata dengan pencucian setiap empat minggu sekali (3.99
Skripsi sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
!" !#$
%
Nama :
NIM
:
!" !#$
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
*' 6 +* )2)+/ 7
&$8$!8!8 &$#8!9 & !!
Mengetahui.
Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura
Fakultas Pertanian IPB
(*0 * : -47 . (
&$"&&&!& &$#;!9 & !!9
merupakan anak ke tiga dari tiga bersaudara dari pasangan Cipto Utomo dan Sri
Ngatemi. Penulis memulai pendidikan di TK Bhina Putra pada tahun 1992 dan
tamat pada tahun 1994. Penulis melanjutkan pendidikan di SD Negeri 3 Siraman
pada tahun 1994 dan tamat pada tahun 2000. Kemudian penulis melanjutkan
pendidikan di SMP Negeri 1 Metro pada tahun 2000 dan tamat pada tahun 2003.
Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Metro pada tahun
2003 dan tamat pada tahun 2006.
Selepas dari SMA, penulis melanjutkan pendidikan ke Institut Pertanian
Bogor pada tahun 2006. Penulis diterima di IPB melalui jalur USMI (Undangan
Siswa Masuk IPB). Penulis diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura,
Fakultas Pertanian. Penulis pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa
tahun 2009. Penulis juga aktif dalam kepengurusan Keluarga Mahasiswa
Lampung IPB periode 2006-2008 dan menjadi panitia pada berbagai acara di IPB
memberikan kekuatan dan hidayahNya sehingga penulisan skripsi dengan judul
Pengaruh Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Pertumbuhan dan Produksi
Kedelai ( (L.) Merill) pada Budidaya Jenuh Air di Lahan Pasang
Surut dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan arahan, bimbingan, dukungan moril maupun materil
sehingga penelitian dan skripsi dapat diselesaikan dengan baik.
2. Kedua orang tua yang telah memberikan restu, doa, bimbingan serta
dukungan sehingga penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan
penelitian dengan baik
3. Rekan satu penelitian, Bapak Ngatimin, keluarga Bapak Suaji serta
petani Desa Banyu Urip atas bimbingan selama penulis melaksanakan
penelitian.
4. Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, MSi selaku dosen pembimbing
akademik yang telah memberikan bimbingan selama perkuliahan.
Penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang berkepentingan.
Bogor, Januari 2011
Halaman
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 3
Hipotesis ... 3
TINJAUAN PUSTAKA ... 4
Botani Kedelai ... 4
Lingkungan Tumbuh Kedelai ... 4
Lahan Pasang Surut ... 5
Budidaya Jenuh Air ... 7
Respon Varietas pada Budidaya Jenuh Air ... 8
BAHAN DAN METODE ... 11
Tempat dan Waktu Penelitian ... 11
Pelaksanaan Percobaan ... 12
Pengamatan ... 14
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16
Agroekologi Lokasi Penelitian ... 16
Hasil ... 20
Pembahasan ... 30
KESIMPULAN DAN SARAN ... 36
Kesimpulan ... 36
Saran ... 36
DAFTAR PUSTAKA ... 37
No Halaman
1. Tinggi Tanaman pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas ... 20
2. Jumlah Daun per Tanaman pada Beberapa Waktu Pencucian
dan Varietas ... 21
3. Jumlah Cabang pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas ... 22
4. Pengaruh Interaksi Waktu Pencucian dan Varietas terhadap
Jumlah Cabang pada 8 MST ... 22
5. Jumlah Buku Produktif dan Non Produktif pada Beberapa
Waktu Pencucian dan Varietas ... 23
6. Kandungan Hara Daun pada Beberapa Waktu Pencucian dan
Varietas pada 6 MST ... 24
7. Interaksi Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Kandungan
Hara K dan Mn pada 6 MST ... 24
8. Serapan Hara pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas
pada 6 MST ... 25
9. Pengaruh Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Bobot Kering
Batang, Daun, Akar dan Bintil pada 6 MST ... 26
10. Umur Berbunga dan Umur Panen pada Beberapa Waktu
Pencucian dan Varietas ... 27
11. Pengaruh Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Jumlah
Polong Isi dan Polong Hampa ... 28
12. Pengaruh Interaksi Waktu Pencucian dan Varietas terhadap
Bobot 100 Biji ... 28
13. Produktivitas Empat Varietas Kedelai pada Berbagai Waktu
No Halaman
1. Ukuran Saluran dan Kedalaman Muka Air ... 12
2. Petakan Percobaan ... 13
3. Skema Pengaturan Air ... 13
4. Klasifikasi Rawa Pasang Surut Menurut Tipe Luapan
Maksimum dan Minimum ... 16
5. Jaringan Drainase di Desa Banyu Urip ... 17
6. Pertumbuhan Empat Varietas Kedelai pada BJA di Lahan
Pasang Surut pada Umur 6 MST ... 19
7. Ukuran Biji Varietas Tanggamus, Slamet, Willis dan
Anjasmoro ... 29
8. Regresi Pengaruh Waktu Pencucian terhadap Produktivitas
Kedelai ... 29
No Halaman
1. Hasil Rekapitulasi Sidik Ragam ... 43
2. Hasil Analisis Air Sebelum Penanaman ... 44
3. Hasil Analisis Air Setelah Penanaman ... 44
4. Hasil Analisis Tanah Sebelum Penanaman ... 45
5. Hasil Analisis Tanah Setelah Penanaman ... 46
6. KriteriaVarietas ... 54
Kedelai merupakan salah satu tanaman pangan yang penting bagi
penduduk Indonesia sebagai sumber protein nabati, bahan baku industri, pakan
ternak dan bahan baku industri pangan. Protein yang tinggi pada kedelai berperan
penting dalam kebutuhan gizi masyarakat Indonesia (Budiarti dan Hadi, 2006).
Produksi kedelai dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan kedelai
nasional. Setiap tahun pemerintah mengimpor kedelai sekitar 1,3 juta ton untuk
memenuhi kebutuhan. Rendahnya produktivitas dan belum optimalnya
pengembangan areal pertanaman kedelai menjadi salah satu faktor penyebab.
Usaha yang perlu untuk dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional
adalah dengan memperluas lahan budidaya kedelai dan meningkatkan
produktivitasnya (Irwan, 2006).
Penurunan luas areal produksi kedelai akhir-akhir ini sudah mencapai
kondisi kritis, yaitu penurunannya lebih dari 60% pada luas areal panen dan lebih
dari 50% pada produksi kedelai nasional. Peningkatan impor kedelai tidak dapat
dihindari untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan salah satu penyebabnya
adalah harga kedelai impor cukup rendah. Kondisi demikian menyebabkan
kedelai Indonesia tidak berkembang bahkan dapat dikatakan mengalami
kemunduran (Budiarti dan Hadi, 2006).
Permintaan kedelai terus meningkat jauh melampaui produksi dalam
negeri. Kebutuhan kedelai per tahun 2009 diperkirakan mencapai 2 037 530 ton,
sedangkan produksi dalam negeri dalam beberapa tahun terakhir cenderung
menurun (Sudaryanto dan Swastika, 2007). Produksi kedelai nasional tahun 2008
dari luas areal panen 590 956 ha sekitar 775 710 ton. Tahun 2009 luas areal panen
meningkat menjadi 772 791 ha dengan produksi sekitar 974 512 ton. Pada tahun
2010 luas areal panen dan produksi kedelai mengalami penurunan dari tahun 2009
menjadi 672 242 ha dengan produksi 905 015 ton (BPS, 2010).
Indonesia mempunyai kawasan rawa yang sangat luas, yaitu sekitar 33.43
juta ha atau hampir 20% dari luas daratan kepulauan nusantara (197.944 juta ha).
Rawa pasang surut meliputi luas sekitar 20.15 juta ha, terdiri dari tiga tipologi
lahan utama yaitu lahan gambut (10.9 juta ha), lahan sulfat masam (6.70 juta ha)
dan lahan alluvial lainnya yang merupakan endapan sungai (fluviatil), non-sulfat
masam (2.07 juta ha) serta sisanya merupakan berbagai lahan salin (0.48 juta ha)
(Noor, 2004). Lahan pasang surut merupakan lahan harapan bagi produksi
pertanian masa mendatang, karena penciutan lahan subur untuk berbagai
keperluan non pertanian dan laju pertumbuhan penduduk serta perkembangan
industri (Adri , 2001).
Lahan pasang surut mempunyai potensi yang cukup besar untuk
dimanfaatkan sebagai lahan usaha tani apabila tanah aluvial bersulfidik ini tidak
terlalu masam dan miskin unsur hara (Widjaja dan Adhi, 1996). Luas lahan
pasang surut di Indonesia sekitar 20.1 juta ha, dan sekitar 9.53 juta hektar
berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian. Lahan pasang surut yang mempunyai
potensi tinggi untuk ditanami kedelai seluas 2.08 juta ha, sedangkan yang
berpotensi sedang seluas 1.33 juta ha (Ghulamahdi, 2009).
Permasalahan pengembangan kedelai di lahan pasang surut adalah
tingginya kadar pirit yang menyebabkan rendahnya pH tanah pada saat kondisi
teroksidasi. Kadar pirit yang tinggi menyebabkan produktivitas kedelai di lahan
pasang surut masih rendah hanya sekitar 800 kg/ha. Rendahnya produktivitas
tanaman di lahan pasang surut disebabkan oleh tingginya kemasaman tanah,
kelarutan Fe, Al dan Mn serta rendahnya ketersediaan unsur hara tanaman
terutama P dan K. Usaha penurunan kadar pirit lahan pasang surut dapat
dilakukan dengan cara mempertahankan tinggi muka air agar kondisi tanah lebih
reduktif. Adanya teknologi Budidaya Jenuh Air (BJA) memberikan peluang untuk
menurunkan kadar pirit (Ghulamahdi, 2009).
Budidaya Jenuh Air (BJA) dapat memperbaiki pertumbuhan dan
peningkatan produksi dibandingkan irigasi biasa pada beberapa varietas kedelai.
Hasil penelitian pengembangan bertanam kedelai di tanah jenuh air menunjukan
bahwa dengan budidaya jenuh air diperoleh peningkatan hasil biji kedelai
mencapai 2,4 ton/ha (Sumarno,1986). Varietas Tanggamus bisa mencapai hasil
4.51 ton/ha biji kering dengan budidaya jenuh air di lahan pasang surut
dikembangkan di Indonesia. Budidaya jenuh air merupakan salah satu usaha ke
arah ekstensifikasi pertanaman kedelai dengan memanfaatkan lahan seperti rawa
dan daerah pasang surut (Iman ,. 1988).
Drainase lahan pertanian adalah suatu usaha membuang “kelebihan air”
secara alamiah atau buatan dari permukaan tanah atau dari dalam tanah sampai
kondisi optimal untuk menghindari pengaruh yang merugikan terhadap
pertumbuhan tanaman (Suhatmo, 2003). Pembuangan air dari lahan dapat
mencuci bahan-bahan beracun yang berbahaya bagi tanaman. Pengelolaan air
untuk mencegah terjadinya oksidasi pirit menjadi sangat penting dan merupakan
salah satu faktor kunci untuk keberhasilan usaha tani di lahan pasang surut
(Suriadikarta, 2005).
*<*)'
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh waktu
pencucian dan varietas terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai (
(L.) Merill) pada budidaya jenuh air di lahan pasang surut.
14- 0 0
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:
1. Ada pengaruh waktu pencucian terhadap pertumbuhan dan produksi
kedelai
2. Ada pengaruh varietas terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai
3. Ada pengaruh interaksi varietas dan waktu pencucian terhadap
4-)' / )
Kedelai ( (L) Merril ) merupakan tanaman pangan semusim
dari famili Leguminoseae. Tanaman kedelai termasuk berbatang semak yang
dapat mencapai ketinggian antara 30-100 cm. Batang ini beruas-ruas dan
memiliki percabangan antara 3-6 cabang. Daun kedelai mempunyai ciri-ciri
antara lain helai daun (lamina) oval, dan tata letaknya pada tangkai daun bersifat
majemuk berdaun tiga ( ). Daun ini berfungsi sebagai alat untuk proses
fotosíntesis, respirasi dan transpirasi (Rukmana dan Yuyun, 1996)
Biji kedelai berkeping dua yang terbungkus oleh kulit biji. Embrio terletak
diantara keping biji. Warna kulit buah bermacam-macam ada yang kuning, hitam,
hijau dan cokelat. Bentuk biji kedelai pada umumnya bulat lonjong, ada yang
bundar atau bulat agak pipih. Besar biji bervariasi tergantung varietas. Di
Indonesia, besar biji bervariasi dari 6 g-30 g (Suprapto, 2001).
Pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe
determinate dan indeterminate. Perbedaan sistim pertumbuhan batang ini
didasarkan atas keberadaan bunga pada pucuk batang. Pertumbuhan tipe batang
determinate ditunjukan dengan batang yang tidak tumbuh lagi pada saat tanaman
mulai berbunga. Sementara pertumbuhan batang tipe indeterminate dicirikan bila
pucuk batang tanaman masih bisa tumbuh daun, walaupun tanaman sudah mulai
berbunga (Adisarwanto, 2005).
'(,*'()' *23*+ / )
Tanaman kedelai dapat beradaptasi terhadap berbagai jenis tanah yang
bertekstur ringan hingga sedang, dan berdrainase baik. Kedelai peka terhadap
kondisi salin (Rubatzky dan Yamaguchi, 1988). Kedelai tumbuh baik pada tanah
bertekstur gembur, lembab, tidak tergenang air, dan memiliki pH 6-6.8. Pada pH
5.5 kedelai masih dapat berproduksi, meskipun tidak sebaik pada pH 6-6.8. Pada
(Najiyati dan Danarti, 1999). Pada pH di bawah 5.0 pertumbuhan bakteri bintil
dan proses nitrifikasi berjalan kurang baik (Suprapto, 2001).
Tanaman kedelai dapat tumbuh pada kondisi suhu yang beragam. Suhu
tanah yang optimal dalam proses perkecambahan yaitu 30°C. Bila tumbuh pada
suhu tanah yang rendah (<15°C), proses perkecambahan menjadi sangat lambat,
bisa mencapai 2 minggu. Hal ini dikarenakan perkecambahan biji tertekan pada
kondisi kelembaban tanah tinggi. Sementara pada suhu tinggi (>30°C), banyak
biji yang mati akibat respirasi air dari dalam biji yang terlalu cepat. Tanaman
kedelai dapat tumbuh optimal pada suhu lingkungan 24-25°C (Irwan, 2006).
Jumlah air yang digunakan oleh tanaman kedelai tergantung pada kondisi
iklim, sistem pengelolaan tanaman, dan lama periode tumbuh. Umumnya
kebutuhan air pada tanaman kedelai berkisar 350-450 mm selama masa
pertumbuhan kedelai. Pada saat perkecambahan, faktor air menjadi sangat penting
karena akan berpengaruh pada proses pertumbuhan. Kebutuhan air semakin
bertambah seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Kebutuhan air paling
tinggi terjadi pada saat masa berbunga dan pengisian polong (Irwan, 2006).
)+)' )0)'( *
*-Lahan pasang surut merupakan lahan marginal yang memiliki berbagai
kendala biofisik dan sosial ekonomi. Kendala biofisik antara lain, kesuburan
lahan dan pH tanah yang rendah, hama dan penyakit, jaringan irigasi yang belum
berfungsi dengan baik, penurunan permukaan air tanah yang cukup dalam
menyebabkan terjadinya lapisan pirit yang dapat menghambat pertumbuhan
tanaman. Kendala dari aspek sosial ekonomi adalah keterbatasan tenaga kerja,
modal, tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah serta sarana dan
prasarana penunjang kurang kondusif (Adri 2001).
Berdasarkan tipe luapan air, lahan pasang surut dapat dibedakan menjadi
lahan bertipe luapan air A, B, C, atau D. Lahan yang bertipe luapan air A adalah
lahan pasang surut yang langsung dan selalu terluapi air, baik pada saat pasang
besar maupun kecil. Lahan tipe B adalah lahan yang hanya terluapi air pada saat
pasang besar saja. Lahan tipe C lahan tidak terluapi air walaupun pasang besar,
pasang besar maupun pasang kecil, namun permukaan air tanahnya dalam, lebih
dari 50 cm (Suastika 1997). Kedelai pada umumnya diusahakan di lahan
pasang surut tipe C atau D, dengan pola tanam padi-kedelai atau palawija lain
(Sabran 2000).
Lahan pasang surut potensial dicirikan oleh adanya lapisan pirit (FeS2)
pada kedalaman lebih dari 50 cm dari permukaan tanah. Lahan pasang surut
potensial di Sumatra Selatan memiliki kedalaman lapisan pirit antara 50-100 cm.
Tekstur tanahnya bervariasi, sebagian besar adalah liat dan liat berdebu, hanya
sebagian kecil lempung berliat dan lempung liat berdebu dengan pH (H2O)
tanahnya berkisar antara 3.3 sampai 5.9 (Thamrin, 2000).
Sebagian besar tanah mineral di daerah pasang surut bersifat sulfat
masam. Kadungan pirit dalam tanah sulfat masam beragam dan cenderung
semakin meningkat ke lapisan bawah, terutama pada Sulfaquent dan sulfaquept
(Breemen dan Pons, 1973). Pirit membahayakan tanaman apabila berada dalam
suasana teroksidasi yang menyebabkan turunnya pH dengan cepat. Terjadinya
oksidasi bahan sulfidik yang mengandung lapisan pirit dalam tanah diawali dari
kekurangan air dalam tanah sehingga permukaan air tanah turun melampaui posisi
lapisan pirit. Kondisi seperti ini menyebabkan terjadinya reaksi antara senyawa
pirit (FeS2) dengan oksigen (O2) yang menghasilkan unsur dan senyawa yang
beracun bagi tanaman (Hadi, 2004).
Keracunan Al merupakan salah satu faktor terbesar yang menghambat
pertumbuhan tanaman pada tanah masam (Koswara dan Leiwakabessy, 1972).
Semakin rendah pH maka konsentrasi Al dalam tanah semakin tinggi. Konsentrasi
Al yang cukup tinggi pada tanah masam (pH<4.7) dapat menghambat
pertumbuhan beberapa spesies, tidak hanya karena efeknya yang merusak
ketersediaan fosfat, tetapi juga karena menghambat penyerapan besi dan karena
efek bercun secara langsung terhadap metabolisme tumbuhan (Salisbury da Ross,
1995).
Alumunium akan terakumulasi pada akar tanaman dan dapat
menyebabkan berkurangnya kekuatan akar untuk mentranslokasikan fosfat dari
menghambat perpanjangan dan pertumbuhan akar primer, serta menghalangi
pembentukan akar lateral dan bulu akar (Hakim 1986).
*/ /)5) '*+
Pengairan untuk membuat kondisi tanah jenuh air dapat dilakukan dengan
cara ” yaitu irigasi yang menitikberatkan pada kedalaman
muka air tanah di bawah permukaan tanah, sehingga air tidak tergenang, tetapi
sudah melebihi kapasitas lapang (Wiroatmojo dan Sulistyono, 1991). Budidaya
jenuh air (BJA) merupakan penanaman di atas bedengan dengan memberikan air
secara terus menerus di dalam parit, sehingga tanah di bawah perakaran menjadi
jenuh air tetapi tidak tergenang (Purwaningrahayu , 2004).
Budidaya jenuh air juga dapat diterapkan di areal dengan irigasi cukup
baik atau pada areal penanaman dengan drainase kurang baik (Ghulamahdi,
1991). Tanpa saluran drainase yang baik, kelembaban tanah menjadi tinggi dan
menyebabkan pertumbuhan tanaman kedelai menjadi tidak optimal, lingkungan
tanah jenuh air yang ekstrim akan mengakibatkan akar tanaman menjadi busuk
karena kekurangan oksigen sehingga penyerapan unsur hara terhambat dan
akhirnya tanaman tumbuh kerdil (Sumarno,1986).
Budidaya kedelai pada lahan basah dapat meningkatkan hasil 20-80%
(Indradewa 2004). Secara garis besar Ralph (1983) menyimpulkan bahwa
tanaman kedelai yang dibudidayakan dengan genangan dalam parit mempunyai
pertumbuhan yang lebih cepat dan hasil lebih tinggi dibanding dengan yang
dibudidayakan dengan pengairan luapan seperti yang dilakukan petani karena: (1)
mendapatkan lengas dalam jumlah cukup sepanjang hidupnya, (2) pertumbuhan
bintil terus berlanjut sampai fase pengisian polong, (3) mengalami penundaan
penuaan dan perpanjangan fase reproduktif.
Tinggi muka air tetap akan menghilangkan pengaruh negatif dari
kelebihan air pada pertumbuhan tanaman karena kedelai akan beraklimatisasi dan
selanjutnya tanaman memperbaiki pertumbuhannya (Natahnson ., 1984).
Pertumbuhan tanaman meningkat setelah melewati masa aklimatisasi.
Peningkatan pertumbuhan ini sangat berhubungan dengan peningkatan nodulasi
sama dengan padi sawah. Perbedaannya pada ketinggian muka air. Pada budidaya
jenuh air tinggi muka air beberapa sentimeter di bawah permukaan tanah,
sedangkan padi sawah tinggi muka air beberapa sentimeter di atas permukaan
tanah (Lawn, 1985).
014' ) -)0 1)/) */ /)5) '*+
Tanggap varietas kedelai terhadap keadaan jenuh air berbeda-beda.
Kedelai yang berumur lebih panjang biasanya mempunyai pertumbuhan yang
lebih baik dan produksi yang lebih tinggi dibandingkan kedelai berumur pendek
(CSIRO, 1983; Ghulamahdi 1991). Berdasarkan lamanya periode tumbuh
dari sejak tanam sampai polong matang, varietas kedelai digolongkan menjadi
tiga kelompok umur, yaitu umur genjah (<80 hari); umur sedang (80-85 hari); dan
umur dalam (>85 hari) (Somaatmadja 1985).
Kemampuan akar dari berbagai jenis tanaman dalam menghisap air tanah
tersedia berbeda-beda. Kandungan air tanah optimal bagi kedelai adalah pada
kisaran tegangan air 0.3-0.5 atm. Keadaan status tanah yang demikian
menyebabkan serapan hara N, P, K, dan Ca berlangsung baik dan tanaman dapat
memanfaatkan nitrogen yang terfiksasi di bintil-bintil akar. Pertumbuhan tanaman
kedelai terhambat bila tanah lebih basah dari keadaan pada tegangan air 0.3 atm
(Suryantini, 2002).
Tahap aklimatisasi tanaman kedelai terhadap keadaan jenuh air
berlangsung selama dua minggu atau antara 2-4 minggu setelah pelaksanaan
irigasi dimulai (Treodson 1983). Akar dan bintil akar kedelai di bawah
muka air mati pada awal aklimatisasi dan selanjutnya tumbuh bintil akar di atas
muka air. Kandungan N dalam daun menurun dan terjadi klorosis (CSIRO, 1983).
Total bobot kering tanaman pada budidaya jenuh air lebih rendah dibandingkan
dengan budidaya biasa pada tahap aklimatisasi karena penurunan luas daun
(Treodson 1983).
Pertumbuhan kedelai pada tahap setelah aklimatisasi ditunjukkan oleh
banyaknya akar dan bintil yang muncul di atas permukaan air, dan daun menjadi
hijau kembali. Jika tanaman kedelai telah tumbuh, pengaruh penggenangan
penggenangan (Whigham dan Minor, 1978). Genangan air yang berkepanjangan
akan mengurangi ketersediaan oksigen di lapisan perakaran. Respirasi akar akan
terganggu, yang dalam jangka panjang dapat mematikan tanaman. Selain itu
genangan yang terjadi setelah biji ditanam menghambat difusi oksigen sehingga
respirasi biji terganggu (Sabran 2000).
Laju pertumbuhan pada budidaya jenuh air menjadi lebih tinggi daripada
budidaya biasa (CSIRO, 1983). Di tanah jenuh air, banyak fotosintat digunakan
untuk pertumbuhan bagian tanaman di dalam tanah terutama bintil. Meskipun
demikian penyerapan nitrogen menurun terutama karena akar bagian bawah yang
berada dalam tanah jenuh mati, sehingga luas permukaan akar menurun
(Indradewa 2004). Penurunan penyerapan nitrgen menyebabkan tanaman
mengalami gejala klorosis (Ralph, 1985). Gangguan pertumbuhan akibat
defisiensi N yang dialami oleh tanaman dapat ditanggulangi dengan memberikan
pupuk N (Wiroatmodjo dan Sulistyono, 1991).
Kandungan N daun tanaman pada budidaya jenuh air meningkat, sehingga
menjadi sama dengan budidaya biasa pada saat 28-42 hari setelah pelaksanaan
irigasi dimulai. Total bobot kering tanaman pada budidaya jenuh air menjadi lebih
tinggi daripada budidaya lahan biasa pada saat 50-70 hari setelah tanam
(Nathanson 1984).
Hasil pengujian varietas kedelai pada budidaya jenuh air di lahan pasang
surut menunjukkan bahwa varietas yang memberikan hasil tertinggi berturut-turut
adalah Tanggamus, Slamet, Anjasmoro, dan Wilis. Tanggamus dapat mencapai
hasil sebesar 4,51 ton biji kering/ ha, karena mempunyai jumlah polong isi
terbanyak, meskipun mempunyai bobot 100 biji hanya 10 gram. Oleh karena itu
Tanggamus merupakan varietas terpilih yang akan dikembangkan selanjutnya
pada teknologi budidaya jenuh air di lahan pasang surut (Ghulamahdi, 2009).
'.*. )' )+)'
Pengelolaan tanah dan air merupakan kunci utama keberhasilan
pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut. Pengaturan dan pengelolaan
air ditujukan untuk mengendalikan keadaan air di petakan lahan dan mempercepat
air makro maupun mikro, penataan lahan, ameliorasi dan pemupukan. Sistem
pengelolaan tata air mikro berfungsi untuk mencukupi kebutuhan evapotranspirasi
tanaman, mencegah pertumbuhan gulma pada pertanaman padi di sawah,
mencegah terbentuknya bahan beracun bagi tanaman terutama Fe2+ melalui
penggelontoran dan pencucian, mengatur tinggi muka air dan menjaga kualitas air
di petakan lahan dan saluran (Suriadikarta, 2005). Selain itu, pengelolaan tata air
mikro dapat meningkatkan pH tanah. Pembuatan saluran cacing pada petakan dan
disekeliling petakan lahan dapat memperlancar keluar masuknya air pada petakan
lahan yang sekaligus untuk mencuci bahan beracun (Adri 2001).
Menurut Subagyono (1999), pencucian bahan beracun dari petakan
dilakukan dengan memasukkan air ke petakan sebelum tanah dibajak, kemudian
air tersebut dikeluarkan setelah pengolahan tanah selesai. Untuk memperlancar
pencucian bahan beracun, pada petakan lahan dibuat saluran cacing dengan jarak
6-8 m. Lahan yang mempunyai lapisan pirit dalam, saluran cacing dibuat dengan
jarak 20 m atau lebih. Pencucian akan baik bila air cukup tersedia, baik dari hujan
maupun air pasang. Oleh karena itu, air di dalam petakan lahan perlu diganti
setiap dua minggu pada saat pasang besar. Kehilangan nitrogen terutama
disebabkan oleh adanya penguapan ( ), denitrifikasi ( ),
pencucian ( ), atau menjadi tidak tersedia karena immobilisasi
( ). Komponen penyebab kehilangan nitrogen terbesar di lahan
21)- /)' ),-* ' - )'
Penelitian ini dilakukan di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago,
Kabupaten Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan, dari bulan April sampai
Agustus 2010.
)+)'
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai varietas
Tanggamus, Slamet, Willis dan Anjasmoro, kapur, pupuk kandang, inokulat
Rhizobium, insektisida berbahan aktif karbosulfan, pupuk Urea, SP-36 dan KCl.
Peralatan yang digunakan adalah alat-alat budidaya pertanian, sprayer, timbangan
dan meteran.
-4/ .43))'
Percobaan ini menggunakan Rancangan Petak Terpisah dengan 3 ulangan.
Perlakuan terdiri dari dua faktor yaitu waktu pencucian dan varietas. Perlakuan
waktu pencucian sebagai petak utama yang terdiri dari empat taraf yaitu tanpa
pencucian, 2, 4 dan 6 minggu sekali. Perlakukan varietas sebagai anak petak yang
terdiri dari empat varietas yaitu Tanggamus, Slamet, Willis dan Anjasmoro.
Model rancangan percobaan yang digunakan adalah:
Yijk = µ + αi + βj+ δij + γk + βγjk+ δijk
Keterangan:
Yijk : Nilai hasil pengamatan dari suatu percobaan pada ulangan taraf ke-i,
waktu pencucian taraf ke-j dan varietas taraf ke-k
µ : Nilai tengah
αi : Pengaruh dari ulangan taraf ke- i pada petak utama
βj : Pengaruh dari waktu pencucian taraf ke-j pada anak petakan
δij : Pengaruh galat yang muncul pada waktu pencucian taraf ke-j dan
γk : Pengaruh dari varietas taraf ke-k
βγjk : Nilai interaksi antara waktu pencucian taraf ke-j dan varietas taraf ke-k
δijk : Pengaruh galat pada ulangan taraf ke-i, waktu pencucian taraf ke-j dan
varietas taraf ke-k
Pengolahan data dilakukan dengan uji-F. Apabila menunjukan hasil yang
berbeda nyata dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf 5 %.
),0)'))' .43))'
Persiapan lahan di lapangan dilakukan dengan membuat petakan
percobaan sebanyak 48 petakan dengan ukuran anak petak 2 m x 4m dan petak
utama dengan ukuran 4 m x 8 m. Setiap petak utama dikelilingi saluran air yang
berukuran lebar 30 cm dan dalam 25 cm, dengan demikan kondisi petakan akan
selalu basah pada saat air irigasi diberikan. Pemberian air irigasi dilakukan sejak
penanaman sampai panen dengan ketinggian muka air 15 cm di bawah permukaan
tanah (Gambar 1 dan 2).
Sumber air yang digunakan dalam penelitian berasal dari saluran sekunder
yang mendapatkan pengaruh pasang surut air laut dan dialirkan melalui saluran
drainase. Kelebihan air pada musim penghujan dibuang melalui saluran
pembuangan supaya tanah tidak terlalu jenuh. Pengairan dilakukan dengan
menggunakan sistem satu arah. Saluran kuarter dibuat dua buah untuk pemasukan
dan pengeluaran. Saluran kuarter dibuat tegak lurus terhadap saluran tersier dan
saluran cacing dibuat tegak lurus terhadap saluran kuarter. Di muara saluran
kuarter pemasukan dibuat pintu air dan dibagian ujungnya ditutup dengan tanah.
Pada bagian ujung saluran kuarter pembuangan dipasang pintu air dan bagian
muaranya ditutup tanah (Gambar 3).
Gambar 2. Petakan Percobaan
Keterangan: : Aliran Air : Pematang/Jalan
: Pintu air : Anak Petak (2 x 4m)
: Jembatan : Jarak antar anak petak
Pemasukan air dilakukan dengan membuka pintu air saluran tersier dan
kuarter pemasukan, kemudian pintu ditutup kembali sebatas ketinggian muka air.
Air di dalam saluran terus dikendalikan dengan cara menambahkan atau
mengurangi air supaya ketinggian air tetap yaitu 15 cm di bawah permukaan
tanah. Pembuangan air dilakukan dengan membuka seluruh pintu air
pembuangan.
Pada saat pengolahan tanah diberikan 2 ton kapur/ha, 2 ton pupuk
kandang/ha, 200 kg SP-36/ha, dan 150 kg KCl/ha. Kapur, pupuk kandang, SP-36
dan KCl dicampur dan diinkubasikan di tanah selama1 minggu. Sebelum ditanam,
benih diberi inokulan sebanyak 5 g/kg benih dan insektisida
karbosulfan (Marshal 25 ST) sebanyak 15 g/kg benih. Insektisida diberikan untuk
mengatasi lalat bibit. Pemupukan daun N diberikan pada saat tanaman berumur 3,
4, 5, dan 6 minggu. Pupuk N yang digunakan adalah pupuk urea dengan
konsentrasi 7.5 g urea/ l air menggunakan volume semprot 400 l air/ha.
Benih kedelai ditanam dangkal dengan kedalaman tanam 1-2 cm,
menggunakan jarak tanam 20 cm x 25 cm, 3 biji per lubang. Pemeliharaan
tanaman meliputi, penyulaman, penjarangan, pengendalian gulma dan hama
penyakit. Pada 2 MST tanaman dijarangkan dari 3 tanaman per lubang menjadi 2
tanaman per lubang (populasi 400 000 tanaman/ha). Tanaman yang disisakan
adalah tanaman yang paling baik pertumbuhannya. Penyiangan dilakukan pada 3
dan 6 MST secara mekanis. Pencucian lahan dilakukan dengan mengeluarkan air
dari petakan sesuai dengan perlakuan.
'()2)-)'
Karakter yang diamati dalam penelitian ini adalah:
1. Tinggi tanaman
Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang sampai titik tumbuh yang
terletak di ujung pangkal bunga utama. Pengukuran dilakukan setiap dua
minggu sekali pada 10 tanaman contoh.
2. Jumlah daun trifoliet
Dihitung setiap dua minggu sekali dengan menghitung semua daun yang
3. Jumlah cabang
Penghitungan dilakukan pada saat tanaman berumur 6, 8, 10 dan 13 MST
dengan cara menghitung jumlah semua cabang pada 10 tanaman contoh.
4. Umur berbunga (MST)
Penghitungan dilakukan satu kali pada saat 50% tanaman pada petakan
panen dari setiap perlakuan telah berbunga.
5. Bobot bintil akar, batang dan daun (g)
Dilakukan satu kali pada saat tanaman berumur 6 minggu.
6. Umur panen (MST)
Panen dilakukan pada saat 90% tanaman pada petakan panen dari setiap
perlakuan memperlihatkan perubahan warna polong menjadi kecoklatan
disertai dengan daun yang gugur dan menguning.
7. Jumlah polong isi dan hampa per tanaman
Penghitungan dilakukan sebanyak satu kali saat panen dengan menghitung
semua polong yang berisi dan hampa dari 10 tanaman sampel.
8. Bobot 100 biji (g)
Dilakukan dengan cara menimbang 100 butir biji yang dipanen dari
petakan panen.
9. Bobot biji per 3m2 (ton/ha)
Dilakukan dengan cara menimbang seluruh biji hasil panen pada setiap
petakan.
10. Analisis fisik dan kimia tanah
Dilakukan pada saat sebelum dan setelah tanam.
11. Analisis hara N, P, K, Fe dan Mn
( 4 ,4 4( 4,)0 ' - )'
Desa Banyu Urip terletak di kecamatan Tanjung Lago Kabupaten
Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Kabupaten Banyuasin memiliki iklim
tropis dan basah dengan suhu selama periode April-Agustus 2010 berkisar antara
24.5-29.6 oC, kelembaban udara 74-94% dan curah hujan 0.3-113.8 mm
(Lampiran 7). Sebagian besar wilayah Kabupaten Banyuasin merupakan dataran
rendah pesisir yang terletak di bagian hilir aliran Sungai Musi dan Sungai
Banyuasin. Wilayahnya pada umumnya berupa lahan basah yang terpengaruh
pasang surut. Sebagian besar lahan basah tersebut dimanfaatkan untuk pertanian
pangan lahan basah, khususnya persawahan pasang surut (Banyuasin, 2010).
Desa Banyu Urip terletak pada ketinggian 1-2 m dari permukaan laut dan
berjarak 42 km dari Selat Bangka. Sebagian besar luas lahan Desa Banyu Urip
merupakan areal persawahan. Letaknya yang berada di hilir Sungai Musi dan
Sungai Banyuasin menyebabkan daerah ini mendapatkan pengaruh pasang surut
air laut. Daerah ini termasuk kedalam areal dengan tipe luapan C yang tidak
terluapi walaupun terjadi pasang besar, namun air tanahnya sangat dangkal
(Banyuasin, 2010) (Gambar 4).
Jaringan drainase terdiri dari saluran primer, sekunder, tersier dan kuarter.
Saluran primer merupakan saluran navigasi yang berhubungan langsung ke sungai
utama. Tegak lurus dengan saluran primer terdapat saluran sekunder yang
menghubungkan saluran primer dengan saluran tersier. Saluran kuarter atau
saluran cacing dibuat tegak lurus terhadap saluran tersier, fungsinya adalah untuk
mempercepat pencucian bahan beracun dari lahan. Saluran sekunder pemasukan
yang melintasi perkampungan dinamakan Saluran Pedesaan (SPD) dan saluran
pembuangan dinamakan Saluran Drainase Utama (SDU) (Gambar 5).
Gambar 5. Jaringan Drainase di Desa Banyu Urip
4'/ 0 2*2
Berdasarkan hasil analisis air yang dilakukan sebelum penanaman dapat
diketahui bahwa tingkat salinitas air yang digunakan tergolong rendah dengan S
b. Saluran Sekunder a. Saluran Primer
c. Saluran Tersier d. Saluran Kuarter
12-13 m 6 m
nilai DHL 488 uS/cm yang didominasi oleh Na+ dan Cl-. Air bersifat masam
dengan pH 5.4 dan kadar lumpur 0.20 mg/l (Lampiran 2). Analisis air yang
dilakukan setelah penanaman menunjukan bahwa terdapat kecenderungan
peningkatan pH air dan DHL. Jumlah ion-ion yang dibutuhkan tanaman seperti
Na, Ca dan Mg juga mengalami peningkatan. Hal ini menunjukan bahwa air
irigasi memberikan sumbangan hara yang cukup besar terhadap tanaman
(Lampiran 3).
Hasil analisis tanah sebelum penanaman menunjukan tanah bersifat
masam dengan pH H2O 5.26 dan KCl 4.29. Penambahan kapur diharapkan dapat
meningkatkan pH tanah sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimal. Tanah
bertekstur liat berdebu berpasir dengan kadar liat 57%, debu 42 % dan pasir 1%
dengan KTK tanah sebesar 19.55 cmol/kg dan pirit (FeS2) 0.04% (Lampiran 4).
Pencucian lahan dapat meningkatkan pH tanah. Hasil analisis tanah setelah
penanaman menunjukan nilai pH H2O dan KCl yang lebih tinggi dibandingkan
sebelum penanaman (Lampiran 5).
Kedelai mulai berkecambah pada umur 3 HST (Hari Setelah Tanam) dan
terlihat tumbuh serempak pada 5 HST. Rata-rata persentase tumbuh yaitu 83.5%
untuk Tanggamus, Slamet 92.62%, Willis 76.5% dan Anjasmoro 64.9%. Satu
minggu setelah penanaman dilakukan penyulaman yang bertujuan untuk
mengganti benih kedelai yang tidak tumbuh atau mati. Setelah dilakukan
penyulaman pada 7 HST persentase tumbuh meningkat, Tanggamus menjadi
97.26%, Slamet 98.7%, Willis 87.5 % dan Anjasmoro 85.6 %. Daun trifoliate
sempurna tampak pada umur 2 MST.
Gejala penguningan daun tampak pada umur 3 MST yang diduga akibat
translokasi hara dari tajuk ke akar untuk proses pembentukan akar dan bintil akar.
Pada tahap aklimatisasi banyak akar tanaman yang mati akibat kondisi jenuh.
Kemudian tanaman memperbaiki pertumbuhannya dengan membentuk akar dan
bintil akar yang baru. Pemberian pupuk urea melalui daun dapat meningkatkan
ketersedian unsur N dalam daun sehingga daun kembali hijau. Pemupukan N
melalui daun memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan tanaman.
Nitrogen merupakan unsur hara utama bagi pertumbuhan tanaman yang sangat
seperti daun, batang dan akar. Namun jika N terlalu banyak dapat menghambat
pembungaan dan pembuahan pada tanaman.
Kedelai tumbuh secara merata dengan tinggi tanaman yang relatif sama
(Gambar 6). Kedelai memiliki penampakan daun yang berbeda-beda. Varietas
Tanggamus dan Slamet memiliki bentuk daun ovale yang berukuran kecil,
varietas Willis mempunyai bentuk daun agak lancip berukuran kecil sedangkan
varietas Anjasmoro memiliki bentuk daun dengan ukuran daun lebar dan
warna lebih hijau. Varietas Tanggamus memiliki urat daun yang lebih tebal dan
jelas dibandingkan dengan varietas lainnya. Lingkungan tumbuh yang sesuai
menyebabkan tanaman tumbuh serempak dan merata. Hama ulat grayak
menyerang pertanaman kedelai sejak umur 2 MST dan menyebabkan daun
menjadi rusak. Namun kondisi tersebut dapat diatasi dengan pengendalian hama
secara kimia.
Gambar 6. Pertumbuhan Empat Varietas Kedelai pada BJA di Lahan Pasang Surut pada Umur 6 MST
a. Tanggamus b. Slamet
)0
Hasil uji F menunjukan bahwa perlakuan pencucian tidak berpengaruh
nyata terhadap sebagian besar peubah yang diamati. Perlakuan pencucian
memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot kering bintil akar, jumlah
polong hampa, kandungan hara K dan berpengaruh sangat nyata terhadap
kandungan Mn. Varietas memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan
Fe, Mn dan sangat nyata terhadap tinggi tanaman pada 2, 6, 8 dan 10 MST,
jumlah cabang pada 2, 4, 6 dan 10 MST, umur berbunga, umur panen, bobot biji
per petak, bobot 100 biji serta kandungan hara K. Interaksi antara waktu
pencucian dan varietas berpengaruh nyata terhadap jumlah cabang pada 8 MST
dan sangat nyata terhadap bobot 100 biji serta kandungan hara K dan Mn
(Lampiran 1).
Pada awal pertumbuhan, varietas Anjasmoro memiliki laju pertumbuhan
yang lebih cepat dibandingkan dengan varietas lainnya. Varietas Anjasmoro nyata
paling tinggi pada umur 2 dan 4 MST. Namun pada umur 6-10 MST varietas
Slamet nyata lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya. Laju pertumbuhan tinggi
tanaman meningkat cepat pada umur 2-4 MST mencapai 130% dari tinggi
tanaman pada umur 2 MST dan pada umur 4-6 MST mencapai 137% dari tinggi
tanaman pada umur 4 MST. Pada umur 6-8 MST, pertumbuhan tinggi tanaman
sebesar 20% dari tinggi tanaman 6 MST dan pada umur 8-10 MST hanya
bertambah 2 % dari tinggi tanaman pada 8 MST (Tabel 1).
Tabel 1. Tinggi Tanaman pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas
Pada umur 8 MST perlakuan tanpa pencucian menghasilkan rata-rata 16.1
daun, pencucian setiap dua minggu 16.9 daun, empat minggu 17.3 daun dan enam
minggu 16.3 daun. Varietas Tanggamus memiliki jumlah daun paling banyak
pada 2 MST, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan varietas Slamet. Pada umur 4
MST jumlah daun varietas Slamet nyata paling banyak dibandingkan dengan
varietas lainnya. Varietas Anjasmoro menghasilkan daun terbanyak pada umur 6,
8 dan 10 MST. Pada umur 10 MST terjadi penurunan jumlah daun akibat
terjadinya pengguguran daun menjelang panen (Tabel 2). Pengguguran daun
terjadi akibat adanya translokasi hara dari daun ke komponen produksi. Akibatnya
daun berubah warna dari hujau menjadi kuning kemudian gugur.
Tabel 2. Jumlah Daun per Tanaman pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas nyata pada uji DMRT pada taraf 5%
Jumlah cabang muncul secara merata pada saat tanaman berumur 6 MST.
Jumlah cabang mengalami peningkatan setiap minggunya. Pada 13 MST
perlakuan tanpa pencucian, 2, 4 dan 6 minggu memiliki cabang berturut-turut
sebesar 3.2, 3.3, 3.8 dan 3.7 cabang. Pada 6 dan 8 MST percabangan tertinggi
dibentuk oleh varietas Anjasmoro. Jumlah cabang varietas Willis lebih tinggi
dibandingkan dengan Tanggamus pada 6 dan 8 MST dan varietas Slamet
memiliki jumlah cabang yang paling sedikit. Pengamatan jumlah cabang pada
saat panen (13 MST) menunjukan bahwa varietas Willis memiliki jumlah cabang
paling banyak dan yang terendah adalah varietas Tanggamus. Jumlah cabang
Tabel 3. Jumlah Cabang pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas
Perlakuan Umur (MST) nyata pada uji DMRT pada taraf 5%
Varietas Anjasmoro dengan pencucian setiap empat minggu sekali
menghasilkan jumlah cabang terbanyak, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan
pencucian setiap enam minggu sekali. Varietas Slamet dengan pencucian setiap
enam minggu sekali memiliki jumlah cabang terendah. Varietas Tanggamus
dengan pencucian setiap dua minggu nyata lebih rendah dibandingkan pada
pencucian setiap empat minggu. Varietas Anjasmoro memiliki kecenderungan
jumlah cabang paling tinggi pada semua perlakuan kecuali pada perlakuan tanpa
pencucian. Pada perlakuan tanpa pencucian varietas Willis adalah yang tertinggi
(Tabel 4).
Tabel 4. Pengaruh Interaksi Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Jumlah Cabang pada 8 MST
Pencucian Varietas
Tanggamus Slamet Willis Anjasmoro
Tanpa pencucian 2.3bcd 2.3bcd 2.6abcd 2.5abcd
2 Minggu 2.2cd 2.6abcd 2.6abcd 2.8abc
4 Minggu 2.9ab 2.3bcd 2.6abcd 2.9a
6 Minggu 2.7abcd 2.1d 2.3bcd 2.9a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak nyata pada uji DMRT pada taraf 5%
Buku produktif merupakan tempat terbentuknya bunga yang selanjutnya
membentuk polong, sedangkan buku yang tidak menghasilkan polong disebut
potensi jumlah polong yang lebih tinggi. Kedelai yang ditanam dengan perlakuan
pencucian setiap empat minggu sekali memiliki jumlah buku produktif lebih
banyak dibandingkan dengan perlakuan tanpa pencucian, pencucian setiap dua
dan enam minggu walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Pencucian setiap
enam minggu sekali menghasilkan buku produktif paling sedikit dan buku non
produktif paling banyak (Tabel 5).
Jumlah buku berkaitan dengan tinggi tanaman dan jumlah cabang.
Varietas Slamet dengan tinggi tanaman paling tinggi memiliki jumlah buku
produktif dan non produktif paling banyak. Varietas Tanggamus memiliki
rata-rata tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan Willis, namun jumlah buku
total varietas Willis lebih tinggi dibandingkan Tanggamus (Tabel 5). Jarak antar
buku varietas Anjasmoro lebih pendek dibandingkan dengan varietas lainnya.
Tinggi tanaman varietas Anjasmoro nyata paling rendah, namun jumlah buku
produktif dan non produktif varietas Anjasmoro tidak berbeda nyata dengan
varietas Tanggamus, Slamet dan Willis.
Tabel 5. Jumlah Buku Produktif dan Non Produktif pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pencucian lainnya, begitu pula
dengan kandungan hara Mn. Perbedaan yang tidak nyata ditunjukan oleh
kandungan hara Fe pada pencucian dua dan empat minggu. Kandungan hara N, P,
K dan Fe pada varietas Anjasmoro lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya
meskipun untuk N dan P tidak berbeda nyata. Varietas Tanggamus memiliki
nyata pada uji DMRT pada taraf 5%
Perlakuan varietas Anjasmoro dengan pencucian setiap dua minggu sekali
memiliki kandungan K yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Kandungan K terendah dimiliki oleh varietas Tanggamus dengan pencucian setiap
empat minggu sekali. Pada pencucian setiap empat minggu varietas Tanggamus
memiliki kandungan Mn yang nyata paling tinggi dan yang terendah adalah
varietas Willis dengan perlakuan tanpa pencucian, namun tidak berbeda nyata
dengan varietas Slamet dan Anjasmoro dengan perlakuan yang sama (Tabel 7).
Tabel 7. Interaksi Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Kandungan Hara K dan Mn pada 6 MST
Pencucian Varietas
Tanggamus Slamet Willis Anjasmoro
K (%)
Tanpa Pencucian 1.42bcd 1.41bcd 1.44bc 1.45bc
2 Minggu 1.46bc 1.42bcd 1.48b 1.65a
4 Minggu 1.21g 1.29ef 1.38cde 1.47b
6 Minggu 1.29f 1.35def 1.34def 1.35def
Mn (ppm)
Tanpa Pencucian 184.7b 155.7d 148d 156.7d
2 Minggu 187b 182b 187.3b 174.7bc
4 Minggu 206.3a 149d 162cd 185.3b
6 Minggu 174.3bc 163.3cd 191b 165cd
Serapan hara N, P, K, Fe dan Mn menunjukan nilai yang tidak berbeda
nyata pada semua perlakuan pencucian dan varietas. Tanaman menyerap hara N,
P, K dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan hara Fe dan Mn. Pencucian
setiap enam minggu memiliki kecenderungan nilai serapan hara N, P dan Mn
yang lebih tinggi dibandingkan dengan pencucian lainnya. Varietas Slamet
menyerap hara N, P dan K cenderung lebih banyak dibandingkan dengan verietas
Tanggamus, Willis dan Anjasmoro (Tabel 8).
Tabel 8. Serapan Hara pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas
Pada perlakuan waktu pencucian, bobot akar tidak berkorelasi positif
terhadap bobot kering batang dan daun. Bobot kering batang dan daun lebih tinggi
pada pencucian setiap enam minggu. Sedangkan bobot kering akar tertinggi
dicapai pada perlakuan tanpa pencucian walaupun tidak berbeda nyata dengan
perlakuan pencucian lainnya. Bobot kering bintil akar pada perlakuan pencucian
setiap dua minggu sekali menunjukan hasil yang paling tinggi dibandingkan
dengan perlakuan lainnya dan yang terendah adalah pencucian setiap empat
minggu akan tetapi tidak berbeda nyata dengan pencucian setiap enam minggu
(Tabel 9).
Varietas Tanggamus memiliki tinggi tanaman yang paling rendah pada 6
MST, namun memiliki bobot kering batang yang lebih tinggi dibandingkan Willis
dan Anjasmoro. Hal ini diduga karena batang varietas Wiliis dan Anjasmoro lebih
Varietas Anjasmoro memiliki jumlah daun yang paling banyak dibandingkan
varietas lainnya pada 6 MST, namun bobot kering daunnya lebih rendah
dibandingkan varietas Tanggamus dan Slamet. Urat daun yang lebih jelas dan
tebal pada varietas Tanggamus dan Slamet menyebabkan bobot kering daunnya
lebih tinggi. Serapan hara N, P dan K yang tinggi menyebabkan varietas Slamet
memiliki bobot kering batang, daun dan akar yang lebih tinggi dibandingkan
dengan varietas lainnya. Serapan Fe yang tinggi pada varietas Anjasmoro diduga
menyebabkan pertumbuhan varietas Anjasmoro terhambat sehingga bobot
keringnya menjadi rendah.
Perakaran varietas Anjasmoro kurang berkembang pada budidaya jenuh
air. Hal ini ditunjukan dengan rendahnya bobot kering akar (0.63 g) yang diduga
akibat tingginya translokasi fotosintat ke bagian tajuk, sehingga hanya sedikit
fotosintat yang ditranslokasikan ke akar akibatnya akar kurang berkembang.
Ukuran akar yang besar memungkinkan munculnya bintil akar yang lebih banyak.
Namun dengan bobot kering akar yang rendah, varietas Anjasmoro memiliki
bobot kering bintil akar paling tinggi. Hal ini diduga karena ukuran bintil yang
lebih besar, sehingga walaupun jumlahnya lebih sedikit namun memiliki bobot
kering yang lebih tinggi (Tabel 9).
Tabel 9. Pengaruh Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Bobot Kering Batang, Daun, Akar dan Bintil pada 6 MST
Perlakuan Bagian Tanaman nyata pada uji DMRT pada taraf 5%
Kedelai berbunga 50% pada umur 5-6 MST. Anjasmoro memiliki rata-rata
lambat (91.3 hari). Hal ini menunjukan bahwa waktu reproduktif varietas
Anjasmoro lebih lama dibandingkan varietas lainnya yaitu 55.2 hari, Tanggamus
48.41 hari, Slamet 45.9 dan Willis 48.2 hari. Semakin lama umur panen maka
semakin besar ukuran biji (Adisarwanto, 2003). Varietas Slamet dan Willis
dipanen pada umur yang sama dan nyata lebih cepat dibandingkan Tanggamus nyata pada uji DMRT pada taraf 5%
Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa semakin pendek selang
waktu pencucian, jumlah polong hampa yang dihasilkan semakin banyak.
Pencucian lahan setiap dua minggu sekali menghasilkan jumlah polong hampa
yang lebih banyak dibandingkan dengan pencucian setiap empat (2.13%) dan
enam minggu (1.75%). Namun pencucian lahan perlu dilakukan dalam satu siklus
hidup tanaman kedelai. Pada perlakuan tanpa pencucian (4.09%) jumlah polong
hampa tidak berbeda nyata dengan pencucian setiap dua minggu (4.06%).
Jumlah polong isi mengalami peningkatan sampai pencucian setiap empat
minggu dan mengalami penurunan pada pencucian setiap enam minggu. Varietas
Tanggamus memperoleh jumlah polong isi yang lebih banyak dibandingkan
dengan varietas lainnya. Varietas Anjasmoro memiliki jumlah polong hampa
tertinggi. Hal ini diduga akibat rimbunnya kanopi tanaman serta ukuran polong
yang besar sehingga terjadi kompetisi dalam memanfaatkan sinar matahari, nutrisi
Tabel 11. Pengaruh Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Jumlah Polong Isi dan Polong Hampa
Perlakuan Polong % Polong Hampa
Isi Hampa nyata pada uji DMRT pada taraf 5%
Varietas Anjasmoro dengan pencucian setiap dua minggu memiliki bobot
100 biji yang nyata lebih tinggi. Bobot 100 biji varietas Slamet adalah yang
terendah dan tidak berbeda signifikan pada semua perlakuan pencucian. Varietas
Tanggamus memperoleh bobot 100 biji tertinggi pada pencucian setiap empat
minggu, sedangkan varietas Willis memperoleh bobot 100 biji tertinggi pada
perlakuan pencucian setiap enam minggu (Tabel 12).
Tabel 12. Pengaruh Interaksi Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Bobot 100 Biji
Pencucian Varietas Rata-rata
Tanggamus Slamet Willis Anjasmoro
. . . g. . .
Tanpa pencucian 11.97f 10.41g 15.37cd 22.33ab 15.02
2 Minggu 11.94f 10.06g 14.11de 22.84a 14.73
Varietas Anjasmoro menghasilkan bobot 100 biji tertinggi. Hal ini
menunjukan bahwa varietas Anjasmoro memiliki ukuran biji yang paling besar
(Gambar 7). Jumlah polong isi varietas Tanggamus lebih banyak dibandingkan
dengan Anjasmoro, perbedaanya adalah 1.58 polong. Namun bobot 100 biji
Anjasmoro lebih tinggi dengan perbedaan 9.74 g sehingga menghasilkan produksi
Gambar 7. Ukuran Biji Varietas Tanggamus, Slamet, Willis dan Anjasmoro
Pencucian lahan berpengaruh positif terhadap produktivitas kedelai.
Gambar 8 menunjukkan hasil regresi antara waktu pencucian terhadap
produktivitas kedelai. Waktu pencucian dan produksi memiliki hubungan linear
dengan persamaan y = -0.042x + 3.126 dan nilai R2 sebesar 0.938. Semakin
panjang interval pencucian maka produktivitas akan menurun.
Gambar 8. Regresi Pengaruh Waktu Pencucian terhadap Produktivitas Kedelai
Produktivitas kedelai meningkat dengan budidaya jenuh air di lahan
pasang surut. Masing-masing varietas memberikan respon yang berbeda pada
pada perlakuan pencucian setiap dua minggu sedangkan varietas Slamet dan
Willis memperoleh hasil tertinggi pada pencucian setiap empat minggu.
Produktivitas tertinggi diperoleh varietas Anjasmoro dengan pencucian setiap
dua minggu yaitu sebesar 4.06 ton/ha dan terendah adalah varietas Slamet pada
perlakuan tanpa pencucian sebesar 2.16 ton/ha ( Tabel 9).
Tabel 13. Produktivitas Empat Varietas Kedelai pada Berbagai Waktu Pencucian
Pencucian Varietas Rata-rata
Tanggamus Slamet Willis Anjasmoro
...ton/ha... nyata pada uji DMRT pada taraf 5%
23)+)0)'
'() *+ ),-* '.*. )' - +)/)1 -*23*+)' /)' 4/*,0 / )
Pembuangan air dari saluran mengakibatkan tercucinya unsur-unsur N, Al,
Fe dan SO4-. Pembuatan saluran kemalir pada saluran tersier sangat efektif untuk
menampung dan mencuci asam-asam atau bahan beracun yang terbentuk selama
musim kemarau (Widhaja dan Adhi, 1990). Kualitas air akan menurun jika
disimpan terlalu lama dalam saluran. Unsur-unsur beracun dalam tanaman akan
larut dan terbuang ke dalam saluran sehingga berbahaya bagi tanaman. Proses
pencucian dan pergantian air dari lahan dapat meningkatkan kualitas air dalam
saluran sehingga dapat meningkatkan pH serta menurunkan konsentrasi Fe dan
Al. Pada awal penanaman kandungan Fe yang ada dalam tanah adalah 1585 ppm,
namun setelah dilakukan pencucian kandungan Fe turun menjadi rata-rata 123.47
ppm. Pencucian lahan memberikan pengaruh linear terhadap produksi kedelai.
Hal ini diduga karena kandungan Fe tanah yang cukup tinggi pada awal
Hasil analisis tanah yang dilakukan sebelum pengolahan tanah
menunjukan bahwa tanah bersifat masam dengan pH KCl 4.29, 1.09 cmol/kg
Al3+, 1585 ppm Fe dan 292 ppm Mn. Pada pH kurang dari 5.5 pertumbuhan
kedelai sangat lambat karena keracunan almunium. Pertumbuhan bakteri bintil
dan proses nitrifikasi akan berjalan kurang baik (Suprapto, 2001). Selain itu
adanya lapisan pirit (FeS2) pada tanah dapat menghambat pertumbuhan tanaman.
Apabila terkena udara (teroksidasi), pirit berubah menjadi zat besi dan asam
belerang yang dapat meracuni tanaman. Namun pada saat kondisi lahan basah
atau tergenang, oksidasi pirit dapat ditekan sehingga tidak berbahaya bagi
tanaman.
Air irigasi dapat memberikan sumbangan hara bagi tanaman. Kedelai yang
ditanam pada perlakuan pencucian setiap dua minggu memiliki kandungan hara
K, Fe dan Mn yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Unsur K
berperan membantu pembentukan protein dan karbohidrat dalam biji, Fe
diperlukan dalam proses pembentukan klorofil yang berperan dalam proses
fotosintesis dan Mn merupakan komponen penting dalam proses asimilasi.
Semakin tinggi jumlahnya dalam daun, maka akan mendukung proses
pembentukan dan pengisian biji.
Kondisi tidak jenuh air dengan kedalaman 15 cm cukup memadai untuk
pertumbuhan akar secara maksimal. Kondisi air yang tersedia serta radiasi
matahari yang tinggi meningkatkan proses metabolisme tanaman sehingga laju
fotosintesis meningkat. Tingginya fotosintat yang tersedia dan distribusinya ke
organ reproduktif menyebabkan pengisian biji menjadi optimal. Namun tanaman
dengan jumlah polong yang lebat juga sering menunjukan beberapa polong
hampa. Hal ini diduga akibat terjadinya kompetisi sinar matahari, nutrisi ataupun
pembusukan polong. Semakin tinggi intensitas waktu pencucian memiliki
kecenderungan persentase jumlah polong hampa yang lebih tinggi.
Pencucian setiap dua minggu menghasilkan bobot kering bintil akar paling
tinggi. Drainase pada lahan dapat meningkatkan aerasi tanah, memperbaiki
struktur tanah serta meningkatkan nitrogen dalam tanah. Selain itu kelarutan besi
akan menurun dengan adanya drainase. Aerasi dan kondisi tanah yang baik akan
mampu mengekstrak air dan hara dalam jumlah besar. Perakaran tanaman kedelai
berkorelasi positif terhadap jumlah bintil akar. Ketersediaan air yang cukup
memacu tanaman untuk membentuk bintil akar efektif yang lebih banyak.
Peningkatan bintil akar dapat meningkatkan aktivitas nitrogenase dan serapan
hara (Ghulamahdi 2006).
'() *+ ) -)0 - +)/)1 -*23*+)' /)' 4/*,0 / )
Respon varietas kedelai terhadap budidaya jenuh air berbeda-beda.
Varietas Slamet lebih toleran terhadap genangan dibandingkan dengan varietas
lainnya. Pada saat kondisi tergenang, kedelai yang toleran genangan memiliki
tinggi tanaman 29% lebih tinggi daripada yang peka. Genangan yang lebih lama
akan mengurangi tinggi tanaman (Sullivan 2001). Pada awal pertumbuhan
Anjasmoro memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan varietas
lainnya. Namun mulai 6 MST laju pertumbuhan menurun dan tinggi tanamannya
menjadi paling rendah sampai 10 MST. Kedelai berbiji besar tinggi tanamannya
cenderung lebih pendek dibandingkan kedelai berbiji sedang (Adie dan
Krisnawati 2007).
Varietas kedelai yang dibudidayakan pada lahan pasang surut memiliki
pola serapan hara daun yang berbeda. Kandungan hara yang tinggi tidak selalu
diikuti oleh kemampuan menyerap hara yang baik. Varietas Anjasmoro memiliki
kandungan hara yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas lain, namun
serapan hara varietas Slamet lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya.
Perbedaan pola serapan hara diduga merupakan bentuk adaptasi varietas kedelai
terhadap kondisi jenuh air. Serapan hara yang baik akan mendorong pertumbuhan
vegetatif tanaman yang kemudian dapat meningkatkan bobot kering tanaman. Fe
merupakan unsur yang berperan penting dalam proses pembentukan klorofil.
Serapan Fe yang baik pada varietas Anjasmoro menyebabkan warna daunnya
lebih hijau dibandingkan varietas lainnya.
Bunga kedelai umumnya tumbuh di ketiak tangkai daun yang disebut
rasim. Semakin banyak cabang dengan jarak antar buku yang pendek maka
semakin banyak pula rasim untuk munculnya bunga. Pembentukan bunga juga
jumlah sinar matahari yang jatuh pada ketiak tangkai daun lebih banyak sehingga
akan merangsang pembentukan bunga. Suhu lingkungan saat pembungaan
berkisar antara 24.8-28.6oC. Namun tidak semua bunga kedelai berhasil
membentuk polong, dengan tingkat keguguran 20-80 %. Umumnya varietas
dengan banyak bunga per buku memiliki keguguran bunga yang lebih tinggi
daripada yang berbunga sedikit (Adie dan Krisnawati, 2007). Keguguran bunga
terjadi apabila suhu lingkungan lebih dari 40 oC (Irwan, 2006).
Ketersediaan air pada fase berbunga, pembentukan polong dan pengisian
biji sangat penting. Kekurangan air pada fase berbunga dan pembentukan polong
dapat menyebabkan rontoknya bunga dan polong muda. Pada fase pengisian
polong kekurangan air dapat menyebabkan gugurnya polong, perkembangan
polong jelek dan menurunnya aktifitas fotosintesis sehingga bobot biji menurun.
Pada budidaya basah air selalu tersedia sehingga fase generatif berlangsung tanpa
hambatan kekurangan air.
Bobot dan ukuran biji merupakan sifat kuantitatif dari faktor genetik yang
pada kondisi tertentu akan berubah-ubah sesuai lingkungan tumbuh tanaman
(Adie, 2005). Biji kedelai yang ditanam pada budidaya jenuh air memiliki ukuran
yang lebih besar dibandingkan pada budidaya biasa. Garside (1992)
menyatakan bahwa tanaman yang dapat menyembuhkan klorosis sebelum
berbunga akibat perlakuan jenuh air, pada pertumbuhan berikutnya akan memiliki
kemampuan mengakumulasi cadangan makanan di dalam biomassa vegetatif
yang lebih tinggi. Dengan demikian cadangan makanan yang terkandung pada
biomassa vegetatif yang dapat dimobilisasi pada saat pembentukan bunga dan
pengisian biji menjadi lebih banyak.
Jumlah polong isi Anjasmoro lebih sedikit bila dibandingkan dengan
Tanggamus, perbedaannya yaitu sebesar 1.58. Namun rata-rata bobot 100 biji
Anjasmoro (22.13 g) lebih tinggi dibandingkan Tanggamus (12.39 g) sehingga
bobot biji per petak menjadi lebih besar. Menurut Slatyer (1971) hasil tanaman
serealia (biji-bijian) ditentukan oleh fotosintesis yang terjadi setelah pembungaan.
Begitu pula dengan tanaman kedelai, hasil biji kering tanaman bergantung pada
'() *+ '- ),0 ),-* '.*. )' /)' ) -)0
Pencucian setiap dua minggu sekali memberikan pengaruh yang positif
terhadap bobot 100 biji varietas Anjasmoro (22.13 g) yang mengalami
peningkatan hampir dua kali lipat dibandingkan bobot 100 biji benih yang
digunakan saat penanaman (15 g). Begitu pula dengan Tanggamus, Willis dan
Slamet juga mengalami peningkatan bobot 100 biji. Kondisi jenuh air yang
dipertahankan sejak awal stadia vegetatif hingga stadia kematangan menyebabkan
tanaman tidak cepat mengalami senessen saat masa pengisian polong (Nathanson
1984). Umur panen memiliki korelasi positif terhadap bobot 100 biji.
Semakin lama umur panen maka semakin besar ukuran biji (Adisarwanto, 2003).
Suplai asimilat dari ke berlangsung lama sehingga dapat
meningkatkan indeks panen.
Budidaya jenuh air dapat meningkatkan poduksi kedelai 20-80 %
dibandingkan dengan pengairan konvensional (Indradewa 2004).
Berdasarkan komponen hasil varietas Anjasmoro lebih responsif terhadap kondisi
jenuh air dan pencucian lahan. Hal ini ditunjukan dengan jumlah polong yang
banyak (Gambar 9) serta produksi biji yang tinggi (4.06 ton/ha). Sagala (2010)
menyatakan bahwa varietas Tanggamus merupakan varietas yang paling responsif
dengan hasil mencapai 4.63 ton/ha pada perlakuan kedalaman muka air 20 cm
dibawah permukaan tanah. Pada penelitian ini produksi tertinggi Tanggamus
hanya 3.08 ton/ha. Serangan hama ulat grayak pada saat pembungaan dan
pengisian polong diduga menjadi penyebab turunnya produksi kedelai. Intensitas
serangan yang tinggi menyebabkan daun menjadi rusak sehingga terjadi
penurunan bobot kering daun (BKD). Penurunan BKD menyebabkan penurunan
fotosintat yang dihasilkan sehingga mengakibatkan proses pembentukan dan
pengisian polong menjadi tidak optimal. Keterbatasan dan dapat
menghambat laju pertumbuhan dan hasil suatu tanaman. yang kuat akan
menghasilkan yang banyak, begitu pula sebaliknya (Marschner, 1995).
Kondisi tanah liat berdebu berpasir dengan kadar liat 57%, debu 42 % dan
pasir 1% sangat baik untuk pertumbuhan akar tanaman kedelai. Akar tanaman
kedelai lebih mudah berkembang pada tanah gembur yang mengandung liat
itu, tanah bertekstur liat akan memegang air lebih kuat dibandingkan tanah
bertekstur pasir. Varietas Anjasmoro memiliki mekanisme adaptasi terhadap Al
serta efisiense serapan hara yang baik. Walaupun memiliki bobot kering akar
yang rendah namun varietas Anjasmoro memiliki produksi biji tertinggi. Blum
(1996) menyatakan bahwa tanaman yang mampu beradaptasi pada Al tinggi
disebabkan oleh tanaman tersebut memiliki mekanisme tertentu untuk menekan
pengaruh buruk Al sehingga tidak mengganggu serapan hara dan air, juga mampu
mengefisienkannya. Efisiensi ini dapat dalam proses absorbsi, reduksi,
translokasi, dan retribusi hara.
Gambar 9. Jumlah Polong Empat Varietas pada BJA
c. Willis d. Anjasmoro
Pencucian lahan dapat meningkatkan produksi kedelai. Varietas
memberikan respon yang berbeda terhadap waktu pencucian. Varietas Tanggamus
memperoleh hasil tertinggi pada pencucian setiap dua minggu yaitu sebesar 3.08
ton/ha, varietas Slamet dan Willis pada pencucian setiap empat minggu yaitu
berturut- turut sebesar 2.4 ton/ha dan 2.71 ton/ha. Produksi biji tertinggi diperoleh
varietas Anjasmoro dengan waktu pencucian setiap dua minggu sekali (4.06
ton/ha) namun tidak berbeda nyata dengan pencucian setiap empat minggu sekali
(3.99 ton/ha) dan pencucian setiap enam minggu sekali (3.93 ton/ha).
) )'
Pada budidaya tanaman di daerah pasang surut perlu dilakukan pencucian
lahan untuk menekan pengruh pirit yang berbahaya bagi tanaman. Perlu dilakukan
penanganan yang baik terhadap hama dan penyakit terutama hama ulat gayak dan
tikus karena dapat menurunkan hasil kedelai. Secara teknik dan ekonomi,