• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Modifikasi I Penentuan kadar air

Penentuan kadar air simplisia temu lawak yang digunakan dilakukan selama 10 hari, yaitu sampai bobot sampel konstan. Berdasarkan data pada Lampiran 2, diperoleh kadar air sampel sebesar 12.81%. Kadar air temu lawak yang diperoleh digunakan untuk mengetahui bobot temu lawak kering yang sebenarnya sehingga persen rendemen xantorizol dan ekstrak kasarnya dapat diketahui.

Ekstraksi temu lawak

Ekstraksi 250 g temu lawak dengan etanol 96% menghasilkan ekstrak kasar etanol sebanyak 25.6436 gram (11.86%). Hasil ekstraksi tersebut membentuk dua fase disebabkan kandungan lemak yang besar sehingga tidak dapat dilakukan analisis HPLC untuk mengetahui kandungan xantorizol awalnya. Oleh karena itu dilakukan partisi dengan heksana menggunakan metode Sajuthi (2001) dan diperoleh ekstrak dalam fraksi etanol sebanyak 7.8847 gram (30.75%), sedangkan ekstrak dalam fraksi heksana sebanyak 9.1121 gram (35.53%).

Analisis HPLC dilakukan untuk mengetahui kandungan xantorizol pada masing-masing ekstrak. Standar xantorizol

yang digunakan sebesar 100 ppm dengan profil kromatografi pada Lampiran 3. Hasil analisis HPLC dari masing-masing ekstrak menunjukkan kandungan xantorizol dalam fraksi heksana lebih besar daripada fraksi etanol. Pada Lampiran 4 dan 5 dapat dilihat bahwa area peak xantorizol pada fraksi heksana sebesar 1332780, sedangkan pada fraksi etanol hanya sebesar 639406. Dengan demikian, jika dibandingkan dengan area peak standar xantorizol, kandungan xantorizol pada fraksi etanol dan heksana masing-masing adalah 312.1 ppm dan 8132.6 ppm.

Asetilasi

Asetilasi masing-masing ekstrak menggunakan piridin:asetat anhidrat (1:1, v/v) menghasilkan ekstrak etanol sebanyak 3.6885 gram dan ekstrak heksana sebanyak 6.7686 gram. Skema reaksi asetilasi xantorizol dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Skema reaksi asetilasi xantorizol (Cheah et al 2009)

Gambar 4 Perbandingan spektrum FTIR ekstrak etanol (a) dan ekstrak heksana (b) metode modifikasi I sebelum dan setelah asetilasi

Sebelum asetilasi Setelah asetilasi Sebelum asetilasi Setelah asetilasi (b) (a)

(a)

(b)

Dugaan xantorizol terasetilasi Perbandingan spektrum IR sebelum dan setelah asetilasi dapat dilihat pada Gambar 4. Hasil analisis FTIR untuk ekstrak etanol setelah asetilasi menunjukkan adanya serapan pada bilangan gelombang 1764 cm-1 yang mempresentasikan adanya gugus asetil, sedangkan pada spektrum sebelum asetilasi tidak ditemukan. Begitu pula dengan hasil analisis FTIR dari ekstrak heksana, terdapat serapan pada bilangan gelombang 1767 cm-1, sedangkan pada spektrum sebelum asetilasi tidak ditemukan. Selain itu, jika dilihat dari keberadaan gugus –OH, pada spektrum ekstrak etanol dan heksana sebelum asetilasi terdapat serapan yang lebar pada bilangan gelombang 3400 cm-1, sedangkan pada spektrum ekstrak setelah asetilasi juga ditemukan namun intensitasnya jauh lebih kecil.

Reaksi asetilasi xantorizol juga dapat diduga berdasarkan efek konjugasi dan induksi dari gugus-gugus fungsi yang terlibat. Gugus asetil dari anhidrida asetat akan cenderung memilih terikat pada gugus fenol dibandingkan terikat pada cincin benzena dari struktur xantorizol. Hal ini dikarenakan efek induksi dari atom oksigen (O) yang lebih dominan dibandingkan efek konjugasi. Kromatografi Lapis Tipis Preparatif (KLTP)

Ekstrak etanol dan heksana hasil asetilasi selanjutnya difraksinasi dengan KLTP menggunakan eluen heksana:etil asetat (10:1). Hasil kromatografi dapat dilihat pada Gambar 6. Hasil KLTP ekstrak etanol menghasilkan 8 fraksi, sedangkan ekstrak heksana menghasilkan 12 fraksi.

Terlihat spot dugaan xantorizol terasetilasi berwarna kuning dengan nilai Rf sebesar 0.75

(6a) dan 0.71 (6b). Larik tersebut dikerok, lalu dilarutkan dalam etanol dan diuapkan dengan rotavapor untuk memperoleh fraksi xantorizol terasetilasi dari masing-masing ekstrak. Deasetilasi

Fraksi xantorizol terasetilasi selanjutnya dideasetilasi dengan menggunakan resin penukar kation jenis Amberlite IR 120 tipe H+ sehingga menghasilkan fraksi dugaan xantorizol dengan prinsip menukarkan kembali ion asetil yang diperoleh dari hasil asetilasi dengan ion H+ yang berasal dari resin. Fraksi dugaan xantorizol tersebut dikarakterisasi dengan FTIR, HPLC, dan KLT analitik. Perbandingan spektrum IR ekstrak etanol dan heksana sebelum dan setelah asetilasi dapat dilihat pada Gambar 7. Hasil analisis FTIR ekstrak etanol menunjukkan adanya kembali serapan yang lebar pada bilangan gelombang 3439.26 cm-1 yang menunjukkan terbentuknya kembali gugus –

OH xantorizol. Kemudian telah hilangnya gugus asetil ditunjukkan dengan hilangnya pula serapan pada daerah 1700 cm-1. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi deasetilasi berhasil dengan baik. Spektrum IR ekstrak heksana menunjukkan masih adanya serapan dengan intensitas cukup besar pada daerah serapan 1700 cm-1, sedangkan pada daerah serapan 3300 cm-1 terdapat serapan cukup lebar namun tidak terlalu berbeda dengan serapan sebelum deasetilasi. Dengan demikian xantorizol pada ekstrak heksana belum terdeasetilasi seluruhnya.

Hasil analisis HPLC dugaan xantorizol dari ekstrak etanol dan heksana dapat dilihat pada Lampiran 9 dan 10. Berdasarkan hasil kromatogram ekstrak etanol, terlihat peak dugaan xantorizol dengan luas area cukup besar pada waktu retensi 6.384 menit. Sama halnya pada kromatogram ekstrak heksana, terlihat peak dugaan xantorizol yang besar pada waktu retensi 6.394. Jika dibandingkan dengan kromatogram standar xantorizol (Lampiran 8) yang menunjukkan waktu retensi xantorizol adalah 6.407 menit, maka metode ini diduga berhasil mengisolasi xantorizol.

Diketahui bahwa xantorizol pada ekstrak etanol memiliki persen area peak sebesar 78.15%, sedangkan xantorizol pada ekstrak heksana memiliki persen area peak sebesar 80.09%. Kemudian dari data luas area xantorizol masing-masing ekstrak diperoleh konsentrasi xantorizol pada ekstrak etanol sebesar 138.24 ppm sedangkan pada ekstrak Gambar 6 Profil KLTP (a) ekstrak etanol dan

Dugaan xantorizol (b)

heksana sebesar 706.15 ppm.

Dengan demikian xantorizol yang diperoleh pada ekstrak heksana memiliki kemurnian dan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan pada ekstrak etanol. Namun berdasarkan perhitungan dengan standar, ekstrak etanol memiliki kemurnian 87.5%, sedangkan ekstrak heksana hanya 61.43%.

Hasil KLT analitik dugaan xantorizol dapat dilihat pada Gambar 8. Spot dugaan xantorizol pada ekstrak etanol memiliki nilai Rf sebesar 0.49, sedangkan pada ekstrak heksana memiliki nilai Rf 0.51. Hasil KLT dari kedua ekstrak menunjukkan masih adanya dua spot lain dengan nilai Rf 0.75 dan 0.81, sehingga metode modifikasi I ini belum berhasil mengisolasi xantorizol dengan murni. Spot lain yang muncul tersebut diduga salah

satunya adalah xantorizol yang masih terasetilasi karena belum optimalnya proses deasetilasi yang dilakukan. Berdasrkan hasil perhitungan diketahui kandungan xantorizol total pada sampel adalah 3.9 x 10-5 %.

Metode modifikasi I ini awalnya Sebelum deasetilasi

Setelah deasetilasi

Gambar 8 Profil KLT (a) ekstrak etanol dan (b) ekstrak heksana hasil deasetilasi Gambar 7 Perbandingan spektrum FTIR ekstrak etanol (a) dan ekstrak heksana (b)

metode modifikasi I sebelum dan setelah deasetilasi (a)

Sebelum deasetilasi Setelah deasetilasi

(b)

merupakan verifikasi dari metode Asriani. Akan tetapi, hasil ekstraksi dengan etanol menghasilkan ekstrak kasar yang membentuk dua fase sehingga dilakukan partisi dengan heksana dan ternyata xantorizol justru lebih banyak terlarut di dalam heksana dibandingkan etanol. Hal ini menyebabkan tidak dapat dilakukannya verifikasi metode Asriani.

Metode Modifikasi II

Ekstraksi 250 g temu lawak dengan etanol 96% menghasilkan ekstrak kasar etanol sebanyak 27,1933 gram. Sama halnya dengan metode modifikasi I, hasil ekstraksi tersebut membentuk dua fase sehingga dilakukan partisi dengan heksana dan dihasilkan ekstrak dalam fraksi etanol sebanyak 6.4100 gram (23.57%), sedangkan ekstrak dalam fraksi heksana sebanyak 8.5787 gram (31.55%). Begitu pula dengan hasil analisis HPLC dari masing-masing ekstrak, kandungan xantorizol dalam fraksi heksana lebih besar daripada fraksi etanol. Pada Lampiran 6 dan 7 dapat dilihat bahwa area peak xantorizol pada fraksi heksana sebesar 1480080, sedangkan pada fraksi etanol hanya sebesar 676609. Dengan demikian, kandungan xantorizol pada fraksi etanol dan heksana masing-masing adalah 330.3 ppm dan 9031.5 ppm. Hal ini disebabkan sifat xantorizol yang cenderung non-polar sehingga lebih terlarut ke dalam pelarut non-polar.

Masing-masing ekstrak diekstraksi ulang dengan dietil eter menggunakan metode Najib (2008). Hal ini bertujuan untuk menghilangkan kemungkinan senyawa yg lebih non-polar dari xantorizol. Ekstraksi ulang dengan dietil eter menghasilkan ekstrak sebanyak 2.1010 gram (32.78%) untuk ekstrak etanol, dan 0.2828 gram (3.30%) untuk ekstrak heksana.

Asetilasi masing-masing ekstrak dilakukan menggunakan metode yang sama dengan Asriani (2010), yaitu menggunakan piridin:asetat anhidrat (1:1, v/v). Dihasilkan ekstrak etanol sebanyak 1.8067 gram (85.99%) dan ekstrak heksana sebanyak 0.2253 gram (79.67%). Ekstrak sebelum dan sesudah asetilasi dianalisis dengan FTIR. Hasil analisis FTIR untuk ekstrak etanol dan heksana sebelum dan setelah asetilasi dapat dilihat pada Gambar 9.

Hasil analisis FTIR untuk ekstrak etanol setelah asetilasi menunjukkan adanya serapan pada bilangan gelombang 1765 cm-1 yang mempresentasikan adanya gugus asetil,

sedangkan pada spektrum sebelum asetilasi tidak ditemukan. Begitu pula dengan hasil analisis FTIR dari ekstrak heksana, terdapat serapan pada bilangan gelombang 1752 cm-1, sedangkan pada spektrum ekstrak sebelum asetilasi tidak ditemukan. Selain itu, sama halnya dengan ekstrak hasil metode modifikasi I, pada spektrum ekstrak etanol dan heksana sebelum asetilasi terdapat serapan yang lebar pada bilangan gelombang 3400 cm-1, sedangkan pada spektrum ekstrak setelah asetilasi juga ditemukan namun intensitasnya jauh lebih kecil. Hal ini menunjukkan bahwa proses asetilasi berhasil dilakukan namun efisiensi reaksi tidak mencapai 100%.

Ekstrak etanol dan heksana hasil asetilasi selanjutnya difraksinasi dengan KLTP menggunakan eluen yang sama dengan metode Asriani (2010), yaitu heksana:etil asetat (10:1). Hasil KLTP menunjukkan terdapat 9 fraksi pada ekstrak etanol dan 11 fraksi pada ekstrak heksana. Terlihat spot dugaan xantorizol dengan nilai Rf sebesar 0.71. Larik tersebut dikerok, lalu dilarutkan dalam etanol dan diuapkan dengan rotavapor untuk memperoleh fraksi xantorizol terasetilasi dari masing-masing ekstrak.

Fraksi xantorizol terasetilasi selanjutnya dideasetilasi menggunakan resin penukar kation jenis Amberlite IR 120 sehingga menghasilkan fraksi dugaan xantorizol. Setelah itu fraksi dugaan xantorizol tersebut dikarakterisasi dengan KLT analitik, FTIR dan HPLC. Hasil KLT analitik dari kedua ekstrak dapat dilihat pada Gambar 10. Spot dugaan xantorizol pada ekstrak etanol memiliki nilai Rf 0.47, sedangkan pada ekstrak heksana memiliki nilai Rf sebesar 0.54. Spot dugaan xantorizol pada ekstrak etanol memiliki nilai Rf lebih kecil karena laju elusi tidak lurus. Laju elusi sempat berbelok ke samping kiri.

Profil kromatografi kedua ekstrak menunjukkan masih adanya beberapa spot lain sehingga xantorizol yang diperoleh dari metode ini masih belum murni. Diduga spot-spot tersebut adalah senyawa turunan xantorizol yang masih terasetilasi. Perbandingan spektrum IR sebelum dan setelah deasetilasi dapat dilihat pada Gambar 11. Berdasarkan spektrum FTIR yang diperoleh, baik pada ekstrak etanol maupun heksana terlihat kembali serapan dengan intensitas yang cukup besar pada daerah serapan 3400 cm-1 yang menunjukkan telah terbentuknya kembali gugus –OH dari xantorizol.

Dugaan xantorizol

(a) (b)

Jika dilihat dari serapan gugus asetil, pada

spektrum ekstrak etanol sudah tidak terdapat serapan pada daerah 1760 cm-1, namun pada ekstrak heksana masih terdapat serapan dengan intensitas rendah. Hal ini menunjukkan masih terdapatnya xantorizol yang belum terdeasetilasi.

Hasil analisis HPLC ekstrak etanol dan heksana metode modifikasi dapat dilihat pada Lampiran 11 dan 12. Berdasarkan hasil kromatogram ekstrak etanol, terlihat peak

dugaan xantorizol dengan luas area cukup besar pada waktu retensi 6.365 menit. Sama halnya pada kromatogram ekstrak heksana, terlihat peak dugaan xantorizol yang besar pada waktu retensi 6.369. Jika dibandingkan dengan kromatogram standar xantorizol Gambar 9 Perbandingan spektrum FTIR ekstrak etanol (a) dan ekstrak heksana (b)

metode modifikasi II sebelum dan setelah asetilasi

Sebelum asetilasi Setelah asetilasi (a)

(b)

Gambar 10 Profil KLT fraksi dugaan xantorizol (a) ekstrak etanol dan (b) ekstrak heksana metode modifikasi II

Sebelum asetilasi Setelah asetilasi

(Lampiran 8) yang menunjukkan waktu retensi xantorizol sebesar 6.047 menit, maka metode modifikasi II ini diduga berhasil mengisolasi xantorizol. Diketahui bahwa xantorizol pada ekstrak etanol memiliki persen area peak sebesar 80.09%, sedangkan xantorizol pada ekstrak heksana memiliki persen area peak sebesar 88.07%. Kemudian dari data luas area xantorizol masing-masing ekstrak diperoleh konsentrasi xantorizol pada ekstrak etanol sebesar 105.10 ppm sedangkan pada ekstrak heksana sebesar 267.50 ppm. Namun berdasarkan perhitungan dengan menggunakan data kromatogram standar, xantorizol pada ekstrak etanol hanya memiliki kemurnian 62.5%, sedangkan pada ekstrak

heksana hanya 65%. Xantorizol pada ekstrak heksana memiliki konsentrasi dan kemurnian yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak etanol. Berdasarkan hasil perhitungan xantorizol dari kedua ekstrak, diketahui kandungan xantorizol total pada sampel adalah

1.7 x 10

-5 %. Dengan demikian metode ini b erhasil mengisolasi xantorizol namun belum 100% murni.

Metode Modifikasi III

Metode modifikasi III ini merupakan tambahan dari metode modifikasi I, yaitu dilakukan KLTP tahap II pada ekstrak hasil deasetilasi dari metode modifikasi I. Ekstrak Sebelum deasetilasi

Setelah deasetilasi

Gambar 11 Perbandingan spektrum FTIR ekstrak etanol (a) dan ekstrak heksana (b) metode modifikasi II sebelum dan setelah deasetilasi

Sebelum deasetilasi Setelah deasetilasi

(b) (a)

heksana dipilih karena memiliki kemurnian dan konsentrai yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak etanol. KLTP tahap II ini masih menggunakan eluen yang sama yaitu heksana:etil asetat (10:1). Hasil KLTP tahap II dicirikan dengan KLT analitik, HPLC, dan GC-MS. Profil KLT fraksi dugaan xantorizol hasil KLTP tahap II dapat dilihat pada Gambar 12. Terlihat bahwa hanya ada satu spot pada hasil KLT tersebut yang diduga adalah xantorizol dengan nilai Rf sebesar 0.42, sehingga metode ini diduga berhasil mengisolasi xantorizol dengan murni.

Gambar 12 Profil KLT dugaan xantorizol hasil KLTP tahap II

Berdasarkan hasil analisis HPLC pada Lampiran 14, terlihat satu peak yang luas pada waktu retensi 6.360 menit dengan luas area sebesar 97.604%. Jika dibandingkan dengan kromatogram standar xantorizol (Lampiran 13), waktu retensi xantorizol adalah 6.366 menit dengan luas area sebesar 95.258%. Hal ini menunjukkan metode ini berhasil mengisolasi xantorizol dengan kemurnian yang lebih tinggi daripada standar xantorizol yang digunakan. Namun berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan data kromatogram standar xantorizol, diketahui kemurnian xantorizol yang diperoleh adalah 90%. Kemudian pada hasil analisis HPLC terlihat masih adanya dua peak lain yang muncul yaitu pada waktu retensi 2.454 dan 3.991 menit dengan persen area masing-masing sebesar 1.435% dan 0.961%. Jika diperhatikan, pada semua hasil analisis HPLC baik standar xantorizol maupun sampel, selalu muncul peak pada waktu retensi sekitar 2.4 menit, sehingga diduga peak yang muncul tersebut merupakan pelarut. Dengan demikian hasil analisis HPLC menunjukkan bahwa xantorizol yang diisolasi masih belum murni karena masih ditemukan campuran dengan satu senyawa lain yang belum teridentifikasi

Hal ini dibuktikan pula dengan hasil analisis GC-MS pada Lampiran 15. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh dua puncak pada waktu retensi 11.36 dan 11.44

menit. Puncak pada waktu retensi 11.4 menit dipastikan merupakan xantorizol dengan BM 218.0, sedangkan puncak pada waktu retensi 11.36 teridentifikasi sebagai senyawa 2-etoksikarbonil benzotiazol. Jika dibandingkan dengan puncak pada waktu retensi 11.36, puncak xantorizol memiliki luas area yang jauh lebih besar yaitu 6930703, sedangkan puncak pada waktu retensi 11.36 hanya memiliki luas area 422232, sehingga jika xantorizol tersebut dianggap murni 100%, maka pengotor pada isolat tersebut sebesar 6.09%. Akan tetapi berdasarkan perhitungan total keseluruhan, diperoleh luas area sebesar 94.26% untuk xantorizol, dan 5.74% untuk senyawa 2-etoksikarbonil benzotiazol. Puncak lain yang muncul tersebut memiliki waktu retensi yang cukup berdekatan dengan xantorizol. Hal ini menunjukkan senyawa tersebut memiliki kepolaran yang hampir sama dengan xantorizol sehingga sulit dipisahkan. Dengan demikian metode modifikasi III ini pun belum berhasil mengisolasi xantorizol dengan kemurnian 100%, yaitu hanya diperoleh xantorizol dengan kemurnian 97.60%.

Perbandingan Hasil Isolasi Xantorizol menggunakan Metode Asriani dengan

Metode Modifikasi

Perbandingan kemurnian dan rendemen xantorizol hasil isolasi menggunakan metode Asriani dengan metode modifikasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1 Data kemurnian dan rendemen xantorizol hasil isolasi dengan metode Asriani dan metode modifikasi Metode Kemurnian (%)a Kemurnian (%)b Rendemen (%) Asriani Ekstrak etanol 99.5 - 0.1400 Modifikasi I Ekstrak etanol 78.1 87.50 0.0061 Ekstrak heksana 80.1 61.43 0.0426 Modifikasi II Ekstrak etanol 80.1 62.50 0.0033 Ekstrak heksana 88.1 65.00 0.0013 Modifikasi III  Ekstrak heksana 97.6 90.00 0.0090 a

berdasarkan persen area (HPLC)

b

berdasarkan perhitungan dengan standar xantorizol

Berdasarkan data pada tabel di atas, terlihat bahwa kemurnian xantorizol yang paling tinggi dihasilkan dengan metode Asriani, yaitu 99.5%. Contoh perhitungan kemurnian dan rendemen dari masing-masing metode modifikasi dapat dilihat pada Lampiran 16. Tambahan proses ekstraksi dengan heksana maupun dietil eter yang dilakukan pada metode modifikasi I dan II belum dapat memisahkan xantorizol dengan baik, begitu pula halnya dengan KLTP tahap II yang dilakukan pada metode modifikasi III. Pada isolat tersebut masih ditemukan campuran dengan satu senyawa lain yang kepolarannya hampir sama dengan xantorizol. Senyawa tersebut teridentifikasi sebagai senyawa 2-etoksikarbonil benzotiazol (Gambar 13).

Berdasarkan hasil analisis GC-MS, senyawa 2-etoksikarbonil benzotiazol tersebut memiliki nilai Rf yang lebih kecil daripada xantorizol. Kolom yang digunakan pada instrumen GC-MS adalah kolom HP-5 yang merupakan jenis kolom non-polar. Dengan demikian dapat diketahui bahwa senyawa tersebut bersifat lebih polar daripada xantorizol karena keluar dari kolom lebih dulu dibandingkan xantorizol. Xantorizol hasil isolasi dengan metode Asriani (2010) juga menunjukkan masih adanya campuran dengan satu senyawa lain yang belum teridentifikasi. Berdasarkan hasil analisis KLT-nya, senyawa tersebut memiliki nilai Rf yang lebih kecil dibandingkan xantorizol. Senyawa tersebut lebih lama tertahan pada silika gel sehingga dapat diketahui bahwa senyawa tersebut lebih polar daripada xantorizol. Dengan demikian dapat diduga bahwa senyawa yang belum teridentifikasi pada hasil isolasi dengan metode Asriani adalah senyawa yang sama dengan hasil isolasi dari metode modifikasi III yaitu senyawa 2-etoksikarbonil benzotiazol.

Penyebab tidak murninya xantorizol yang dihasilkan diduga karena belum optimalnya proses asetilasi dan deasetilasi yang dilakukan sehingga xantorizol belum terasetilasi dan terdeasetilasi seluruhnya, juga diduga karena terbentuknya senyawa turunan xantorizol. Meskipun menghasilkan xantorizol dengan

kemurnian paling tinggi dibandingkan metode modifikasi lainnya, namun metode modifikasi III pun belum bisa menghasilkan xantorizol dengan kemurnian 100% dan masih lebih rendah dari metode Asriani. Berdasarkan data rendemen xantorizol yang dihasilkan pun, masih jauh lebih tinggi metode Asriani. Jika dibandingkan dengan data dari kromatogram xantorizol ekstrak kasar, diketahui telah banyak xantorizol yang hilang selama proses isolasi. Hal ini disebabkan tahapan proses yang lebih banyak dibandingkan metode Asriani. Dengan demikian metode Asriani masih lebih baik dan lebih efisien.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Ketiga metode modifikasi yang dilakukan berhasil mengisolasi xantorizol namun belum 100% murni karena masih ditemukan campuran dengan senyawa lain. Kemurnian xantorizol yang paling tinggi dihasilkan dengan menggunakan metode modifikasi III. Akan tetapi hasil tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan metode Asriani. Dengan demikian metode Asriani masih lebih baik dan lebih efisien daripada metode modifikasi yang digunakan.

Saran

Perlu dilakukan optimasi reaksi asetilasi dan deasetilasi untuk memastikan xantorizol berhasil terasetilasi dan terdeasetilasi kembali seluruhnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Temu lawak. Earthcare Enterprises. [terhubung berkala]. http://www.earthcare.com.au/slides/temula wak.htm. [8 Desember 2011].

AOAC. 2000. Official Methods of Analysis of The Association Official Analytical Chemists. Washington DC: AOAC International.

Asriani D. 2010. Isolasi xantorizol dari temu lawak terpilih berdasarkan nomor harapan Gambar 13 Struktur molekul 2-etoksikarbonil

ISOLASI DAN PEMURNIAN XANTORIZOL DARI TEMU

Dokumen terkait