• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Pemetaan Lamun

PEMETAAN LAMUN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT ALOS DI PERAIRAN PULAU PARI

2.2. Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Pemetaan Lamun

Informasi yang akurat mengenai distribusi lamun merupakan hal penting untuk mengelola sumber daya lamun. Pemetaan sumber daya lamun dapat

dilakukan dengan menggunakan teknik observasi data insitu hingga penginderaan jauh (Short et al., 2001). Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk

memperoleh informasi tentang objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesan dan Kiefer, 1990). Penginderaan jauh untuk lamun berhubungan dengan habitat dasar laut dimana lamun tertutupi oleh kolom perairan sehingga tingkat intensitas cahaya yang masuk ke dalam air menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman.

Prinsip kerja pendeteksian padang lamun menggunakan citra satelit adalah dengan memanfaatkan nilai reklektansi langsung yang khas dari tiap objek di dasar perairan yang kemudian direkam oleh sensor. Mount (2006) menjelaskan bahwa sinar biru dan hijau adalah sinar dengan energi terbesar yang dapat

direkam oleh satelit untuk penginderaan jauh di laut yang menggunakan spektrum cahaya tampak (400-650 nm) (Gambar 2).

8

Gelombang masuk ke kolom air, kemudian diserap dan dipantulkan kembali oleh permukaan air. Gelombang yang dipantulkan kembali menuju satelit adalah perwujudan dari ekstraksi sifat bawah permukaan air. Gelombang ini kemudian banyak digunakan untuk memetakan tipe substrat dasar (Rasib dan Hashim, 1997).

Pemetaan lamun pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Salah satunya adalah pemetaan lamun di pesisir Pulau Bintan Kepulauan Riau yang dilakukan oleh Kuriandewa dan Supriyadi (2005). Pemetaan dilakukan dengan menggunakan 3 band citra satelit Landsat yaitu band 1 (0,45-0,52 μm), band 2 (0,52-0,60 μm), dan band 3 (0,63-0,69 μm). Ketiga band tersebut dipilih karena mampu menembus kolom perairan, sedangkan band 4 (0,75-0.90 μm) digunakan untuk memisahkan area darat dan lautan. Sebelum melakukan analisis survei, citra satelit diklasifikasi dengan menggunakan klasifikasi unsupervised

untuk menghasilkan petunjuk dasar dalam menentukan titik observasi lapang. Data lapang yang akan diambil diantaranya jenis lamun, kepadatan / kerapatan, persen penutupan, biomasa, substrat dasar dan posisi geografi. Hasil survei lapang akan dicocokkan dengan tampilan citra yang sudah diklasifikasikan dengan menggunakan klasifikasi Unsuprevised yang selanjutnya diolah kembali dengan menggunakan software Arc.View 3.2.

Selain itu, pemetaan lamun juga pernah dilakukan di daerah Toli-toli, Sulawesi Barat. Tujuan penelitian tersebut adalah memetakan informasi secara spasial sebaran lamun, persentase tutupan lamun dan kondisi lamun dengan menggunakan citra satelit ASTER. Klasifikasi yang dipilih dalam pengolahan citra adalah klasifikasi unsupervised karena dengan ditambahnya data lapang yang

dimasukkan ke dalam peta hasil klasifikasi maka posisi lamun terpetakan lebih akurat (Supriyadi, 2010).

Penajaman citra dengan menggunakan algoritma Lyzenga juga banyak digunakan untuk memetakan subtrat dasar perairan (karang, pasir dan lamun). Untuk lebih menonjolkan objek dasar perairan dangkal dilakukan penggabungan 2 sinar tampak yaitu band 1 dan band 2, maka akan di dapat citra baru yang

menampakkan dasar perairan dangkal yang lebih informatif. Hasil transformasi citra tersebut dibagi menjadi beberapa kelas berdasarkan histogram hasil

transformasi

Algoritma Lyzenga atau yang disebut juga depth-invariant index

merupakan algoritma yang diterapkan pada citra untuk koreksi kolom perairan. Pada prinsipnya metode ini menggunakan kombinasi band sinar tampak citra satelit. Teknik ini diuji coba pada perairan Bahama dimana perairan tersebut merupakan perairan yang jernih. Sebelumnya teknik ini digambarkan untuk mengetahui kondisi dasar perairan dengan menggunakan citra Landsat berdasarkan nilai pantulan dasar perairan yang diduga dari fungsi linear

reflektansi dasar perairan dan fungsi ekponensial kedalaman air (Lyzenga, 1981). Parameter yang dibutuhkan untuk algoritma ini adalah rasio koefisien atenuasi untuk tiap band yang digunakan. Koefisien atenuasi yang berbeda dari tiap band tergantung pada tipe perairan lokasi perekaman citra satelit. Di perairan Bahama dengan menggunakan citra satelit Landsat band 1-2 diperoleh nilai rasio koefisien atenuasi sebesar 0,24. Rasio koefisien atenuasi dari citra satelit SPOT XS band 1-2 diperoleh sebesar 0,36 (Green et al., 2000).

10

2.3. Satelit ALOS

Advanced Land Observing Satellite merupakan satelit jenis baru yang dimiliki oleh Jepang setelah dua satelit pendahulunya yaitu JERS-1 dan ADEOS. ALOS yang diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006 mempunyai 5 misi utama yaitu untuk kepentingan kartografi, pengamatan regional, pemantauan bencana alam, penelitian sumberdaya alam dan pengembangan teknologi (As-syakur dan Adnyana, 2009).

Citra satelit ALOS memiliki data multispektral dengan resolusi spasial sebesar 10 m. ALOS memiliki 3 sensor utama yaitu: 1) Panchromatik Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) untuk pemetaan elevasi digital dengan resolusi 2,5 m, 2) Advanced Visible and Near Infrared Radiometer

(AVNIR) untuk observasi penutupan lahan dan memiliki resolusi spasial 10 meter, dan 3) Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) untuk observasi lahan dan dapat digunakan siang dan malam hari, serta pada segala cuaca (JAXA, 2008). Spesifikasi satelit ALOS ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Spesifikasi satelit ALOS

Tanggal peluncuran 24 Januari 2006

Kendaraan

peluncuran H-IIA

Lokasi peluncuran Pusat Antariksa Tanegashima

Tipe orbit Sun-Synchronous Waktu orbit 10.30 ± 15 menit

Ketinggian orbit 691.65 km diatas equator

Periode pengulangan 46 hari

Inklinasi 98,16°

Periode orbital 98,7 menit

Band AVNIR-2 band 1 (0,42-0,50 μm) band 2 (0,52-0,60 μm) band 3 (0,61-0,69 μm) band 4 (0,76-0,89 μm) Sumber : JAXA (2008)

Banyak aplikasi citra satelit ALOS untuk pemetaan lahan, hutan dan daerah pesisir termasuk ekosistem lamun. Citra satelit ALOS mampu

memberikan cakupan yang cukup luas dengan resolusi tinggi sehingga perolehan datanya mendekati data yang sebenarnya. Penelitian sebelumnya mengenai pemetaan lamun dengan menggunakan citra satelit ALOS pernah dilakukan oleh Supriyadi (2008) di daerah Bitung-Manado. Metode yang digunakan yaitu dengan mengintegrasikan antara hasil analisis data citra satelit ALOS dengan Sistem Informasi Geografi (SIG). Berdasarkan hasil analisis spasial klasifikasi, sebaran lamun di daerah Bitung-Manado seluas 6,5 ha yang memiliki tutupan lamun >75% dan klasifikasi kurang dari 25% mencapai 40,1 ha (Supriyadi, 2008). Pemetaan lamun pada penelitian sebelumnya menggunakan data Advanced Visible and Near Infrared Radiometer (AVNIR-2) dari satelit ALOS (Seeni et al., 2008).

2.4 Akurasi

Uji akurasi diperlukan untuk menunjukkan seberapa tepat sebuah citra diklasifikasikan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Perhitungan akurasi dapat dilakukan dengan membangun matriks kontingensi (Gambar 3). Uji ketelitian dilakukan dengan membuat matriks dari perhitungan setiap kesalahan pada setiap bentuk penutupan atau penggunaan lahan dari hasil interpretasi citra penginderaan jauh (Short, 1982 dalam Purwadhi, 2001).

Matriks kontingensi merupakan matriks yang disusun untuk menentukan akurasi seluruhnya (overall accuracy), akurasi pengguna (user’s accuracy) dan akurasi penghasil (producer’s accuracy). Overall accuracy adalah sebuah metode pengukuran yang umum digunakan, dihitung dengan membagi titik sample yang

12

benar pada diagonal utama dengan jumlah titik observasi. Producer’s accuracy

adalah kemungkinan seberapa besar suatu data referensi dikelaskan dengan benar.

Producer’s accuracy diperoleh dengan membagi jumlah total titik data yang terkelaskan dengan benar pada suatu kelas tertentu terhadap jumlah total titik data referensi pada kelas tersebut. User’s accuracy adalah kemungkinan sebuah pixel

dalam peta mewakili dengan benar kelas pada lapangan. User’s accuracy

diperoleh dengan membagi jumlah titik data yang terkelaskan dengan benar terhadap jumlah total titik hasil klasifikasi citra.

Pada setiap pengolahan data spasial, tidak terlepas dari error atau kesalahan. Pada matriks kontingensi terdapat 2 jenis error yaitu omission error

(membuang daerah yang seharusnya termasuk dalam kelas)dan commission error

(memasukkan daerah yang seharusnya dibuang dari kelas). Namun untuk overall accuracy tidak memperhitungkan omission error dan commission error

(Conglaton dan Green, 2009).

Ketelitian pemetaan dibuat dalam beberapa kelas X yang dapat dihitung dengan rumus (Short,1982 dalam Purwadhi, 2001) :

pixel Xco pixel Xo pixel Xcr pixel Xcr M A    ...(1)

Keterangan : MA= Ketelitian pemetaan (mapping accuracy)

Xcr = Jumlah kelas X yang terkoreksi

Xo = Jumlah kelas X yang masuk ke kelas lain (omisi) Xco= Jumlah kelas X tambahan dari kelas lain (komisi)

Ketelitian seluruh hasil klasifikasi (KH) adalah :

 pixel semua Jumlah kelas semua murni pixel Jumlah KH ...(2)

Tabel 3. Contoh matriks kontingensi (Purwadhi, 2001).

Survei Lapang Hasil Interpretasi Total Omisi (Pixel) 1 2 3 4 5 6 7 Laut 468 10 4 0 0 8 0 490 22 Tambak 8 256 4 0 0 2 0 270 14 Sawah 4 2 526 10 2 0 6 550 24 Pemukiman 0 0 4 60 2 0 4 70 10 Jalur jalan 0 2 4 2 22 0 0 30 8 Sungai 2 3 1 0 0 34 0 40 6 Tegalan 0 0 3 3 0 0 44 50 6 Total / OA 482 273 546 75 26 44 54 1500 90 Komisi (Pixel) 14 17 20 15 4 10 10 90 Contoh cara perhitungan ketelitian pemetaan (MA) 468 22 14 468 laut untuk M A    92,9% Ketelitian hasil interpretasi

468256526150060223444 94%

14

3. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Secara geografi lokasi penelitian terletak pada koordinat 5 o50’20” – 5o50’25” LS dan 106 o34’30” – 106 o38’20” BT (Gambar 3). Pengambilan sampel dan survei lapang dilakukan pada tanggal 19-21 Juni 2010.

3.2. Alat dan Bahan

3.2.1. Pengolahan data citra

Alat yang digunakan adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak ER Mapper 6.4, Arcview GIS 3.3, dan MS Office 2003. Bahan penelitian berupa data Citra ALOS-AVNIR akuisisi 21 November 2008 (level 1B), dan Peta Rupa Bumi Digital Indonesia skala 1:25000 dengan nomor lembar 1210-113 yang diproduksi oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) yang digunakan untuk koreksi geometrik.

3.2.2. Perolehan data lapang

Alat yang digunakan berupa GPS, rol meter 50 m, frame (1m x 1m), sekop, plastik, alat tulis, papan jalan, data sheet, alat dokumentasi, dan perahu motor.

3.2.3. Analisis biomasa sampel lamun

Alat yang digunakan berupa oven untuk mengeringkan lamun dan timbangan analitik untuk menimbang berat kering lamun.

3.3. Metode penelitian

Penelitian ini diawali dengan pengolahan citra ALOS tahun 2008 dengan klasifikasi multispektral. Pengolahan ini terdiri dari 7 tahap yaitu koreksi

radiometrik, koreksi geometrik, pemisahan daerah daratan dan perairan, mengklasifikasi citra secara tidak terbimbing (Unsupervised Classification), survei lapang, akurasi data dan skoring. Prosedur pemetaan kondisi lamun ditampilkan dalam diagram alir pada Gambar 4.

16

Gambar 4. Diagram alir penelitian Citra satelit ALOS

Cropping wilayah yang ingin dikaji

Koreksi Radiometrik citra

Koreksi Geometrik citra

Pemisahan darat-laut Klasifikasi : 1. Unsupervised 2. Algoritma Lyzenga Survei Lapang Data Lapang Peta RBI skoring

Sebaran dan kondisi lamun

di perairan Pulau Pari

Persentase Penutupan lamun Biomasa lamun Jumlah spesies lamun Peta Klasifikasi Habitat Dasar Perairan

3.3.1. Pengolahan citra

Pengolahan citra dimulai dari pemotongan citra yang bertujuan untuk membatasi daerah yang akan diolah sesuai dengan lokasi penelitian. Perbaikan citra yang dilakukan setelah pemotongan citra bertujuan untuk mengembalikan tampilan citra sesuai dengan kenampakan aslinya dimuka bumi. Perbaikan citra terdiri dari dua proses yaitu koreksi geometrik dan koreksi radiometrik.

Citra satelit ALOS yang digunakan pada penelitian ini adalah citra hasil perekaman sensor AVNIR yang terdiri dari 4 band. Band 1, 2, dan 3 berturut-turut adalah band panjang gelombang biru, hijau, dan merah, sedangkan band 4 adalah band panjang gelombang inframerah dekat. Citra yang digunakan adalah level 1B, sehingga sudah terkoreksi radiometrik dan geometrik secara sistematik. Meskipun demikian, koreksi atmosferik tetap dilakukan kembali karena pada daerah bayangan bernilai digital lebih dari 0 (nol). Dari histogram dapat diketahui nilai minimal dari nilai digital citra tersebut. Nilai minimal ini digunakan sebagai nilai pengurang untuk nilai digital semua band (metode histogram adjustment). Koreksi geometrik bertujuan untuk memperbaiki posisi atau letak objek agar koordinatnya sesuai dengan koordinat geografi (posisi sebenarnya dibumi). Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan acuan Peta Rupa Bumi Digital Indonesia skala 1:25000 yang sudah diregristrasi terlebih dahulu.

Pengkelasan data citra menggunakan 2 metode yaitu penajaman citra dengan algoritma Lyzenga dan klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised).

Pemakaian 2 metode ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil pengkelasan. Citra yang sudah terkoreksi diklasifikasi secara tak terbimbing (Unsupervised Classification) untuk mengkaji atau menganalisis sejumlah besar pixel yang tidak

18

dikenal dan membaginya dalam sejumlah kelas berdasarkan pengelompokan nilai digital citra. Warna yang nampak dalam citra yang menggambarkan vegetasi lamun adalah hijau kehitam-hitaman. Setelah pengambilan data lapang, titik posisi keberadaan lamun dari tiap stasiun dimasukkan ke dalam tiap kelas hasil klasifikasi tak terbimbing.

Pembanding dari klasifikasi tak terbimbing adalah penajaman citra dengan menggunakan algoritma Lyzenga. Proses penajaman ini merupakan proses penggabungan informasi dari 2 band yang bertujuan untuk mendapatkan penampakan habitat dasar perairan dengan menggunakan persamaan berikut (Green et al. , 2000).

Y = ln (TM 1) – [ki/kj ln (TM 2)]...(3) Keterangan :

Y = Citra hasil ekstraksi dasar perairan TM 1 = Band 1 (biru)

TM 2 = Band 2 (hijau)

ki/kj = Nilai Koefisien atenuasi Dimana :

ki/kj = a + √(a2

+ 1)...(4) a = (var TM 1 – Var TM 2)/(2 * Covar TM1 TM2)...(5)

Kemudian dilakukan klasifikasi terbimbing (Supervised Classification). Proses klasifikasi dilakukan dengan pemilihan kategori informasi yang diinginkan dan memilih training area untuk tiap kategori.

3.3.2. Pengambilan data lapang

Metode sampling yang dipilih adalah nonprobability random sampling. Berdasarkan metode ini maka akan dipilih secara acak sampel dari setiap kelas. Catat koordinat geografi titik sampling dengan menggunakan GPS dan catat habitat dasar yang berada di bawah permukaan air (karang, pasir atau lamun). Bentuk titik sampling yang dipilih adalah piksel. Pada penelitian ini didapatkan 116 titik sampel untuk penetuan kelas klasifikasi tak terbimbing (Lampiran 2) dan 92 titik sampel untuk uji akurasi (Lampiran 3).

Pengambilan data pada ekosistem padang lamun dilakukan dengan

menggunakan frame (1m x 1 m). Titik sampel lamun diambil secara acak dimana titik stasiun menyebar di sekitar perairan Pulau Pari. Kemudian perkirakan nilai persen penutupan lamun dan jenis spesies lamun yang terdapat dalam frame

berdasarkan acuan yang dikeluarkan oleh seagrasswacth dalam Mc.Kenzie(2003) yang terlampir pada Lampiran 5. Selain data persen penutupan lamun, data yang diambil untuk penelitian ini adalah data biomasa lamun dalam frame yang sama. Data biomasa lamun diperoleh dengan mengambil sampel daun lamun dari pucuk hingga substrat yang berada dalam frame 20 cm x 20 cm dengan

menggunakan sekop. Sampel kemudian dicuci dengan air untuk menghilangkan alga serta detritus yang menempel. Sampel yang telah dicuci lalu dikeringkan dan ditimbang berat basahnya. Untuk mendapatkan nilai biomasa, sampel dikeringkan dengan oven pada suhu 60 oC selama 24 jam sehingga didapatkan berat kering dari sampel. Foto-foto kegiatan penelitian terlampir di Lampiran 6.

20

3.3.3. Analisis data biomasa lamun

Nilai biomasa yang digunakan pada penelitian ini merupakan berat kering lamun dalam luasan area 0,04 m2 yang diperoleh dengan menggunakan rumus (Azkab, 1999): frame Luas ring ke Berat Biomassa ………..(6) Keterangan :

Biomasa = nila biomasa lamun dalam gbk/m2 (gram berat kering/m2) Berat kering = berat sampel lamun kering yang telah di oven (gbk)

Luas frame = luas area frame pada saat pengambilan sampel lamun (0,04 m2)

3.3.4. Penilaian kondisi lamun

Pengamatan kondisi titik stasiun lamun dilakukan pada 35 titik stasiun (Lampiran 9). Pada setiap titik stasiun lamun dilakukan penilaian kondisi lamun berdasarkan studi lapang persentase penutupan, jumlah jenis dan biomasa lamun secara kuantitatif dengan cara skoring. Teknik skoring yaitu dengan memberikan skor tertentu pada parameter penentu kondisi lamun dengan skor 5,3,1. Skor ini mencerminkan nilai setiap parameter kondisi lamun.

Kisaran nilai untuk pemberian skor pada setiap parameter berdasarkan data yang diperoleh (Supriyadi, 2010). Namun dilakukan pengecualian untuk

parameter persentase penutupan lamun yang berdasarkan keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 200 tahun 2004. Kisaran biomasa diperoleh dari hasil pembentukan kelas data menjadi 3 kelas dimana pada setiap kelasnya memiliki lebar kelas berdasarkan pada persamaan dibawah ini.

kelas jumlah min data max data kelas Lebar   ...(7)

Secara rinci tabel skoring dan klasifikasi peringkat kondisi lamun disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Skoring parameter penentu kondisi lamun

No Parameter Kisaran Skor

1. Jumlah jenis 1 2 3 1 3 5 2. Biomasa (gbk/m2) 2,43 – 47,99 48,00 – 93,56 93,57 – 139,13 1 3 5 3. Persentase penutupan (%)

(Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 200 tahun 2004)

< 29,9 30 – 59,9 ≥ 60 1 3 5 Jumlah skor dari ketiga parameter kemudian diklasifikasikan menjadi tiga peringkat yaitu kondisi lamun “baik”, “sedang”, dan “jelek” berdasarkan

persamaan 7 (Tabel 5).

Tabel 5. Klasifikasi kondisi titik stasiun lamun

Skor akhir Kondisi lamun

≤ 6 jelek

7-10 sedang

22

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran umum lokasi penelitian

Gugus Pulau Pari merupakan salah satu bagian dari Kepulauan Seribu dan tersusun dari lima buah pulau kecil, antara lain Pulau Pari, Pulau Tengah, Pulau Kongsi, Pulau Tikus, dan Pulau Burung masing-masing dipisahkan oleh beberapa buah Goba. Pulau Pari merupakan pulau terbesar dari ke lima pulau penyusun Gugus Pulau Pari. Panjangnya sekitar 2,5 km dan lebar bagian terpendek sekitar 60 m dan bagian terpanjang sekitar 400 m (Kiswara, 1992). Secara geografis, gugus pulau pari terletak pada posisi 5 o50’20” LS – 5o50’25” LS dan 106 o

34’30” BT – 106 o38’20” BT.

Perairan Pulau Pari dipengaruhi oleh pasang surut harian. Pasang harian di Pulau Pari tertinggi 1,2 m dan terendah 0,18 m. Salinitas berkisar 30,2‰

-36,7‰ dan temperatur berkisar 26,7 o

C – 32,9 o C, sehingga dari data lingkungan diatas menunjukkan kualitas perairan di Pulau Pari termasuk ke dalam kisaran optimum bagi spesies lamun (Azkab, 1988). Substrat dasar di perairan Pulau Pari berupa pasir, pasir berlumpur dan pasir berkarang dan kedalaman yang dangkal di perairan Pulau Pari memungkinkan kecerahan perairan dapat mencapai 100% (Kiswara, 1992).

Vegetasi lamun tersebar di wilayah perairan Gugus Pulau Pari dengan kedalaman kurang dari 2 meter dengan kondisi arus yang tenang (Kiswara, 1992). Berdasarkan identifikasi jenis lamun di perairan Pulau Pari ditemukan 3 jenis antara lain Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii.

4.2. Peta hasil klasifikasi

Citra satelit yang dipergunakan untuk menghasilkan peta sebaran lamun adalah citra ALOS tahun 2008 yang memiliki resolusi spasial 10 meter. Citra yang sudah dikoreksi secara geografi (Lampiran 1) dan atmosferik diklasifikasi dengan 2 metode. Klasifikasi pertama adalah klasifikasi unsupervised dan yang kedua adalah klasifikasi berdasarkan algoritma Lyzenga (Gambar 5). Hasil dua metode klasifikasi yang digunakan menunjukkan adanya perbedaan luas kelas lamun sebagai objek yang sama.

Luas ekosistem lamun pada peta hasil klasifikasi unsupervised adalah 1,67 km2 sedangkan pada peta klasifikasi algoritma Lyzenga luas ekosistem lamun adalah 1,95 km2. Sama halnya dengan perbedaan luasan lamun, dari kedua peta tampak adanya perbedaan hasil klasifikasi habitat dasar perairan berupa sebaran pasir dan karang. Pada peta klasifikasi unsupervised terlihat adanya sebaran karang di tubir bagian utara sedangkan pada peta klasifikasi dengan menggunakan algoritma Lyzenga banyak ditemukan sebaran karang di goba (lagoon) labangan pasir dan besar 1. Perbedaan ini disebabkan pada saat pengambilan data lapang kelas karang untuk klasifikasi unsupervised hanya ditemukan di bagian barat Pulau Pari dan pada daerah goba sudah terkelaskan menjadi laut dalam. Dalam penelitian ini kelas laut dalam mencakup daerah laut yang memiliki kedalaman lebih dari 2 meter.

24

Gambar 5. Peta klasifikasi habitat dasar perairan Pulau Pari berdasarkan klasifikasi unsupervised (atas) dan algoritma Lyzenga (bawah)

Sebaran lamun di Gugus Pulau Pari dari kedua peta terlihat tersebar merata di sebelah barat daya serta sebelah barat dari Pulau Pari atau tepatnya tersebar diantara Pulau Pari, Pulau Tengah dan Pulau Burung serta di daerah dekat tubir. Di bagian timur Pulau Pari tidak terlalu banyak sebaran lamun. Hal ini diduga karena sisi timur Pulau Pari banyak dihuni oleh penduduk, sehingga aktivitas manusia dapat mempengaruhi keberadaan lamun itu sendiri. Selain itu faktor alam seperti arus dan pasang surut juga mempengaruhi. Arus yang melalui bagian timur Pulau Pari memiliki kecepatan 0,15 m/detik sedangkan di bagian barat kecepatan arus sebesar 0,09 m/detik sehingga arus yang melalui bagian timur Pulau Pari lebih besar dibandingkan arus yang melewati bagian barat Pulau Pari yang yang terhalangi oleh daratan (LAPAN, 2005). Kedalaman perairan pada saat surut dapat mencapai 0,18 meter menyebabkan terbatasnya jenis lamun yang bisa tumbuh didaerah tersebut (Kiswara, 1992).

Berdasarkan tabel pasang surut perairan Kepulauan Seribu (Stasiun Tanjung Priok) Dishidros TNI AL bulan November 2008 (Lampiran 8), perairan Kepulauan Seribu mengalami surut mulai pukul 07.00 WIB dan mengalami pasang mulai pukul 10.00 WIB. Sehingga perekaman citra ALOS pada tanggal 21 November 2008 pukul 10.30 WIB terjadi saat perairan Kepulauan seribu mulai mengalami pasang.

4.3. Perbandingan klasifikasi kelas lamun berdasarkan klasifikasi unsupervised dan algoritma Lyzenga.

4.3.1 Klasifikasi unsupervised

Pada awal pemrosesan citra, seteleh proses koreksi dilakukan selanjutnya dilakukan masking untuk memisahkan darat dan laut dengan menggunakan

band-26

4. Citra satelit ALOS memiliki 3 band tampak yang dapat menganalisis objek bawah laut seperti lamun yaitu band biru (band 1), band hijau (band 2) dan band merah (band 3) yang memiliki panjang gelombang yang lebih kecil yang

memungkinkan untuk menembus kedalam kolom perairan. Citra dibagi menjadi 100 kelas yang selanjutnya di reclass menjadi 5 kelas yaitu kelas lamun, pasir, karang, darat, dan laut dalam seperti yang ditampilkan pada Gambar 5. Pada Gambar 6 menunjukkan sebaran lamun di Gugus Pulau Pari yang dihasilkan oleh klasifikasi unsupervised.

Gambar 6. Peta sebaran lamun di gugusan Pulau Pari berdasarkan klasifikasi

unsupervised

Berdasarkan data survey yang telah dikumpulkan maka dapat ditentukan nilai overall accuracy (OA), producer accuracy (PA), dan user accuracy (UA) dari peta kondisi lamun berdasarkan klasifikasi unsupervised (Tabel 6).

Tabel 6. Matriks kontingensi klasifikasi unsupervised Pulau Pari

Citra Survey Lapang UA (%) OA (%)

Lamun Lain Jumlah

Lamun 20 9 29 68,97

72,82

Lain 16 47 63

Jumlah 36 56 92

PA (%) 55,55

Perhitungan UA lamun di perairan Pulau Pari memberikan informasi bahwa sekitar 68,97% kelas lamun telah terklasifikasi dengan benar. Kemudian PA untuk kelas lamun sebesar 55,55%. Sementara 44,45% piksel yang

seharusnya termasuk dalam kelas lamun terpetakan sebagai kelas lain (omission error) dan 31,03% daerah yang seharusnya bukan lamun telah terpetakan sebagai terumbu karang pada peta hasil klasifikasi (commission error). Hasil perhitungan OA untuk peta hasil klasifikasi unsupervised diperoleh sebesar 72,82%.

Nilai akurasi untuk pemetaan habitat dasar pada setiap citra satelit berbeda-beda. Nilai akurasi pemetaan substrat dasar di Pulau Caicos Turki menggunakan metode klasifikasi unsupervised ditemukan sebesar 81% dengan menggunakan citra satelit SPOT-XT (Sheppard et al., 1995 dalam Green et al., 2000). Dekker (2005) dalam Yang (2009) menemukan nilai akurasi pemetaan lamun dengan menggunakan citra satelit Landsat sebesar 76%. Jika dibandingkan dengan penelitian ini yang menggunakan citra satelit ALOS dimana nilai overall accuracy diperoleh sebesar 72,82%, hal ini diduga dipengaruhi oleh kesalahan pada saat pengolahan citra klasifikasi. Kesalahan tersebut adalah kesalahan tematik dan kesalahan dari segi penentuan posisi. Kesalahan tematik merupakan kesalahan dalam pengelompokkan jenis habitat berdasarkan kelas yang

Dokumen terkait